HANTU MASA LALU
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Apa
yang sebenarnya terjadi?” Esthy melihat kekacauan di sekitarnya dengan ngeri,
“Bahkan telepon genggamku tak berfungsi.”
“Gelombang
elektromagnetiknya amat kuat.” Sancaka menatap ke arah langit. Ia kini lebih
mengkhawatirkan keadaan Rangga dan teman-teman satu kost-nya. Untung saja ia
sudah membekali mereka dengan penangkal petir.
Ia
menatap gadis itu. “Kakimu sudah baikan?”
“Lumayan.”
Ia masih meringis.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku tadi. Siapa namamu?”
“Kurasa
ini bukan waktu yang tepat untuk melancarkan modus.”
“Modus?”
“Itu
bahasa anak sekarang untuk ... ah lupakan, kau pasti tak tahu.”
“Namaku
Sancaka. Aku pernah melihatmu sekali.”
“Oh
ya?”
“Ya.
Dalam mimpiku.”
Gadis
itu nyaris tertawa, “Baiklah Sancaka. Kurasa aku harus pergi.”
“Di
mimpiku kau mengenakan kalung dengan liontin berlian merah.”
Gadis
itu tersentak dan memegang kedua lengan pemuda itu, “Itu perhiasan ratna
manikam milik ibuku yang telah lama hilang. Bagaimana kau tahu?”
“Entahlah.
Aku juga tak mengerti. Justru kau yang muncul di mimpiku, jadi seharusnya aku
menuntut penjelasan darimu.” Sancaka menatapnya dalam-dalam.
Esthy
melepaskan tangannya dengan malu-malu.
“Maafkan
aku. Kau bisa memanggilku Esthy.”
“Jika
kau belum bisa berjalan, aku bisa membawamu ke tempat yang aman.”
Gadis
itu menatapnya. Entah mengapa ia mempercayai pemuda itu.
Hal
yang jarang ia rasakan terhadap laki-laki yang ditemuinya, apalagi untuk
pertama kalinya.
***
“Bu
Ratna! Rangga! Apa kalian di dalam?” seru Sancaka begitu ia masuk ke dalam
rumah.
Namun
yang ia lihat hanya Rangga tengah meletakkan tangannya ke layar televisi yang
tengah statik.
Tiba-tiba
tangan-tangan putih bermunculan di layar tersebut.
“RANGGA!”
seru Sancaka, “MENJAUH DARI SANA!”
“Kau
sebut tempat ini aman? Di sini seperti adegan Poltergeist!” seru Esthy ketika
Sancaka bergegas menggendong Rangga menjauh.
Tiba-tiba
bola lampu di atas mereka pecah. Sancaka dan Esthy segera mengajak bocah itu
keluar.
“Apa
yang barusan kau lakukan, Rangga?” Sancaka berlutut di depan bocah itu sambil
memeganginya.
“Malaikat.
Aku bertemu malaikat.”
“Ada
apa ini?” anak-anak kost berhamburan keluar.
“Dimana
Bu Ratna?” Sancaka menoleh ke arah Yoga dan Nathan.
“Entahlah
tadi Bu Kost ada di dalam.”
Tiba-tiba
tiang listrik di atas mereka memercik. Semua mobil yang berada di jalanan
membunyikan alarm dan klakson mereka. Lampu-lampu berkedap-kedip seolah tengah
mengamuk.
“Ini
... ini seperti ulah hantu!” ujar Yoga ketakutan.
“Ini
bukan hantu!” ucap Sancaka geram, “Aku akan mencari Bu Ratna di dalam.”
Esthy
dengan instingnya segera menjaga Rangga, sementara Sancaka masuk kembali ke
rumah kost.
“Bu
Ratna! Bu Ratna!” Sancaka masuk ke kamar wanita dan terkejut melihatnya sedang
menangis tersedu-sedu di depan cermin.
“Bu
Rat ...” langkahnya terhenti ketika ia melihat percikan plasma di depannya ...
ah bukan, itu membentuk manusia.
Roh.
Hantu.
“Tidak,
Bu Ratna! Jangan lihat itu!” seru Sancaka. Namun wanita itu masih terisak.
“Maafkan
aku, Nak ... Maafkan Ibu ... Kami sudah menguburkanmu ... Kami tak tahu itu
bukan kau ...”
“Kalian melupakanku!” seru percikan itu, menggema
dalam ruangan, “Kalian membiarkanku
mati!”
Wanita
itu akhirnya pingsan. Sancaka menghampirinya dengan langkah perlahan, namun
tiba-tiba ia terlontar karena serangan listrik dahsyat yang ditunjukan
kepadanya.
“Si
... siapa kau?” Sancaka berusaha bangkit. Sosok itu akhirnya makin jelas ketika
partikel-partikel itu akhirnya mengejawantah menjadi sosok seorang pemuda.
Itu
adalah wajah sang pilot, Mahesa.
“Mahesa,”
bisik Sancaka, “Kau masih hidup?”
Ia
tersenyum, “Apa kau juga sama, Gundala?
Berpikir bahwa aku sudah mati?”
Sancaka
tersentak, “Ba ... bagaimana kau tahu identitasku?”
“Aku tahu segalanya! Kekuatan
ini membuatku tahu segalanya! Segala informasi, berpindah dari satu neuron ke
neuron lain melalui otak dalam bentuk sinyal listrik. Apapun yang berwujud
listrik ... aku bisa membacanya ...”
“Kau
bisa membaca pikiran orang lain?”
“Aku tahu kau ada di sana,
Gundala. Namun kau gagal menyelamatkanku!”
Suara
itu berdengung dalam kepalanya.
“Maafkan
aku ...” Sancaka menutup telinganya, “Aku tak tahu harus berbuat apa!”
“KAU GAGAL!!!”
“TIDAAAAK!!!”
***
“Sancaka,
apa kau sudah sadar?”
Pemuda
itu bangun dan melihat Esthy menatapnya dengan cemas.
Di
belakangnya, berdiri Awang yang juga memandangnya dengan tatapan yang sama.
Kejujuran Awang membuat para polisi percaya bahwa ia tak bersalah dan
melepaskannya.
Sancaka
segera terbangun. “Astaga! Hantu itu! Kita harus segera pergi dari sini!”
“Semua
akan baik-baik saja, Sancaka.” Awang berusaha menenangkannya, “Badai listrik
itu telah berlalu.”
Pemuda
itu sadar bahwa ia berada di dalam kamar kostnya.
“Bu
Ratna dan Rangga juga baik-baik saja.” tambah Nathan yang berdiri di ambang
pintu.
Sancaka
menoleh. Di balik pintu, ia melihat Bu Ratna menungguinya dengan wajah sayu.
“Itu
Mahesa bukan? Mahesa masih hidup!”
Wanita
itu mengangguk, “Ibu salah mengira ia sudah meninggal. Yang Ibu kuburkan adalah
sisa-sisa jasad co-pilotnya. Karena itu ia marah ... ia marah karena Ibu tak
berusaha mencarinya dan menyelamatkannya ...”
“Bagaimana
mungkin ia bisa selamat?” tanya Awang.
“Mutasi,”
jawab Sancaka, “Sambaran petir bisa menyebabkan mutasi dalam kondisi khusus.
Mungkin saja mutasi itu menyebabkannya beradaptasi dengan badai listrik itu,
bahkan bisa mengendalikannya.”
“Cepat
atau lambat badai itu akan kembali jika Merapi meletus lagi,” ucap Awang, “dan
kita harus bersiap!”
Sancaka
tak mengatakan kemampuan Mahesa untuk membaca pikiran manusia. Ia menunduk,
berpikir bagaimana mengalahkan manusia super dengan kekuatan sama seperti
dirinya. Bahkan mungkin lebih kuat.
“Mengapa
ia kembali?” tanya Esthy, “Apa hanya karena dia menaruh dendam dengan kalian
semua?”
“Ia
mencari anaknya.” Bu Ratna menangis.
“Hah?
Dimana dia?” tanya Sancaka.
Rangga
muncul dari balik punggung neneknya.
Semua
orang terkesiap.
“Rangga
bukan adiknya?” seru Awang tak percaya.
“Perbedaan
usia mereka memang terlalu jauh,” Sancaka berpikir, “Aku menebak kondisi Rangga
membuat ayahnya malu mengakuinya.”
Bu
Ratna mengangguk, “Aku merawatnya dengan penuh kasih sayang, namun Mahesa ...
ia tak pernah bisa menerima kondisi Rangga ...”
“Karena
itulah ia mudah marah,” Sancaka berkesimpulan, “Seperti yang dikatakan oleh
anak-anak kost lainnya.”
“Dia
pasti akan kembali untuk merebut Rangga. Tapi apa tujuannya?” tanya Awang.
“Membuatnya
normal ... hanya itu ...” Sancaka cemas.
“Dia
takkan berusaha menyetrum otak anak ini hingga ia normal kan?” Esthy curiga,
“Itu bisa membunuhnya!”
“Yang
jelas Mahesa sudah menggila. Kita tak bisa tahu apa yang ada dalam kepalanya.”
Sancaka
tahu satu-satunya jalan adalah menghadapinya.
***
Anak
itu masih bersembunyi di dalam lemari. Hanya rumah ini yang belum digasaknya
sebab tadi rencananya gagal gara-gara fenomena poltergeist di rumah ini.
Matanya
membelalak begitu melihat cincin Awang.
Apakah itu yang dicarinya
selama ini?
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment