TIGA LAWAN TIGA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Sancaka
menjambak rambutnya. Seharusnya ia tak mengajak sahabatnya ke sini dan kini Awang
meringkuk di tahanan atas perbuatan yang tak ia sadari telah ia lakukan.
Pekerjaan
kurir itu ... baik Awang dan Sancaka tak pernah curiga. Namun seharusnya
Sancaka mencium ketidakberesan itu. Karena itu ia terus merasa bersalah.
Mana
ada orang yang sebaik itu zaman sekarang, memberi pekerjaan bergaji lumayan
pada seorang pendatang, hanya untuk mengantarkan barang? Tanpa Awang sadari, ia
terlibat ke dalam rantai perdagangan obat terlarang yang kini dijalankan anak
buah Pengkor.
Seorang
gadis tegopoh-gopoh masuk ke dalam kantor polisi.
“Apa
benar ada tersangka baru ditangkap? Apa dia terlibat dalam pembunuhan dalam
markas anak buah Pengkor?”
“Nona,”
salah satu polisi menanganinya, “Dia hanyalah kurir. Bahkan mungkin ia tak tahu
apa yang ia lakukan.”
Sancaka
terkesiap melihat wajah gadis itu. Ia sampai berdiri dari kursinya agar bisa
melihat lebih jelas.
Gadis
itu menoleh dan barulah Sancaka bisa yakin.
Astaga, dia di sini?
Ia
adalah gadis yang dilihat Sancaka dalam mimpinya ketika jantungnya berhenti berdetak.
Tiba-tiba
lampu di atas mereka berkedip-kedip.
“Ada
apa ini?” semua mendongak ke atas.
Semua
alarm mobil yang berada di luar serentak berbunyi. Sancaka, Esthy, dan beberapa
polisi yang kebingungan segera keluar. Di sana mereka melihat semua peralatan
elektronik berperilaku aneh. Lampu merah berkedap-kedip, berganti warna dengan
cepat menyebabkan lalu lintas kacau. Sebuah truk yang melintas menabrak sebuah
tiang listrik dan beberapa mobil saling menyerempet satu sama lain.
Esthy
menatap ke langit.
“Lihat
itu!”
Awan
gelap datang dengan petir menyambar-nyambar di dalamnya. Sancaka menyadari
asalnya dari Gunung Merapi.
“Badai
listrik. Tapi aku tak pernah melihat kekuatannya sedahsyat ini hingga bisa
mempengaruhi benda elektronik.” Sancaka melihat Merapi dari kejauhan, “Ini
bukanlah badai listrik alami. Kekuatan elektromagnetnya terlalu ...”
Tiba-tiba
petir menyambar bagian puncak kantor polisi itu. Semua terkejut.
“Gawat,
apa ini bisa membuat semua alat elektronik tak bekerja?” tanya salah satu
polisi dengan khawatir.
“Kenapa
memangnya?” tanya Sancaka.
“Semua
sel penjara di sini menggunakan kunci elektronik, dengan password dan sidik jari.” ujar Esthy, sama khawatirnya.
***
“Hei,
kau kurir itu ya?” tanya seorang wanita kekar, berkepala pelontos, dan berkulit
hitam, yang dikurung bersamanya. Kulitnya yang legam tampak kontras dengan
zirah berwarna emas yang dikenakannya (yang sesungguhnya membuatnya tampak
seperti cosplay dewi Athena). Awang juga melihat dua orang aneh duduk di sampingnya.
Penampilan mereka amatlah komikal. Pria di sebelah kanan wanita itu bertubuh
besar dan tampak seperti gorila dengan tangan mekanis. Sementara pria di
sebelah kirinya amat kurus dengan karung goni membungkus wajahnya. Bahkan tak
ada lubang bagi kedua matanya, tampak seperti kantung belanjaan yang
ditelungkupkan ke atas kepalanya.
“Kami
anak buah Pengkor juga.” lanjut wanita itu bertampang bodybuilder itu. “Bagaimana? Enak kan bekerja bersama kami? Sayang
Tuan kami tertangkap. Jika tidak, aku yakin komisimu akan jauh lebih besar.”
“Kalau
saja aku tahu aku mengantarkan barang haram itu, aku tentu menolak!”
Wanita
itu tertawa. “Jangan terlalu sok suci.”
Tiba-tiba
lampu di atas mereka berkedap-kedip. Mereka mendongak keheranan.
“Ada
apa ini?”
Disusul
dengan pintu sel mereka membuka dengan sendirinya dengan bunyi “Klik.”
Mereka
berempat menatap pintu yang terbuka itu.
“Itu
pasti keajaiban.” Pemuda bertubuh besar yang duduk di sebelah wanita itu
bangkit. Pria kurus di sampingnya juga berdiri dan berjalan dengan langkah
terseok-seok seperti orang mabuk.
“Sebaiknya
jangan sia-siakan kesempatan ini!” pria bertubuh gorila itu malah menghantam
pintu jeruji itu dengan keras hingga terlepas dari engselnya. Pria kurus itu
ikut keluar, namun dengan cara lain, yakni menyusup di antara dua jeruji.
Tubuhnya yang kurus menelusup bak kucing.
Awang
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Dasar
bodoh. Kalau punya kemampuan seperti itu, kenapa tidak kabur semenjak tadi?”
komentar Awang.
“Mereka
memang tak punya otak, tapi jangan bilang siapa-siapa ya?” wanita itu berbisik
sambil menaruh telunjuknya di atas bibirnya, “Itu Goliath, ia lebih suka
dipanggil begitu ketimbang ‘Gorilla’. Dulunya ia cacat dan dipekerjakan di
sirkus sebelum ditolong Tuan Pengkor yang lalu membuatkannya tangan mekanik. Ia
tak pernah sekolah, maka jangan harapkan ia bisa berpikir.”
“Dan
satunya, ia lebih suka dipanggil ‘Rorschach’. Ia mahasiswa yang amat pintar,
namun tak percaya diri dan memiliki hobi menghisap ganja. Karena itu otaknya
tak bekerja semestinya.” wanita itu memutar-mutarkan jemarinya di pelipisnya.
“Aku
tahu kostum yang kau kenakan itu! Seharusnya kostum Rorschach memiliki noda
yang bisa bergerak-gerak sendiri di karung goni yang kau kenakan di kepalamu
itu.”
“Hei,
itu kostum low budget, oke!” Minerva
berusaha membelanya.
“Kau
sendiri? Bos mereka?”
“Minerva.
Tangan kanan Tuan Pengkor yang jenius!” Ia mengeluarkan mesin seperti lego yang
kemudian ia putar-putar dan susun menjadi seekor robot burung hantu. Awang
takjub melihatnya.
“Bye,
Ganteng!” Ia berdiri dan menyorotkan sinar laser yang keluar dari mata burung
hantu itu ke arah jendela berjeruji di dinding. Ia lalu keluar melalui lubang
itu. Padahal pintu sel itu masih menganga lebar.
“Astaga.”
keluh Awang. “Mereka tolol sekali.”
***
“Kita
harus menolong mereka!” Sancaka kebingungan melihat lalu lintas yang makin
kacau itu, belum lagi langit semakin tenggelam dalam kegelapan.
“Kita
tak punya banyak waktu sebelum penjahat-penjahat itu lepas. Kita harus ...”
Tiba-tiba
beberapa tubuh polisi terpental keluar. Tiga orang penjahat berkekuatan
super-pun muncul dari dalam kantor polisi.
“Celaka!
Itu anak buah Pengkor.” Esthy mengajak Sancaka mundur.
“Hei,
boleh aku bertanya sesuatu?” Sancaka menoleh ke arahnya, “Siapa namamu?”
“INI
JELAS BUKAN SAATNYA!”
“Lihat!
Itu wartawati busuk yang menjebloskan Tuan kita ke penjara!” tunjuk Goliath
dengan marah.
“Tak
kusangka kita bertemu di sini, Nona Manis.” Minerva menyiapkan senjatanya
dengan mengubah burung hantu mekanisnya menjadi busur dan panah lalu
menariknya, “Akan kubalaskan dendam Tuan di sini.”
Rorschach,
masih berjalan seolah sedang mabuk, mengorek-ngorek keranjang sampah dan
mengeluarkan beberapa benda, seperti puntung rokok dan botol aluminium bekas.
Lalu ia menyusunnya seperti sebuah alat dan menyulutnya dengan korek. Kemudian
ia melemparkannya ke dalam kantor polisi.
“DUAAAAAR!!!”
bagian dalam kantor polisi itu meledak dan terbenam dalam kobaran api.
Tubuh
Sancaka terpental karena hempasan ledakan itu. Tubuh Esthy juga terdorong ke
arah sebuah mobil. Setelah debu yang mengepul mulai mereda, ia melihat ketiga
penjahat itu berjalan ke arahnya.
“Ayo
maju kalian!” Esthy bersiap mempertahankan diri.
“BLAAAAR!!!”
Tiba-tiba
energi listrik yang amat besar menyambar dan menghentikan langkah mereka bertiga.
Esthy menoleh
dan melihat seorang pemuda berkostum superhero tengah menantang mereka, keluar
dari kepulan debu.
Gundala
segera menghantam mereka lagi dengan pecutan listrik. Rorschach menyisip dan
sibuk mempreteli sebuah mobil, melepas karburator dan knalpotnya untuk menyusun
sebuah alat aneh lagi. Ia kemudian mengarahkan mulut knalpot itu ke arah Esthy
dan Sancaka.
Alat
itu menyemburkan api.
Sebuah
medan energi tiba-tiba muncul melindungi mereka berdua. Satu lagi sosok
superhero muncul di samping mereka, memegang palu sebagai senjata pamungkasnya.
“Akulah
Godam, sang patriot kebajikan, pembela keadilan dan kebenaran dari angkara
murka ...”
“Sudahlah
hentikan!” Gundala merasa kesal dengan semua orasinya, “Kita tak punya waktu!
Kau urusi saja gorila bertangan mesin itu dan aku anak aneh berkarung goni
itu.”
Ia
menoleh pada gadis di sampingnya, “Dan kau segeralah kabur saja!”
“Enak
saja!” justru Esthy yang terlebih dulu menyerang mereka, “Aku urus perempuan
itu!”
Dengan
kekuatan penuh, ia menendang Minerva. Namun wanita itu mengubah busur panah
yang tadi ia pegang menjadi perisai mekanik. Mereka berduapun bertarung di
tengah kobaran api. Minerva mengubah lagi senjatanya menjadi rantai, namun
Esthy dengan sigap justru menggengam ujung rantai itu dan melilitkannya ke
pilar, kemudian melancarkan tendangan bertubi-tubi ke arah perut lawannya.
“Wow,
hebat juga dia.” bisik Gundala.
“Huh,
kau belum lihat saja.” Godam memutar-mutar bola matanya.
Goliath
menyerang mereka dengan lengannya yang berubah menjadi bazooka. Namun lontaran
rudal yang ia luncurkan justru tak tepat sasaran dan menghancurkan mobil-mobil
di sebelah mereka. Gundala dan Godam bahkan tak perlu beranjak untuk
menghindar.
“Lho,
tembakannya meleset?” Sancaka menatap mobil-mobil yang terbakar di samping
mereka dengan heran. “Ia tak begitu pintar ya?”
Goliath
yang marah memukul-mukul dadanya bak gorila sungguhan, namun itu membuat Godam
tak sabaran dan segera menerjangnya.
“Buang-buang
waktu saja! Akan kubereskan kau sekarang!”
Sementara
Godam bertarung dengan Goliath, Rorschach kembali menyerang Gundala dengan
semburan apinya. Dengan cepat Gundala berteleportasi dan berada di belakang
penjahat itu. ia menepuk bahunya dan ketika menoleh, ia segera memukul
wajahnya.
Tiba-tiba
badai listrik di atas mereka semakin kencang. Mereka yang terlalu sibuk
bertarung tak memperhatikan ancaman yang akan segera tiba.
Untuk
melepaskan rantainya, Minerva kembali mengubah rantainya menjadi burung hantu
mekanis yang segera menggamit tangannya dan membawanya terbang. Ia berpijak di
atas atap dan mengacungkan burung hantunya ke langit.
“Akan
kuhancurkan kalian semua dengan sinar laserku!”
Mata
robot itu berubah merah, bersiap menembakkan laser bersuhu tinggi, namun ....
“BLAAAAAR!!!”
Halilintar
turun dari langit menyambar robot itu, menghanguskannya. Tubuh Minerva yang
limbung pun terjatuh tak berdaya.
“Eh,”
Gundala justru kebingungan melihatnya, “Itu bukan perbuatanku ...”
“Aaaaargh!
Aku tak bisa mengendalikan lenganku ...” Goliath berseru. Tangannya yang siap
meluncurkan serangan terarah ke Rorschach dan segera menembakkan rudal. Pria
kurus itupun terpelanting ke udara dan tubuhnya menabrak kaca-kaca jendela
mobil yang terparkir.
Tiba-tiba
sebuah truk melintas masuk ke area parkiran kantor polisi dan melibas tubuh
Goliath.
Gundala
terkejut melihat semua kejadian itu. Ia menatap badai listrik itu.
Apapun
yang menyebabkannya, ia jauh lebih berbahaya daripada penjahat-penjahat
kacangan ini.
Ia
berubah kembali menjadi Sancaka di tengah debu yang mengepul. Perhatiannya
tertuju pada Esthy yang tengah meringkuk di lantai.
“Kau
baik-baik saja?”
“Sambaran
petir tadi, atapnya runtuh mengenai kakiku.”
“Cepatlah!”
Sancaka memutuskan menggendong gadis itu, “Kita harus pergi dari sini! Tempat
ini terlalu berbahaya!”
Awang
hanya menatap kepergian mereka berdua. Ia memutuskan untuk mengambil langkah
yang dianggapnya benar.
Ia
berjalan kembali ke dalam sel penjara.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment