Sunday, December 1, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 2

 


MERAPI LAUTAN API

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Profesor Angkasa?”

Pria beruban itupun dengan ramah menyambutnya.

“Sancaka bukan? Yang mengirim email itu?”

“Benar.” Sancaka menyalaminya, “Saya ingin meneruskan penelitian saya di sini, tentang serum anti petir.”

“Ya, ya ... saya sudah baca proposalnya. Benar-benar kreasi yang luar biasa. Akan tetapi sayang, semua lab di sini sudah terpakai semua.”

“Oh, begitukah?” Sancaka terlihat kecewa.

“Maaf, tapi semua orang sedang sibuk setengah mati di sini. Semua sedang diburu waktu untuk meneliti fenomena badai dan letusan Merapi sebelum mengancam nyawa para penduduk.” Profesor itu tampak memandangi Sancaka sambil berpikir, “Tapi spesialiasimu petir kan? Dan kaupun mahasiswa berprestasi dari salah satu perguruan tinggi terhebat di tanah air.”

“Bagaimana jika begini,” profesor itu meneruskan, “Kau membantu kami dalam penelitian ini, lalu setelah selesai, aku berjanji akan membantu menyiapkan lab serta semua peralatan dan bahan yang kau butuhkan untuk penelitianmu nanti. Bagaimana?”

“Tentu saja saya bersedia!” Sancaka tampak gembira. “Apa itu berarti kita akan ke Merapi?”

 

***

 

“Kau akan ke Merapi?” tanya Awang dengan heran, “Bagaimana sih? Baru saja aku sampai.”

“Sori, tapi ini mendesak. Katanya letusan Merapi tak bisa diprediksi dan aku harus mempelajari fenomena badai listrik ini sebelum ada korban jatuh.”

“Hati-hati di sana!”

“Aku akan baik-baik saja. Kau bagaimana, sudah dapat pekerjaan baru?”

“Aku sedang menghubungi orang yang menawariku sebagai kurir. Untuk sementara, pekerjaan itulah yang bisa kudapat.” balas Awang, “Oya, aku baru saja berkenalan dengan seorang gadis yang di kereta. Dia gadis yang sangat cantik, Sancaka. Kapan-kapan akan kuperkenalkan padamu.”

“Wah, baru beberapa jam di Yogya sudah dapat kenalan cewek saja.” Sancaka tertawa di seberang telepon. Namun tiba-tiba terdengar suara gemerisik sehingga Awang tak bisa mendengar suaranya lagi.

“Sancaka ... halo ... suaramu tak jelas.”

Dan sambungan itupun mati.

 

***

 

“Interferensi gelombang listrik di sini sangat kuat.” Sancaka menaruh kembali handphone-nya ke saku. “Sambungan telepon saja sampai terputus.”

“Kurasa kau pasti pernah membaca jurnal tentang fenomena ini bukan? Gunung vulkanik yang menghasilkan petir?” tanya Profesor Angkasa.

“’Dirty thunderstorm’ bukan istilahnya? Dikatakan begitu karena semburan gunung berapi menghasilkan berbagai partikel pengotor seperti pasir dan debu yang bermuatan positif ke langit. Petir adalah usaha alam untuk menyeimbangkan kelebihan muatan tersebut.”

“Namun ada teori baru yang menyebutkan bahwa air dan es yang dilepaskan saat erupsi-lah yang menyebabkannya.”

“Es ya?” Sancaka tampak berpikir. Mungkin sulit dibayangkan gunung berapi yang menyala dapat menghasilkan es. Namun jika dipikir memang masuk akal. Erupsi memang melepaskan air, terbukti dengan adanya lahar, aliran magma yang bercampur dengan air. Jika air itu menguap, maka uap air itu bisa terlontar hingga lapisan atmosfer atas dan mendingin. Tabrakan antarpartikel es bisa menyebabkan perbedaan muatan yang dapat membangkitkan energi listrik.

“Namun aku belum pernah melihat badai listrik sekuat ini.” Profesor Angkasa menatap gunung berapi itu dari luar jendela.

Mobil itu berhenti di kejauhan.

“Ini jarak terdekat yang bisa kita tempuh.” Profesor Angkasa turun diikuti Sancaka, “Pemerintah sudah menutup semua akses ke Merapi demi keselamatan kita.”

Sancaka menatap gunung yang bergemuruh itu.

“BLAAAAAAR!!!”

“Astaga! Kita tepat waktu sekali! Gunung Merapi baru saja meletus!”

Sancaka terkesima dengan awan tebal serta listrik yang meloncat-loncat di sela-selanya.

Namun ia kemudian ngeri melihat sebuah titik tengah terbang ke arahnya.

“Apakah itu pesawat?!” tunjuk Sancaka.

 

***

 

“Mayday! Mayday!” seru Mahesa, sang kapten, dengan panik. Ia menatap badai listrik yang mau tak mau akan mereka terjang. Bagaimana mungkin cuaca bisa berubah sedrastis ini? Jika saja maskapai mereka tak bersikeras menerbangkan pesawat mereka demi menutupi kerugian akibat penutupan bandara pasca-letusan Merapi kemarin, pasti hal ini takkan terjadi.

“Kita tak bisa berbalik, Kapten!” seru ko-pilotnya dengan panik, “Kita semua akan mati!”


***

 

Sambaran halilintar yang akan mencabik sayap pesawat itu tiba-tiba berbelok kembali ke gunung, menghantam bebatuan di sana.

Gundala berdiri di tepi tebing. Ia berusaha mengalihkan aliran listrik itu menjauhi pesawat itu. Namun hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia bisa mengendalikan petir, namun ia takkan kuasa melindungi pesawat itu dari amukan gunung berapi ini.


***

 

“BLAAAAR!!!” lontaran batu raksasa dari kawah gunung berapi itu menghantam dan membelah pesawat itu menjadi dua. Bagian kokpit terpental dan para penumpang menjerit melihat bagian terbuka di depan mereka. Mereka mencoba bertahan agar tak terenggut dari kursi mereka, di tengah angin kencang yang mendera.

Di hadapan mereka tersaji pemandangan Merapi yang mengamuk seperti kawah neraka. Api dan asap seolah bercampur. Warna kelam dari abu yang dimuntahkan gunung berapi itu serasa hendak menelan mereka. Awan badai gelap itu beradu dengan sengatan petir yang berkeriapan kesana kemari. Panas lava mendidih bisa mereka rasakan, bersiap membakar mereka.

Para penumpang merasakan pesawat mereka jatuh dengan kecepatan tinggi. Mereka semua menjerit.

Tiba-tiba pesawat mereka berhenti, melayang di udara, namun miring. Para penumpang mencoba bertahan. Seorang gadis cilik menatap keluar jendela dan melihat sesosok pria berjubah memegangi sayap pesawat itu.

Mata mereka bertatapan dan pemuda itu tersenyum. Dengan cepat, pesawat itu ditariknya menjauhi ledakan lahar dan diturunkan ke tempat yang aman.

Begitu mendarat, mereka semua segera melepaskan sabuk pengaman mereka dan mengintip keluar. Sang pahlawan itu telah menghilang. namun bahaya masih belum reda. Gunung itu masih mengaum marah, begitu pula badai listrik yang dimuntahkannya.


***

 

Gundala hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa ketika kokpit pesawat itu meluncur jatuh dan terhempas ke bebatuan. Ia bergerak secepat mungkin untuk melihat apakah ada yang masih hidup.

Begitu terdengar bunyi ledakan, Gundala segera bergegas. Namun kokpit itu sudah keburu dilalap api, habis menjadi abu dan bangkai logam berbalut arang.

Ia terlambat.


***

 

Bu Ratna, ibu kost Sancaka menangis tersedu-sedu di depan televisi. Berita kematian anaknya, pilot Mahesa berserta ko-pilotnya diberitakan di semua channel. Sancaka, Awang, dan Nathan hanya bisa terdiam. Sementara itu, Rangga tengah bermain di sofa, sama sekali tak mengerti apa yang tengah terjadi.

“Hei, kalian sudah melihat berita,” seorang pemuda tiba-tiba menyerbu masuk, “Pesawat Mahesa...”

“Sssssst, Yoga! Diamlah!” Nathan segera menariknya keluar.

“Kasihan sekali.” Sancaka menatap foto pemuda berseragam pilot itu di televisi, “Aku berada di sana, namun aku tak bisa berbuat apa-apa.”

Awang menepuk pundaknya, “Tak ada yang bisa kaulakukan, Sancaka.”

Dalam hati, Awang juga menyesal. Ia juga harus membuat pilihan sulit kala itu sebagai Godam. Ketika menyaksikan pesawat itu terbelah dua, ia hanya bisa menyelamatkan salah satunya saja. Ia memilih bagian pesawat yang terisi penumpang sebab ada lebih banyak orang di sana, bahkan ratusan.

Ia terpaksa harus mengorbankan kedua pilot tersebut. Ia tahu ia takkan mungkin menyelamatkan semuanya.

Seorang superhero tetaplah manusia.

Namun kedua orang tersebut masih belum menyadari kejadian itu hanyalah awal dari sebuah tragedi berkepanjangan.


BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment