Friday, December 6, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 3

 


PETAKA DI WAKTU MALAM

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Para polisi masih sibuk menyelidiki TKP di dalam gedung itu. Mereka menaruh nomor-nomor di setiap barang bukti yang terdapat di ruangan itu. Semua mayat telah dipindahkan, menyisakan noda darah di lantai dan dinding yang seperti tanpa tuan.

Mereka terkejut melihat jepretan lampu flash.

“Hei, pergi dari sini!” seru seorang polisi, “Wartawan dilarang masuk!”

“Apa yang terjadi di sini?” Esthy menuntut penjelasan, “Mereka anak buah Pengkor kan? Apa ini perang antargeng?”

“Jangan menyebar desas-desus yang bisa membuat panik masyarakat!” tegur seorang polisi. Namun ia sadar, membiarkan wartawan pulang tanpa kabar bisa membuat mereka mengendus-endus dalam kegelapan dan membocorkan cerita yang lebih liar ke masyarakat.

“Ini bukanlah serangan. Kami lebih berpikir ini pengkhianatan.”

“Anak buah Pengkor sendiri yang melakukan ini?”

“Dari semua jenazah di sini, hanya satu yang tak bisa kami temukan, yakni Gali.”

Esthy terkesiap mendengar nama anak buah Pengkor yang paling berbahaya itu. Tak berperasaan, bahkan mungkin tak memiliki intelegensi sama sekali. Hanya mengikuti perintah. Dan kini tanpa kepemimpinan Pengkor, akibatnya mungkin bisa fatal.

“Gali membunuh teman-temannya sendiri? Namun kenapa?”

“Perhiasan yang dicuri Pengkor juga kini hilang.”

Esthy menaikkan sebelah alisnya, “Apa ini ada hubungannya dengan pencurian permata akhir-akhir ini?”

“Aku tak bisa memberikan jawaban karena kami sendiri belum mengetahuinya. Sekarang pergilah dari sini! Kami harus menunaikan penyelidikan kami!”

***

 

Seisi kost menjadi heboh, bahkan mungkin seluruh lingkungan terbangun gara-gara peristiwa itu. Diawali dengan teriakan para mahasiswi yang tinggal di kost sebelah pada malam-malam buta. Perhiasan mereka telah digondol. Dan itu tak hanya terjadi pada satu kost, namun beberapa rumah dalam satu kompleks.

“Perhiasanku huuu ... huuu ...” seorang gadis menangis dan coba ditenangkan oleh temannya di sampingnya. Mereka berdua duduk di depan rumah, sementara seluruh warga sedang heboh.

“Apa ada perhiasan yang dicuri lagi?” tanya Nathan sambil menguap, “Sekarang memang sedang heboh kan terjadi dimana-mana.”

“Aku tak percaya ini!” Yoga berkeluh kesah seperti biasa, “Apa sih kerja polisi? Kenapa mereka belum menangkap pelakunya.”

Sancaka dan Awang juga ikut keluar. Mereka menghampiri para gadis yang tengah kebingungan itu.

“Nona, apa kau melihat pelakunya?”

“Aku terbangun ketika aku mendengar suara seseorang tengah menggeledah kamarku. Namun ia dengan cepat menyusup pergi.”

“Seperti apa rupanya?” Sancaka penasaran.

“Aku tak melihatnya dengan jelas. Hanya bayangan gelap.” isaknya.

“Ah, jangan terlalu khawatir. Lagipula perhiasanmu kan imitasi semua.” hibur temannya.

“Penting nggak sih kamu mengatakan itu?” semburnya kesal.

“Pria atau wanita?” selidik Awang.

“Hmmm ... dari postur tubuhnya malah mirip anak kecil.”

Semua orang tercengang.

“Hei ... itu mustahil kan?” semua orang berbisik-bisik.

Seseorang yang dikenal menjaga keamanan kompleks kemudian datang berlari terengah-engah.

“Kompleks sebelah melihat seorang anak kecil melompat dari balkon ke balkon. Banyak yang kecurian di sana, namun tak ada satupun yang berani mengejarnya.”

“Tuh kan!” tangis gadis itu ketakutan, “Itu pasti tuyul!”

“Hei, hei ...” Sancaka berusaha menenangkan orang-orang yang semakin heboh, “Mari kita berpikir jernih. Pasti ada penjelasan lain. Tidak mungkin kan masih ada makhluk gaib di zaman modern seperti ini?”

“Namun kau beruntung,” ucap Awang, “Jika kau dengar di berita, kasus pencurian yang lain lebih sadis. Ada yang terbunuh di toko perhiasan yang dirampok kemarin. Beberapa berlian juga hilang.”

“Tuh kan, apa kubilang!” ucap Sancaka, “Pelakunya pasti semacam sindikat! Bukan makhluk halus!”

“Hei, semua! ” salah seorang anak kost muncul dari MCK umum, “Ada sesuatu yang aneh di sumur! Lihatlah!”

Semua orang segera mengikuti dia dan melongok ke dalam sumur.

“Lihat di sana! Ada yang berkemilau di sana!”

“Itu perhiasanku!” seru gadis itu kegirangan.

“Sejak kapan emas bisa mengapung?” Sancaka keheranan.

“Kan sudah kubilang itu imitasi.”

“Berarti si pelaku membuangnya. Cepat cari di sekitar sini, mungkin perhiasan yang lain juga!”

Semua orang segera mencari. Beberapa menemukan perhiasan yang lain teronggok. Beberapa bukan imitasi, melainkan emas murni.

“Aneh,” Sancaka berpikir, “Kenapa ia mencurinya kalau ia hanya ingin membuangnya.”

“Sepertinya ia sedang mencari sesuatu ...” usul Awang.

Tiba-tiba terdengar suara geledek yang amat keras. Semua orang menengadah dan melihat petir berkeriapan di antara awan gelap yang menutupi langit.

“Sial, ini lagi malah ada badai listrik!”

Tiba-tiba, “BYAAAAR!!!” petir itu menyambar salah satu sutet. Percikan bunga api terlihat dan membuat semua orang semakin panik.

“Kebakaran! Semua kompleks bisa terbakar!”

Awang tak tinggal diam. Ia mengelus cincinnya dan berbisik.

“Godam, bantu kami ...”

Seketika itu juga muncul angin kencang yang langsung memadamkan api itu. namun awan bergemuruh itu tak kunjung pergi.

“Semua, kurasa kita harus masuk!” perintah Sancaka, “Sekarang!”

***

 

“Astaga! Badai listrik ini makin menggila!” Nathan yang menyalakan televisi melihat berita kepanikan dimana-mana. Tiba-tiba tayangan tersebut bergoyang-goyang, seolah ada gangguan.

“Nathan, matikan dulu TV-nya!” pinta Sancaka, “Berbahaya menyalakan alat elektronik sementara ada petir menyambar-nyambar di luar.”

Pemuda itu mematikan televisinya. “Hei, apa yang sedang kau buat?”

Sancaka tengah menyambungkan logam-logam bekas. “Membuat penangkal petir.”

“Apa itu akan berhasil?” tanya Yoga yang tengah tiduran malas di sofa, tak yakin dengan yang dilakukan Sancaka.

“Tentu saja. Ayo, kau bisa membantuku membuat tombak.” ujar Sancaka sambil tersenyum ke arah Rangga yang ada di sampingnya.

“Sancaka pernah tersambar petir dulu,” Awang bercerita, “Cukup ironis karena dia meneliti petir untuk tesisnya.”

Sancaka mendelik ke arahnya dengan kesal.

“Wah benarkah kau pernah tersambar petir?” Nathan tampak tertarik.

“Kalian mau lihat buktinya.” Sancaka memperlihatkan luka bakar di punggungnya, “Ini ada bekasnya.”

Rangga tampak takjub melihatnya. Bahkan Yoga sendiripun terkejut.

“Waaaah ... apa itu sakit?”

“Ini seperti memiliki tanda lahir, tak ada rasa apa-apa.” Sancaka menurunkan kaosnya kembali. “Tapi menjadi pengingat bagiku untuk tak pernah membuang waktu sebab kita bisa mati setiap saat!”

“Keren! Aku akan bantu bikin penangkal petir itu!” Nathan bergegas mengambil peralatan. Sementara Rangga diberi tugas mudah seperti mengusap besi-besi yang mereka gunakan agar tidak ada partikel pengotor yang bisa membangkitkan listrik statis. Yoga yang semenjak tadi berdiam diri akhirnya bergabung.

***

 

Dalam waktu sekejap, seluruh rumah di lingkungan itu memiliki penangkal petir DIY yang dirancang Sancaka. Kepopulerannya pun merebak, terutama di antara gadis-gadis penghuni kost itu. mereka berteriak histeris ketika Sancaka berangkat menuju UGM untuk membantu penelitian Profesor Angkasa. Awang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kau punya banyak penggemar rupanya?”

Sancaka tertawa, “Dan kau punya pacar baru.”

Awang teringat pada Esthy, “Dia bukan pacarku! Kami saja baru berkenalan, bahkan ia belum menghubungiku semenjak kami terakhir bertemu.”

“Kau seorang lelaki, Awang. Seharusnya kau-lah yang mengambil langkah pertama.”

“Huh, kau tak kenal pada gadis itu. Dia lebih mirip seorang laki-laki ketimbang ...”

Tiba-tiba terdengar suara sirine polisi dan beberapa mobil polisi menghentikan kendaraan mereka.

“Hei, ada apa ini?’

“Turun kalian berdua! Cepat!” mereka menodongkan pistol ke arah kedua pemuda itu.

Sancaka dan Awang melepaskan helm dan turun sambil mengangkat tangan mereka.

Salah satu polisi segera meringkus Awang dan memborgol kedua tangannya di belakang.

“Hei, apa-apaan ini?”

“Saudara Awang, anda ditangkap atas tuduhan terlibat dalam perdagangan obat bius!”

BERSAMBUNG

 

 

No comments:

Post a Comment