Sunday, December 22, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 7

 


DUEL IDEALISME

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Godam menghempaskan jurus andalan, pukulan palu yang menghantam segenap partikel dari udara di depannya, menghimpit dimensi yang kemudian bagaikan pegas meluncurkan energi kinetik yang teramat besar ke arah lawannya.

Gundala tak mau menciptakan energi pelindung sebab itu hanya akan melontarkan serangan Godam ke arah lain yang mungkin bisa melukai Esthy. Ia lebih memilih mengiris hujaman energi kinetik itu dengan hentakan listriknya sehingga terpecah menjadi paket-paket energi yang lebih kecil dan tak berbahaya.

Godam tak mau kalah, ia melibas lecutan listrik Gundala dengan jubahnya (yang hempasannya bahkan menerbangkan genting-genting di sekitarnya). Ia kemudian terbang dan mencurahkan serangan yang sama dari  atas, memanfaatkan tarikan gaya gravitasi untuk memperkuat jurusnya.

Saking dahsyatnya serangan itu, partikel yang bergesekan menghasilkan energi cahaya yang membutakan mata. Gundala tak tinggal diam dan berkonsentrasi mengumpulkan muatan-muatan partikel di kedua tangannya. Telapak tangan kirinya melucuti elektron-elektron sehingga proton-proton yang tersisa menciptakan muatan positif, sedangkan tangan kanannya mengumpulkan muatan negatif yang beterbangan dari udara.

Perbedaan beda potensial kedua muatan tersebut menciptakan halilintar dahsyat dari kedua tangannya yang mengaum bagai naga dan meluncur ke langit, siap menghadapi serangan Godam.

Kedua jurus itu bertemu dan meledak di angkasa, memenuhi malam dengan cahaya bak supernova, menghempaskan butiran air hujan sekalipun ke sekitarnya.

Esthy tahu ia bisa terluka di tengah pertarungan ini. Namun ia tak mengambil selangkah pun untuk mencari tempat berlindung. Ia tahu berada di sana mungkin takkan bisa menghentikan pertarungan mereka, apalagi pergi.

“Kumohon hentikan!” serunya. Namun entah apakah dua superhero itu mendengar pintanya di antara gelegar pertarungan mereka sendiri.

Kedua pahlawan tersebut kemudian berhenti sejenak, begitu menyadari kekuatan mereka seimbang.

“Sejahat apapun seorang manusia, ia tetap memiliki hak! Hak untuk dilindungi! Hak untuk diampuni!” seru Gundala, masih mengiba simpati dari lawannya, “Semua orang memiliki alasan sendiri, Godam! Kau tak berhak mengadili mereka hanya dengan melihat sekilas perbuatan mereka tanpa menilai seluruh perjalanan hidup mereka!”

“Manusia?” tentang Godam. “Lihat makhluk itu! Apa kau masih menyebutnya manusia?”

“Mengacalah ... jika kau menyebut dia bukan manusia ...” bisik Gundala, “Lalu apa kita ini?”

“Kita berbeda. Kita menggunakan kekuatan kita untuk tujuan lain.” kemuka Godam sambil melayang di udara, “Namun aku sendiri mulai ragu, apakah tujuanmu yang sebenarnya, Ksatria Petir?”

“Tujuanku adalah menegakkan keadilan! Dan semua orang pantas mendapatkan keadilan, bahkan dia sekalipun!” tunjuk Gundala.

Godam menatap kurungan listrik itu.

“Jika begitu katamu,” Godam tersenyum, “Maka akan kuberikan keadIilan itu!”

Dia menyerang dengan kecepatan tinggi sambil menghunuskan palunya. Kini ia mengubah strategi. Setiap serangan jarak jauh akan coba dihadang oleh Gundala.

Bagaimana dengan serangan jarak dekat?

Gundala terkejut. Ia berusaha secepat mungkin mengejarnya sebelum menghantamkan palu itu ke bola energi yang ia ciptakan. Bila itu terjadi, tak hanya pelindung yang ia buat dengan mudah akan musnah, namun begitu juga Mahesa di dalamnya.

Dengan mengubah wujudnya menjadi aliran listrik, ia berhasil mendahului Godam.

Gundala sama sekali tak sadar itu adalah jebakan.

Godam, sembari tersenyum begitu rencananya berhasil, menyentuhnya dengan cincinnya.

“Apa ini?”

Gundala merasa tubuhnya membeku. Listrik yang bisa dengan mudah ia kendalikan kini terasa tak lagi mengalir melalui tubuhnya. Semua beda potensial yang menciptakan halilintar itu ... semua menjadi netral. Seimbang.

“Kekuatanku tak hanya merusak, Gundala. Namun juga menetralkan.” bisik Godam, “Dan itu juga yang akan kulakukan pada penjahat itu!”

“Itu akan memusnahkannya!” Gundala berusaha melawan, namun ia sendiri kini tersungkur di hadapan Godam. Perlu waktu baginya untuk mengumpulkan lagi kekuatannya, namun saat itu terjadi ... semua akan terlambat.

Godam segera mengincar target aslinya. Bola listrik itu. Ia segera terbang, mencoba mencari energi potensial tertinggi. Ia kemudian melemparkan palunya ke atas, menuju ke langit yang masih bergelora.

Saat palu itu jatuh, maka segala yang dikenainya akan musnah.

Palu itu mencapai titik tertingginya dan berbalik turun, mulai tertarik gravitasi, menghujam ke arah bumi. Tepat ke atas bola listrik itu.

Namun Godam melihat seorang gadis dengan cepat berlari ke arah penjara medan listrik itu, berusaha melindunginya.

Esthy?

Godam segera meluncur kembali dengan kecepatan penuh, mencoba tiba di sana sebelum palu itu mencapainya.

Ia segera menamengi Esthy dengan tubuhnya sendiri dan ...

“DUAAAAAAAAAAAAAR!!!”

Gundala menutup matanya karena serangan itu menghasilkan residu cahaya yang amat menyilaukan. Begitu membuka matanya, ia melihat tubuh Godam separuh hangus. Ia tampak bersusah payah, hanya untuk berdiri saja dan akhirnya limbung kehilangan keseimbangan. Palu itu jatuh ke tanah, menyisakan bunyi berdentang untuk malam.

Ia telah menerima serangannya sendiri demi melindungi gadis itu.

***

 

Awang melihat ibunya sedang menjahit, sementara ia tengah membaca buku jurnal kedokteran, belajar untuk ujian mid-semesternya yang akan datang.

“Jika Ibu mau, aku bisa menyambi bekerja.” kata Awang, mengintip dari balik bukunya.

“Tidak,” ibunya bahkan tak mengalihkan perhatiannya dari mesin jahit tuanya, “Lanjutkan saja kuliahmu dulu. Jangan pikirkan Ibu.”

Gerimis masih merintik di luar. Ia mendengar suara bel dibunyikan. Mata Awang mendelik, kemudian ia bangun untuk melihat dari tirai jendela.

Pemuda itu memutuskan untuk tidak membukakan pintu, menunggu hingga gadis yang tengah memakai payung itu menyerah dan beranjak pergi.

“Apa kau takkan membiarkan pacarmu masuk?”

“Aku sudah berpisah dengannya,” kata Awang, sambil masih menatap lekat gadis itu, tertarik oleh rindu yang seakan adalah gravitasi yang membuatnya mencandu.

“Kenapa? Bukankah dia mau menerimamu apa adanya?”

“Aku sama sekali tak pantas untuknya. Aku hanyalah seorang anak koruptor yang selalu di-bully orang ...”

“Hentikanlah, Awang ...”

Ia menoleh dan melihat air mata menetes dari pelupuk ibunya seperti gerimis di luar, pelan. Air mata itu, bagi Awang, seperti silet yang mengiris pipi ibunya.

“Jangan salahkan ayahmu lagi. Kau tahu, ini salah ibu juga.”

“Ibu tak salah apa-apa. Ayah yang melakukan semuanya!”

“Karena dia mencintai kita. Dan ibupun salah, karena rasa cinta ibu yang terlalu mendalam bagi ayahmu membuat ibu menutup mata.”

“Itu bukan cinta.” jawab Awang kelu.

“Suatu saat kau akan merasakannya, Awang.” senyum ibunya dengan sabar, “Demi seseorang yang kau kasihi segenap hati, kau akan melindunginya, walaupun kau harus mengorbankan semua prinsip, idealisme, bahkan mimpi yang senantiasa kau junjung tinggi.”

***

 

Awang menatap langit yang menjelang cerah ketika awan gelap mulai berarak pergi, terusir pagi. Matahari menyela di celah awan yang menyelubungi langit. Apabila masih ada listrik yang mengalir di sana, pastilah ia tertinggal menjadi embun yang lirih membasahi bumi.

Ia menatap Merapi yang telah meredam lava amarahnya, digantikan oleh pilar asap yang mengulir tipis. Badai telah berlalu, menyisakan lalu-lalang orang yang membersihkan sisa kekacauan tadi malam.

Ia ingat tadi malam, seseorang menahan tubuhnya agar tidak jatuh ke tanah yang basah oleh hujan setelah ia terserang oleh palunya sendiri.

Gundala membaringkan tubuhnya dengan perlahan dan hati-hati ke tanah, sementara ia masih bisa mencium harum Esthy di sela-sela rintikan gerimis.

Gerimis itu mengingatkannya pada denyut mesin jahit ketika mendiang ibunya mengayunkan kakinya dengan lembut ke atas pedal. Dan ketika ia mengingat ibunya, ia merasa damai.

“Sobat!”

Ia menoleh dan tersenyum melihat sahabatnya.

“Hei, kau baik-baik saja?’ tanya Awang, “Kau menghilang semalaman. Tak tersambar petir lagi bukan?”

Sancaka tertawa, “Tenang saja! Ada kabar gembira yang mau kusampaikan padamu!”

Ia tampak sangat bersemangat menceritakannya kepada Awang. Entah apa yang akan ia sampaikan.

“Apa kau berhasil menyelesaikan tesismu?”

Wajahnya langsung kecut kembali, “Bisakah kau tak mengingatkanku akan hal itu?”

Awang terbahak, “Maaf. Silakan lanjutkan.”

“Kau ingat bukan tentang gadis dalam mimpiku?”

“Tentu aku ingat. Halusinasimu itu kan?”

“Itu bukan imajinasi lagi, sebab aku telah menemukannya.”

“Oh ya? Sungguh? Dimana dia?”

“Di Yogya ini. Kurasa kami berdua memang jodoh. Aku tahu kalian sempat bertemu dengannya tadi malam, namun aku belum mengenalkannya secara resmi kepadamu.”

Ia membawa seorang gadis dan Awang langsung tersentak melihatnya.

“Namanya Esthy.”

Mereka berdua saling menatap. Terdiam. Sama-sama terkejut bagaimana takdir membawa mereka kembali bertemu.

Dengan terlalu kejam.

Mata Awang kemudian beralih pada Sancaka dengan wajah cerahnya, yang kali kedua ia lihat semenjak ia mulai berteman dengannya. Wajah itu hanya pernah ia saksikan ketika ia menceritakan tentang gadis itu di pantai itu.

Saat itu mengatakan bahwa ia telah jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis di mimpinya itu.

Bahwa mereka ditakdirkan bersama dan itu satu-satunya alasan mengapa mereka berdua bisa berjumpa dalam mimpi.

Esthy tersenyum, “Kita berjumpa lagi.”

Awang ikut tersenyum, namun kepada Sancaka.

“Kau pria yang beruntung.”

Ia teringat pada gerimis itu, kala ia membiarkan gadis itu pergi dengan payungnya, menembus hujan, agar tak pernah lagi mencoba mengetuk pintunya.

BERSAMBUNG

 

 

 

No comments:

Post a Comment