Thursday, December 19, 2024

GUNDALA: ANGKARA MERAPI – CHAPTER 6

 


SANG PEMBACA PIKIRAN

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Nathan, mau kemana kau!” Sancaka berusaha menghentikannya, “Terlalu berbahaya jika kau keluar. Badainya bisa datang lagi!”

“Aku harus mencari pacarku!” Nathan bersikeras, “Aku tak bisa membiarkan dia sendirian dalam kondisi seperti ini!”

Sancaka akhirnya mengalah, “Baiklah, kau bawa mobil kan?”

“Ya, aku parkir mobilnya di luar.” tiba-tiba ia mendengar suara alarm mobilnya menyala dengan kencang dari luar.

“Apa-apaan ini?!” dengan panik ia segera berlari keluar.

Tiba-tiba seluruh listrik padam. Guntur menggelora di luar. Apa yang Sancaka takutkan akhirnya terjadi juga.

Badai itu kembali.

Sancaka ikut keluar, namun kondisi luar kacau balau. Semua warga ketakutan melihat badai listrik di langit, juga alat-alat elektronik yang menggila. Lampu jalanan kedap-kedip, tiang listrik memercikkan bunga api, sepeda motor menyalakan lampunya sendiri, dan mobil-mobil menyalakan alarm mereka.

Sementara itu Nathan yang telah berada di dalam mobil ketakutan. Semua alat elektronik di dalamnya menyala. Radio, GPS, hingga wiper-nya bergerak tak karuan. Sancaka segera menariknya keluar dari mobil.

“Dengar, jauhi semua alat elektronik, Nate!” pesan Sancaka, “Sekarang cari kekasihmu!”

Nathan segera berlari mendengar peringatan Sancaka. Semua orang kembali masuk ke dalam rumah karena takut tersambar listrik. Dengan geram ia menatap sosok yang terlihat bercokol di salah satu menara sutet.

Mata mereka berdua bertatapan.

Sancaka merasa kini ia telah menemukan lawan yang seimbang.

***

 

“Aku tak bisa diam di sini!” Esthy beranjak keluar rumah.

“Jangan, Esthy!” Awang menariknya kembali, “Terlalu berbahaya di luar!”

“Tapi Sancaka ada di luar! Kau sahabatnya kan? Masa kau membiarkannya sendirian di luar sana?”

Awang terdiam. Tentu saja ia ingin melindungi sahabatnya itu. akan tetapi ia juga memiliki tanggung jawab melindungi penghuni rumah ini. Penjahat super itu masih mengincar Rangga dan ia harus menjaganya.

“Sudahlah, Awang! Kau di sini saja menjaga yang lain, biar aku yang mencari Sancaka. Kau tahu kan aku bisa menjaga diriku sendiri?” Gadis itu bersikeras keluar. Awang memutuskan mengikutinya.

“Tapi ...”

“Wuuuuuuuus!!!”

Tiba-tiba ia merasa ada yang menyambar jarinya. Awang terkejut setengah mati begitu menyadari cincinnya telah raib. Ia melihat bayangan hitam bergerak di luar.

“Hei, berhenti!” Awang segera mengejarnya, namun ia langsung terengah-engah.

“Sial ... tanpa cincin itu kekuatanku ...”

Tiba-tiba bak reaksi magnet, ia melihat cincin itu menarik pencuri kecil itu kembali kepadanya. Anak itu berusaha melawan, namun percuma. Tangannya teracung ke udara mencoba memegangi cincin itu, namun cincin itu itu terus saja melayang ke arah Awang, menarik anak itu.

Awang tersenyum. Hologram yang tak terlihat menuntun cincin itu kembali kepadanya.

Awang segera mencengkeramkan bahu maling kecil itu kuat-kuat.

Karena gerakannya yang gesit terbang dari atap ke atap dan aksinya selalu saat malam hari, maka penduduk menjulukinya dengan nama baru: Kalong. Namun Awang lebih suka menyebutnya dengan nama yang semula diberikan penduduk kepadanya.

“Heh, Tuyul! Kau pikir bisa mencuri dariku, ha?” Awang menatapnya dengan geram, “Akulah pemilik asli dari cincin ini, jadi ia akan selalu kembali kepadaku!”

“Kumohon lepaskan aku! Aku hanya disuruh!”

“Apa kau anak buah Pengkor juga? Kenapa kau juga membunuh dalam aksimu?”

“Aku tak pernah membunuh siapapun! Aku juga tak pernah mengambil perhiasan yang memang bukan yang kucari.” Ia berusaha membela diri.

“Bukan kau?” Awang sadar bahwa bocah ini pastilah hanya pencuri kelas teri, tak mungkin ada hubungannya dengan kejahatan berskala besar yang terjadi di beberapa bagian kota.

“Baiklah, Bocah! Kau akan kulepaskan, namun jika kau ketahuan berbuat onar lagi ... aku sendiri yang akan memberimu pelajaran!”

“Baik Oom ... ampun ...” anak itu terlihat ketakutan.

Awang memakai kembali cincinnya dan ketika ia mendongak kembali.

“Siapa namamu ...”

Ia sudah tak melihat siapapun di sana.

Awang kemudian menyadari ia kehilangan benda lainnya yang tadi ia simpan dalam sakunya.

“AH BRENGSEK! KALUNG KUNZITE-NYA!!!”

***

 

Sancaka dengan kostum Gundala bertengger di atas sutet itu, siap berhadapan dengan Mahesa.

“Kau pikir kau bisa mengalahkanku?” Mahesa dalam bentuk plasma listrik tersenyum bengis, “Badai petir ini akan meluas ke penjuru kota, bahkan dalam skala yang lebih besar dan durasi lebih panjang. Kekuatannya akan jauh melebihimu.”

“Jangan pamer dulu! Kebatilan akan selalu kalah melawan kebenaran. Di bawah panji ... ” Gundala terdiam sejenak. Virus Godam rupanya telah menular padanya. “Pokoknya intinya, aku akan mengalahkanmu di sini!”

“Apa gadis itu ada di sini?”

“Apa?”

“Gadis itu, Sancaka ... gadis yang ada di mimpimu. Oh, dia sungguh cantik dan kau sungguh jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Sudah lupa pada Minarti rupanya?’

“Berhentilah membaca pikiranku!” seru Gundala marah.

“Kau takkan membiarkan apapun terjadi padanya, bukan?” ia menyeringai.

Tiba-tiba ia menghilang menjadi percikan listrik dan merambat melalui kabel listrik yang menjuntai dari sutet ke tiang listrik yang berjejer di jalanan.

***

 

Listrik itu merambat makin cepat dan memercik di tiang listrik dekat Esthy berada sekarang.

“AAAAA!” gadis itu menjerit ketika lecutan listrik itu menjelma menjadi manusia, tepat di hadapannya.

“Esthy,” bisiknya melalui telepati, “Akhirnya kita bertemu.”

“Kau ... kau Mahesa bukan?” Esthy gentar juga melihat sosok bukan manusia itu, “Kenapa kau melakukan ini pada Kota Yogya? Apa kau tahu banyak orang menderita karena perbuatanmu?”

“Tapi aku lebih menderita! Aku ditinggalkan! Tak ada yang menyelamatkanku ... bahkan para superhero itu!” matanya menyala marah. “Kota ini akan merasakan balasan atas kemarahanku!”

Ia bersiap melontarkan serangan listrik untuk menghanguskan gadis itu, namun Gundala segera melindunginya.

“BYAAAAAAR!!!”

“AKU BUKAN LAGI MAHESA! MULAI SEKARANG PANGGIL AKU ANGKARA!!!”  supervillain itu tertawa terbahak-bahak sambil terus melancarkan serangan petirnya.

Halilintar itu menyambar punggung Gundala tanpa ampun, namun ia masih terus menamengi Esthy dari serangan itu.

Wajah mereka berdua begitu dekat. Ekspresi wajahnya tampak kesakitan, namun ia menahannya. Lalu Gundala membuka matanya. Mata mereka berdua bertukar sapa dalam kondisi genting itu.

Esthy menatap mata itu dalam-dalam.

Ia langsung mengetahui siapa pemiliknya.

***

 

Gundala ambruk, kehabisan tenaga begitu serangan itu berakhir.

“Kau baik-baik saja?” Esthy yang khawatir segera memeluknya. Tubuhnya limbung, jatuh ke dekapan gadis itu. Energinya semakin menyusut, hampir habis.

“Kumohon jangan sekarang ...” Gundala berdoa, “Aku masih butuh kekuatan untuk melindunginya ...”

Tepat ketika Angkara bersiap untuk melancarkan serangan terakhir, hantaman energi segera membuatnya terpental mundur. Godam langsung muncul menghajarkan palunya ke arah penjahat super itu. Namun Angkara dengan cepat berubah menjadi percikan listrik dan mengalir melalui segala konduktor yang ada di tempat itu.

“Konduktor ...” seru Gundala. “Itu dia!”

Ia menatap langit gelap di atasnya. Doanya terjawab. Hujan mulai turun.

“Gawat ... semua air ini ... air menghantarkan listrik, bukan? Itu akan menambah kekuatannya!” Esthy khawatir.

“Tidak, ini justru keberuntungan kita!” kata Gundala, “Air murni justru tak bisa menghantarkan listrik. Kemampuan konduksinya diperoleh akibat partikel dan ion pengotor di dalamnya. Air hasil kondensasi selalu dalam kondisi steril, tak terkontaminasi apapun, asalkan belum menyentuh tanah.”

Ia berseru pada rekan superheronya.

“Godam! Jaga dia supaya jangan menyentuh tanah!”

Godam segera menghantamkan palunya ke tanah, merambatkan gelombang energi yang memaksa wujud plasma listrik Angkara mengambang di udara, kebingungan mencari partikel konduktor.

“Ini saatnya!” Gundala menciptakan bola medan listrik, memerangkap air hujan hasil destilasi alam ke dalamnya, dan menghantamkannya ke inkarnasi tak berwujud dari Angkara.

Memerangkapnya di sana.

Gundala bangkit berdiri. “Ia takkan punya tenaga di sana.”

Ia berjalan menghampirinya dan menyentuh bola medan listrik itu. Tiba-tiba kilasan masa lalu menghantam pikirannya.

“Jangan pergi kumohon ...” ia mendengar suara Mahesa berbicara dengan seorang wanita, “Ini anak kita!”

“Ini anakmu!” balasnya tanpa perasaan sambil mengemasi barangnya, “ia mewarisi gen idiotmu, jadi kau yang mengurusnya.”

Ia lalu melihat Rangga, lebih kecil dari dirinya sekarang, tengah bermain dengan balok-balok mainan.

“Rangga Sayang, ayo lihat ke sini, Nak. Biar kita berfoto bersama.”

Namun Rangga hanya mengibaskan tangan ayahnya dan mengamuk ketika disentuh. Kemudian mulai asyik bermain lagi, sibuk dengan dunianya sendiri.

Ia bisa merasakannya merambat melalui jemarinya. Tak hanya pikiran dan ingatannya, namun juga apa yang ia rasakan saat itu.

Rasa sakit penolakan.

Tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang cintamu ditolak oleh satu-satunya orang yang kau sayangi sepenuh hati. Semua orang tahu itu.

Rasa sakit itulah yang menguasai diri Mahesa saat ini.

Rasa sakit ditinggalkan. Bukan oleh kami, pekik Gundala dalam hatinya, melainkan oleh anaknya sendiri. Itu yang memicu semua dendamnya.

Tiba-tiba ia merasakan energi yang menguat ketika Godam dari kejauhan memutar-mutar palunya. Tanpa membuang waktu, ia segera melepaskan energi yang telah diakumulasikannya ke arah bola listrik itu.

“TIDAK!!!” Gundala menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng, melindungi musuhnya yang kini tak berdaya. Ledakan menyembur, meninggalkan kawah di sekelilingnya. Namun Gundala tetap bertahan. Ia pernah merasakan serangan yang lebih buruk.

“Apa yang kau lakukan?” Godam justru terlihat marah, “Ini kedua kalinya kau melindungi penjahat dari eksekusiku!”

“Dia mungkin pernah berbuat jahat,” balas Gundala, “Namun semua orang berhak atas kesempatan kedua!”

“Omong kosong!” tolak Godam, “Penjahat seperti dia harus dihukum! Akan lebih banyak lagi penjahat yang muncul jika kita begitu saja mengampuninya!”

“Apakah itu yang kau percayai, Godam?” pertanyaan Gundala menggema, “Ia juga memiliki perasaan, sama seperti kita. Bukan dengan saling menghancurkan kita bisa melenyapkan kejahatan, namun dengan menggantikannya dengan kebajikan. Apa kau percaya, bahwa dengan membunuh seseorang kau coba membuktikan bahwa membunuh itu salah? Itu sangat bodoh!!!”

“Kalau kau memang bersikeras melindunginya.” Godam menyiapkan palunya, “Maka kau akan menjadi lawanku!”

BERSAMBUNG

 

 

 

 

 


No comments:

Post a Comment