Friday, March 20, 2020

MISTERI INSIDEN VELA: KILATAN CAHAYA MISTERIUS DI SAMUDRA PASIFIK



Samudra Atlantik senantiasa damai, sebab hanya sedikit, bahkan bisa dibilang tak ada kehidupan di sana. Pulau-pulau mungil yang ada di sana terletak di tengah antah berantah dan amatlah jauh dari peradaban terdekat. Akan tetapi pada 22 September 1979, kondisi itu berubah drastis ketika sebuah peristiwa spektakuler tertangkap oleh mata dunia.

Kala itu, kedamaian di samudra tersebut terkoyak ketika dua kilatan cahaya mahadashyat terlihat di langit. Memang tak ada saksi mata yang bisa memastikannya, akan tetapi lonjakan cahaya itu tertangkap oleh sensor sebuah satelit bernama Vela (hence, peristiwa tersebut lebih dikenal dengan nama “Insiden Vela”). Apa yang menyebabkan peristiwa itu masihlah misteri. Apakah cahaya itu disebabkan oleh sebuah asteroid yang memasuki Bumi, ataukah yang lebih mengkhawatirkan lagi: sebuah bom nuklir?

Namun bagaimana bisa sebuah bom nuklir diledakkan di tengah lautan antah berantah? Siapa yang melakukannya dan mengapa? Jawabannya mungkin sangat kelam, apalagi untuk masa depan dunia ini.

Dear readers, inilah Dark Case kali ini.


Lokasi Insiden Vela

Insiden Vela atau disebut juga “Kilatan Cahaya Atlantik Selatan (South Atlantic Flash)” merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut dua kilatan cahaya misterius yang terdeteksi di dekat wilayah Kepulauan Prince Edward Islands di Samudra Pasifik. Cahaya tersebut dideteksi oleh sebuah satelit Amerika Serikat bernama Vela pada pukul 00.53 waktu setempat. Pertama akan gue bahas dulu apa itu Satelit Vela. Berbeda dengan satelit-satelit lain yang digunakan untuk sarana telekomunikasi (atau bahkan mata-mata), Vela merupakan satelit yang digunakan secara spesifik untuk mendeteksi letusan bom nuklir. Lho, mengapa sih ada satelit yang bertujuan kayak gitu?

Cerita bermula pada 5 Agustus 1963 dimana hampir seluruh negara di dunia berkumpul di sebuah konferensi di Moscow (kala itu masih berupa Uni Soviet) dan setuju untuk meratifikasi “Partial Nuclear Test Ban Treaty”. Dalam persetujuan itu, semua negara di dunia (bahkan termasuk negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, hingga China) setuju untuk tidak melakukan tes bom nuklir demi perdamaian dunia.

Nah, tentu saja hal tersebut nggak hanya bisa sebatas omongan saja dan benar-benar harus diawasi. Oleh karena itu, Amerika Serikat meluncurkan satelit Vela yang dilengkapi sensor radiasi sinar gamma, sinar X, dan neutron yang biasanya dilepaskan oleh ledakan bom nuklir. Sebuah sensor lain, bernama “bhangmeter” juga dipasang untuk menangkap kilatan cahaya dengan intensitas tinggi yang biasanya dilepaskan oleh bom berkekuatan mahadahsyat.

Bom nuklir memiliki ciri khas, yakni menghasilkan dua kilatan cahaya atau disebut “double flash”. Cahaya itulah yang terdeteksi oleh Vela di atas Kepulauan Prince Edward Islands pada 22 September 1979. Tak hanya Vela saja yang mendeteksi anomali ini. Sistem radar milik NATO di Eropa hingga teleskop Arecibo di Puerto Rico juga menangkap hal yang sama, sehingga kilatan cahaya tersebut dipastikan sebagai data yang valid.

Namun jika benar itu adalah tes uji coba bom nuklir, siapakah pelakunya?


Gambaran sebuah bom nuklir

Tak ada negara yang mau mengaku. Kecurigaan utama tentu saja mengarah kepada Afrika Selatan sebagai pemilik Kepulauan Prince Edwards tempat ledakan itu terjadi. Namun di sinilah anehnya. Menurut gue, untuk bisa mengembangkan teknologi nuklir (apalagi di tahun 70-an, sekitar 5 dekade lalu dimana teknologi masihlah belum semaju sekarang) paling nggak sebuah negara harus memenuhi dua kriteria:
  1. Merupakan negara maju atau adidaya yang memiliki banyak uang untuk dihabiskan di riset nuklir
  2. Memiliki musuh yang harus segera “disingkirkan”
Maka dari itu, menurut gue sah-sah aja jika negara yang melakukan tes bom nuklir adalah Amerika Serikat atau Uni Soviet yang kala itu tengah terlibat Perang Dingin (Cold War). Tapi Afrika Selatan? Coba pikirkan. Negara tersebut cukup adem ayem dan tak punya musuh. Satu-satunya hal besar yang pernah terjadi di Afrika Selatan adalah Apartheid dan kebangkitan Nelson Mandela sebagai pejuang HAM, itupun sebatas peristiwa domestik semata. Belum lagi Afrika Selatan belumlah semaju (dan sekaya) negara-negara Eropa atau Amerika.

Maka kecurigaan-pun beralih ke pihak lain.

Israel.
Ilustrasi dampak sebuah bencana nuklir

Afrika Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan diplomatik yang cukup baik dengan Israel. Israel tentu saja takkan kesulitan membuat bom nuklir, apalagi mereka dikenal memiliki ilmuwan-ilmuwan terhebat dan miliuner-miliuner Yahudi yang siap mem-backingi penelitian mereka. Tak hanya itu, Israel juga tentu tak kekurangan uang untuk “menyewa” sebuah pulau terpencil di tengah lautan antah berantah dari Afrika Selatan, untuk tujuan detonasi tersebut.

Israel selama ini mengaku tak memiliki persenjataan nuklir, namun intelejen Amerika sejak tahun 70-an sudah mendengar desas-desus bahwa Israel, di tengah krisisnya dengan Palestina dan negara-negara Timur Tengah lainnya, tengah mengembangkan senjata pemusnah massal tersebut. Leonard Weiss, seorang pejabat tinggi yang bekerja di badan nuklir Amerika Serikat sempat memperingatkan presiden AS kala itu, Jimmy Carter, bahwa Insiden Vela sesungguhnya didalangi oleh Israel. Hal ini juga diamini beberapa ahli, semisal David Albright dan Danny B. Stillman, keduanya adalah fisikawan yang amat pakar di bidang nuklir. Seorang wartawan kawakan, Sasha Polakow-Suransky juga menyoroti bahwa Afrika Selatan masih belum semaju itu untuk menciptakan bom nuklir, sehingga ia juga menyoroti keterlibatan Israel sebagai dalang utamanya.

Ilustrasi sebuah peluncuran rudal nuklir

Karena insiden ini, Amerika berada di pihak yang sulit. Sepertinya bisa dipastikan bahwa Amerika sama sekali tak tahu menahu tentang keterlibatan Israel, apalagi rencananya melakukan tes bom nuklir yang amat terlarang itu. Namun Amerika juga tak mau merusak “persahabatan” yang sudah terjalin begitu erat dengan negara Zionis tersebut, apalagi hubungan pertemanan karib itu membawa banyak keuntungan bagi negara adidaya tersebut.

Amerika pun mengambil jalan tengah. Amerika menyanggah bahwa cahaya yang tertangkap oleh satelitnya itu kemungkinan disebabkan oleh cahaya petir atau meteor yang melintas. Namun para ahli menyanggahnya. Klaim bahwa Insiden Vela disebabkan oleh petir amatlah patut ditertawakan, sebab intensitas cahaya yang tercatat kala itu 400 kali lebih kuat ketimbang petir biasa. Meteor pun bukan penjelasan yang memuaskan sebab perlu diingat, ada dua kilatan cahaya. Agar dua buah meteor bisa jatuh pada kesempatan yang sama dan di tempat yang sama, kemungkinannya amatlah kecil, bahkan ada ahli yang menyebut probabilitasnya hanya 1 banding 1 triliun.

Pada tahun 1994, seorang komandan bernama Commodore Dieter Gerhardt yang pernah membawahi sebuah pangkalan Angkatan Laut di Afrika Selatan mengaku bahwa ia pernah mendengar tentang “Operation Phoenix”, sebuah proyek rahasia antara militer Afrika Selatan dan Israel. Kala itu mereka sengaja memilih lokasi di Kepulauan Prince Edward pada saat yang tepat dimana di lokasi itu tengah terjadi badai, sehingga akan menutupi jejak ledakan itu. Akan tetapi sayang, perkiraan mereka meleset karena adanya perubahan arah angin, sehingga rencana merekapun “terendus” satelit Vela.

Tak ada yang menyangsikan keterlibatan Israel dalam insiden misterius di Samudra Pasifik itu. Namun itu membawa ke pertanyaan lain, seberapa banyak dan dahsyat-kah persenjataan nuklir yang dimiliki negara bentukzn kaum Yahudi tersebut?

Negara Israel kini diduga memiliki 80-400 misil nuklir yang mampu diluncurkan baik menggunakan pesawat hingga kapal selam. Kemampuan Israel untuk menguasai teknologi nuklir terbilang amat cepat. Setelah berdiri pada 1948, Israel membangun Shimon Peres Negev Nuclear Research Center di kota Dimona pada akhir 50-an. Dipercaya bahwa Israel mulai mengembangkan “senjata pemusnah massal” semenjak tahun 1960-an. Namun kala itu Israel selama ini terus menyanggah kemampuan mereka memiliki persenjataan nuklir.

Mordechai Vanunu, sosok yang membongkar rahasia program nuklir Israel pada dunia

Akan tetapi Israel tak mampu lagi berkutik setelah mereka ditelanjangi, justru oleh pihak dalamnya sendiri. Seorang wartawan bernama Mordechai Vanunu pada 1986 menyusup masuk ke dalam fasilitas tersebut dan memfoto rudal nuklir yang mereka miliki. Bukti valid tak terbantahkan tersebut membuktikan dugaan bahwa Israle menyimpan senjata maut tersebut. Tak hanya itu, iapun menerbitkannya ke media massa Inggris sehingga seluruh dunia-pun mengetahuinya.

Tak hanya itu, Mordechai bahkan sempat mengungkapkan sebuah teori konspirasi mengejutkan bahwa pembunuhan terhadap Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy, didalangi oleh Israel. Alasannya karena presiden tersebut getol menyelidiki tentang reaktor nuklir di kota Dimona tersebut. Sayang, “pengkhianatan” ini harus dibayar mahal ketika Mordechai diburu dan diculik oleh Badan Intelejen Israel, Mossad. Ia dipenjara selama 18 tahun dimana dalam masa hukumannya itu, tak jarang ia disiksa.

Jika memang benar Israel memiliki senjata nuklir, hal itu tentu saja akan meresahkan dunia. Kalian tentu sudah punya bayangan, akan digunakan untuk apa senjata nuklir itu nantinya.. Akankah suatu saat Israel memakainya untuk memulai perang akbar? Bagaimanakah nasib seantero bumi ketika hal itu terjadi?

Sumber: Wikipedia



2 comments:

  1. Bang request covid 19 lgi dong kali ini di Indonesia, bahas juga teori komplikasinya. Eeh konspirasi mksudnya

    ReplyDelete
  2. Salah total Afrika Selatan adem ayem. Taun segitu Afsel masih perang ama Angola, ini nantinya jdi titik balik kemerdekaan Namibia. Dan nie perang baru selesai taun 1990-an.

    Kedua, salah jga nyebut Afsel gak punya program nuklir. Afsel itu udah punya program nuklir mapan sejak tahun 1950 dan mulai ngembangin senjata nuklir taun 1967. Wajar nyebut Afrika Selatan itu salah satu negara "non proliferasi" yg mampu bikin senjata nuklir selain Israel.

    Btw, Dieter Gerhardt itu intel Soviet.

    ReplyDelete