MERAPI LAUTAN API
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Profesor
Angkasa?”
Pria
beruban itupun dengan ramah menyambutnya.
“Sancaka
bukan? Yang mengirim email itu?”
“Benar.”
Sancaka menyalaminya, “Saya ingin meneruskan penelitian saya di sini, tentang
serum anti petir.”
“Ya,
ya ... saya sudah baca proposalnya. Benar-benar kreasi yang luar biasa. Akan
tetapi sayang, semua lab di sini sudah terpakai semua.”
“Oh,
begitukah?” Sancaka terlihat kecewa.
“Maaf,
tapi semua orang sedang sibuk setengah mati di sini. Semua sedang diburu waktu
untuk meneliti fenomena badai dan letusan Merapi sebelum mengancam nyawa para
penduduk.” Profesor itu tampak memandangi Sancaka sambil berpikir, “Tapi
spesialiasimu petir kan? Dan kaupun mahasiswa berprestasi dari salah satu
perguruan tinggi terhebat di tanah air.”
“Bagaimana
jika begini,” profesor itu meneruskan, “Kau membantu kami dalam penelitian ini,
lalu setelah selesai, aku berjanji akan membantu menyiapkan lab serta semua
peralatan dan bahan yang kau butuhkan untuk penelitianmu nanti. Bagaimana?”
“Tentu
saja saya bersedia!” Sancaka tampak gembira. “Apa itu berarti kita akan ke
Merapi?”
***
“Kau
akan ke Merapi?” tanya Awang dengan heran, “Bagaimana sih? Baru saja aku
sampai.”
“Sori, tapi ini mendesak.
Katanya letusan Merapi tak bisa diprediksi dan aku harus mempelajari fenomena
badai listrik ini sebelum ada korban jatuh.”
“Hati-hati
di sana!”
“Aku akan baik-baik saja. Kau
bagaimana, sudah dapat pekerjaan baru?”
“Aku
sedang menghubungi orang yang menawariku sebagai kurir. Untuk sementara,
pekerjaan itulah yang bisa kudapat.” balas Awang, “Oya, aku baru saja
berkenalan dengan seorang gadis yang di kereta. Dia gadis yang sangat cantik,
Sancaka. Kapan-kapan akan kuperkenalkan padamu.”
“Wah, baru beberapa jam di
Yogya sudah dapat kenalan cewek saja.”
Sancaka tertawa di seberang telepon. Namun tiba-tiba terdengar suara gemerisik
sehingga Awang tak bisa mendengar suaranya lagi.
“Sancaka
... halo ... suaramu tak jelas.”
Dan
sambungan itupun mati.
***
“Interferensi
gelombang listrik di sini sangat kuat.” Sancaka menaruh kembali handphone-nya
ke saku. “Sambungan telepon saja sampai terputus.”
“Kurasa
kau pasti pernah membaca jurnal tentang fenomena ini bukan? Gunung vulkanik
yang menghasilkan petir?” tanya Profesor Angkasa.
“’Dirty
thunderstorm’ bukan istilahnya? Dikatakan begitu karena semburan gunung berapi
menghasilkan berbagai partikel pengotor seperti pasir dan debu yang bermuatan
positif ke langit. Petir adalah usaha alam untuk menyeimbangkan kelebihan
muatan tersebut.”
“Namun
ada teori baru yang menyebutkan bahwa air dan es yang dilepaskan saat
erupsi-lah yang menyebabkannya.”
“Es
ya?” Sancaka tampak berpikir. Mungkin sulit dibayangkan gunung berapi yang
menyala dapat menghasilkan es. Namun jika dipikir memang masuk akal. Erupsi
memang melepaskan air, terbukti dengan adanya lahar, aliran magma yang
bercampur dengan air. Jika air itu menguap, maka uap air itu bisa terlontar
hingga lapisan atmosfer atas dan mendingin. Tabrakan antarpartikel es bisa
menyebabkan perbedaan muatan yang dapat membangkitkan energi listrik.
“Namun
aku belum pernah melihat badai listrik sekuat ini.” Profesor Angkasa menatap
gunung berapi itu dari luar jendela.
Mobil
itu berhenti di kejauhan.
“Ini
jarak terdekat yang bisa kita tempuh.” Profesor Angkasa turun diikuti Sancaka,
“Pemerintah sudah menutup semua akses ke Merapi demi keselamatan kita.”
Sancaka
menatap gunung yang bergemuruh itu.
“BLAAAAAAR!!!”
“Astaga!
Kita tepat waktu sekali! Gunung Merapi baru saja meletus!”
Sancaka
terkesima dengan awan tebal serta listrik yang meloncat-loncat di sela-selanya.
Namun
ia kemudian ngeri melihat sebuah titik tengah terbang ke arahnya.
“Apakah
itu pesawat?!” tunjuk Sancaka.
***
“Mayday! Mayday!” seru Mahesa, sang kapten,
dengan panik. Ia menatap badai listrik yang mau tak mau akan mereka terjang. Bagaimana
mungkin cuaca bisa berubah sedrastis ini? Jika saja maskapai mereka tak
bersikeras menerbangkan pesawat mereka demi menutupi kerugian akibat penutupan
bandara pasca-letusan Merapi kemarin, pasti hal ini takkan terjadi.
“Kita
tak bisa berbalik, Kapten!” seru ko-pilotnya dengan panik, “Kita semua akan
mati!”
***
Sambaran
halilintar yang akan mencabik sayap pesawat itu tiba-tiba berbelok kembali ke
gunung, menghantam bebatuan di sana.
Gundala
berdiri di tepi tebing. Ia berusaha mengalihkan aliran listrik itu menjauhi
pesawat itu. Namun hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia bisa mengendalikan petir,
namun ia takkan kuasa melindungi pesawat itu dari amukan gunung berapi ini.
***
“BLAAAAR!!!”
lontaran batu raksasa dari kawah gunung berapi itu menghantam dan membelah
pesawat itu menjadi dua. Bagian kokpit terpental dan para penumpang menjerit
melihat bagian terbuka di depan mereka. Mereka mencoba bertahan agar tak
terenggut dari kursi mereka, di tengah angin kencang yang mendera.
Di
hadapan mereka tersaji pemandangan Merapi yang mengamuk seperti kawah neraka.
Api dan asap seolah bercampur. Warna kelam dari abu yang dimuntahkan gunung
berapi itu serasa hendak menelan mereka. Awan badai gelap itu beradu dengan
sengatan petir yang berkeriapan kesana kemari. Panas lava mendidih bisa mereka
rasakan, bersiap membakar mereka.
Para
penumpang merasakan pesawat mereka jatuh dengan kecepatan tinggi. Mereka semua
menjerit.
Tiba-tiba
pesawat mereka berhenti, melayang di udara, namun miring. Para penumpang
mencoba bertahan. Seorang gadis cilik menatap keluar jendela dan melihat
sesosok pria berjubah memegangi sayap pesawat itu.
Mata
mereka bertatapan dan pemuda itu tersenyum. Dengan cepat, pesawat itu
ditariknya menjauhi ledakan lahar dan diturunkan ke tempat yang aman.
Begitu
mendarat, mereka semua segera melepaskan sabuk pengaman mereka dan mengintip
keluar. Sang pahlawan itu telah menghilang. namun bahaya masih belum reda.
Gunung itu masih mengaum marah, begitu pula badai listrik yang dimuntahkannya.
***
Gundala
hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa ketika kokpit pesawat itu
meluncur jatuh dan terhempas ke bebatuan. Ia bergerak secepat mungkin untuk
melihat apakah ada yang masih hidup.
Begitu
terdengar bunyi ledakan, Gundala segera bergegas. Namun kokpit itu sudah keburu
dilalap api, habis menjadi abu dan bangkai logam berbalut arang.
Ia
terlambat.
***
Bu
Ratna, ibu kost Sancaka menangis tersedu-sedu di depan televisi. Berita kematian
anaknya, pilot Mahesa berserta ko-pilotnya diberitakan di semua channel.
Sancaka, Awang, dan Nathan hanya bisa terdiam. Sementara itu, Rangga tengah
bermain di sofa, sama sekali tak mengerti apa yang tengah terjadi.
“Hei,
kalian sudah melihat berita,” seorang pemuda tiba-tiba menyerbu masuk, “Pesawat
Mahesa...”
“Sssssst,
Yoga! Diamlah!” Nathan segera menariknya keluar.
“Kasihan
sekali.” Sancaka menatap foto pemuda berseragam pilot itu di televisi, “Aku
berada di sana, namun aku tak bisa berbuat apa-apa.”
Awang
menepuk pundaknya, “Tak ada yang bisa kaulakukan, Sancaka.”
Dalam
hati, Awang juga menyesal. Ia juga harus membuat pilihan sulit kala itu sebagai
Godam. Ketika menyaksikan pesawat itu terbelah dua, ia hanya bisa menyelamatkan
salah satunya saja. Ia memilih bagian pesawat yang terisi penumpang sebab ada
lebih banyak orang di sana, bahkan ratusan.
Ia
terpaksa harus mengorbankan kedua pilot tersebut. Ia tahu ia takkan mungkin
menyelamatkan semuanya.
Seorang
superhero tetaplah manusia.
Namun
kedua orang tersebut masih belum menyadari kejadian itu hanyalah awal dari
sebuah tragedi berkepanjangan.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment