Friday, December 27, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – EPILOG

 


 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Kenapa kau menolongku?” Mahesa menatapnya dari sel yang terbuat dari plastik dan karet, segala macam bahan isolator yang mencegahnya meleleh menjadi listrik dan mengalir pergi. Lagi, suara berdengung di kepala Sancaka bak telepati.

“Bagaimana kau bisa membaca pikiranku dari dalam sel yang kubuat itu?”

“Penjara dari plastik dan karet ini hanya menghentikanku menciptakan badai listrik. Namun selama masih ada elektron dan proton, selama masih ada listrik mengalir di neuron kita, aku masih bisa mendengar suaramu dari balik bilik ini. Kenapa kau datang?”

“Godam ... yang berusaha menghancurkanmu malam itu ... dia tak bermaksud begitu. Dia sebenarnya baik, bahkan pernah menyelamatkan nyawaku. Namun ...”

“Kalian memiliki prinsip yang berbeda. Kuakui itu justru membuatmu lemah dan aku cenderung setuju dengan cara berpikirnya.”

“Apa kau masih berpikir bahwa kau tak pantas dimaafkan?”

“Aku tak memiliki apapun lagi. Bahkan, aku tak pernah memiliki apapun.”

“Kau tahu ... ketika kau mendatangi Rangga malam itu, kau tahu dia menyebutmu apa?”

Mahesa hanya terdiam.

“Dia menyebutmu malaikat.” bisik Sancaka dalam benaknya, berharap Mahesa akan mendengarnya, “Mungkin itulah yang ia rasakan tentangmu, walau ia sendiri tak pernah menunjukkannya.”

***

 

“Apa kau yakin ini akan berhasil?” tanya Profesor Angkasa ragu.

“Pasti, Prof! Saya pernah mencobanya.” sergah Sancaka dengan yakin, “Ini adalah formula serum anti-petir saya. Jika diaplikasikan pada Mahesa, ia akan kembali ke wujud manusianya yang semula.”

“Namun kau benar akan memberikannya secara cuma-cuma padaku untuk diperbanyak? Bagaimana dengan hak patenmu?”

Sancaka tersenyum, “Saya tak ingin mengambil keuntungan dari ciptaan saya. Jika itu bisa menolong orang lain, saya tak peduli dengan hak ciptanya.”

“Kau benar-benar mulia, Sancaka.” ujarnya kagum, “Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”

***

 

Sancaka menatap pintu di depannya. Ia menunduk menatap alamat yang diberikan Esthy kepadanya.

“Hanya alamat ini yang berhasil aku peroleh. Apa kau ingat alamat ini?” tanya gadis itu sebelum ia berangkat tadi.

“Tentu saja aku ingat.” kenangannya akan rumah sederhana yang cenderung kuno ini kembali bangkit, mengalun perlahan dalam benaknya. Pintu kayunya yang menua, retak di dinding pilarnya, serta bagaimana serdadu semut keluar dari sarang yang mereka buat di celah itu.

Sancaka lalu menekan bel pintu (dan sadar benar bagaimana suaranya akan terdengar). Seorang pria berusia 50-an membuka pintu dan tampak terkejut melihatnya.

“Astaga, Sancaka!” ujarnya sambil memeluknya, “Kau pulang! Kemana saja kau tak ada kabar? Ayah sungguh mengkhawatirkanmu!”

“Maaf, Ayah!” bisiknya terharu, “Aku menghadapi beberapa masalah. Dimana Ibu?”

Pria itu menatapnya dengan heran, “Kenapa kau tiba-tiba bertanya mengenai ibumu?”

***

 

“Lalu kau akan menyelidiki tentang siapa orang tua kandungmu?” tanya Awang, sibuk menyesap kopi pagi itu.

“Aku anak adopsi, paling tidak begitulah yang diceritakan ayah angkatku. Beliau membesarkanku sendirian. Beliau berkata pernah melihat ibuku saat ia menyerahkanku. Bahkan ia pernah menengokku beberapa kali. Namun setelah itu tak ada lagi kabar darinya.”

“Kau tak punya alamatnya?”

Sancaka menggeleng, “Bahkan ayahku tak begitu ingat siapa namanya.”

“Satu pencarian berujung ke pencarian lainnya.” ujar Awang, “Lalu dimana kau akan mencarinya?”

Sancaka bersandar pada kursinya, “Entahlah. Aku belum memikirkannya.”

Suara televisi yang menyala di ruang tamu terdengar.

“Hei, ada berita tentang penjahat itu!” seru Yoga. Sancaka dan Awang segera bergabung dengannya di layar televisi.

“Berita hari ini. Penjahat super berkekuatan listrik yang sempat meneror kota akhirnya tertangkap oleh kamera. Sosok ini, disebut oleh masyarakat sebagai Putra Petir, terlihat memiliki kekuatan mengendalikan halilintar. Dia-lah yang dipercaya menimbulkan teror dan kerusakan melalui badai listrik yang ia timbulkan ...”

Mata Sancaka membelalak. Sosoknya-lah yang muncul di layar berita.

Gundala.

“Masyarakat diminta berhati-hati terhadap penjahat super ini. Kedatangannya ke Yogya dianggap membawa malapetaka. Siapapun yang mengetahui informasi mengenai sosok ini diharap melapor kepada pihak yang berwajib ...”

Kenapa justru dirinya yang dianggap bertanggung jawab atas badai listrik itu? Apa karena kekuatannya serupa dengan kekuatan yang dimiliki Mahesa sehingga ... Ah, dia tak bisa begitu saja membela diri di hadapan publik. Jika ia melakukannya, maka identitas Mahesa akan terkuak. Godam saja kemarin hampir mengadilinya seperti itu, apalagi masyarakat yang tak tahu apa-apa tentang dirinya. Kehidupan Bu Ratna dan Rangga juga bisa terganggu dengan kehadiran para wartawan.

“Sancaka! Sancaka!” Nathan dengan tergopoh-gopoh masuk. Sancaka menoleh ke arahnya.

“Hei, untung kau ada di sini. Kemari, pacarku ingin bertemu denganmu. Ia terkesan sekali saat kuceritakan kau dulu pernah tersambar petir di Bandung dan selamat. Ia ingin sekali berkenalan denganmu ...” Nathan memanggilnya.

“Ayo, Sayang! Masuklah!” pemuda itu menoleh ke pintu. Seorang wanita masuk.

Jantung Sancaka hampir melompat ke tenggorokannya karena terkejut.

“MAYA!” seru Sancaka waspada.

***

 

“Nathan, cepat menjauh darinya!”

Ia berbalik pada Awang dan Yoga yang ada di belakangnya, “Cepat pergi dari sini!”

“Terlambat!” bisik Maya sambil tersenyum, “GALI!”

“BRAAAAAK!!!”

Dinding di samping mereka tiba-tiba roboh. Nathan dan Yoga yang tertimpa reruntuhan batu jatuh pingsan, sementara itu seorang raksasa muncul dan menghantam Awang hingga terpental.

“Awang!” seru Sancaka. Namun ia tak mampu berbuat apa-apa, ia dikepung oleh dua penjahat super itu.

“Akhirnya aku menemukanmu juga, Sancaka. Kau pikir aku tak tahu siapa kau?” Maya berjalan dengan sepatu hak tinggi yang telah menjadi trademark-nya.

Awang berusaha bangkit dari jatuhnya, namun hantaman Gali cukup membuatnya terpuruk. Saat ia tak berubah menjadi Godam, kemampuannya memang menurun drastis, bahkan tak ubahnya seperti manusia biasa.

Ia tak bisa berganti wujud di sini. Semua bisa melihatnya. Kekuatan yang diberikan melalui cincin itu datang dengan satu syarat utama: jangan pernah ada yang mengetahui identitas aslinya sebagai Godam, atau kemampuannya akan lenyap!

“Sial, perempuan itu!” bisiknya sambil melenguh kesakitan, “Kenapa dia bisa ada di sini?”

“Badai listrik itu ... sudah kuduga kau ada di sini!” Maya tanpa diduga mengeluarkan sebuah suntikan dari balik tubuhnya dan menginjeksikannya ke tubuh Sancaka. “Kau telah menghancurkan rencana kami. Kini giliranku untuk menghancurkanmu!”

“AAAAARGH!” pemuda itu tersungkur. Ia merasakan tubuhnya terasa mendidih.

“Serum anti petirmu,” tawa Maya, “Aku masih menyimpannya walaupun sedikit. Kita lihat saja apa pengaruhnya terhadap kekuatanmu.”

Tubuh Sancaka seakan tengah memberontak terhadap dirinya sendiri. Kekuatannya serasa berperang melawan dirinya. Ia tak mampu mengendalikannya. Ia hanya berharap, efek serum itu takkan menganulir kekuatannya, seperti yang terjadi pada Jagad Geni dan Mahesa.

Tubuhnya serasa tersetrum. Ia tak bisa mengendalikan kekuatannya. Dalam sekejap, ia berubah menjadi Gundala, kemudian kembali ke wujud manusianya.

Mata Awang mengerjap tak percaya.

Sancaka adalah Putra Petir yang selama ini bertempur dengannya?

“TIDAAAAK!!!” seru Sancaka. Petir menyambar dari tubuhnya menuju ke langit. Semua menutup mata mereka karena cahaya silau yang meledak di udara.

Ketika mereka membuka matanya, Sancaka telah lenyap.

Hanya tersisa kobaran asap dan bekas sambaran hitam yang menetap di lantai.

***

 

Tubuh Sancaka berkobar seperti api, melesat menembus langit. Ketika kembali membuka matanya, ia merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulangnya. Ia menyadari hamparan putih di sekelilingnya dan bebatuan terjal yang diselimuti ...

Salju?

“Di ... dimana ini?” bisik Sancaka terkejut.

Apa kekuatannya baru saja membawanya berteleportasi?

Namun sebelum Sancaka sempat mencari jawabnya, ia keburu terbujur pingsan karena hypothermia, tergolek di atas hamparan salju putih ...

Di tengah badai es yang mulai datang.

 

END OF GUNDALA: ANGKARA MERAPI

PLEASE CONTINUE TO GUNDALA: SUPERNOVA

No comments:

Post a Comment