Thursday, November 28, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 1

 


DATANG KE KOTAMU

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

SEMINGGU SEBELUMNYA

“Iya, jadi kau akan datang besok?” tanya Sancaka, “Baik, aku juga sudah menemukan tempat tinggal sementara.”

“Bagaimana, jadi ambil?” tanya ibu kost itu.

“Ya,” Sancaka tersenyum sambil menatap kamarnya. Lumayan rapi dan murah, bila dibandingkan harga kost di Bandung. “Saya akan ambil. Saya bisa taruh barang-barang saya di sini?”

“Tentu, kalau ingin bertemu saya, masuk saja ke warung sebelah.”

“Terima kasih.” Sancaka tersenyum, lalu melanjutkan pembicaraan dengan Awang.

“Iya, aku masih di sini. Tidak, aku belum ingat alamatku. Aku juga sedang mencari tempat untuk melanjutkan penelitian tesisku.”

Pemuda itu menyadari ada seorang anak kecil sedang mengintip dari luar.

Sancaka tersenyum ke arah bocah itu, “Oke, sampai ketemu nanti.” kataku sambil menutup telepon.

“Hei, kau siapa?” tanyanya, “Kau anak ibu kost?”

Namun anak itu malah lari menuju pintu keluar.

“Anak yang aneh,” pikirnya.

“Kau baru di sini?”

Ia menoleh dan melihat seorang pemuda sebaya dengannya memakai pakaian rapi.

“Ya, namaku Sancaka. Aku dari Bandung.”

“Nathan,” ia mengulurkan tangannya, “Aku kerja di bank sekitar sini. Kau sudah bertemu Rangga  rupanya.”

“Rangga? Anak itu?”

“Ya, anak ibu kost yang sedikit autistik.” Ia membuat lingkaran dengan jarinya di samping kepalanya.

“Oh, kasihan sekali.” Sancaka menatap kembali pintu dimana Rangga tadi keluar. Ia lalu kembali menoleh ke arah Nathan, “Tapi sebaiknya jangan mengejek anak autis. Kalau orang bilang, anak semacam itu temannya malaikat.”

“Huh, aku harap beneran ada ‘angel’ yang datang untuk anak itu.” ujar Nathan sambil menambahkan tanda kutip. “Kalau itu sih aku tak keberatan.”

Sancaka tertawa, “Bukan ‘angel’ semacam itu maksudku. Omong-omong, ada berapa orang lagi yang tinggal di kost ini?”

“Harusnya dua sih. Tapi satu lagi masuk rumah sakit gara-gara badai listrik itu. Kejatuhan baliho, bisa kau bayangkan?”

“Badai?”

“Kau belum dengar? Merapi meletus dan anehnya menimbulkan badai listrik. Aku sendiri sih nggak tahu apa hubungannya. Baliho itu tersambar listrik dan sial banget dia pas ada di bawahnya.”

“Lalu yang satu lagi?”

“Oh, Yoga maksudmu. Anak yang rese.” bisiknya, “Sebaiknya tak usah berteman dengannya.”

“Oh, begitu. Akan datang temanku satu lagi ke sini. Kuharap tak ada masalah.”

“Satu-satunya masalah adalah sutet sial yang berjejer di perumahan ini.”

Sanncaka menatap keluar jendela. Memang benar ada beberapa menara sutet melewati perumahan penduduk ini.

“Warga minta sutet itu dirobohkan saja karena takut akan efeknya terhadap kesehatan. Namun sutet itu sudah ada sebelum perumahan di sini berdiri, jadi kurasa sutet itu juga punya hak.” katanya sambil tertawa.

“Moses effect.” Jawab Sancaka singkat, “Pernah ada penelitian mengenai efek radiasi elektromagnet yang mampu membelah partikel air. Karena 90% tubuh manusia tersusun atas air, memang ada kemungkinan pengaruhnya. Namun belum pernah ada penelitian dengan skala mendalam.”

“Wah kau seorang ilmuwan ya?” puji Nathan, “Mungkin efek apalah tadi yang menyebabkan orang-orang di sini sangat pemarah. Termasuk anak si ibu kost itu, huh.”

“Rangga?”

“Bukan, anaknya yang tertua, Mahesa, seorang pilot. Untung saja dia jarang di rumah.” Nathan kemudian bergegas melewatiku, “Oke, aku pergi dulu ya. Aku harus menjemput pacarku. Bye!”

Sancaka menatap sutet itu dan Gunung Merapi yang terlihat dari kejauhan.

“Selamat datang di Yogyakarta.” bisiknya.

 

***

 

Esthy berjalan keluar Stasiun Tugu. Selalu saja ada suasana Malioboro yang hangat ketika ia pulang ke kampung halamannya. Oleh sebab itu, dia sangat menyukai turun di stasiun ini.

Tiba-tiba beberapa orang bertubuh kekar menghampiri dan mengepungnya.

“Si ... siapa kalian?”

Seorang pria bertato meraih tangannya. “Kau wartawati yang membuat bos kami ditangkap bukan?”

“Kalian anak buahnya Pengkor rupanya.” bisik Esthy tak terima.

“Ikut kami! Jangan coba-coba melawan?!” seru mereka.

“Atau apa??” Esthy malah tersenyum menantang mereka.

“HAHAHA ... apa yang gadis kecil sepertimu bisa lakukan pada kami?” preman itu tertawa dengan sombongnya.

Tiba-tiba saja Esthy menendang kemaluannya. Preman itu langsung meringis nyeri.

“Menghancurkan masa depanmu ...”

“Si ... sial ... TANGKAP DIA!!!”

Beberapa pria kekar lainnya langsung menyerangnya, namun Esthy memperlihatkan kemampuan bela dirinya tidak main-main. Ia berhasil meringkus salah satunya setelah menyikut jakunnya dan satu lagi dengan menendang tendon Achilles kakinya.

“Kurang ajar kau!” namun salah seorang berandalam itu berhasil menyergapnya dari belakang. Kali ini Esthy tak berkutik.

“Hei, apa yang sedang kalian lakukan?” seru seorang pemuda di belakang mereka. Ia adalah Awang.

“Lepaskan gadis itu!”

Ia segera membela Esthy dengan memukul punggung pria kekar itu, namun sama sekali tak ada efeknya. Justru tangan Awang yang kesakitan karena otot pria itu ternyata keras sekali.

Pria itu menoleh dengan geram ke arahnya dan menghajarkan batok kepalanya ke wajah Awang.

“Aduh!” Awang tersungkur kesakitan sambil memegangi hidungnya yang berdarah.

“Hei Jelek, lihat ini!” Esthy menggunakan kesempatan itu dengan mengeluarkan kamera dari tasnya dan menjepretkannya ke arah penjahat itu.

“AAAARGH!” lampu flash langsung membutakan matanya dan melepaskan tangannya. Melihat kelengahan itu, dengan teknik pengungkit sederhana, ia mengunci kaki pria itu dan menjegalnya ke tanah, membantingnya dengan keras.

“Ayo cepat lari!” seru Esthy sambil menggamit tangan Awang. Mereka berdua berlari ke arah Malioboro, berharap bisa bersembunyi di tengah kerumunan turis. Namun dugaan Esthy meleset. Ini masih terlalu pagi. Hanya ada beberapa pedagang lalu lalang mempersiapkan lapak mereka.

“Mereka mengejar kita!” seru Awang. Esthy menoleh ke belakang dan melihat pria-pria bertubuh kekar itu masih mengincar mereka.

“Sial, apa boleh buat.”

Tiba-tiba gadis itu berteriak, “ADA KEBAKARAN! ADA KEBAKARAN!!!”

Semua orang yang ada di sana langsung panik. Orang-orang yang ada di dalam bangunan segera berhamburan keluar. Para pedagang sibuk mengamankan barang-barang mereka. Bahkan pengendara delman pun panik dan melajukan kuda mereka tak tentu arah, menyebabkan situasi menjadi semakin kacau.

Mereka dengan mudah menyelinap ke sebuah gang sementara kepanikan itu berkecamuk.

 

***

 

“Siapa mereka?” tanya Awang sambil menengadah ke atas, mencoba menghentikan pendarahan pada hidungnya.

“Anak buah Pengkor, ilmuwan gila yang mendanai penelitian tak manusiawinya menggunakan perdagangan narkoba.” ujar Esthy. Kala itu mereka sedang menaiki sebuah delman yang berhasil membawa mereka kabur dari kejaran geng tersebut.

Gadis itu lalu tertawa melihat kondisi Awang.

“Apa?” tanya Awang tersinggung sambil mendelik ke arahnya.

“Kau ini cowok yang heroik ya? Langsung saja turun ke gelanggang pertarungan untuk menyelamatkan seorang perempuan yang butuh pertolongan. Padahal belum tentu kau bisa mengatasinya.” gadis itu masih terkekeh.

“Kupikir kau butuh bantuan, tapi ternyata kau lebih jago. Kenapa wartawati sepertimu bisa bela diri seperti itu?”

“Aku bukan reporter yang meliput fashion, Awang. Aku meliput berita kriminal jadi akan selalu ada ancaman. Seorang gadis harus bisa membela dirinya, bukan?” Esthy melihat keluar jendela, “Oh ya, dimana kau akan turun?”

“Kost temanku, dekat UGM. Katanya ada banyak sutet di sana.”

“Oh, aku tahu tempat itu. Kau bisa melihat Merapi dengan jelas dari situ.” ujar Esthy, “ Karena kau orang baru di sini, kuberitahu sesuatu. Merapi itu seperti kompas, letaknya di utara. Jadi kau takkan kesasar di sini.”

Gadis itu menoleh ke arahnya lalu tersenyum.

“Terima kasih, by the way.”

Awang balik menatapnya.

Anytime, jika butuh bantuanku lagi, panggil saja aku.”

Gadis itu kembali tertawa.

 

***

 

“Bukan ini ... bukan itu ...” sosok bertopeng itu tengah menggeledah batu-batu permata yang berhasil ia bobol dari dalam brankas. “Semua ini hanya permata tak berguna.”

“Hei, siapa itu?” seru para penjaga yang berhasil menangkapnya basah. Sosok bertopeng itu malah tersenyum dan menghamburkan semua perhiasan itu ke arah mereka, lalu kabur.

“Hei, berhenti!” seru mereka.

Anak itu bergerak dengan cekatan, namun ia terjatuh ketika ia menghantam tubuh yang amat besar. Lelaki bertubuh tambun itu menghadangnya. Ukuran tubuhnya melebihi manusia normal dan tak ada ekspresi apapun di wajahnya.

“Gali!” seru salah satu penjaga itu, “Bocah itu berusaha mencuri permata Tuan Pengkor. Habisi saja dia.”

“Huh, kalian toh juga mencurinya, jadi tak ada salahnya jika aku mengambilnya.” anak itu malah mengejek.

Pria bertubuh besar yang dipanggil Gali itu marah dan bersiap meremukkan tubuh anak itu, namun dengan sigap ia mengeluarkan ketapel dan melemparkan kerikil-kerikilnya ke atas. Tiap lemparan menghancurkan satu bola lampu dengan tepat sasaran sehingga ruangan itupun berubah menjadi gelap gulita.

“Sial, dimana dia?” mereka tak berkutik di dalam kegelapan.

“Ck ck ck ck ...”

Suara itu bergerak di sekitar mereka.

Ekolokasi.

“PYAAAAR!!!” terdengar suara jendela dipecah dan cahaya matahari kembali memasuki ruangan.

“Sial, dia kabur!” mereka berusaha mencarinya di luar, namun pencuri itu rupanya tak meninggalkan jejak.

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di belakang mereka.

“Siapa kau?”

Pendatang baru itu hanya tersenyum.

 

BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment