Saturday, January 16, 2021

THE DARK DINASTY: TEROR HOUSE OF TUDOR – KALA LIBIDO MENJADI PENENTU SEJARAH INGGRIS


Jika kalian tertarik dengan sejarah, maka kalian pastilah tak asing dengan nama keluarga Tudor. Keluarga yang secara turun temurun pernah menguasai Inggris ini dikenal sarat intrik yang pelik, hingga membuat keluarga mereka termahsyur dan terabadikan dalam sejarah. Walaupun hanya berkuasa selama kurang dari dua abad (1485-1603), namun pengaruh mereka dalam perjalanan sejarah Inggris tak perlu dipertanyakan. Tak hanya sisi politiknya saja, namun kehidupan pribadi keluarga tersebut yang dijejali skandal juga menarik untuk dibahas. Keluarga Tudor juga bangkit pada masa pergolakan agama di Eropa, dimana kala itu agama Kristen pecah menjadi Katolik dan Protestan, dimana raja mereka yang paling terkenal, yakni Henry VIII, dikenal atas enam pernikahannya.

Dear readers, inilah Dark History kali ini.

THE WAR OF ROSES

War of Roses terjadi antara dua klan, yakni House of Lancaster yang dilambangkan mawar merah dan House of York yang dilambangkan mawar putih. Pemenangnya justru House of Tudor yang menggabungkan warna kedua mawar sebagai bentuk persatuan dua keluarga

Sejarah House of Tudor tak bisa dipisahkan dengan sejarah suku-suku di Inggris. Pulau Britania (pulau dimana Inggris berada) pada awalnya dihuni oleh suku-suku asli yang disebut Celtic. Anggota suku Celtic ini antara lain Welsh yang menghuni bagian selatan pulau dan Skotlandia di bagian utara pulau. Namun sekitar tahun 410 M, muncul suku pendatang asal Jerman yang bermigrasi ke pulau tersebut. Mereka kemudian disebut Anglo-Saxon dan merekalah yang hingga saat ini kita sebut sebagai “Inggris”. Karena merupakan suku pendatang, tak heran Inggris sering berselisih dengan suku Celtic yang sejak awal mendiami pulau tersebut. Orang-orang Welsh (kini disebut Wales) dan Skotlandia dikenal amat tak menyukai Inggris dan menganggap mereka penjajah.

Namun pada abad ke-15, salah satu anggota suku Welsh yang bernama Owen Tudor, justru berkhianat dan menjadi orang kepercayaan Henry V, raja Inggris kala itu. Namun bukannya setia pada raja yang dilayaninya itu, Owen justru diam-diam menjalin hubungan perselingkuhan dengan sang ratu dan istri Henry V kala itu, yakni Catherine dari Valois. Setelah Raja Henry V tewas pada 1422, maka merekapun semakin bebas melanggengkan hubungan gelap mereka. Dari cinta terlarang itu lahir dua buah hati mereka, yakni Edmund dan Jasper. Sebagai benih hasil perselingkuhan sang ratu, tentu kedua anak Owen tersebut tak berhak atas tahta Inggris. Namun Owen ternyata punya rencana untuk merebut tahta demi kepentingan keluarganya sendiri.

Kala itu di Inggris sendiri terjadi perang berkepanjangan yang disebut “War of Roses” atau “Perang Mawar” yang berkecamuk pada 1455 – 1487. Awalnya, pada tahun 1450 terjadi sengketa di Istana Inggris sebab raja yang bertahta kala itu, yakni Henry VI, mengalami kegilaan dan tak bisa memerintah. Tak hanya itu, sang ratu, yakni Margaret of Anjou, tak memiliki keturunan. Dua keluarga ningrat paling berkuasa saat itu, yakni House of Lancaster dan House of York langsung mengajukan diri untuk mengambil alih tahta. Hal ini berakibat pada perang perebutan kekuasaan antara dua keluarga tersebut. Karena House of Lancaster dilambangkan oleh mawar merah dan House of York dilambangkan dengan mawar putih, maka perang antara kedua keluarga itu disebut “War of Roses” atau perang antara dua mawar.

War of Roses” ini, seperti kalian tebak, menjadi inspirasi utama bagi George R.R. Martin untuk menulis karya maestronya “Game of Thrones”, dimana House of Lancaster diganti namanya menjadi “House of Lannister” dan House of York menjadi “House of Stark”.

Edmund dan Jasper, kedua anak dari Owen Tudor, sama-sama menjadi pengabdi fanatik House of Lancaster. Namun pada akhirnya, House of York memenangkan perang tersebut karena tak ada satupun pewaris pria dari House of Lancaster yang selamat, sehingga tahta jatuh pada Richard III dari Dinasti York. Namun, Richard III sendiri bukanlah raja yang populer (demi meraih tahta, Richard III tega membunuh pesaingnya, yakni dua pangeran Inggris yang masih berusia 9 dan 12 tahun) sehingga Henry Tudor, putra dari Edmund Tudor, memutuskan untuk mengambil kesempatan merebut tahta. Ia kemudian menyerang Richard III dan membunuhnya pada 1485 dalam perang yang disebut “Battle of Bosworth Field” yang secara resmi mengakhiri “War of Roses”.


HENRY TUDOR

Henry Tudor pun menjadi raja Inggris pertama dari House of Tudor. Henry (walaupun silsilahnya diragukan karena berasal dari hasil perselingkuhan ratu) mengaku sebagai keturunan terakhir keluarga Lancaster. Demi melanggengkan kekuasaannya dan mencegah perang lebih lanjut dengan House of York, Henry menikahi Elizabeth, pewaris terakhir keluarga York. Henry kemudian mengangkat dirinya menjadi Raja Henry VII.

Raja Henry VII dan istrinya memiliki dua anak laki-laki, Arthur dan Henry. Sebagai anak sulung, tentu Arthur-lah yang diharapkan meneruskan tahta sehingga semenjak kecil digembleng menjadi raja dengan pendidikan terbaik. Henry, sementara itu, tumbuh menjadi anak yang berperangai seenaknya, sebab ia hidup bebas tanpa kekangan apapun dan bisa berbuat semaunya. Demi memperluas kekuasannya, Raja Henry VII menikahkan Arthur dengan putri kerajaan Spanyol bernama Catherine of Aragon pada 1501. Namun celaka, baru empat bulan menikah, Arthur tiba-tiba saja meninggal.

Tak ada pilihan lain, tahta pun jatuh pada adiknya, Henry, yang kemudian menjadi Raja Henry VIII. Celakanya, Henry semenjak awal tak berkeinginan menjadi raja. Selain itu, ia juga dipaksa menikahi Catherine, janda dari kakaknya. Namun ketika menjabat raja, Henry ternyata cukup piawai (apalagi dalam berperang) sehingga bisa dibilang cukup sukses. Kehidupan pribadinya-lah yang justru jadi masalah.

Pernikahan Henry dan Catherine tak pernah bahagia, terutama karena Catherine tak pernah bisa memberikan Henry anak laki-laki sebagai pewaris tahta. Anak pertama mereka meninggal karena keguguran. Anak keduanya, dinamai Henry pula, meninggal 52 hari setelah dilahirkan. Kehamilan demi kehamilan Catherine berakhir dengan keguguran, kecuali satu, yakni putrinya yang bernama Mary, yang dilahirkan pada 1516.

Jelas, tanpa pewaris tahta, Dinasti Tudor dalam bahaya. Bahkan bukan tak mungkin, perang serupa dengan “War of Roses” akan terjadi kembali gara-gara Catherine tak mampu memberikan anak laki-laki.

Henry hanya memiliki satu ide untuk mengatasi problema ini, yakni menceraikan Catherine dan menikah lagi dengan wanita yang lebih “subur”. Kala itu, Henry terpikat kecantikan seorang wanita bangsawan bernama Anne Boleyn (konon, ayah Anne sendiri yang mengirimnya untuk menggoda sang raja demi meraih tampuk kekuasaan). Anne sendiri tak hanya rupawan, namun teramat cerdas, sehingga menaklukkan hati Henry. Kini, jika kita mendengar Anne Boleyn mungkin yang terbayang adalah sosok gadis cantik dan juga sexy yang tak segan menggunakan keindahan tubuhnya demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Anne sejatinya memang wanita ambisius, namun ia juga adalah sosok feminis yang percaya bahwa pria dan wanita adalah setara.

Henry yang kebelet ingin melanggengkan hubungannya dengan si cantik Anne kemudian mengutus Kardinal Thomas Wolsey untuk pergi ke Roma dan membujuk paus kala itu, yakni Puas Clement VII. Perlu diketahui, bahwa perceraian amatlah dilarang dalam ajaran agama Katolik, jika tidak memiliki alasan kuat. Bahkan satu-satunya orang yang diperbolehkan mengesahkan perceraian adalah Paus sendiri. Namun kala itu, Paus Clement VII menolak mentah-mentah permintaan Henry. Jika kalian ingat, Paus Clement VII adalah anggota keluarga Medici, sehingga alasannya pastilah bukanlah karena isu religius untuk menegakkan aturan agama, namun lebih ke politik. Pasalnya, Catherine adalah putri dari Raja Charles V yang kala itu amat berkuasa, hingga Paus Clement VII ogah membangkitkan amarah mertua Henry.

Karena kegagalannya berdiplomasi, Kardinal Wosley dihukum mati dan posisinya sebagai penasehat digantikan oleh Thomas Cromwell. Atas saran Cromwell, Henry lalu memisahkan diri dari agama Katolik dan mendirikan aliran sendiri, yakni Gereja Anglikan. Ia kemudian mengangkat dirinya sebagai pemimpin tertinggi agama Anglikan, sehingga kini ia punya kuasa untuk menceraikan dirinya sendiri. Tapi tentu, pengangkatannya itu ditolak oleh umat Katolik yang ada di Inggris. Hal tersebut dibalas oleh Thomas Cromwell dengan menghancurkan seluruh biara di Inggris, membunuh para pastor dan rahib, dan memaksa umat Katolik tunduk pada sang raja.

Setelah menceraikan Catherine dan mengasingkannya, maka Henry pun bebas menikahi Anne Boleyn.


ANNE BOLEYN

Jika memang seperti ini wajah Anne Boleyn, lelaki manakah yang takkan tergoda?

Salah satu yang menentang habis-habisan pernikahan Henry dengan Anne adalah seorang suster bernama Elizabeth Barton yang konon dianggap memiliki kemampuan melihat masa depan. Sang suster meramalkan bahwa apabila sang raja menikah lagi, maka iapun akan mati dengan cara yang amat menggenaskan. Walaupun Elizabeth adalah seorang wanita yang tak punya status, kedudukan, atau kepentingan apapun, Henry tetap menganggap perbuatannya sebagai bentuk ancaman pemberontakan dan mengeksekusinya dengan hukuman gantung.

Anne akhirnya hamil anak pertamanya. Sayang, tak seperti harapan Henry, bayi yang dilahirkannya justru perempuan dan dinamakan Elizabeth. Anne mampu hamil beberapa kali lagi, namun semuanya berakhir dengan keguguran. Pada tahun 1536 muncul kabar bahwa Catherine dari Aragon, mantan istri Henry, meninggal dalam pengasingan. Pada tahun yang sama, Henry mengalami kecelakaan saat berkuda. Pada saat berita itu sampai ke telinga Anne, ia mengira sang raja terluka parah dan nyaris tewas, hingga iapun pingsan. Celakanya, kala itu ia tengah mengandung anak laki-laki yang seharusnya menjadi pewaris tahta Tudor. Akibat kejadian itu, iapun mengalami keguguran.

Henry pun semakin lama semakin “bosan” dengan istrinya itu. Tak hanya Anne tak mampu memberikan keturunan seperti yang ia harapkan, Anne juga dikenal temperamental dan tak mau tunduk pada suaminya. Anne sejak semula memang sosok yang ambisius, bahkan ingin mengatur negara sama seperti sang suami. Ia sama sekali tak tertarik menjadi wanita patuh dan submisif. Hal ini ditambah lagi dengan Henry yang mulai terpikat dengan kecantikan wanita lain, yakni Jane Seymour.

Akhirnya, atas saran Cromwell, penasehat jahatnya, Henry menuduh Anne berselingkuh dengan kakak kandungnya sendiri, George Boleyn, dan menghukum mati mereka berdua. Konon, sang raja kala itu hanya ingin menyingkirkan Anne, sehingga kemungkinan besar hubungan incest tersebut tak pernah terjadi. Uniknya, Anne, sang wanita ketiga perusak rumah tangga tersebut, dipenggal kepalanya pada tahun 1536, tahun yang dengan kematian Catherine dari Aragon. Tak pelak, peristiwa itu bak balas dendam sang mantan ratu dari dalam kubur.

JANE SEYMOUR

Setelah nyawa Anne lenyap, Henry menikah untuk ketiga kalinya dengan Jane Seymour. Beruntung, ia kali ini mampu melahirkan seorang pewaris tahta yakni anak laki-laki yang diberinya nama Edward pada 1537. Namun sayangnya, selepas bersalin, Jane meninggal dunia.

ANNE DARI CLEVES



Pada 1540, Henry akhirnya memutuskan menikah lagi atas desakan Cromwell. Kala itu ia dijodohkan dengan seorang wanita bangsawan bernama Anne dari Cleves. Kala itu konon, Henry terpukau dengan lukisan yang menggambarkan kecantikan Anne. Namun begitu melihatnya, Henry langsung kecewa karena wajah istri barunya itu tak sama dengan yang ada di dalam lukisan. Beruntung, Anne lolos dari amukan Henry. Yang menjadi pelampiasan kemarahan Henry justru Cromwell yang pertama kali mencetuskan pernikahan itu. Akibatnya, kepala Cromwell-pun dipenggal.

CATHERINE HOWARD

Pernikahan kelima Henry berlanjut dengan menikahi Catherine Howard yang kala itu memang memiliki kecantikan yang memukau, bahkan dijuluki “mawar tanpa duri”. Namun pernikahan itu, seperti yang sebelum-sebelumnya, mengalami masalah. Pada usia mudanya, Henry memang dikenal sebagai pria yang tampan dengan wajah rupawan dan tubuh atletis. Namun Henry kini berusia hampir 50 tahun dan mengalami obesitas karena gaya hidupnya yang bergelimpang kemewahan. Celakanya lagi, Catherine baru berusia 18 tahun, sekitar 30 tahun lebih muda ketimbang Henry.

Catherine yang jyjy memiliki suami yang tua dan gembrot akhirnya memuaskan hawa nafsunya dengan kekasih gelapnya yang bernama Thomas Culpeper. Tak hanya itu, ia mengangkat mantan kekasihnya, Francis Derenham ke posisi penting agar bisa selalu dekat dengannya. Mengetahuinya, tentu Henry marah besar (siapa sih yang nggak kesel kalo cewek kalian masih deket ama mantan eaaaak). Padahal sesungguhnya jika ditilik dalam-dalam, Henry tengah menerima karma-nya sendiri. Selama ini dia suka berselingkuh dengan wanita lain, namun begitu ia diselingkuhi seperti yang ia lakukan terhadap istri-istrinya, ia malah tak terima. Akhirnya Henry memutuskan untuk menghukum mati Catherine bersama lelaki-lelaki simpanannya.

CATHERINE PARR

Pada 1543, Henry akhirnya melangsungkan pernikahan terakhirnya dengan Catherine Parr. Menyadari mungkin ajalnya mulai mendekat, Henry-pun memutuskan berdamai dengan kedua putrinya dari pernikahan sebelumnya, yakni Mary, putri dari Catherine dari Aragon dan Elizabeth, putri dari Anne Boleyn. Ia ingin agar kedua anaknya itu rukun dengan Edward, sang pewaris tahta. Tapi tentu, yang namanya keluarga Tudor, mereka tentu diam-diam bersitegang.

Pada 1547, Henry akhirnya menghembuskan napas terakhirnya. Henry yang pada mudanya dikenal sebagai pemimpin yang ambisius, kini pada masa tuanya dikenal sebagai pria yang arogan, egois, dan paranoid, serta memerintah sebagai tirani. Pada akhir hidupnya, Henry yang awalnya dikenal karena kegagahannya kini menjadi pengidap obesitas dengan lingkar pinggang saja mencapai 1,5 meter. Tubuhnya kini dipenuhi bisul bernanah dan ketika ia mati pada usia 55 tahun, tercatat mayatnya tak muat untuk dimasukkan ke dalam peti matinya sendiri. Bak azab, kini ramalan Elizabeth Barton, sang ahli nujum yang dihukum mati oleh Henry, seakan mengejawantah.

Naasnya, ilmuwan pada masa kini menyebut bahwa melihat dari gejala kematian Henry, kemungkinan besar ia mengidap berbagai kelainan seperti “Kell Positive” dan “McLeod Syndrome”. Kelainan-kelainan inilah yang membuatnya sulit mendapat keturunan. Tragis memang, Henry senantiasa menyalahkan keguguran demi keguguran yang dialami para istrinya sebagai salah sang wanita. Padahal kenyataannya, justru itu adalah akibat genetiknya sendiri yang kurang baik.

EDWARD VI


Sepeninggal ayahnya, Edward, yang kala itu masih berusia 9 tahun, diangkat menjadi raja Inggris bergelar Edward VI. Karena jelas belum mampu memerintah pada umur semuda itu, maka kekuasaannya pun “dibayang-bayangi” oleh para penasehatnya yang mengambil semua keputusan untuknya.

Pada 1553, Edward meninggal karena sakit. Usianya kala itu baru 16 tahun. Konon, pesan terakhirnya sebelum meninggal, “Aku lega akhirnya mati jua.” hal ini mungkin dikarenakan ia bosan dan muak dengan semua intrik istana yang merenggut kebahagiaan masa kecilnya. Namun Edward menolak memberikan tahta pada Mary, kakak tertuanya. Edward lebih memilih memberikan tahtanya pada sepupunya sendiri, sesama keluarga Tudor, yakni Lady Jane Grey.

Keputusan ini tak pelak berujung akan tragedi tak terperikan bagi Jane Grey.

JANE GREY

Adegan tragis eksekusi Jane Grey, seorang putri tak berdosa yang menjadi korban intrik perebutan kekuasaan trah Tudor yang keji

Sayang sekali Jane Grey dilahirkan dalam garis keturunan Tudor, keluarga paling kejam di Eropa kala itu. Di usianya yang masih belia, gadis tak berdosa inipun menjadi tumbal intrik perebutan kekuasaan dalam kerajaan Inggris, yang senantiasa diselimuti pertumpahan darah.

Konon Jane Grey, seorang gadis biasa yang sama sekali tak tertarik pada politik, pingsan begitu mendengar ia kini menjadi Ratu Inggris. Ia tahu bahwa tahta itu akan berujung bencana mengerikan bagi dirinya. Jane Grey berusaha mengembalikan tahta itu, namun terlambat. Karena ia kini sudah resmi menjadi penguasa tertinggi Inggris, maka satu-satunya cara agar Mary dapat naik tahta adalah dengan membunuhnya. Jane Grey pun dijatuhi hukuman mati dan dipenggal.

Kala itu usianya baru 16 tahun.

MARY TUDOR

Mary Tudor dikenal menjadi salah satu ratu terkejam dalam sejarah Inggris bukan hanya karena ia mewarisi darah Tudor, namun juga karena sakit hati ditelantarkan oleh suaminya sendiri

Tanpa satupun saingan yang masih hidup, Mary Tudor pun melenggangkan langkahnya untuk meraih tampuk kekuasaan tertinggi di Inggris. Sebagai ratu, iapun memutuskan menikah dengan seorang pangeran Spanyol bernama Phillip untuk memperkokoh kekuasaannya. Namun, hubungan Mary dan Phillip kala itu (yang keduanya beragama Katolik) mendapat tentangan dari rakyat Inggris yang beragama Protestan. Seorang pria bernama Thomas Wyatt kemudian memimpin rakyat memberontak.

Namun Mary bukanlah wanita lemah seperti ibunya, Catherine dari Aragon, yang hanya bisa diam saja kala dizalimi oleh suaminya (soundtrack sinetron: Ku menangiiiiiiis membayangkan....). Mary, belajar dari penderitaan ibunya, berani melawan setiap laki-laki yang berusaha menyingkirkannya. Iapun menangkap Thomas dan menyiksanya dengan cara yang tak manusiawi. Tujuannya adalah untuk memaksa Thomas memberi kesaksian palsu bahwa usaha pemberontakannya dibantu oleh Elizabeth, saudarinya sendiri yang juga adalah penganut Protestan. Sekali lempar batu, dua burung yang kena; mungkin itulah yang ada di benak Mary kala itu.

Kala itu Mary memang bernafsu ingin menyingkirkan adiknya itu. Tak hanya Elizabeth adalah pewaris tahta berikutnya sehingga bisa mengancam kekuasannya, Mary juga masih dendam kesumat atas perlakuan Anne Boleyn, ibu Elizabeth, yang telah membuat kehidupan Catherine dari Aragon, ibunya, bak di neraka. Namun sayang bagi Mary, walaupun didera penderitaan tak terperikan, Thomas sama sekali tak mau memfitnah Elizabeth dan akhirnya dihukum penggal.

Tak hanya situasi politik kerajaan Inggris kala itu yang mengalami gonjang-ganjing, masalah pribadi sang ratupun digoncang prahara. Pernikahan Mary dengan Phillip, yang tak pernah didasari cinta dan hanya merupakan gimmick politik saja, jelas tak berbuah kebahagiaan. Phillip bahkan terang-terangan mengaku tak pernah mencintai Mary dan memilih mengabaikan istrinya itu. Merasa terpukul atas perlakuan suaminya, Mary kemudian melampiaskan amarahnya pada kaum Protestan. Pada pemerintahannya, Mary dikenal teramat kejam pada para penganut Protestan, bahkan tega membakar mereka hidup-hidup. Karena level kesadisannya inilah, nama Mary kemudian terabadikan dalam urban legend “Bloody Mary”.

Namun pada 1558, tahta penuh teror sang Bloody Mary akhirnya berakhir ketika ia meninggal, kemungkinan karena kanker. Adiknya Elizabeth, kemudian dilantik sebagai Ratu Inggris pada 1559.

ELIZABETH TUDOR

Elizabeth kala menjadi ratu memang sering terlihat memakai busana bombastis dan make up tebal yang pada akhirnya justru mengakhiri hidupnya sendiri

Usia Elizabeth terbilang masih muda saat memangku tampuk kekuasaan, yakni 25 tahun. Walaupun banyak pihak berusaha menyingkirkannya, namun Elizabeth terbukti mampu bertahan dan mengatasi itu semua. Itu semua tentu berkat satu sifat yang secara turun menurun memang terpatri dalam DNA keluarga Tudor, yakni: ambisi. Tak hanya itu, kini ambisi yang mendarah daging dari darah Tudornya bercampur dengan sifat keras sang ibu, Anne Boleyn, yang feminis dan ogah tunduk pada laki-laki. Akibatnya, Elizabeth sama sekali tak mau menikah.

Ia tahu, rakyat Inggris tak menginginkan seorang pemimpin perempuan. Jika ia menikah, maka tentu saja mahkota kekuasaan akan jatuh kepada suaminya, yang menjadi raja Inggris. Iapun diharapkan menjadi wanita yang “semestinya” pada masa tersebut, yakni tunduk pada sang suami dan hanya bertugas melahirkan keturunan sebagai pewaris tahta saja. Tidak, jelas bukan itu yang diinginkan Elizabeth Tudor.

Walaupun para pangeran tampan berbondong-bondong datang dari segala penjuru Eropa untuk melamarnya, Elizabeth sama sekali tak bergeming. Bahkan ketika sebuah tawaran yang cukup menggiurkan datang dari Francis, seorang pangeran Prancis yang juga adalah putra dari Catherine de Medici. Tentu bagi Elizabeth yang ambisius, menggabungkan kekuatan House of Tudor dengan House of Medici yang merupakan keluarga terkaya di Eropa merupakan godaan yang sukar ditolak. Namun kala itu, Elizabeth tetap kukuh dalam pendiriannya. Penyebabnya adalah Elizabeth seorang penganut Protestan, sedangkan Catherine de Medici (yang tentu kejam seperti layaknya klan Medici yang lain) bertanggung jawab atas “St Bartholomew's Day Massacre” sebuah aksi pembantaian massal yang menimpa puluhan ribu penganut Protestan di Prancis. Hal tersebut tentu membuat Elizabeth merasa ilfil pada calon mertuanya itu.

Catherine (berpakaian hitam), sang ratu Prancis yang kejam dan mewarisi darah keji dari klan Medici, terlihat merasa jyjy dengan mayat kaum Protestan yang dibantainya pada Saint Bartholomew's Day Massacre

Namun itu bukan berarti Elizabeth berhati beku hingga tak mampu jatuh cinta. Konon, rumor menyebutkan bahwa ia memiliki hubungan terlarang dengan Robert Dudley, salah satu bangsawan sekaligus penasehatnya. Kala itu Robert telah menikah dan tiba-tiba saja, sang istri meninggal secara misterius. Tentu saja berhembus desas-desus bahwa Elizabeth sengaja membunuh saingannya itu agar bisa menikahi Robert. Namun ternyata Elizabeth lebih mementingkan tahtanya ketimbang perasaannya dan tak pernah mengawini Robert.

Akhirnya Elizabeth meninggal tanpa satupun ahli waris, sehingga mengakhiri kekuasaan Dinasti Tudor. Pada 1603, akhirnya keluarga Tudor yang mencengkeram Inggris dengan kekejamannya selama kurang lebih 200 tahun, lenyap dari muka bumi.

Uniknya, kematian Elizabeth sendiri kemungkinan besar disebabkan oleh kecantikannya sendiri. Kala ia masih muda, demi mempercantik parasnya, Elizabeth kerap tampil ke muka publik menggunakan make up berbahan dasar timah. Celakanya, timah merupakan logam berat yang beracun dan justru merusak wajahnya. Bak lingkaran setan, demi menutupi wajahnya itu, ia menggunakan lebih banyak kosmetik, sehingga akhirnya berdampak pada kesehatannya dan mengakhiri hidupnya.

Pada akhir hayatnya, Ratu Elizabeth sering digambarkan memiliki wajah buruk rupa karena wajahnya rusak akibat make up yang digunakannya

Namun sebagai konklusi, Elizabeth telah membuktikan bahwa seorang wanita juga pantas dan bisa memimpin negara, sebuah tradisi yang awalnya dianggap tabu pada masa Inggris kuno.

House of Tudor yang penuh intrik seringkali mengorbankan orang-orang tak bersalah demi merengkuh tahta, sehingga dikenal sebagai dinasti paling berdarah dalam sejarah Inggris. Namun rupanya ada sosok yang lebih kejam ketimbang para anggota keluarga Tudor, termasuk menghabisi sanak keluarganya sendiri demi meraih dan mempertahankan tahta. Kali ini, sejarah kelam yang gue bahas, terletak di Asia, tepatnya di tanah Tiongkok.

SUMBER: WIKIPEDIA


6 comments:

  1. Ratu elizabeth yang ini ada hubungannya sama ratu elizabeth yang sekarang kah bang ..??

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beda dong, beda house. Kalo ratu elizabeth II yg skrg dr house of windsor

      Delete
    2. Beda. Jadi sebelum dapat tahta, disuruh milih nama gelar nya itu mau jadi apa, misal ada pangeran namanya albert, pas naik tahta, namanya malah George yang ke sekian, jadi dikasih pilihan aja sih sebenernya

      Delete
    3. beda. ratu elizabeth II dari House of Sachsen-Coburg-Gotha (House of Windsor)

      Delete
  2. Sebernarnya Anne of Cleves ga sejelek itu aslinya bang, justru potret lukisannya cukup akurat.
    Henry 8 justru terpana awalnya, tapi karena Anne ngerasa jijik, barulah si Henry jadi ogah.

    ReplyDelete
  3. Cocok cromwell sama Henry, sama2 gilanya

    ReplyDelete