SANG PEMBACA PIKIRAN
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Nathan,
mau kemana kau!” Sancaka berusaha menghentikannya, “Terlalu berbahaya jika kau
keluar. Badainya bisa datang lagi!”
“Aku
harus mencari pacarku!” Nathan bersikeras, “Aku tak bisa membiarkan dia sendirian
dalam kondisi seperti ini!”
Sancaka
akhirnya mengalah, “Baiklah, kau bawa mobil kan?”
“Ya,
aku parkir mobilnya di luar.” tiba-tiba ia mendengar suara alarm mobilnya
menyala dengan kencang dari luar.
“Apa-apaan
ini?!” dengan panik ia segera berlari keluar.
Tiba-tiba
seluruh listrik padam. Guntur menggelora di luar. Apa yang Sancaka takutkan
akhirnya terjadi juga.
Badai
itu kembali.
Sancaka
ikut keluar, namun kondisi luar kacau balau. Semua warga ketakutan melihat
badai listrik di langit, juga alat-alat elektronik yang menggila. Lampu jalanan
kedap-kedip, tiang listrik memercikkan bunga api, sepeda motor menyalakan
lampunya sendiri, dan mobil-mobil menyalakan alarm mereka.
Sementara
itu Nathan yang telah berada di dalam mobil ketakutan. Semua alat elektronik di
dalamnya menyala. Radio, GPS, hingga wiper-nya bergerak tak karuan. Sancaka
segera menariknya keluar dari mobil.
“Dengar,
jauhi semua alat elektronik, Nate!” pesan Sancaka, “Sekarang cari kekasihmu!”
Nathan
segera berlari mendengar peringatan Sancaka. Semua orang kembali masuk ke dalam
rumah karena takut tersambar listrik. Dengan geram ia menatap sosok yang
terlihat bercokol di salah satu menara sutet.
Mata
mereka berdua bertatapan.
Sancaka
merasa kini ia telah menemukan lawan yang seimbang.
***
“Aku
tak bisa diam di sini!” Esthy beranjak keluar rumah.
“Jangan,
Esthy!” Awang menariknya kembali, “Terlalu berbahaya di luar!”
“Tapi
Sancaka ada di luar! Kau sahabatnya kan? Masa kau membiarkannya sendirian di
luar sana?”
Awang
terdiam. Tentu saja ia ingin melindungi sahabatnya itu. akan tetapi ia juga
memiliki tanggung jawab melindungi penghuni rumah ini. Penjahat super itu masih
mengincar Rangga dan ia harus menjaganya.
“Sudahlah,
Awang! Kau di sini saja menjaga yang lain, biar aku yang mencari Sancaka. Kau
tahu kan aku bisa menjaga diriku sendiri?” Gadis itu bersikeras keluar. Awang
memutuskan mengikutinya.
“Tapi
...”
“Wuuuuuuuus!!!”
Tiba-tiba
ia merasa ada yang menyambar jarinya. Awang terkejut setengah mati begitu
menyadari cincinnya telah raib. Ia melihat bayangan hitam bergerak di luar.
“Hei,
berhenti!” Awang segera mengejarnya, namun ia langsung terengah-engah.
“Sial
... tanpa cincin itu kekuatanku ...”
Tiba-tiba
bak reaksi magnet, ia melihat cincin itu menarik pencuri kecil itu kembali
kepadanya. Anak itu berusaha melawan, namun percuma. Tangannya teracung ke
udara mencoba memegangi cincin itu, namun cincin itu itu terus saja melayang ke
arah Awang, menarik anak itu.
Awang
tersenyum. Hologram yang tak terlihat menuntun cincin itu kembali kepadanya.
Awang
segera mencengkeramkan bahu maling kecil itu kuat-kuat.
Karena
gerakannya yang gesit terbang dari atap ke atap dan aksinya selalu saat malam
hari, maka penduduk menjulukinya dengan nama baru: Kalong. Namun Awang lebih
suka menyebutnya dengan nama yang semula diberikan penduduk kepadanya.
“Heh,
Tuyul! Kau pikir bisa mencuri dariku, ha?” Awang menatapnya dengan geram,
“Akulah pemilik asli dari cincin ini, jadi ia akan selalu kembali kepadaku!”
“Kumohon
lepaskan aku! Aku hanya disuruh!”
“Apa
kau anak buah Pengkor juga? Kenapa kau juga membunuh dalam aksimu?”
“Aku
tak pernah membunuh siapapun! Aku juga tak pernah mengambil perhiasan yang
memang bukan yang kucari.” Ia berusaha membela diri.
“Bukan
kau?” Awang sadar bahwa bocah ini pastilah hanya pencuri kelas teri, tak
mungkin ada hubungannya dengan kejahatan berskala besar yang terjadi di
beberapa bagian kota.
“Baiklah,
Bocah! Kau akan kulepaskan, namun jika kau ketahuan berbuat onar lagi ... aku
sendiri yang akan memberimu pelajaran!”
“Baik
Oom ... ampun ...” anak itu terlihat ketakutan.
Awang
memakai kembali cincinnya dan ketika ia mendongak kembali.
“Siapa
namamu ...”
Ia
sudah tak melihat siapapun di sana.
Awang
kemudian menyadari ia kehilangan benda lainnya yang tadi ia simpan dalam
sakunya.
“AH BRENGSEK!
KALUNG KUNZITE-NYA!!!”
***
Sancaka
dengan kostum Gundala bertengger di atas sutet itu, siap berhadapan dengan
Mahesa.
“Kau
pikir kau bisa mengalahkanku?” Mahesa dalam bentuk plasma listrik tersenyum
bengis, “Badai petir ini akan meluas ke penjuru kota, bahkan dalam skala yang
lebih besar dan durasi lebih panjang. Kekuatannya akan jauh melebihimu.”
“Jangan
pamer dulu! Kebatilan akan selalu kalah melawan kebenaran. Di bawah panji ... ”
Gundala terdiam sejenak. Virus Godam rupanya telah menular padanya. “Pokoknya
intinya, aku akan mengalahkanmu di sini!”
“Apa
gadis itu ada di sini?”
“Apa?”
“Gadis
itu, Sancaka ... gadis yang ada di mimpimu. Oh, dia sungguh cantik dan kau
sungguh jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Sudah lupa pada Minarti
rupanya?’
“Berhentilah
membaca pikiranku!” seru Gundala marah.
“Kau
takkan membiarkan apapun terjadi padanya, bukan?” ia menyeringai.
Tiba-tiba
ia menghilang menjadi percikan listrik dan merambat melalui kabel listrik yang
menjuntai dari sutet ke tiang listrik yang berjejer di jalanan.
***
Listrik
itu merambat makin cepat dan memercik di tiang listrik dekat Esthy berada
sekarang.
“AAAAA!”
gadis itu menjerit ketika lecutan listrik itu menjelma menjadi manusia, tepat
di hadapannya.
“Esthy,”
bisiknya melalui telepati, “Akhirnya kita bertemu.”
“Kau
... kau Mahesa bukan?” Esthy gentar juga melihat sosok bukan manusia itu,
“Kenapa kau melakukan ini pada Kota Yogya? Apa kau tahu banyak orang menderita
karena perbuatanmu?”
“Tapi
aku lebih menderita! Aku ditinggalkan! Tak ada yang menyelamatkanku ... bahkan
para superhero itu!” matanya menyala marah. “Kota ini akan merasakan balasan
atas kemarahanku!”
Ia
bersiap melontarkan serangan listrik untuk menghanguskan gadis itu, namun
Gundala segera melindunginya.
“BYAAAAAAR!!!”
“AKU
BUKAN LAGI MAHESA! MULAI SEKARANG PANGGIL AKU ANGKARA!!!” supervillain itu tertawa terbahak-bahak
sambil terus melancarkan serangan petirnya.
Halilintar
itu menyambar punggung Gundala tanpa ampun, namun ia masih terus menamengi
Esthy dari serangan itu.
Wajah
mereka berdua begitu dekat. Ekspresi wajahnya tampak kesakitan, namun ia
menahannya. Lalu Gundala membuka matanya. Mata mereka berdua bertukar sapa
dalam kondisi genting itu.
Esthy
menatap mata itu dalam-dalam.
Ia
langsung mengetahui siapa pemiliknya.
***
Gundala
ambruk, kehabisan tenaga begitu serangan itu berakhir.
“Kau
baik-baik saja?” Esthy yang khawatir segera memeluknya. Tubuhnya limbung, jatuh
ke dekapan gadis itu. Energinya semakin menyusut, hampir habis.
“Kumohon jangan sekarang ...” Gundala berdoa, “Aku masih butuh kekuatan untuk
melindunginya ...”
Tepat
ketika Angkara bersiap untuk melancarkan serangan terakhir, hantaman energi
segera membuatnya terpental mundur. Godam langsung muncul menghajarkan palunya
ke arah penjahat super itu. Namun Angkara dengan cepat berubah menjadi percikan
listrik dan mengalir melalui segala konduktor yang ada di tempat itu.
“Konduktor
...” seru Gundala. “Itu dia!”
Ia
menatap langit gelap di atasnya. Doanya terjawab. Hujan mulai turun.
“Gawat
... semua air ini ... air menghantarkan listrik, bukan? Itu akan menambah
kekuatannya!” Esthy khawatir.
“Tidak,
ini justru keberuntungan kita!” kata Gundala, “Air murni justru tak bisa
menghantarkan listrik. Kemampuan konduksinya diperoleh akibat partikel dan ion
pengotor di dalamnya. Air hasil kondensasi selalu dalam kondisi steril, tak
terkontaminasi apapun, asalkan belum menyentuh tanah.”
Ia
berseru pada rekan superheronya.
“Godam!
Jaga dia supaya jangan menyentuh tanah!”
Godam
segera menghantamkan palunya ke tanah, merambatkan gelombang energi yang
memaksa wujud plasma listrik Angkara mengambang di udara, kebingungan mencari
partikel konduktor.
“Ini
saatnya!” Gundala menciptakan bola medan listrik, memerangkap air hujan hasil
destilasi alam ke dalamnya, dan menghantamkannya ke inkarnasi tak berwujud dari
Angkara.
Memerangkapnya
di sana.
Gundala
bangkit berdiri. “Ia takkan punya tenaga di sana.”
Ia
berjalan menghampirinya dan menyentuh bola medan listrik itu. Tiba-tiba kilasan
masa lalu menghantam pikirannya.
“Jangan pergi kumohon ...” ia mendengar suara Mahesa
berbicara dengan seorang wanita, “Ini
anak kita!”
“Ini anakmu!” balasnya tanpa perasaan sambil
mengemasi barangnya, “ia mewarisi gen
idiotmu, jadi kau yang mengurusnya.”
Ia
lalu melihat Rangga, lebih kecil dari dirinya sekarang, tengah bermain dengan
balok-balok mainan.
“Rangga Sayang, ayo lihat ke
sini, Nak. Biar kita berfoto bersama.”
Namun
Rangga hanya mengibaskan tangan ayahnya dan mengamuk ketika disentuh. Kemudian
mulai asyik bermain lagi, sibuk dengan dunianya sendiri.
Ia
bisa merasakannya merambat melalui jemarinya. Tak hanya pikiran dan ingatannya,
namun juga apa yang ia rasakan saat itu.
Rasa
sakit penolakan.
Tak
ada yang lebih menyakitkan ketimbang cintamu ditolak oleh satu-satunya orang
yang kau sayangi sepenuh hati. Semua orang tahu itu.
Rasa
sakit itulah yang menguasai diri Mahesa saat ini.
Rasa
sakit ditinggalkan. Bukan oleh kami, pekik Gundala dalam hatinya, melainkan
oleh anaknya sendiri. Itu yang memicu semua dendamnya.
Tiba-tiba
ia merasakan energi yang menguat ketika Godam dari kejauhan memutar-mutar
palunya. Tanpa membuang waktu, ia segera melepaskan energi yang telah
diakumulasikannya ke arah bola listrik itu.
“TIDAK!!!”
Gundala menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng, melindungi musuhnya yang
kini tak berdaya. Ledakan menyembur, meninggalkan kawah di sekelilingnya. Namun
Gundala tetap bertahan. Ia pernah merasakan serangan yang lebih buruk.
“Apa
yang kau lakukan?” Godam justru terlihat marah, “Ini kedua kalinya kau
melindungi penjahat dari eksekusiku!”
“Dia
mungkin pernah berbuat jahat,” balas Gundala, “Namun semua orang berhak atas
kesempatan kedua!”
“Omong
kosong!” tolak Godam, “Penjahat seperti dia harus dihukum! Akan lebih banyak
lagi penjahat yang muncul jika kita begitu saja mengampuninya!”
“Apakah
itu yang kau percayai, Godam?” pertanyaan Gundala menggema, “Ia juga memiliki
perasaan, sama seperti kita. Bukan dengan saling menghancurkan kita bisa
melenyapkan kejahatan, namun dengan menggantikannya dengan kebajikan. Apa kau
percaya, bahwa dengan membunuh seseorang kau coba membuktikan bahwa membunuh
itu salah? Itu sangat bodoh!!!”
“Kalau
kau memang bersikeras melindunginya.” Godam menyiapkan palunya, “Maka kau akan
menjadi lawanku!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment