Sunday, December 8, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 4

 


TIGA LAWAN TIGA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Sancaka menjambak rambutnya. Seharusnya ia tak mengajak sahabatnya ke sini dan kini Awang meringkuk di tahanan atas perbuatan yang tak ia sadari telah ia lakukan.

Pekerjaan kurir itu ... baik Awang dan Sancaka tak pernah curiga. Namun seharusnya Sancaka mencium ketidakberesan itu. Karena itu ia terus merasa bersalah.

Mana ada orang yang sebaik itu zaman sekarang, memberi pekerjaan bergaji lumayan pada seorang pendatang, hanya untuk mengantarkan barang? Tanpa Awang sadari, ia terlibat ke dalam rantai perdagangan obat terlarang yang kini dijalankan anak buah Pengkor.

Seorang gadis tegopoh-gopoh masuk ke dalam kantor polisi.

“Apa benar ada tersangka baru ditangkap? Apa dia terlibat dalam pembunuhan dalam markas anak buah Pengkor?”

“Nona,” salah satu polisi menanganinya, “Dia hanyalah kurir. Bahkan mungkin ia tak tahu apa yang ia lakukan.”

Sancaka terkesiap melihat wajah gadis itu. Ia sampai berdiri dari kursinya agar bisa melihat lebih jelas.

Gadis itu menoleh dan barulah Sancaka bisa yakin.

Astaga, dia di sini?

Ia adalah gadis yang dilihat Sancaka dalam mimpinya ketika jantungnya berhenti berdetak.

Tiba-tiba lampu di atas mereka berkedip-kedip.

“Ada apa ini?” semua mendongak ke atas.

Semua alarm mobil yang berada di luar serentak berbunyi. Sancaka, Esthy, dan beberapa polisi yang kebingungan segera keluar. Di sana mereka melihat semua peralatan elektronik berperilaku aneh. Lampu merah berkedap-kedip, berganti warna dengan cepat menyebabkan lalu lintas kacau. Sebuah truk yang melintas menabrak sebuah tiang listrik dan beberapa mobil saling menyerempet satu sama lain.

Esthy menatap ke langit.

“Lihat itu!”

Awan gelap datang dengan petir menyambar-nyambar di dalamnya. Sancaka menyadari asalnya dari Gunung Merapi.

“Badai listrik. Tapi aku tak pernah melihat kekuatannya sedahsyat ini hingga bisa mempengaruhi benda elektronik.” Sancaka melihat Merapi dari kejauhan, “Ini bukanlah badai listrik alami. Kekuatan elektromagnetnya terlalu ...”

Tiba-tiba petir menyambar bagian puncak kantor polisi itu. Semua terkejut.

“Gawat, apa ini bisa membuat semua alat elektronik tak bekerja?” tanya salah satu polisi dengan khawatir.

“Kenapa memangnya?” tanya Sancaka.

“Semua sel penjara di sini menggunakan kunci elektronik, dengan password dan sidik jari.” ujar Esthy, sama khawatirnya.

***

 

“Hei, kau kurir itu ya?” tanya seorang wanita kekar, berkepala pelontos, dan berkulit hitam, yang dikurung bersamanya. Kulitnya yang legam tampak kontras dengan zirah berwarna emas yang dikenakannya (yang sesungguhnya membuatnya tampak seperti cosplay dewi Athena). Awang juga melihat dua orang aneh duduk di sampingnya. Penampilan mereka amatlah komikal. Pria di sebelah kanan wanita itu bertubuh besar dan tampak seperti gorila dengan tangan mekanis. Sementara pria di sebelah kirinya amat kurus dengan karung goni membungkus wajahnya. Bahkan tak ada lubang bagi kedua matanya, tampak seperti kantung belanjaan yang ditelungkupkan ke atas kepalanya.

“Kami anak buah Pengkor juga.” lanjut wanita itu bertampang bodybuilder itu. “Bagaimana? Enak kan bekerja bersama kami? Sayang Tuan kami tertangkap. Jika tidak, aku yakin komisimu akan jauh lebih besar.”

“Kalau saja aku tahu aku mengantarkan barang haram itu, aku tentu menolak!”

Wanita itu tertawa. “Jangan terlalu sok suci.”

Tiba-tiba lampu di atas mereka berkedap-kedip. Mereka mendongak keheranan.

“Ada apa ini?”

Disusul dengan pintu sel mereka membuka dengan sendirinya dengan bunyi “Klik.”

Mereka berempat menatap pintu yang terbuka itu.

“Itu pasti keajaiban.” Pemuda bertubuh besar yang duduk di sebelah wanita itu bangkit. Pria kurus di sampingnya juga berdiri dan berjalan dengan langkah terseok-seok seperti orang mabuk.

“Sebaiknya jangan sia-siakan kesempatan ini!” pria bertubuh gorila itu malah menghantam pintu jeruji itu dengan keras hingga terlepas dari engselnya. Pria kurus itu ikut keluar, namun dengan cara lain, yakni menyusup di antara dua jeruji. Tubuhnya yang kurus menelusup bak kucing.

Awang menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Dasar bodoh. Kalau punya kemampuan seperti itu, kenapa tidak kabur semenjak tadi?” komentar Awang.

“Mereka memang tak punya otak, tapi jangan bilang siapa-siapa ya?” wanita itu berbisik sambil menaruh telunjuknya di atas bibirnya, “Itu Goliath, ia lebih suka dipanggil begitu ketimbang ‘Gorilla’. Dulunya ia cacat dan dipekerjakan di sirkus sebelum ditolong Tuan Pengkor yang lalu membuatkannya tangan mekanik. Ia tak pernah sekolah, maka jangan harapkan ia bisa berpikir.”

“Dan satunya, ia lebih suka dipanggil ‘Rorschach’. Ia mahasiswa yang amat pintar, namun tak percaya diri dan memiliki hobi menghisap ganja. Karena itu otaknya tak bekerja semestinya.” wanita itu memutar-mutarkan jemarinya di pelipisnya.

“Aku tahu kostum yang kau kenakan itu! Seharusnya kostum Rorschach memiliki noda yang bisa bergerak-gerak sendiri di karung goni yang kau kenakan di kepalamu itu.”

“Hei, itu kostum low budget, oke!” Minerva berusaha membelanya.

“Kau sendiri? Bos mereka?”

“Minerva. Tangan kanan Tuan Pengkor yang jenius!” Ia mengeluarkan mesin seperti lego yang kemudian ia putar-putar dan susun menjadi seekor robot burung hantu. Awang takjub melihatnya.

“Bye, Ganteng!” Ia berdiri dan menyorotkan sinar laser yang keluar dari mata burung hantu itu ke arah jendela berjeruji di dinding. Ia lalu keluar melalui lubang itu. Padahal pintu sel itu masih menganga lebar.

“Astaga.” keluh Awang. “Mereka tolol sekali.”

***

 

“Kita harus menolong mereka!” Sancaka kebingungan melihat lalu lintas yang makin kacau itu, belum lagi langit semakin tenggelam dalam kegelapan.

“Kita tak punya banyak waktu sebelum penjahat-penjahat itu lepas. Kita harus ...”

Tiba-tiba beberapa tubuh polisi terpental keluar. Tiga orang penjahat berkekuatan super-pun muncul dari dalam kantor polisi.

“Celaka! Itu anak buah Pengkor.” Esthy mengajak Sancaka mundur.

“Hei, boleh aku bertanya sesuatu?” Sancaka menoleh ke arahnya, “Siapa namamu?”

“INI JELAS BUKAN SAATNYA!”

“Lihat! Itu wartawati busuk yang menjebloskan Tuan kita ke penjara!” tunjuk Goliath dengan marah.

“Tak kusangka kita bertemu di sini, Nona Manis.” Minerva menyiapkan senjatanya dengan mengubah burung hantu mekanisnya menjadi busur dan panah lalu menariknya, “Akan kubalaskan dendam Tuan di sini.”

Rorschach, masih berjalan seolah sedang mabuk, mengorek-ngorek keranjang sampah dan mengeluarkan beberapa benda, seperti puntung rokok dan botol aluminium bekas. Lalu ia menyusunnya seperti sebuah alat dan menyulutnya dengan korek. Kemudian ia melemparkannya ke dalam kantor polisi.

“DUAAAAAR!!!” bagian dalam kantor polisi itu meledak dan terbenam dalam kobaran api.

Tubuh Sancaka terpental karena hempasan ledakan itu. Tubuh Esthy juga terdorong ke arah sebuah mobil. Setelah debu yang mengepul mulai mereda, ia melihat ketiga penjahat itu berjalan ke arahnya.

“Ayo maju kalian!” Esthy bersiap mempertahankan diri.

“BLAAAAR!!!”

Tiba-tiba energi listrik yang amat besar menyambar dan menghentikan langkah mereka bertiga.

Esthy menoleh dan melihat seorang pemuda berkostum superhero tengah menantang mereka, keluar dari kepulan debu.

Gundala segera menghantam mereka lagi dengan pecutan listrik. Rorschach menyisip dan sibuk mempreteli sebuah mobil, melepas karburator dan knalpotnya untuk menyusun sebuah alat aneh lagi. Ia kemudian mengarahkan mulut knalpot itu ke arah Esthy dan Sancaka.

Alat itu menyemburkan api.

Sebuah medan energi tiba-tiba muncul melindungi mereka berdua. Satu lagi sosok superhero muncul di samping mereka, memegang palu sebagai senjata pamungkasnya.

“Akulah Godam, sang patriot kebajikan, pembela keadilan dan kebenaran dari angkara murka ...”

“Sudahlah hentikan!” Gundala merasa kesal dengan semua orasinya, “Kita tak punya waktu! Kau urusi saja gorila bertangan mesin itu dan aku anak aneh berkarung goni itu.”

Ia menoleh pada gadis di sampingnya, “Dan kau segeralah kabur saja!”

“Enak saja!” justru Esthy yang terlebih dulu menyerang mereka, “Aku urus perempuan itu!”

Dengan kekuatan penuh, ia menendang Minerva. Namun wanita itu mengubah busur panah yang tadi ia pegang menjadi perisai mekanik. Mereka berduapun bertarung di tengah kobaran api. Minerva mengubah lagi senjatanya menjadi rantai, namun Esthy dengan sigap justru menggengam ujung rantai itu dan melilitkannya ke pilar, kemudian melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah perut lawannya.

“Wow, hebat juga dia.” bisik Gundala.

“Huh, kau belum lihat saja.” Godam memutar-mutar bola matanya.

Goliath menyerang mereka dengan lengannya yang berubah menjadi bazooka. Namun lontaran rudal yang ia luncurkan justru tak tepat sasaran dan menghancurkan mobil-mobil di sebelah mereka. Gundala dan Godam bahkan tak perlu beranjak untuk menghindar.

“Lho, tembakannya meleset?” Sancaka menatap mobil-mobil yang terbakar di samping mereka dengan heran. “Ia tak begitu pintar ya?”

Goliath yang marah memukul-mukul dadanya bak gorila sungguhan, namun itu membuat Godam tak sabaran dan segera menerjangnya.

“Buang-buang waktu saja! Akan kubereskan kau sekarang!”

Sementara Godam bertarung dengan Goliath, Rorschach kembali menyerang Gundala dengan semburan apinya. Dengan cepat Gundala berteleportasi dan berada di belakang penjahat itu. ia menepuk bahunya dan ketika menoleh, ia segera memukul wajahnya.

Tiba-tiba badai listrik di atas mereka semakin kencang. Mereka yang terlalu sibuk bertarung tak memperhatikan ancaman yang akan segera tiba.

Untuk melepaskan rantainya, Minerva kembali mengubah rantainya menjadi burung hantu mekanis yang segera menggamit tangannya dan membawanya terbang. Ia berpijak di atas atap dan mengacungkan burung hantunya ke langit.

“Akan kuhancurkan kalian semua dengan sinar laserku!”

Mata robot itu berubah merah, bersiap menembakkan laser bersuhu tinggi, namun ....

“BLAAAAAR!!!”

Halilintar turun dari langit menyambar robot itu, menghanguskannya. Tubuh Minerva yang limbung pun terjatuh tak berdaya.

“Eh,” Gundala justru kebingungan melihatnya, “Itu bukan perbuatanku ...”

“Aaaaargh! Aku tak bisa mengendalikan lenganku ...” Goliath berseru. Tangannya yang siap meluncurkan serangan terarah ke Rorschach dan segera menembakkan rudal. Pria kurus itupun terpelanting ke udara dan tubuhnya menabrak kaca-kaca jendela mobil yang terparkir.

Tiba-tiba sebuah truk melintas masuk ke area parkiran kantor polisi dan melibas tubuh Goliath.

Gundala terkejut melihat semua kejadian itu. Ia menatap badai listrik itu.

Apapun yang menyebabkannya, ia jauh lebih berbahaya daripada penjahat-penjahat kacangan ini.

Ia berubah kembali menjadi Sancaka di tengah debu yang mengepul. Perhatiannya tertuju pada Esthy yang tengah meringkuk di lantai.

“Kau baik-baik saja?”

“Sambaran petir tadi, atapnya runtuh mengenai kakiku.”

“Cepatlah!” Sancaka memutuskan menggendong gadis itu, “Kita harus pergi dari sini! Tempat ini terlalu berbahaya!”

Awang hanya menatap kepergian mereka berdua. Ia memutuskan untuk mengambil langkah yang dianggapnya benar.

Ia berjalan kembali ke dalam sel penjara.


BERSAMBUNG

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment