Friday, March 20, 2020

LILIAN ALLING: KISAH ANEH SANG PEJALAN KAKI SEJATI


Membaca kisah Lilian Alling emang bikin gue teringat ama “Chrnoicle of Mother Nature” yang pernah gue kompilasi tentang korban-korban keganasan alam. Namun bedanya, kisah Lilian ini hingga kini tak memiliki penutup atau ending yang memuaskan tentang bagaimana nasibnya. Lilian Alling adalah seorang imigran asal Rusia yang datang ke Amerika Serikat untuk mencari penghidupan baru. Akan tetapi setelah beberapa tahun tinggal di sana, Lilian merasa tak kerasan dan memutuskan pulang ke kampung halamannya. Sayang sekali Lilian tak memiliki cukup uang untuk kembali hingga akhirnya mengambil sebuah keputusan yang sulit kita percayai.

Ia memutuskan untuk pulang ke Rusia dari Amerika Serikat dengan berjalan kaki!

Bagaimanakah kisah selengkapnya? Simak perjalanan nekad wanita ini dalam Dark Case berikut ini.


Identitas Lilian Alling sendiri tak begitu jelas. Akan tetapi diketahui perjalanannya dimulai pada tahun 1920-an. Kala itu, Lilian yang bermukim di Amerika merasa tak nyaman tinggal di sana dan kangen akan kampung halamannya di Siberia, Rusia. Iapun bekerja di New York untuk menabung demi perjalanannya pulang. Akan tetapi dengan ekonominya yang pas-pasan, iapun sadar, sekeras apapun ia bekerja, ia tak akan memiliki cukup uang untuk perjalanan pulang. Satu-satunya cara yang lazim untuk pergi ke benua Eropa kala itu adalah menggunakan jasa penyeberangan kapal laut melewati Samudra Atlantik yang memang sangat mahal. Karena itulah, mungkin didorong oleh kenekadannya, iapun mengambil sebuah keputusan yang bisa dibiliang sukar dinalar dengan akal sehat.

Yakni ia akan berjalan kaki saja.

Perjalanan dari Amerika ke Rusia jelas bukanlah perjalanan yang 'manusiawi”. Kala itu ia berada di New York yang terletak di pantai timur Amerika. Sementara untuk sampai ke Rusia, ia harus melintasi seantero benua untuk sampai ke pantai barat Amerika dan kemudian menyeberang melalui Selat Bering yang membatasi Alaska (negara bagian Amerika paling utara) dan Rusia.

Apalagi jika kita menilik kata “Alaska” dan “Siberia” maka yang terbayangkan adalah wilayah dingin dengan suhu udara yang mampu membuat siapapun beku. Tak hanya jauhnya jarak yang harus ditempuh Lilian mencapai rubuan kilometer, namun ia juga harus menghadapi iklim kutub yang tak bersahabat.

Apa yang mendorongnya mengambil keputusan yang teramat nekad itu? Tak ada yang tahu. Mungkin Lilian melakukannya untuk menghemat uang. Mungkin Lilian sudah putus asa sebab ia kebelet pulang. Mungkin ini adalah obsesinya. Mungkin sebuah tantangan yang ingin ia taklukkan untuk membuktikan dirinya sebagai wanita mandiri yang kuat. Entahlah. Yang jelas, demi mengeksekusi rencananya itu, ia mulai membuat persiapan.

Lilian mulai rajin menyambangi Perpustakaan New York untuk mendalami rutenya tersebut. Ia membaca banyak buku serta mempelajari dengan seksama peta jalur yang akan ia tempuh. Lilian benar-benar serius akan rencananya hingga mempersiapkan setiap detail pengetahuan yang kiranya akan ia butuhkan untuk perjalanannya itu. Perlu kalian ingat, kala itu teknologi komunikasi belumlah semaju sekarang. Telepon canggih dan GPS belum ditemukan, jadi Lilian benar-benar bergantung pada peta yang ia baca.

Rute yang dilalui Lilian dengan berjalan kaki


Lilian memulai perjalanannya dengan berjalan kaki menuju ke kota Buffalo, kemudian menyeberang ke perbatasan Kanada, tepatnya di Air Terjun Niagara yang termashyur pada tahun 1926. Di sini, kedatangannya tercatat dengan rinci oleh petugas imigrasi Kanada kala itu. Tercatat, Lilian mengaku sebagai peduduk New York berusia 30 tahun.

Hawa dingin Kanada yang mencekam sama sekali tak menggentarkan niat Lilian untuk terus berjalan pulang. Perlu diingat, ujung barat ke ujung timur benua Amerika berjarak hampir 5 ribu kilometer dan manusia normal bisa berjalan sekitar 20-30 kilometer per hari dalam keadaan sehat. Jadi bisa dibayangkan, Lilian akan memperlukan waktu setahun untuk melakukan perjalanan itu, itupun jika fisiknya bugar. Pada 1927, seorang petugas pemerintah British Columbia bertemu dengan Lilian di kota Hazelton, di wilayah barat Kanada. Petugas itu mengamati penampakan Lilian yang teramat kurus dan lemah, bahkan terlihat mengalami malnutrisi (kekurangan gizi). Ketika sang petugas itu menanyainya, ia amat terkejut setengah mati ketika Lilian mengatakan ia hendak pulang ke Rusia dengan berjalan kaki.

Mengetahui bahwa musim dingin akan datang sebentar lagi dan wanita itu jelas takkan sanggup meneruskan perjalanannya, hati nuraninya terusik. Ia merasa bahwa sangatlah tidak manusiawi jika ia membiarkan Lilian menjalankan niatnya tersebut. Namun setelah dibujuk berkali-kali, Lilian sama sekali tak gentar dan tak mengindahkan peringatannya itu. Lilian tetap ngotot akan meneruskan perjalanan. Merasa tak ada cara lain, iapun terpaksa mengambil jalan pintas yakni “memenjarakan “ Lilian. Kala itu hukum memang melarang gelandangan untuk berkeliaran jika dirasa mengganggu ketentraman umum. Lilian yang tak punya tempat tinggal memang bisa dikategorikan sebagai tuna wisma. Sehingga petugas tersebut memanfaatkan hukum itu untuk menangkap dan menaruhnya dalam penjara.

Di dalam penjara ia justru dirawat dengan baik. Ia diberi makan cukup dan belum lagi mendapat tempat berlindung yang hangat. Bahkan mendekam sel penjarapun kala itu masihlah jauh lebih baik ketimbang berjalan di suhu membeku di tengah buasnya alam liar Kanada. Begitu musim semi tiba di Mei 1928, iapun dilepaskan. Pihak kepolisian Kanada kala itu mengira peristiwa itu akan membuat Lilian kapok dan mengurungnya niatnya, bahkan mungkin menetap di kota Vancouver yang tak jauh dari situ. Toh, banyak pekerjaan yang bisa ia temukan dan di sana, ia bisa memulai hidup baru. Namun ternyata, tak ada yang bisa membuat Lilian mengurunkan niatnya. Secara mengejutkan, ia kembali meneruskan perjalanannya.


Sosok Lilian menjadi “viral” bagi para pemukim di Kanada saat itu. Berita tentangnya menyebar dengan cepat dan membuat orang-orang iba. Tak jarang, penduduk lokal yang bertemu dengan Lilian membantunya dengan memberikan tempat menginap, makanan, bahkan pakaian jika Lilian sudi singgah di rumah mereka selama perjalanannya.

Pada Oktober 1928, Lilian akhirnya tiba di Dawson City, di hulu sungai Yukon. Lilian tahu betul bahwa Sungai Yukon pada akhirnya akan bermuara di Selat Bering, Alaska. Selat Bering merupakan selat yang memisahkan Benua Amerika utara dengan Rusia, sehingga dengan menyeberanginya, ia akan tiba di kampung halamannya tersebut. Bahkan, Lilian tak perlu berjalan kaki lagi. Yang ia perlukan hanyalah sebuah perahu untuk menyusuri Sungai Yukon hingga tiba di Selat Bering, kemudian menyeberanginya.

Di kota Dawson City, Lilian memutuskan untuk menetap sebentar dan bekerja sebagai koki. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan uang untuk membeli sebuah perahu. Pada 1929, Lilian akhirnya berhasil membeli perahu dan tepat pada musim semi, dimana sungai yang sebelumnya membeku karena musim dingin mulai mencair, iapun meneruskan perjalanannya.

Penampakan terakhir Lilian adalah di sebuah desa suku Eskimo di Alaska pada 1929. Ia memang berhasil mencapai Selat Bering, namun tak jelas apakah ia berhasil menyeberanginya dan tiba di kampung halamannya di Rusia.

Semenjak saat itu, Lilian lenyap seolah ditelan bumi.

Gambaran keadaan alam Alaska

Mengingat keganasan alam Kutub Utara, memang besar kemungkinannya Lilian tak selamat di perjalanan yang mengundang maut tersebut. Apalagi Selat Bering adalah lautan terbuka di wilayah Kutub Utara dengan suhu yang teramat dingin, Bahkan di musim panas sekalipun suhunya amat menggigil, sehingga hanya suku asli yang memang sudah beradaptasi di kondisi alam tersebut ataupun pelaut yang sudah berpengalaman yang mampu menaklukannya.

Namun ada pula secercah kemungkinan, walaupun hanya sedikit, bahwa Lilian berhasil menyelesaikan perjalanannya itu dan tiba di Rusia. Toh, Lilian adalah wanita yang amat tangguh. Sepanjang perjalanannya melintasi Amerika Utara, Lilian menempuh jarak tak kurang dari 8 ribu kilometer. Sebagai perbandingan, panjang wilayah Indonesia saja dari Sabang sampai Merauke “hanya” sekitar 5 ribu kilometer. Dan jangan lupakan fakta bahwa Lilian menempuh jarak tersebut dengan berjalan kaki.

Dalam hati sih (mungkin sama di benak kalian juga) gue pengennya cerita ini berakhir happy ending dan Lilian ini berhasil selamat serta tiba di kampung halamannya di Rusia. Mungkin saja ia berkumpul lagi bersama keluarganya, bahkan punya anak cucu. Namun kita juga harus melihat kenyataan kelam bahwa perjalanan Lilian sangatlah berbahaya dan kecil kemungkinannya ia bisa bertahan hidup di wilayah seganas itu.

Mendengar cerita Lilian ini mau tak mau akan membuat kita (apalagi jika kalian pembaca setia blog ini) teringat pada kisah Chris McCandless. Namun berharap saja bahwa kisahnya tak berakhir setragis sang pecinta alam tersebut. Nah, bagaimana menurut kalian? Apa kalian kagum dengan keberanian dan niat Lilian? Atau menganggap bahwa tindakannya ini amat bodoh, bahkan cenderung “bunuh diri”?



8 comments:

  1. Perlu dijadiin film kisahnya. Pasti menarik bang, cuma takutnya malah menginspirasi orang buat perjalanan jauh tapi jalan kaki :(. Kyk film into the wild, ada satu kasus dimana remaja niru si chriss buat tinggal di hutan

    ReplyDelete
  2. Mantappppppppppp

    ReplyDelete
  3. Sumpah keren kisah hidupnya. Wanita strong

    ReplyDelete
  4. Keren! Ngomong-ngomong, memang ada filmnya. Judulnya Lillian (2019).

    ReplyDelete
  5. penasaran sebenernya dengan ending perjalananya.

    ReplyDelete
  6. penasaran sebenernya dengan ending perjalanan tersebut

    ReplyDelete
  7. Kisah yang sangat luar biasa,perjalanan panjang yang penuh tekad gigih penuh keyakinan dan keberanian seorang wanita russia 👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍

    ReplyDelete