DUEL IDEALISME
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Godam
menghempaskan jurus andalan, pukulan palu yang menghantam segenap partikel dari
udara di depannya, menghimpit dimensi yang kemudian bagaikan pegas meluncurkan
energi kinetik yang teramat besar ke arah lawannya.
Gundala
tak mau menciptakan energi pelindung sebab itu hanya akan melontarkan serangan
Godam ke arah lain yang mungkin bisa melukai Esthy. Ia lebih memilih mengiris
hujaman energi kinetik itu dengan hentakan listriknya sehingga terpecah menjadi
paket-paket energi yang lebih kecil dan tak berbahaya.
Godam
tak mau kalah, ia melibas lecutan listrik Gundala dengan jubahnya (yang
hempasannya bahkan menerbangkan genting-genting di sekitarnya). Ia kemudian
terbang dan mencurahkan serangan yang sama dari
atas, memanfaatkan tarikan gaya gravitasi untuk memperkuat jurusnya.
Saking
dahsyatnya serangan itu, partikel yang bergesekan menghasilkan energi cahaya
yang membutakan mata. Gundala tak tinggal diam dan berkonsentrasi mengumpulkan
muatan-muatan partikel di kedua tangannya. Telapak tangan kirinya melucuti
elektron-elektron sehingga proton-proton yang tersisa menciptakan muatan
positif, sedangkan tangan kanannya mengumpulkan muatan negatif yang beterbangan
dari udara.
Perbedaan
beda potensial kedua muatan tersebut menciptakan halilintar dahsyat dari kedua
tangannya yang mengaum bagai naga dan meluncur ke langit, siap menghadapi
serangan Godam.
Kedua
jurus itu bertemu dan meledak di angkasa, memenuhi malam dengan cahaya bak
supernova, menghempaskan butiran air hujan sekalipun ke sekitarnya.
Esthy
tahu ia bisa terluka di tengah pertarungan ini. Namun ia tak mengambil
selangkah pun untuk mencari tempat berlindung. Ia tahu berada di sana mungkin
takkan bisa menghentikan pertarungan mereka, apalagi pergi.
“Kumohon
hentikan!” serunya. Namun entah apakah dua superhero itu mendengar pintanya di
antara gelegar pertarungan mereka sendiri.
Kedua
pahlawan tersebut kemudian berhenti sejenak, begitu menyadari kekuatan mereka
seimbang.
“Sejahat
apapun seorang manusia, ia tetap memiliki hak! Hak untuk dilindungi! Hak untuk
diampuni!” seru Gundala, masih mengiba simpati dari lawannya, “Semua orang
memiliki alasan sendiri, Godam! Kau tak berhak mengadili mereka hanya dengan
melihat sekilas perbuatan mereka tanpa menilai seluruh perjalanan hidup
mereka!”
“Manusia?”
tentang Godam. “Lihat makhluk itu! Apa kau masih menyebutnya manusia?”
“Mengacalah
... jika kau menyebut dia bukan manusia ...” bisik Gundala, “Lalu apa kita
ini?”
“Kita
berbeda. Kita menggunakan kekuatan kita untuk tujuan lain.” kemuka Godam sambil
melayang di udara, “Namun aku sendiri mulai ragu, apakah tujuanmu yang
sebenarnya, Ksatria Petir?”
“Tujuanku
adalah menegakkan keadilan! Dan semua orang pantas mendapatkan keadilan, bahkan
dia sekalipun!” tunjuk Gundala.
Godam
menatap kurungan listrik itu.
“Jika
begitu katamu,” Godam tersenyum, “Maka akan kuberikan keadIilan itu!”
Dia
menyerang dengan kecepatan tinggi sambil menghunuskan palunya. Kini ia mengubah
strategi. Setiap serangan jarak jauh akan coba dihadang oleh Gundala.
Bagaimana
dengan serangan jarak dekat?
Gundala
terkejut. Ia berusaha secepat mungkin mengejarnya sebelum menghantamkan palu
itu ke bola energi yang ia ciptakan. Bila itu terjadi, tak hanya pelindung yang
ia buat dengan mudah akan musnah, namun begitu juga Mahesa di dalamnya.
Dengan
mengubah wujudnya menjadi aliran listrik, ia berhasil mendahului Godam.
Gundala
sama sekali tak sadar itu adalah jebakan.
Godam,
sembari tersenyum begitu rencananya berhasil, menyentuhnya dengan cincinnya.
“Apa
ini?”
Gundala
merasa tubuhnya membeku. Listrik yang bisa dengan mudah ia kendalikan kini
terasa tak lagi mengalir melalui tubuhnya. Semua beda potensial yang
menciptakan halilintar itu ... semua menjadi netral. Seimbang.
“Kekuatanku
tak hanya merusak, Gundala. Namun juga menetralkan.” bisik Godam, “Dan itu juga
yang akan kulakukan pada penjahat itu!”
“Itu
akan memusnahkannya!” Gundala berusaha melawan, namun ia sendiri kini
tersungkur di hadapan Godam. Perlu waktu baginya untuk mengumpulkan lagi
kekuatannya, namun saat itu terjadi ... semua akan terlambat.
Godam
segera mengincar target aslinya. Bola listrik itu. Ia segera terbang, mencoba
mencari energi potensial tertinggi. Ia kemudian melemparkan palunya ke atas,
menuju ke langit yang masih bergelora.
Saat
palu itu jatuh, maka segala yang dikenainya akan musnah.
Palu
itu mencapai titik tertingginya dan berbalik turun, mulai tertarik gravitasi,
menghujam ke arah bumi. Tepat ke atas bola listrik itu.
Namun
Godam melihat seorang gadis dengan cepat berlari ke arah penjara medan listrik
itu, berusaha melindunginya.
Esthy?
Godam
segera meluncur kembali dengan kecepatan penuh, mencoba tiba di sana sebelum
palu itu mencapainya.
Ia
segera menamengi Esthy dengan tubuhnya sendiri dan ...
“DUAAAAAAAAAAAAAR!!!”
Gundala
menutup matanya karena serangan itu menghasilkan residu cahaya yang amat
menyilaukan. Begitu membuka matanya, ia melihat tubuh Godam separuh hangus. Ia
tampak bersusah payah, hanya untuk berdiri saja dan akhirnya limbung kehilangan
keseimbangan. Palu itu jatuh ke tanah, menyisakan bunyi berdentang untuk malam.
Ia
telah menerima serangannya sendiri demi melindungi gadis itu.
***
Awang
melihat ibunya sedang menjahit, sementara ia tengah membaca buku jurnal
kedokteran, belajar untuk ujian mid-semesternya yang akan datang.
“Jika
Ibu mau, aku bisa menyambi bekerja.” kata Awang, mengintip dari balik bukunya.
“Tidak,”
ibunya bahkan tak mengalihkan perhatiannya dari mesin jahit tuanya, “Lanjutkan
saja kuliahmu dulu. Jangan pikirkan Ibu.”
Gerimis
masih merintik di luar. Ia mendengar suara bel dibunyikan. Mata Awang mendelik,
kemudian ia bangun untuk melihat dari tirai jendela.
Pemuda
itu memutuskan untuk tidak membukakan pintu, menunggu hingga gadis yang tengah
memakai payung itu menyerah dan beranjak pergi.
“Apa
kau takkan membiarkan pacarmu masuk?”
“Aku
sudah berpisah dengannya,” kata Awang, sambil masih menatap lekat gadis itu,
tertarik oleh rindu yang seakan adalah gravitasi yang membuatnya mencandu.
“Kenapa?
Bukankah dia mau menerimamu apa adanya?”
“Aku
sama sekali tak pantas untuknya. Aku hanyalah seorang anak koruptor yang selalu
di-bully orang ...”
“Hentikanlah,
Awang ...”
Ia
menoleh dan melihat air mata menetes dari pelupuk ibunya seperti gerimis di
luar, pelan. Air mata itu, bagi Awang, seperti silet yang mengiris pipi ibunya.
“Jangan
salahkan ayahmu lagi. Kau tahu, ini salah ibu juga.”
“Ibu
tak salah apa-apa. Ayah yang melakukan semuanya!”
“Karena
dia mencintai kita. Dan ibupun salah, karena rasa cinta ibu yang terlalu
mendalam bagi ayahmu membuat ibu menutup mata.”
“Itu
bukan cinta.” jawab Awang kelu.
“Suatu
saat kau akan merasakannya, Awang.” senyum ibunya dengan sabar, “Demi seseorang
yang kau kasihi segenap hati, kau akan melindunginya, walaupun kau harus
mengorbankan semua prinsip, idealisme, bahkan mimpi yang senantiasa kau junjung
tinggi.”
***
Awang
menatap langit yang menjelang cerah ketika awan gelap mulai berarak pergi,
terusir pagi. Matahari menyela di celah awan yang menyelubungi langit. Apabila
masih ada listrik yang mengalir di sana, pastilah ia tertinggal menjadi embun
yang lirih membasahi bumi.
Ia
menatap Merapi yang telah meredam lava amarahnya, digantikan oleh pilar asap
yang mengulir tipis. Badai telah berlalu, menyisakan lalu-lalang orang yang
membersihkan sisa kekacauan tadi malam.
Ia
ingat tadi malam, seseorang menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke tanah yang
basah oleh hujan setelah ia terserang oleh palunya sendiri.
Gundala
membaringkan tubuhnya dengan perlahan dan hati-hati ke tanah, sementara ia
masih bisa mencium harum Esthy di sela-sela rintikan gerimis.
Gerimis
itu mengingatkannya pada denyut mesin jahit ketika mendiang ibunya mengayunkan
kakinya dengan lembut ke atas pedal. Dan ketika ia mengingat ibunya, ia merasa
damai.
“Sobat!”
Ia
menoleh dan tersenyum melihat sahabatnya.
“Hei,
kau baik-baik saja?’ tanya Awang, “Kau menghilang semalaman. Tak tersambar
petir lagi bukan?”
Sancaka
tertawa, “Tenang saja! Ada kabar gembira yang mau kusampaikan padamu!”
Ia
tampak sangat bersemangat menceritakannya kepada Awang. Entah apa yang akan ia
sampaikan.
“Apa
kau berhasil menyelesaikan tesismu?”
Wajahnya
langsung kecut kembali, “Bisakah kau tak mengingatkanku akan hal itu?”
Awang
terbahak, “Maaf. Silakan lanjutkan.”
“Kau
ingat bukan tentang gadis dalam mimpiku?”
“Tentu
aku ingat. Halusinasimu itu kan?”
“Itu
bukan imajinasi lagi, sebab aku telah menemukannya.”
“Oh
ya? Sungguh? Dimana dia?”
“Di
Yogya ini. Kurasa kami berdua memang jodoh. Aku tahu kalian sempat bertemu
dengannya tadi malam, namun aku belum mengenalkannya secara resmi kepadamu.”
Ia
membawa seorang gadis dan Awang langsung tersentak melihatnya.
“Namanya
Esthy.”
Mereka
berdua saling menatap. Terdiam. Sama-sama terkejut bagaimana takdir membawa
mereka kembali bertemu.
Dengan
terlalu kejam.
Mata
Awang kemudian beralih pada Sancaka dengan wajah cerahnya, yang kali kedua ia
lihat semenjak ia mulai berteman dengannya. Wajah itu hanya pernah ia saksikan
ketika ia menceritakan tentang gadis itu di pantai itu.
Saat
itu mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis di
mimpinya itu.
Bahwa
mereka ditakdirkan bersama dan itu satu-satunya alasan mengapa mereka berdua
bisa berjumpa dalam mimpi.
Esthy
tersenyum, “Kita berjumpa lagi.”
Awang
ikut tersenyum, namun kepada Sancaka.
“Kau
pria yang beruntung.”
Ia
teringat pada gerimis itu, kala ia membiarkan gadis itu pergi dengan payungnya,
menembus hujan, agar tak pernah lagi mencoba mengetuk pintunya.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment