DATANG KE KOTAMU
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
SEMINGGU SEBELUMNYA
“Iya,
jadi kau akan datang besok?” tanya Sancaka, “Baik, aku juga sudah menemukan
tempat tinggal sementara.”
“Bagaimana,
jadi ambil?” tanya ibu kost itu.
“Ya,”
Sancaka tersenyum sambil menatap kamarnya. Lumayan rapi dan murah, bila
dibandingkan harga kost di Bandung. “Saya akan ambil. Saya bisa taruh
barang-barang saya di sini?”
“Tentu,
kalau ingin bertemu saya, masuk saja ke warung sebelah.”
“Terima
kasih.” Sancaka tersenyum, lalu melanjutkan pembicaraan dengan Awang.
“Iya,
aku masih di sini. Tidak, aku belum ingat alamatku. Aku juga sedang mencari
tempat untuk melanjutkan penelitian tesisku.”
Pemuda
itu menyadari ada seorang anak kecil sedang mengintip dari luar.
Sancaka
tersenyum ke arah bocah itu, “Oke, sampai ketemu nanti.” kataku sambil menutup
telepon.
“Hei,
kau siapa?” tanyanya, “Kau anak ibu kost?”
Namun
anak itu malah lari menuju pintu keluar.
“Anak
yang aneh,” pikirnya.
“Kau
baru di sini?”
Ia
menoleh dan melihat seorang pemuda sebaya dengannya memakai pakaian rapi.
“Ya,
namaku Sancaka. Aku dari Bandung.”
“Nathan,”
ia mengulurkan tangannya, “Aku kerja di bank sekitar sini. Kau sudah bertemu
Rangga rupanya.”
“Rangga?
Anak itu?”
“Ya,
anak ibu kost yang sedikit autistik.” Ia membuat lingkaran dengan jarinya di
samping kepalanya.
“Oh,
kasihan sekali.” Sancaka menatap kembali pintu dimana Rangga tadi keluar. Ia
lalu kembali menoleh ke arah Nathan, “Tapi sebaiknya jangan mengejek anak
autis. Kalau orang bilang, anak semacam itu temannya malaikat.”
“Huh,
aku harap beneran ada ‘angel’ yang datang untuk anak itu.” ujar Nathan sambil
menambahkan tanda kutip. “Kalau itu sih aku tak keberatan.”
Sancaka
tertawa, “Bukan ‘angel’ semacam itu maksudku. Omong-omong, ada berapa orang
lagi yang tinggal di kost ini?”
“Harusnya
dua sih. Tapi satu lagi masuk rumah sakit gara-gara badai listrik itu.
Kejatuhan baliho, bisa kau bayangkan?”
“Badai?”
“Kau
belum dengar? Merapi meletus dan anehnya menimbulkan badai listrik. Aku sendiri
sih nggak tahu apa hubungannya. Baliho itu tersambar listrik dan sial banget
dia pas ada di bawahnya.”
“Lalu
yang satu lagi?”
“Oh,
Yoga maksudmu. Anak yang rese.” bisiknya, “Sebaiknya tak usah berteman
dengannya.”
“Oh,
begitu. Akan datang temanku satu lagi ke sini. Kuharap tak ada masalah.”
“Satu-satunya
masalah adalah sutet sial yang berjejer di perumahan ini.”
Sanncaka
menatap keluar jendela. Memang benar ada beberapa menara sutet melewati
perumahan penduduk ini.
“Warga
minta sutet itu dirobohkan saja karena takut akan efeknya terhadap kesehatan.
Namun sutet itu sudah ada sebelum perumahan di sini berdiri, jadi kurasa sutet
itu juga punya hak.” katanya sambil tertawa.
“Moses
effect.” Jawab Sancaka singkat, “Pernah ada penelitian mengenai efek radiasi
elektromagnet yang mampu membelah partikel air. Karena 90% tubuh manusia
tersusun atas air, memang ada kemungkinan pengaruhnya. Namun belum pernah ada
penelitian dengan skala mendalam.”
“Wah
kau seorang ilmuwan ya?” puji Nathan, “Mungkin efek apalah tadi yang
menyebabkan orang-orang di sini sangat pemarah. Termasuk anak si ibu kost itu,
huh.”
“Rangga?”
“Bukan,
anaknya yang tertua, Mahesa, seorang pilot. Untung saja dia jarang di rumah.”
Nathan kemudian bergegas melewatiku, “Oke, aku pergi dulu ya. Aku harus
menjemput pacarku. Bye!”
Sancaka
menatap sutet itu dan Gunung Merapi yang terlihat dari kejauhan.
“Selamat
datang di Yogyakarta.” bisiknya.
***
Esthy
berjalan keluar Stasiun Tugu. Selalu saja ada suasana Malioboro yang hangat
ketika ia pulang ke kampung halamannya. Oleh sebab itu, dia sangat menyukai
turun di stasiun ini.
Tiba-tiba
beberapa orang bertubuh kekar menghampiri dan mengepungnya.
“Si
... siapa kalian?”
Seorang
pria bertato meraih tangannya. “Kau wartawati yang membuat bos kami ditangkap
bukan?”
“Kalian
anak buahnya Pengkor rupanya.” bisik Esthy tak terima.
“Ikut
kami! Jangan coba-coba melawan?!” seru mereka.
“Atau
apa??” Esthy malah tersenyum menantang mereka.
“HAHAHA
... apa yang gadis kecil sepertimu bisa lakukan pada kami?” preman itu tertawa
dengan sombongnya.
Tiba-tiba
saja Esthy menendang kemaluannya. Preman itu langsung meringis nyeri.
“Menghancurkan
masa depanmu ...”
“Si
... sial ... TANGKAP DIA!!!”
Beberapa
pria kekar lainnya langsung menyerangnya, namun Esthy memperlihatkan kemampuan
bela dirinya tidak main-main. Ia berhasil meringkus salah satunya setelah
menyikut jakunnya dan satu lagi dengan menendang tendon Achilles kakinya.
“Kurang
ajar kau!” namun salah seorang berandalam itu berhasil menyergapnya dari
belakang. Kali ini Esthy tak berkutik.
“Hei,
apa yang sedang kalian lakukan?” seru seorang pemuda di belakang mereka. Ia
adalah Awang.
“Lepaskan
gadis itu!”
Ia
segera membela Esthy dengan memukul punggung pria kekar itu, namun sama sekali
tak ada efeknya. Justru tangan Awang yang kesakitan karena otot pria itu
ternyata keras sekali.
Pria
itu menoleh dengan geram ke arahnya dan menghajarkan batok kepalanya ke wajah
Awang.
“Aduh!”
Awang tersungkur kesakitan sambil memegangi hidungnya yang berdarah.
“Hei
Jelek, lihat ini!” Esthy menggunakan kesempatan itu dengan mengeluarkan kamera
dari tasnya dan menjepretkannya ke arah penjahat itu.
“AAAARGH!”
lampu flash langsung membutakan
matanya dan melepaskan tangannya. Melihat kelengahan itu, dengan teknik
pengungkit sederhana, ia mengunci kaki pria itu dan menjegalnya ke tanah,
membantingnya dengan keras.
“Ayo
cepat lari!” seru Esthy sambil menggamit tangan Awang. Mereka berdua berlari ke
arah Malioboro, berharap bisa bersembunyi di tengah kerumunan turis. Namun
dugaan Esthy meleset. Ini masih terlalu pagi. Hanya ada beberapa pedagang lalu
lalang mempersiapkan lapak mereka.
“Mereka
mengejar kita!” seru Awang. Esthy menoleh ke belakang dan melihat pria-pria
bertubuh kekar itu masih mengincar mereka.
“Sial,
apa boleh buat.”
Tiba-tiba
gadis itu berteriak, “ADA KEBAKARAN! ADA KEBAKARAN!!!”
Semua
orang yang ada di sana langsung panik. Orang-orang yang ada di dalam bangunan
segera berhamburan keluar. Para pedagang sibuk mengamankan barang-barang
mereka. Bahkan pengendara delman pun panik dan melajukan kuda mereka tak tentu
arah, menyebabkan situasi menjadi semakin kacau.
Mereka
dengan mudah menyelinap ke sebuah gang sementara kepanikan itu berkecamuk.
***
“Siapa
mereka?” tanya Awang sambil menengadah ke atas, mencoba menghentikan pendarahan
pada hidungnya.
“Anak
buah Pengkor, ilmuwan gila yang mendanai penelitian tak manusiawinya
menggunakan perdagangan narkoba.” ujar Esthy. Kala itu mereka sedang menaiki
sebuah delman yang berhasil membawa mereka kabur dari kejaran geng tersebut.
Gadis
itu lalu tertawa melihat kondisi Awang.
“Apa?”
tanya Awang tersinggung sambil mendelik ke arahnya.
“Kau
ini cowok yang heroik ya? Langsung saja turun ke gelanggang pertarungan untuk
menyelamatkan seorang perempuan yang butuh pertolongan. Padahal belum tentu kau
bisa mengatasinya.” gadis itu masih terkekeh.
“Kupikir
kau butuh bantuan, tapi ternyata kau lebih jago. Kenapa wartawati sepertimu
bisa bela diri seperti itu?”
“Aku
bukan reporter yang meliput fashion, Awang. Aku meliput berita kriminal jadi
akan selalu ada ancaman. Seorang gadis harus bisa membela dirinya, bukan?”
Esthy melihat keluar jendela, “Oh ya, dimana kau akan turun?”
“Kost
temanku, dekat UGM. Katanya ada banyak sutet di sana.”
“Oh,
aku tahu tempat itu. Kau bisa melihat Merapi dengan jelas dari situ.” ujar
Esthy, “ Karena kau orang baru di sini, kuberitahu sesuatu. Merapi itu seperti
kompas, letaknya di utara. Jadi kau takkan kesasar di sini.”
Gadis
itu menoleh ke arahnya lalu tersenyum.
“Terima
kasih, by the way.”
Awang
balik menatapnya.
“Anytime, jika butuh bantuanku lagi,
panggil saja aku.”
Gadis
itu kembali tertawa.
***
“Bukan
ini ... bukan itu ...” sosok bertopeng itu tengah menggeledah batu-batu permata
yang berhasil ia bobol dari dalam brankas. “Semua ini hanya permata tak
berguna.”
“Hei, siapa
itu?” seru para penjaga yang berhasil menangkapnya basah. Sosok bertopeng itu
malah tersenyum dan menghamburkan semua perhiasan itu ke arah mereka, lalu
kabur.
“Hei,
berhenti!” seru mereka.
Anak
itu bergerak dengan cekatan, namun ia terjatuh ketika ia menghantam tubuh yang
amat besar. Lelaki bertubuh tambun itu menghadangnya. Ukuran tubuhnya melebihi
manusia normal dan tak ada ekspresi apapun di wajahnya.
“Gali!”
seru salah satu penjaga itu, “Bocah itu berusaha mencuri permata Tuan Pengkor.
Habisi saja dia.”
“Huh,
kalian toh juga mencurinya, jadi tak ada salahnya jika aku mengambilnya.” anak
itu malah mengejek.
Pria
bertubuh besar yang dipanggil Gali itu marah dan bersiap meremukkan tubuh anak
itu, namun dengan sigap ia mengeluarkan ketapel dan melemparkan
kerikil-kerikilnya ke atas. Tiap lemparan menghancurkan satu bola lampu dengan
tepat sasaran sehingga ruangan itupun berubah menjadi gelap gulita.
“Sial,
dimana dia?” mereka tak berkutik di dalam kegelapan.
“Ck ck ck ck ...”
Suara
itu bergerak di sekitar mereka.
Ekolokasi.
“PYAAAAR!!!”
terdengar suara jendela dipecah dan cahaya matahari kembali memasuki ruangan.
“Sial,
dia kabur!” mereka berusaha mencarinya di luar, namun pencuri itu rupanya tak
meninggalkan jejak.
Tiba-tiba
terdengar suara langkah kaki di belakang mereka.
“Siapa
kau?”
Pendatang
baru itu hanya tersenyum.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment