PETAKA DI WAKTU MALAM
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Para
polisi masih sibuk menyelidiki TKP di dalam gedung itu. Mereka menaruh
nomor-nomor di setiap barang bukti yang terdapat di ruangan itu. Semua mayat
telah dipindahkan, menyisakan noda darah di lantai dan dinding yang seperti
tanpa tuan.
Mereka
terkejut melihat jepretan lampu flash.
“Hei,
pergi dari sini!” seru seorang polisi, “Wartawan dilarang masuk!”
“Apa
yang terjadi di sini?” Esthy menuntut penjelasan, “Mereka anak buah Pengkor
kan? Apa ini perang antargeng?”
“Jangan
menyebar desas-desus yang bisa membuat panik masyarakat!” tegur seorang polisi.
Namun ia sadar, membiarkan wartawan pulang tanpa kabar bisa membuat mereka
mengendus-endus dalam kegelapan dan membocorkan cerita yang lebih liar ke
masyarakat.
“Ini
bukanlah serangan. Kami lebih berpikir ini pengkhianatan.”
“Anak
buah Pengkor sendiri yang melakukan ini?”
“Dari
semua jenazah di sini, hanya satu yang tak bisa kami temukan, yakni Gali.”
Esthy
terkesiap mendengar nama anak buah Pengkor yang paling berbahaya itu. Tak
berperasaan, bahkan mungkin tak memiliki intelegensi sama sekali. Hanya
mengikuti perintah. Dan kini tanpa kepemimpinan Pengkor, akibatnya mungkin bisa
fatal.
“Gali
membunuh teman-temannya sendiri? Namun kenapa?”
“Perhiasan
yang dicuri Pengkor juga kini hilang.”
Esthy
menaikkan sebelah alisnya, “Apa ini ada hubungannya dengan pencurian permata
akhir-akhir ini?”
“Aku
tak bisa memberikan jawaban karena kami sendiri belum mengetahuinya. Sekarang
pergilah dari sini! Kami harus menunaikan penyelidikan kami!”
***
Seisi
kost menjadi heboh, bahkan mungkin seluruh lingkungan terbangun gara-gara
peristiwa itu. Diawali dengan teriakan para mahasiswi yang tinggal di kost
sebelah pada malam-malam buta. Perhiasan mereka telah digondol. Dan itu tak
hanya terjadi pada satu kost, namun beberapa rumah dalam satu kompleks.
“Perhiasanku
huuu ... huuu ...” seorang gadis menangis dan coba ditenangkan oleh temannya di
sampingnya. Mereka berdua duduk di depan rumah, sementara seluruh warga sedang
heboh.
“Apa
ada perhiasan yang dicuri lagi?” tanya Nathan sambil menguap, “Sekarang memang
sedang heboh kan terjadi dimana-mana.”
“Aku
tak percaya ini!” Yoga berkeluh kesah seperti biasa, “Apa sih kerja polisi?
Kenapa mereka belum menangkap pelakunya.”
Sancaka
dan Awang juga ikut keluar. Mereka menghampiri para gadis yang tengah
kebingungan itu.
“Nona,
apa kau melihat pelakunya?”
“Aku
terbangun ketika aku mendengar suara seseorang tengah menggeledah kamarku.
Namun ia dengan cepat menyusup pergi.”
“Seperti
apa rupanya?” Sancaka penasaran.
“Aku
tak melihatnya dengan jelas. Hanya bayangan gelap.” isaknya.
“Ah,
jangan terlalu khawatir. Lagipula perhiasanmu kan imitasi semua.” hibur
temannya.
“Penting
nggak sih kamu mengatakan itu?” semburnya kesal.
“Pria
atau wanita?” selidik Awang.
“Hmmm
... dari postur tubuhnya malah mirip anak kecil.”
Semua
orang tercengang.
“Hei
... itu mustahil kan?” semua orang berbisik-bisik.
Seseorang
yang dikenal menjaga keamanan kompleks kemudian datang berlari terengah-engah.
“Kompleks
sebelah melihat seorang anak kecil melompat dari balkon ke balkon. Banyak yang
kecurian di sana, namun tak ada satupun yang berani mengejarnya.”
“Tuh
kan!” tangis gadis itu ketakutan, “Itu pasti tuyul!”
“Hei,
hei ...” Sancaka berusaha menenangkan orang-orang yang semakin heboh, “Mari
kita berpikir jernih. Pasti ada penjelasan lain. Tidak mungkin kan masih ada
makhluk gaib di zaman modern seperti ini?”
“Namun
kau beruntung,” ucap Awang, “Jika kau dengar di berita, kasus pencurian yang
lain lebih sadis. Ada yang terbunuh di toko perhiasan yang dirampok kemarin.
Beberapa berlian juga hilang.”
“Tuh
kan, apa kubilang!” ucap Sancaka, “Pelakunya pasti semacam sindikat! Bukan
makhluk halus!”
“Hei,
semua! ” salah seorang anak kost muncul dari MCK umum, “Ada sesuatu yang aneh
di sumur! Lihatlah!”
Semua
orang segera mengikuti dia dan melongok ke dalam sumur.
“Lihat
di sana! Ada yang berkemilau di sana!”
“Itu
perhiasanku!” seru gadis itu kegirangan.
“Sejak
kapan emas bisa mengapung?” Sancaka keheranan.
“Kan
sudah kubilang itu imitasi.”
“Berarti
si pelaku membuangnya. Cepat cari di sekitar sini, mungkin perhiasan yang lain
juga!”
Semua
orang segera mencari. Beberapa menemukan perhiasan yang lain teronggok.
Beberapa bukan imitasi, melainkan emas murni.
“Aneh,”
Sancaka berpikir, “Kenapa ia mencurinya kalau ia hanya ingin membuangnya.”
“Sepertinya
ia sedang mencari sesuatu ...” usul Awang.
Tiba-tiba
terdengar suara geledek yang amat keras. Semua orang menengadah dan melihat
petir berkeriapan di antara awan gelap yang menutupi langit.
“Sial,
ini lagi malah ada badai listrik!”
Tiba-tiba,
“BYAAAAR!!!” petir itu menyambar salah satu sutet. Percikan bunga api terlihat
dan membuat semua orang semakin panik.
“Kebakaran!
Semua kompleks bisa terbakar!”
Awang
tak tinggal diam. Ia mengelus cincinnya dan berbisik.
“Godam,
bantu kami ...”
Seketika
itu juga muncul angin kencang yang langsung memadamkan api itu. namun awan
bergemuruh itu tak kunjung pergi.
“Semua,
kurasa kita harus masuk!” perintah Sancaka, “Sekarang!”
***
“Astaga!
Badai listrik ini makin menggila!” Nathan yang menyalakan televisi melihat
berita kepanikan dimana-mana. Tiba-tiba tayangan tersebut bergoyang-goyang,
seolah ada gangguan.
“Nathan,
matikan dulu TV-nya!” pinta Sancaka, “Berbahaya menyalakan alat elektronik
sementara ada petir menyambar-nyambar di luar.”
Pemuda
itu mematikan televisinya. “Hei, apa yang sedang kau buat?”
Sancaka
tengah menyambungkan logam-logam bekas. “Membuat penangkal petir.”
“Apa
itu akan berhasil?” tanya Yoga yang tengah tiduran malas di sofa, tak yakin
dengan yang dilakukan Sancaka.
“Tentu
saja. Ayo, kau bisa membantuku membuat tombak.” ujar Sancaka sambil tersenyum
ke arah Rangga yang ada di sampingnya.
“Sancaka
pernah tersambar petir dulu,” Awang bercerita, “Cukup ironis karena dia meneliti
petir untuk tesisnya.”
Sancaka
mendelik ke arahnya dengan kesal.
“Wah
benarkah kau pernah tersambar petir?” Nathan tampak tertarik.
“Kalian
mau lihat buktinya.” Sancaka memperlihatkan luka bakar di punggungnya, “Ini ada
bekasnya.”
Rangga
tampak takjub melihatnya. Bahkan Yoga sendiripun terkejut.
“Waaaah
... apa itu sakit?”
“Ini
seperti memiliki tanda lahir, tak ada rasa apa-apa.” Sancaka menurunkan kaosnya
kembali. “Tapi menjadi pengingat bagiku untuk tak pernah membuang waktu sebab
kita bisa mati setiap saat!”
“Keren!
Aku akan bantu bikin penangkal petir itu!” Nathan bergegas mengambil peralatan.
Sementara Rangga diberi tugas mudah seperti mengusap besi-besi yang mereka
gunakan agar tidak ada partikel pengotor yang bisa membangkitkan listrik
statis. Yoga yang semenjak tadi berdiam diri akhirnya bergabung.
***
Dalam
waktu sekejap, seluruh rumah di lingkungan itu memiliki penangkal petir DIY
yang dirancang Sancaka. Kepopulerannya pun merebak, terutama di antara
gadis-gadis penghuni kost itu. mereka berteriak histeris ketika Sancaka
berangkat menuju UGM untuk membantu penelitian Profesor Angkasa. Awang hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kau
punya banyak penggemar rupanya?”
Sancaka
tertawa, “Dan kau punya pacar baru.”
Awang
teringat pada Esthy, “Dia bukan pacarku! Kami saja baru berkenalan, bahkan ia
belum menghubungiku semenjak kami terakhir bertemu.”
“Kau
seorang lelaki, Awang. Seharusnya kau-lah yang mengambil langkah pertama.”
“Huh,
kau tak kenal pada gadis itu. Dia lebih mirip seorang laki-laki ketimbang ...”
Tiba-tiba
terdengar suara sirine polisi dan beberapa mobil polisi menghentikan kendaraan
mereka.
“Hei,
ada apa ini?’
“Turun
kalian berdua! Cepat!” mereka menodongkan pistol ke arah kedua pemuda itu.
Sancaka
dan Awang melepaskan helm dan turun sambil mengangkat tangan mereka.
Salah
satu polisi segera meringkus Awang dan memborgol kedua tangannya di belakang.
“Hei,
apa-apaan ini?”
“Saudara
Awang, anda ditangkap atas tuduhan terlibat dalam perdagangan obat bius!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment