NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Kenapa
kau menolongku?” Mahesa menatapnya dari sel yang terbuat dari plastik dan
karet, segala macam bahan isolator yang mencegahnya meleleh menjadi listrik dan
mengalir pergi. Lagi, suara berdengung di kepala Sancaka bak telepati.
“Bagaimana
kau bisa membaca pikiranku dari dalam sel yang kubuat itu?”
“Penjara
dari plastik dan karet ini hanya menghentikanku menciptakan badai listrik.
Namun selama masih ada elektron dan proton, selama masih ada listrik mengalir
di neuron kita, aku masih bisa mendengar suaramu dari balik bilik ini. Kenapa
kau datang?”
“Godam
... yang berusaha menghancurkanmu malam itu ... dia tak bermaksud begitu. Dia
sebenarnya baik, bahkan pernah menyelamatkan nyawaku. Namun ...”
“Kalian
memiliki prinsip yang berbeda. Kuakui itu justru membuatmu lemah dan aku
cenderung setuju dengan cara berpikirnya.”
“Apa
kau masih berpikir bahwa kau tak pantas dimaafkan?”
“Aku
tak memiliki apapun lagi. Bahkan, aku tak pernah memiliki apapun.”
“Kau
tahu ... ketika kau mendatangi Rangga malam itu, kau tahu dia menyebutmu apa?”
Mahesa
hanya terdiam.
“Dia
menyebutmu malaikat.” bisik Sancaka dalam benaknya, berharap Mahesa akan
mendengarnya, “Mungkin itulah yang ia rasakan tentangmu, walau ia sendiri tak
pernah menunjukkannya.”
***
“Apa
kau yakin ini akan berhasil?” tanya Profesor Angkasa ragu.
“Pasti,
Prof! Saya pernah mencobanya.” sergah Sancaka dengan yakin, “Ini adalah formula
serum anti-petir saya. Jika diaplikasikan pada Mahesa, ia akan kembali ke wujud
manusianya yang semula.”
“Namun
kau benar akan memberikannya secara cuma-cuma padaku untuk diperbanyak?
Bagaimana dengan hak patenmu?”
Sancaka
tersenyum, “Saya tak ingin mengambil keuntungan dari ciptaan saya. Jika itu
bisa menolong orang lain, saya tak peduli dengan hak ciptanya.”
“Kau
benar-benar mulia, Sancaka.” ujarnya kagum, “Lalu apa yang akan kau lakukan
sekarang?”
***
Sancaka
menatap pintu di depannya. Ia menunduk menatap alamat yang diberikan Esthy
kepadanya.
“Hanya
alamat ini yang berhasil aku peroleh. Apa kau ingat alamat ini?” tanya gadis
itu sebelum ia berangkat tadi.
“Tentu
saja aku ingat.” kenangannya akan rumah sederhana yang cenderung kuno ini
kembali bangkit, mengalun perlahan dalam benaknya. Pintu kayunya yang menua,
retak di dinding pilarnya, serta bagaimana serdadu semut keluar dari sarang
yang mereka buat di celah itu.
Sancaka
lalu menekan bel pintu (dan sadar benar bagaimana suaranya akan terdengar).
Seorang pria berusia 50-an membuka pintu dan tampak terkejut melihatnya.
“Astaga,
Sancaka!” ujarnya sambil memeluknya, “Kau pulang! Kemana saja kau tak ada
kabar? Ayah sungguh mengkhawatirkanmu!”
“Maaf,
Ayah!” bisiknya terharu, “Aku menghadapi beberapa masalah. Dimana Ibu?”
Pria
itu menatapnya dengan heran, “Kenapa kau tiba-tiba bertanya mengenai ibumu?”
***
“Lalu
kau akan menyelidiki tentang siapa orang tua kandungmu?” tanya Awang, sibuk
menyesap kopi pagi itu.
“Aku
anak adopsi, paling tidak begitulah yang diceritakan ayah angkatku. Beliau
membesarkanku sendirian. Beliau berkata pernah melihat ibuku saat ia
menyerahkanku. Bahkan ia pernah menengokku beberapa kali. Namun setelah itu tak
ada lagi kabar darinya.”
“Kau
tak punya alamatnya?”
Sancaka
menggeleng, “Bahkan ayahku tak begitu ingat siapa namanya.”
“Satu
pencarian berujung ke pencarian lainnya.” ujar Awang, “Lalu dimana kau akan
mencarinya?”
Sancaka
bersandar pada kursinya, “Entahlah. Aku belum memikirkannya.”
Suara
televisi yang menyala di ruang tamu terdengar.
“Hei,
ada berita tentang penjahat itu!” seru Yoga. Sancaka dan Awang segera bergabung
dengannya di layar televisi.
“Berita hari ini. Penjahat
super berkekuatan listrik yang sempat meneror kota akhirnya tertangkap oleh
kamera. Sosok ini, disebut oleh masyarakat sebagai Putra Petir, terlihat
memiliki kekuatan mengendalikan halilintar. Dia-lah yang dipercaya menimbulkan
teror dan kerusakan melalui badai listrik yang ia timbulkan ...”
Mata
Sancaka membelalak. Sosoknya-lah yang muncul di layar berita.
Gundala.
“Masyarakat diminta
berhati-hati terhadap penjahat super ini. Kedatangannya ke Yogya dianggap
membawa malapetaka. Siapapun yang mengetahui informasi mengenai sosok ini
diharap melapor kepada pihak yang berwajib ...”
Kenapa
justru dirinya yang dianggap bertanggung jawab atas badai listrik itu? Apa
karena kekuatannya serupa dengan kekuatan yang dimiliki Mahesa sehingga ... Ah,
dia tak bisa begitu saja membela diri di hadapan publik. Jika ia melakukannya,
maka identitas Mahesa akan terkuak. Godam saja kemarin hampir mengadilinya
seperti itu, apalagi masyarakat yang tak tahu apa-apa tentang dirinya.
Kehidupan Bu Ratna dan Rangga juga bisa terganggu dengan kehadiran para
wartawan.
“Sancaka!
Sancaka!” Nathan dengan tergopoh-gopoh masuk. Sancaka menoleh ke arahnya.
“Hei,
untung kau ada di sini. Kemari, pacarku ingin bertemu denganmu. Ia terkesan
sekali saat kuceritakan kau dulu pernah tersambar petir di Bandung dan selamat.
Ia ingin sekali berkenalan denganmu ...” Nathan memanggilnya.
“Ayo,
Sayang! Masuklah!” pemuda itu menoleh ke pintu. Seorang wanita masuk.
Jantung
Sancaka hampir melompat ke tenggorokannya karena terkejut.
“MAYA!”
seru Sancaka waspada.
***
“Nathan,
cepat menjauh darinya!”
Ia
berbalik pada Awang dan Yoga yang ada di belakangnya, “Cepat pergi dari sini!”
“Terlambat!”
bisik Maya sambil tersenyum, “GALI!”
“BRAAAAAK!!!”
Dinding
di samping mereka tiba-tiba roboh. Nathan dan Yoga yang tertimpa reruntuhan
batu jatuh pingsan, sementara itu seorang raksasa muncul dan menghantam Awang
hingga terpental.
“Awang!”
seru Sancaka. Namun ia tak mampu berbuat apa-apa, ia dikepung oleh dua penjahat
super itu.
“Akhirnya
aku menemukanmu juga, Sancaka. Kau pikir aku tak tahu siapa kau?” Maya berjalan
dengan sepatu hak tinggi yang telah menjadi trademark-nya.
Awang
berusaha bangkit dari jatuhnya, namun hantaman Gali cukup membuatnya terpuruk.
Saat ia tak berubah menjadi Godam, kemampuannya memang menurun drastis, bahkan
tak ubahnya seperti manusia biasa.
Ia tak
bisa berganti wujud di sini. Semua bisa melihatnya. Kekuatan yang diberikan
melalui cincin itu datang dengan satu syarat utama: jangan pernah ada yang
mengetahui identitas aslinya sebagai Godam, atau kemampuannya akan lenyap!
“Sial,
perempuan itu!” bisiknya sambil melenguh kesakitan, “Kenapa dia bisa ada di
sini?”
“Badai
listrik itu ... sudah kuduga kau ada di sini!” Maya tanpa diduga mengeluarkan
sebuah suntikan dari balik tubuhnya dan menginjeksikannya ke tubuh Sancaka.
“Kau telah menghancurkan rencana kami. Kini giliranku untuk menghancurkanmu!”
“AAAAARGH!”
pemuda itu tersungkur. Ia merasakan tubuhnya terasa mendidih.
“Serum
anti petirmu,” tawa Maya, “Aku masih menyimpannya walaupun sedikit. Kita lihat
saja apa pengaruhnya terhadap kekuatanmu.”
Tubuh Sancaka
seakan tengah memberontak terhadap dirinya sendiri. Kekuatannya serasa
berperang melawan dirinya. Ia tak mampu mengendalikannya. Ia hanya berharap,
efek serum itu takkan menganulir kekuatannya, seperti yang terjadi pada Jagad
Geni dan Mahesa.
Tubuhnya
serasa tersetrum. Ia tak bisa mengendalikan kekuatannya. Dalam sekejap, ia
berubah menjadi Gundala, kemudian kembali ke wujud manusianya.
Mata
Awang mengerjap tak percaya.
Sancaka adalah Putra Petir yang
selama ini bertempur dengannya?
“TIDAAAAK!!!”
seru Sancaka. Petir menyambar dari tubuhnya menuju ke langit. Semua menutup
mata mereka karena cahaya silau yang meledak di udara.
Ketika
mereka membuka matanya, Sancaka telah lenyap.
Hanya
tersisa kobaran asap dan bekas sambaran hitam yang menetap di lantai.
***
Tubuh
Sancaka berkobar seperti api, melesat menembus langit. Ketika kembali membuka
matanya, ia merasakan dingin yang menusuk hingga ke tulangnya. Ia menyadari
hamparan putih di sekelilingnya dan bebatuan terjal yang diselimuti ...
Salju?
“Di
... dimana ini?” bisik Sancaka terkejut.
Apa
kekuatannya baru saja membawanya berteleportasi?
Namun
sebelum Sancaka sempat mencari jawabnya, ia keburu terbujur pingsan karena hypothermia, tergolek di atas hamparan salju
putih ...
Di
tengah badai es yang mulai datang.
END OF GUNDALA: ANGKARA MERAPI
PLEASE CONTINUE TO GUNDALA:
SUPERNOVA
No comments:
Post a Comment