Friday, December 13, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 5

 


HANTU MASA LALU

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Esthy melihat kekacauan di sekitarnya dengan ngeri, “Bahkan telepon genggamku tak berfungsi.”

“Gelombang elektromagnetiknya amat kuat.” Sancaka menatap ke arah langit. Ia kini lebih mengkhawatirkan keadaan Rangga dan teman-teman satu kost-nya. Untung saja ia sudah membekali mereka dengan penangkal petir.

Ia menatap gadis itu. “Kakimu sudah baikan?”

“Lumayan.” Ia masih meringis.

“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Siapa namamu?”

“Kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk melancarkan modus.”

“Modus?”

“Itu bahasa anak sekarang untuk ... ah lupakan, kau pasti tak tahu.”

“Namaku Sancaka. Aku pernah melihatmu sekali.”

“Oh ya?”

“Ya. Dalam mimpiku.”

Gadis itu nyaris tertawa, “Baiklah Sancaka. Kurasa aku harus pergi.”

“Di mimpiku kau mengenakan kalung dengan liontin berlian merah.”

Gadis itu tersentak dan memegang kedua lengan pemuda itu, “Itu perhiasan ratna manikam milik ibuku yang telah lama hilang. Bagaimana kau tahu?”

“Entahlah. Aku juga tak mengerti. Justru kau yang muncul di mimpiku, jadi seharusnya aku menuntut penjelasan darimu.” Sancaka menatapnya dalam-dalam.

Esthy melepaskan tangannya dengan malu-malu.

“Maafkan aku. Kau bisa memanggilku Esthy.”

“Jika kau belum bisa berjalan, aku bisa membawamu ke tempat yang aman.”

Gadis itu menatapnya. Entah mengapa ia mempercayai pemuda itu.

Hal yang jarang ia rasakan terhadap laki-laki yang ditemuinya, apalagi untuk pertama kalinya.

***

 

“Bu Ratna! Rangga! Apa kalian di dalam?” seru Sancaka begitu ia masuk ke dalam rumah.

Namun yang ia lihat hanya Rangga tengah meletakkan tangannya ke layar televisi yang tengah statik.

Tiba-tiba tangan-tangan putih bermunculan di layar tersebut.

“RANGGA!” seru Sancaka, “MENJAUH DARI SANA!”

“Kau sebut tempat ini aman? Di sini seperti adegan Poltergeist!” seru Esthy ketika Sancaka bergegas menggendong Rangga menjauh.

Tiba-tiba bola lampu di atas mereka pecah. Sancaka dan Esthy segera mengajak bocah itu keluar.

“Apa yang barusan kau lakukan, Rangga?” Sancaka berlutut di depan bocah itu sambil memeganginya.

“Malaikat. Aku bertemu malaikat.”

“Ada apa ini?” anak-anak kost berhamburan keluar.

“Dimana Bu Ratna?” Sancaka menoleh ke arah Yoga dan Nathan.

“Entahlah tadi Bu Kost ada di dalam.”

Tiba-tiba tiang listrik di atas mereka memercik. Semua mobil yang berada di jalanan membunyikan alarm dan klakson mereka. Lampu-lampu berkedap-kedip seolah tengah mengamuk.

“Ini ... ini seperti ulah hantu!” ujar Yoga ketakutan.

“Ini bukan hantu!” ucap Sancaka geram, “Aku akan mencari Bu Ratna di dalam.”

Esthy dengan instingnya segera menjaga Rangga, sementara Sancaka masuk kembali ke rumah kost.

“Bu Ratna! Bu Ratna!” Sancaka masuk ke kamar wanita dan terkejut melihatnya sedang menangis tersedu-sedu di depan cermin.

“Bu Rat ...” langkahnya terhenti ketika ia melihat percikan plasma di depannya ... ah bukan, itu membentuk manusia.

Roh.

Hantu.

“Tidak, Bu Ratna! Jangan lihat itu!” seru Sancaka. Namun wanita itu masih terisak.

“Maafkan aku, Nak ... Maafkan Ibu ... Kami sudah menguburkanmu ... Kami tak tahu itu bukan kau ...”

“Kalian melupakanku!” seru percikan itu, menggema dalam ruangan, “Kalian membiarkanku mati!”

Wanita itu akhirnya pingsan. Sancaka menghampirinya dengan langkah perlahan, namun tiba-tiba ia terlontar karena serangan listrik dahsyat yang ditunjukan kepadanya.

“Si ... siapa kau?” Sancaka berusaha bangkit. Sosok itu akhirnya makin jelas ketika partikel-partikel itu akhirnya mengejawantah menjadi sosok seorang pemuda.

Itu adalah wajah sang pilot, Mahesa.

“Mahesa,” bisik Sancaka, “Kau masih hidup?”

Ia tersenyum, “Apa kau juga sama, Gundala? Berpikir bahwa aku sudah mati?”

Sancaka tersentak, “Ba ... bagaimana kau tahu identitasku?”

“Aku tahu segalanya! Kekuatan ini membuatku tahu segalanya! Segala informasi, berpindah dari satu neuron ke neuron lain melalui otak dalam bentuk sinyal listrik. Apapun yang berwujud listrik ... aku bisa membacanya ...”

“Kau bisa membaca pikiran orang lain?”

“Aku tahu kau ada di sana, Gundala. Namun kau gagal menyelamatkanku!”

Suara itu berdengung dalam kepalanya.

“Maafkan aku ...” Sancaka menutup telinganya, “Aku tak tahu harus berbuat apa!”

“KAU GAGAL!!!”

“TIDAAAAK!!!”

***

 

“Sancaka, apa kau sudah sadar?”

Pemuda itu bangun dan melihat Esthy menatapnya dengan cemas.

Di belakangnya, berdiri Awang yang juga memandangnya dengan tatapan yang sama. Kejujuran Awang membuat para polisi percaya bahwa ia tak bersalah dan melepaskannya.

Sancaka segera terbangun. “Astaga! Hantu itu! Kita harus segera pergi dari sini!”

“Semua akan baik-baik saja, Sancaka.” Awang berusaha menenangkannya, “Badai listrik itu telah berlalu.”

Pemuda itu sadar bahwa ia berada di dalam kamar kostnya.

“Bu Ratna dan Rangga juga baik-baik saja.” tambah Nathan yang berdiri di ambang pintu.

Sancaka menoleh. Di balik pintu, ia melihat Bu Ratna menungguinya dengan wajah sayu.

“Itu Mahesa bukan? Mahesa masih hidup!”

Wanita itu mengangguk, “Ibu salah mengira ia sudah meninggal. Yang Ibu kuburkan adalah sisa-sisa jasad co-pilotnya. Karena itu ia marah ... ia marah karena Ibu tak berusaha mencarinya dan menyelamatkannya ...”

“Bagaimana mungkin ia bisa selamat?” tanya Awang.

“Mutasi,” jawab Sancaka, “Sambaran petir bisa menyebabkan mutasi dalam kondisi khusus. Mungkin saja mutasi itu menyebabkannya beradaptasi dengan badai listrik itu, bahkan bisa mengendalikannya.”

“Cepat atau lambat badai itu akan kembali jika Merapi meletus lagi,” ucap Awang, “dan kita harus bersiap!”

Sancaka tak mengatakan kemampuan Mahesa untuk membaca pikiran manusia. Ia menunduk, berpikir bagaimana mengalahkan manusia super dengan kekuatan sama seperti dirinya. Bahkan mungkin lebih kuat.

“Mengapa ia kembali?” tanya Esthy, “Apa hanya karena dia menaruh dendam dengan kalian semua?”

“Ia mencari anaknya.” Bu Ratna menangis.

“Hah? Dimana dia?” tanya Sancaka.

Rangga muncul dari balik punggung neneknya.

Semua orang terkesiap.

“Rangga bukan adiknya?” seru Awang tak percaya.

“Perbedaan usia mereka memang terlalu jauh,” Sancaka berpikir, “Aku menebak kondisi Rangga membuat ayahnya malu mengakuinya.”

Bu Ratna mengangguk, “Aku merawatnya dengan penuh kasih sayang, namun Mahesa ... ia tak pernah bisa menerima kondisi Rangga ...”

“Karena itulah ia mudah marah,” Sancaka berkesimpulan, “Seperti yang dikatakan oleh anak-anak kost lainnya.”

“Dia pasti akan kembali untuk merebut Rangga. Tapi apa tujuannya?” tanya Awang.

“Membuatnya normal ... hanya itu ...” Sancaka cemas.

“Dia takkan berusaha menyetrum otak anak ini hingga ia normal kan?” Esthy curiga, “Itu bisa membunuhnya!”

“Yang jelas Mahesa sudah menggila. Kita tak bisa tahu apa yang ada dalam kepalanya.”

Sancaka tahu satu-satunya jalan adalah menghadapinya.

***

 

Anak itu masih bersembunyi di dalam lemari. Hanya rumah ini yang belum digasaknya sebab tadi rencananya gagal gara-gara fenomena poltergeist di rumah ini.

Matanya membelalak begitu melihat cincin Awang.

Apakah itu yang dicarinya selama ini?

BERSAMBUNG

 

 

No comments:

Post a Comment