Dua tahun sebelum Tragedi 11 September, sebuah aksi terorisme menguncang Amerika Serikat. Kala itu, pelakunya bukanlah teroris berpaham radikal, melainkan sepasang pemuda SMA yang dengan membabi buta menembakkan senjata api mereka ke arah guru dan teman-teman mereka sendiri. Tragedi itu terjadi di sekolah mereka, yakni Columbine High School di kota Columbine, negara bagian Colorado. Oleh karena itu, tragedi tersebut sering dijuluki sebagai “Tragedi Columbine”.
Pada 20 April 1999, Eric Harris and Dylan Klebold (masing-masing masih berumur 18 dan 17 tahun) memberondong teman-teman sejawat mereka sendiri dengan senjata api. Total, peristiwa naas tersebut menewaskan 12 murid dan 1 guru, sebelum akhirnya mereka mengakhiri aksi tersebut dengan tragis.
Namun apakah yang melatarbelakangi peristiwa penembakan di sekolah itu? Mengapa sekolah, yang seharusnya menjadi rumah kedua para remaja dan semestinya menjadi tempat bernaung yang aman, menjelma menjadi tempat penjagalan berdarah?
Dear readers, simaklah Dark Case kali ini untuk mengetahui jawabannya.
THE MORNING BEFORE THE MASSACRE
SMA Columbine tempat tragedi itu terjadi |
Tak ada yang mengira, bahwa pagi pada 20 April 1999, bagi beberapa siswa Columbine High School akan menjadi hari terakhir mereka.
Pagi itu Sue Klebold, seorang ibu, menoleh ketika Dylan, putranya berangkat sekolah dan mengucapkan selamat tinggal. Ada sesuatu yang tak biasa dari nada Dylan kala itu, walaupun ia telah mengucapkan hal yang sama setiap pagi semenjak ia kecil. Namun ini adalah Dylan, anak manis yang ia besarkan semenjak kecil. Bahkan, saat ia masih di bangku sekolah dasar, ia sering membagikan coklat pada teman-teman sekelasnya agar ia bisa berteman dengan mereka. Tak mungkin kan ada sesuatu yang buruk akan terjadi kepadanya?
Sementara di rumah lain, seorang gadis remaja Cassie Bernall mengatakan hal yang aneh pada orang tuanya. Ia mengucapkan bahwa ia takkan pernah menikah dan memiliki anak. Orang tuanyapun heran dan bertanya mengapa ia mengatakan hal seperti itu. Cassie hanya menggeleng dan menjawab tak tahu. Ia hanya bisa merasakannya.
Di rumah keluarga Velasquez, sang putra, Kyle, juga mengucapkan selamat tinggal pada ibunya ketika berangkat ke sekolah. Phyllis sang ibu, entah mengapa, merasa bahwa ia takkan pernah bertemu lagi dengan anaknya itu. Ia memang pernah hampir kehilangan Kyle saat ia dilahirkan. Kala itu terjadi komplikasi yang menyebabkan Kyle mengalami sedikit keterlambatan mental. Namun Phyllis kala itu merasa, kali ini ia benar-benar akan kehilangan anaknya.
Sementara itu di depan sekolah, mobil milik Rachel Scott, salah satu siswi Columbine, berhenti di depan sekolah. Di dalamnya, Craig, adiknya keluar dan membanting pintu. Ia barus aja terlibat pertengkaran dengan kakak perempuannya itu di dalam mobil. Craig belum tahu, bahwa apa yang terjadi pada pagi itu akan disesalinya seumur hidup.
Tak hanya Rachel yang tiba di sekolah menggunakan mobil pribadinya. Seorang siswa bernama Josh Tomlin memarkir mobilnya di parkiran sekolah dan turun. Ia juga tak tahu, hari itu yang dianggapnya seperti hari-hari rutin biasa, akan berakhir dalam balutan tragedi.
Di dalam sekolah, Brooks Brown menunggu ulangan yang akan diadakan di kelasnya pagi ini. Namun ia memperhatikan sesuatu yang janggal. Pagi itu, teman sekelasnya, Eric Harris, tak masuk sekolah. Aneh, pikirnya. Ini adalah tes yang cukup penting, kenapa ia malah tidak masuk? Brooks sendiri sebenarnya tak memiliki hubungan yang cukup karib dengannya. Bahkan, salah satu teman sekelasnya pernah memperingatkan bahwa Eric “berfantasi” ingin membunuhnya, dituangkan ke dalam salah satu isi blognya di situs AOL. Bel kemudian berbunyi dan sang guru masuk. Brooks-pun tak memikirkan tentang Eric lagi dan menjalani harinya.
Tak ada yang mengira di lorong sekolah yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk belajar ternyata justru menjadi tempat pembantaian |
Siang itu, mobil sebuah mobil berisi dua pemuda menepi ke parkiran sekolah. Mereka adalah Eric Harris dan Dylan Klebold, dua sahabat dekat semenjak kelas 7 SMP. Ketika menepikan mobilnya, Eric tanpa sengaja bertatap muka dengan Brooks Brown. Melihatnya, Brooks langsung menghampirinya dan bertanya mengapa ia tak muncul di ujian di kelas tadi. Eric hanya menjawab, “[Ujian] itu sudah tak ada lagi gunanya bagiku.”.
Eric kemudian menatap Brooks, pemuda yang semenjak dulu sering berselisih dengannya. Mungkin karena Brooks pagi itu memberikan perhatian kepadanya, Eric-pun berubah pikiran.
“Brooks, aku menyukaimu sekarang. Sekarang pergi dari sini, pulanglah!” begitu katanya pada musuh bebuyutannya itu. Brooks pun bingung. Namun karena sejak awal memang hendak membolos setelah mengikuti ulangan, iapun melenggang pergi. Pemuda itu sama sekali tak tahu bahwa ia akan selamat dari salah satu tragedi pembantaian terburuk dalam sejarah modern Amerika.
Siang itu, di kala semua siswa dan guru sibuk dengan pelajaran di kelas, Eric dan Dylan menyelinap masuk ke kafetaria SMA tersebut. Tas ransel mereka, alih-alih diisi buku dan alat tulis, kini dijejali dengan bom pipa dan amunisi. Mereka juga menyembunyikan senjata api di balik “trench coats” (semacam jaket panjang) yang mereka kenakan. Di baliknya, mereka mengenakan t-shirt senada yang mengungkapkan isi hari mereka. Eric mengenakan t-shirt putih bertuliskan “Natural selection” dan Dylan memakai t-shirt hitam dengan tulisan “Wrath” atau “Kemarahan” yang ditulis dalam huruf berwarna merah.
Di kafetaria, mereka menaruh dua tas berisi bom rakitan yang mereka set untuk meledak pada jam makan siang. Bom itu nantinya gagal meledak karena dibuat secara amatir. Apabila berhasil, maka bom itu bisa membunuh atau paling tidak melukai sekitar hampir 500 murid yang biasanya menyantap makan siang mereka di sana. Tak hanya itu, bom itu bisa menghancurkan pilar yang menyangga ruang perpustakaan yang terletak di atasnya, sehingga bisa runtuh menghantam kafetaria, membuat jumlah korban jiwa bisa mencapai dua kali lipat.
Sembari menunggu bom mereka meledak, Eric dan Dylan kemudian menyiapkan senjata mereka dan mulai beraksi.
11.19: THE SHOOTINGS BEGIN
Eric dan Dylan dua pelaku penembakan massal Columbine |
Pada jam 11:19 siang, Rachel Scott (kala itu masih berusia 17 tahun) dan temannya sedang makan siang bersama dan duduk di atas rerumputan, dekat gerbang barat sekolah tersebut. Tanpa mereka duga, Eric dan Harris mengeluarkan senjata api dari balik jaket mereka dan mulai menembaki mereka. Richard tertembak 8 kali dan langsung ambruk tak sadarkan diri. Ajaibnya, ia nantinya selamat, walaupun mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Namun sayang, Rachel tak seberutung itu. Ia tertembak 4 kali, salah satunya dengan tepat terbidik di kepalanya.
Rachel-pun menjadi korban tewas pertama dalam tragedi penembakan itu.
Eric kemudian mulai mengincar para siswa yang berada di tangga menuju kantin, yakni Daniel Rohrbough, Sean Graves, dan Lance Kirklin. Tembakan Eric langsung menewaskan Daniel serta melukai Sean dan Lance. Dave Sanders, seorang guru, mendengar bunyi berondongan tembakan itu dan segera memperingatkan para murid. Dylan kemudian berjalan ke arah tangga dan menatap Lance yang kini tengah terbaring berlumuran darah di lantai. Lance berusaha merintih meminta tolong. Melihatnya, Dylan mengatakan, “Tentu, akan kutolong kau” ...
Lalu menembaknya tepat di wajah.
Ajaibnya, walaupun terluka parah, Lance nantinya masih selamat. Melihat kejadian naas yang menimpa temannya, Sean segera berpura-pura mati. Mengira ia benar-benar tewas, Dylan melangkahinya. Sekilas, Lance mendengar Dylan berkata, “Sorry, dude!”
Dylan kemudian masuk kembali ke kafetaria, namun tak melukai siapapun di sana. Menurut aparat, kemungkinan besar ia ke sana untuk mengecek bomnya. Namun Eric, yang kini berada di atas tangga, beraksi bak sniper dan menembaki anak-anak yang berada di halaman sekolah. Ia berhasil melukai 3 orang, termasuk di antaranya Anne-Marie Hochhalter, yang nantinya akibat luka-lukanya, menjadi lumpuh seumur hidup.
Tak hanya menembak, Dylan dan Eric melemparkan bom-bom pipa mereka ke berbagai arah hingga meledak. Salah seorang saksi yang selamat mendengar salah satu dari mereka berkata. “Inilah yang selama ini ingin kulakukan. Ini seru sekali!”
CCTV di kantin menangkap gerak-gerik Eric dan Dylan membawa senjata api |
Sementara itu, seorang guru seni bernama Patti Nielson, diikuti seorang murid bernama Brian Anderson, mendengar keributan itu dan menuju ke sana. Mengira itu hanyalah “prank”, Patti segera berteriak pada dua pembunuh itu, “Hentikan!”. Akibatnya, keduanya langsung menembaknya. Beruntung, tak ada satupun peluru yang mengenai Patti. Ia hanya terluka oleh pecahan kaca akibat letusan peluru nyasar itu. Namun Brian tertembak dan Patti segera membawanya ke dalam perpustakaan. Di sana, Patti segera memperingatkan semua siswa yang berada di sana untuk segera bersembunyi di bawah meja.
Eric dan Dylan kini berada di lorong sekolah, berusaha mengikuti jejak darah Patti dan Brian. Di sana, mereka melihat Dave, sang guru, yang masih berusaha mengevakuasi para murid keluar dari gedung sekolah. Eric dan Dylan segera menembaki mereka. Leher dan punggung Dave terkena peluru dan iapun langsung ambruk berlumuran darah, sementara semua siswa yang berusaha ia selamatkan berhasil melarikan diri keluar sekolah. Seorang guru bernama Teresa Miller yang berada di ruang kelas sains melihatnya dan segera menarik Dave ke dalam kelas. Kala itu, sekitar 30 siswa berada di dalamnya. Beruntung, mereka tak diincar karena Eric dan Dylan memiliki tujuan lain, yakni perpustakaan.
Walaupun semua murid berbondong-bondong kabur, namun seorang siswa bernama Aaron Hancey yang dikenal sebagai “dokter cilik”, justru ditarik ke dalam ruang sains karena memahami tentang P3K. Di sana, ia bersama Teresa, sang guru, dan beberapa murid lain, berusaha menyelamatkan Dave. Teresa segera memanggil 911 dan berkomunikasi dengan polisi sepanjang peristiwa itu.
Sementara itu, di dalam perpustakaan, Patti, sang guru seni, melakukan hal yang sama. Namun sebelum pertolongan tiba, Dylan dan Eric sudah keburu masuk ke dalam perpustakaan.
Kala itu, tak ada seorangpun tahu, mereka berdua baru saja hendak memulai pembantaian.
THE LIBRARY MASSACRE
Dylan dan Eric tertangkap kamera CCT dalam pembantaian di perpustakaan |
Pada 11.29 hingga 11.36, Dylan dan Eric berada di perpustakaan (terdengar dari suara yang terekam di panggilan 911 dari Patti). Walaupun sejenak, seakan sekerjapan mata, dalam 7 menit tersebut, mereka berhasil menorehkan tragedi pembantaian yang selamanya menodai sejarah Amerika itu. Kala itu, sekitar 52 murid, dua guru, dan dua pustakawan berada di sana. Tapi baik Eric dan Dylan hanya mengincar para siswa.
Kyle Velasquez secara tragis menjadi korban pertama yang mereka bantai di perpustakaan itu. Ingat bahwa begitu masuk, Patti memperingatkan semua siswa untuk segera bersembunyi? Celakanya, seperti sudah gue singgung di awal, Kyle mengalami sedikit keterbelakangan mental sehingga ia-pun kebingungan. Karena ia satu-satunya siswa yang berdiri kala itu, tembakan Dylan langsung mengenainya.
Iapun tewas seketika.
Tembakan membabi buta Dylan juga mengenai tiga siswa, di antaranya Patrick Ireland dan sahabatnya Makai Hall. Josh Tomlin yang kala itu berhasil bersembunyi di bawah meja, melihat seorang gadis yang tak dikenalnya tengah ketakutan. Gadis itu bernama Nicole Nowlen. Tanpa panjang pikir, Josh langsung menarik Nicole ke bawah meja agar ia tak menjadi korban selanjutnya.
Mengetahui para siswa kini bersembunyi di bawah meja, Eric lalu berlutut dan menembaki bagian bawah salah satu meja. Tembakan itu langsung membunuh Steven Cunrow, murid berusia 14 tahun dan melukai Kacey Ruegsegger, seorang siswi berusia 17 tahun, yang kala itu tertembak di arterinya. Ketika Kacey mulai merintih kesakitan, Eric hanya membalas, “Quit your bitching!” atau “Berhentilah merengek”. Kata “bitch” juga merupakan ungkapan yang bertujuan merendahkan perempuan.
Eric kemudian berpindah meja dimana siswi bernama Cassie Bernall tengah bersembunyi. Iapun menengok ke bawah meja dan berteriak, “Peek-a-boo!” (Cilukba) dan menembak Cassie tepat di kepalanya. Entah firasat apa yang didapat Cassie sebelum kematiannya, namun kini perkataannya pada kedua orang tuanya bahwa ia takkan pernah bisa menikah dan memiliki anak, menjadi nyata.
Kondisi perpustakaan yang seharusnya menjadi tempat menimba ilmu tapi nyatanya malah menjadi TKP pembunuhan |
Setelah puas menghabisi Cassie, Eric bergerak menuju meja berikutnya, dimana seorang siswi lain, Bree Pasquale, tengah bersembunyi. Eric bertanya apa dia ingin mati dan Bree langsung memohon demi nyawanya, yang dibalas dengan tawa Eric. Ketika Dylan menegurnya dan berkata, “Tembak saja dia.”, Eric malah membalas, “Tidak, toh kita akan meledakkan sekolah.”
Nyawa Bree-pun terselamatkan, namun kini Dylan mengamati bahwa salah satu siswa yang mereka tembak, yakni Patrick Ireland, ternyata masih selamat . Tak hanya itu, ia tengah berusaha menolong sahabatnya, Makai, yang tengah terluka. Melihatnya, Dylan segera menembaknya tiga kali. Dua peluru langsung mengenai kepalanya dan Patrick-pun ambruk tak sadarkan diri.
Dylan rupanya masih belum puas melanjutkan aksi kejinya dan bergerak ke meja lain, dimana ia menemukan korban selanjutnya, yakni Isaiah Shoell, Matthew Kechter, dan Craig Scott, yang kala itu bersembunyi di bawah meja itu. Craig tak lain merupakan adik dari korban pertama mereka, yakni Rachel. Hanya beberapa menit baru berlalu sejak kematian Rachel sehingga Craig sama sekali tak mengetahui kakak perempuannya telah tewas.
Mengetahui bahwa Isaiah berkulit hitam, Dylan langsung berteriak pada Eric, “Hei, aku menemukan seorang 'nigga'!”. Eric yang tadi berhadapan dengan Bree, kemudian menghampirinya dan berdua, menghina Isaiah dengan ungkapan-ungkapan rasis. Eric kemudian menembak Isaiah sekali di dada, membunuhnya seketika. Dylan lalu menembak dua siswa lain yang masih di bawah meja, membunuh Matthew seketika. Craig yang tak tertembak, namun berlumuran darah teman-temannya, kini berpura-pura tewas.
Eric kemudian berteriak, “Siapa yang siap mati berikutnya?”
Di bawah meja-meja inilah banyak siswa SMA Columbine yang meregang nyawa |
Dylan kemudian berjalan ke sisi lain dan menemukan tiga gadis tengah bersembunyi. Mereka adalah Lisa Kreutz, Lauren Townsend, and Valeen Schnurr. Dylan langsung menembaki mereka. Lauren tewas seketika, sedangkan Lisa dan Valeen terluka parah. Kini bersimbah darah, Valeen langsung berteriak, “Ya Tuhan Ya Tuhan!”. Mendengarnya, Dylan malah bertanya kenapa Valeen berdoa pada Tuhan dan mengatakan “God is gay”. Eric juga menghampiri meja tersebut dan mengejek dua gadis yang masih hidup. “Menyedihkan!” katanya.
Eric kemudian berjalan ke meja lain dan bahkan tanpa menengok ke bawahnya, langsung memberondongnya dengan peluru. Naasnya, itu adalah meja dimana Josh Tomlin dan Nicole bersembunyi. Saat Josh berusaha merangkak keluar, Dylan segera menembaknya di kepala. Kala itu, kaki Nicole tanpa sengaja bersentuhan dengan kaki Josh dan merasakannya gemetar. Ketika kaki Josh akhirnya berhenti bergerak, akhirnya Nicole tahu, pemuda yang tadi berusaha melindunginya kini telah meninggal.
Eric kemudian menembak seorang gadis lain yang ditemukannya tengah bersembunyi, yakni Kelly Flemming yang masih berusia 16 tahun, membunuhnya. Eric kemudian mengincar meja lain dan bertanya siapa yang ada di bawah sama. Tak diduga, suara yang menjawabnya justru tak asing baginya. Ternyata siswa yang seharusnya menjadi korban selanjutnya adalah John Savage, teman dari Dylan. Mengetahuinya, Eric menahan diri dan bertanya pada Dylan apakah ia harus membunuhnya. Dylan menjawab, “Tidak.” dengan demikian menyelamatkan nyawanya. Dylan dan Eric kemudian membiarkan John kabur melalui pintu perpustakaan.
Setelah John pergi, Eric dan Dylan ternyata masih melanjutkan aksi kejam mereka dan membunuh Daniel Mauser, pemuda berusia 15 tahun, yang kala itu, berusaha melawan mereka dengan mendorong kursi ke arah Eric. Mereka kemudian secara acak mulai menembaki meja-meja lain, membunuh seorang pemuda berusia 17 tahun bernama Corey de Pooter. Kala itu, seorang pemuda bernama Austin Eubanks menyaksikan kematiannya. Walaupun berhasil selamat, Austin tak pernah sembuh dari traumanya itu. Pada 2019, tiga puluh tahun setelah tragedi itu, Austin akhirnya memutuskan bunuh diri.
Pada 11.36, secara ajaib Eric dan Harris memutuskan pergi untuk mengecek bom yang mereka taruh di kafetaria. Pembantaian di perpustakaan itupun berakhir. Mengetahui kepergian mereka, para korban yang selamat segera berusaha menyelamatkan diri. Kacey, salah satu korban tertembak dimana Eric pernah mengatakan, “Quit your bitching.” tergeletak tak berdaya dan sama sekali tak bisa bergerak. Craig, adik dari Rachel Scott, kemudian membantunya keluar dari perpustakaan. Andaikata Craig tak menolongnya kala itu, Kacey pasti sudah mati. Sayang, di luar Craig justru mengetahui bahwa kakaknya telah tewas. Mengingat pertemuan terakhir dengan kakaknya adalah kala mereka bertengkar di dalam mobil dan Craig keluar sambil membanting pintu, maka kini hanya penyesalan yang tertinggal, membekas dalam hatinya selamanya.
Para siswi yang selamat dengan cemas menanti kabar teman-teman dan guru-guru mereka apakah selamat ataukah tewas |
Ketika para murid itu kabur, mereka mengira semua siswa yang lain di dalam perpustakaan telah tewas. Padahal ada dua korban yang selamat walaupun terluka parah, yakni Patrick Ireland, pemuda yang tertembak kepalanya setelah berusaha menyelamatkan temannya dan Lisa Kreutz, salah satu dari gadis-gadis yang bersembunyi di bawah meja. Sayangnya, mereka kala itu tergeletak tak sadarkan diri dan berlumuran darah di lantai, sehingga tak ada yang menyangka mereka sebenarnya masih hidup.
Setibanya di kafetaria, Eric dan Dylan-pun tertangkap kamera CCTV. Eric berusaha menembak bom yang mereka pasang supaya meledak, namun ternyata usaha itupun tak berhasil. Akhirnya, mereka meninggalkan kafetaria dan kembali ke perpustakaan tepat pada jam 12 siang. Di sana, semua siswa telah kabur, meninggalkan mayat-mayat bergelimpangan dan dua siswa yang masih hidup, Patrick dan Lisa, terbaring tak sadarkan diri.
Pada 12.08, terdengar dua suara tembakan dari dalam perpustakaan. Kini bertambah dua korban tewas tergeletak di perpustakaan.
Namun tak disangka, suara tembakan itulah yang mengakhiri pembantaian tragis itu, sebab kala itu Eric Harris dan Dylan Klebold akhirnya bunuh diri dengan menembak diri mereka sendiri.
AFTERMATH
Patrick Ireland yang dijuluki "boy in the window" karena mencoba menyelamatkan diri dari jendela |
Patrick, yang masih terbaring di perpustakaan tiba-tiba terbangun. Iapun sadar, penjagalan telah berlalu. Namun jika ia terus berada di sana, iapun akan mati kehabisan darah. Dengan kekuatan terakhirnya, ia berusaha memanjat jendela dan beruntung, tim SWAT yang telah datang, kini berjaga di sana. Tanpa sengaja, sebuah stasiun berita merekam aksi penyelamatan Patrick yang kala itu merangkak ke jendela dan menjatuhkan dirinya ke tim SWAT di luar. Rekaman yang kemudian tersebar luas dan dilihat jutaan mata tersebut akhirnya membuatnya dijuluki sebagai “the boy in the window”.
Walaupun tragedi pembantaian tersebut berakhir sejak jam 12 siang, tim SWAT baru bisa masuk ke gedung pada jam 3 siang. Di sana, mereka berusaha menyelamatkan Dave Sanders, sang guru yang terjebak di dalam kelas sains bersama guru-guru dan murid-murid lainnya. Sayang, nyawa guru tersebut tak terselamatkan. Namun kematiannya tidaklah sia-sia. Tindakan heroiknya, menyelamatkan banyak siswa kala itu dengan mengorbankan dirinya sendiri, membuatnya dipuja sebagai pahlawan yang gugur. Sekitar waktu yang sama pula, tim SWAT berhasil mengevakuasi Patti yang tetap tinggal demi siswanya, Brian yang terluka. Mereka juga berhasil menyelamatkan nyawa Lisa yang terbaring tak sadarkan diri di perpustakaan.
Berita tentang tragedi penembakan telah menyebar ke seluruh negeri. Awalnya terjadi miskomunikasi sehingga media memampang berita bahwa 25 orang tewas dalam tragedi tersebut. Padahal ada 15 orang yang terbunuh kala itu, termasuk dua pelakunya yang bunuh diri. Sepanjang pembantaian itu, total 118 tembakan dilepaskan oleh dua pembunuh belia tersebut. Sekitar 121 ditembakkan oleh Eric dan sisanya, 67 tembakan, dilepaskan oleh Dylan.
Kisah yang tak kalah tragis kini juga dialami pihak keluarga. Kala itu, reporter berdatangan dan tanpa perasaan memajang foto-foto korban dengan full frontal di tayangan berita mereka. Termasuk di antaranya adalah jenazah Daniel Rohrbough, korban kedua yang tewas akibat aksi kedua pembunuh remaja itu. Kala itu mayatnya tergeletak di luar sehingga media dengan mudah memfotonya. Tragisnya, karena melihat tubuh anaknya yang kini tak lagi bernyawa dan berlumuran darah di televisi-lah, orang tua Daniel mengetahui kematian anaknya.
Penyelidikan para polisi pasca penembakan di SMA Columbine |
Begitu mendengar tenang berita penembakan di Columbine, Sue, ibu dari Dylan, langsung tahu bahwa pelakunya adalah anaknya. Semenjak awal ia memang merasakan firasat aneh akan anaknya itu. Melihat berita tersebut, Sue hanya bisa menangis dan berdoa agar Dylan, anaknya, segera mati, supaya tak ada lagi korban jiwa yang jatuh.
Saking gentingnya situasi kala itu, Bill Clinton, presiden AS kala itu, segera muncul di televisi untuk menenangkan rakyatnya.
Malamnya, para orang tua tak bisa masuk ke sekolah karena telah ditutup garis polisi. Mereka juga tak bisa melihat jenazah anak-anak mereka, yang masih belum dievakuasi dan tergeletak di dalam. Yang bisa mereka lakukan kala itu hanya berziarah di mobil Rachel Scott dan Josh Tomlin yang masih terparkir di luar sekolah. Orang tua Josh hanya bisa menyalakan lilin dan berdoa di sana, berharap terjadi keajaiban sehingga bisa melihat anak mereka selamat di dalam mobil. Sayang kita tahu, harapan mereka itu, walaupun tulus, takkan pernah bisa menjelma menjadi kenyataan.
Namun tetap saja, di balik badai tragedi berdarah yang bergelora itu, masih ada secercah kabar baik. Patrick Ireland selamat walaupun tertembak di kepalanya, bahkan dianggap sebagai pahlawan karena demi menyelamatkannya temannya-lah ia sampai tertembak. Begitu sembuh, Patrick segera didaulat sebagai “homecoming king” di pesta kelulusan Columbine High sebagai bentuk penghargaan.
BUT WHY?
Dylan merekam aksinya berlatih menembak sebelum tragedi Columbine |
Namun mengapa, itulah pertanyaan yang tersisa sekarang sebagai debu yang mengendap setelah badai kematian yang tadinya menggelora itu reda dan berlalu.
Sebenarnya, sebelum aksi pembantaian yang dilakukan Dylan dan Eric di sekolah mereka, ada banyak “firasat” ataupun pertanda bahwa kedua remaja tersebut sanggup melakukan, bahkan sudah merencanakan, aksi tersebut. Ingat bahwa Eric pernah membuat website yang isinya mengancam Brooks? Ternyata berita tentang website berisi ancaman pembunuhan itu sampai ke telinga polisi. Bahkan ketika mereka menggeledah rumah Eric, mereka menemukan bom pipa buatannya di sana. Namun sayangnya, penemuan itu tak pernah ditindaklanjuti.
Pada Januari 1998, Eric dan Harris juga terlibat dalam pembobolan sebuah van dan mencuri peralatan elektronik di sana. Perbuatan kriminal ini, walaupun kecil, sebenarnya sudah menandakan bahwa mereka mampu melakukan tindakan melanggar hukum. Tapi karena masih di bawah umur, hakim hanya menjatuhkan hukuman ringan kepada mereka.
Apabila aksi penembakan oleh Eric dan Dylan di sekolah mereka bisa dianggap sebagai “plot twist”, maka sesungguhnya mereka sudah mem-”foreshadowing”-kan perbuatan mereka. Kala itu Eric menulis paper berjudul “Guns in School”, bahkan memuja-muja NAZI dalam papernya yang lain (tanggal 20 April yang mereka pilih untuk melaksanakan aksi penembakan massal itu bertepatan dengan ulang tahun Hitler). Dylan juga menulis paper serupa yang mengagung-agungkan Charles Manson, sosok seorang pemimpin cult yang juga seorang pembunuh. Orang tua merekapun dipanggil oleh guru. Namun alih-alih membahas penggambaran kekerasan yang cukup “disturbing” dalam paper-paper tersebut, sang guru malah menyoroti kata-kata kasar dan makian yang dipakai kedua bocah itu dalam tugasnya.
Kita kembali ke pertanyaan awal kita, mengapa?
Sebelum tragedi Columbine, sesungguhnya ada beberapa "pertanda" semisal Dylan dan Eric (di pojok kiri atas) berpose mengacungkan senapan saat foto bersama ini |
Jawabannya mungkin rumit. Bahkan hingga saat ini, tak ada yang benar-benar tahu apa alasan mereka yang sesungguhnya. FBI menyebut Eric memiliki kelainan psikopat, sedangkan Dylan depresif. Jika kita menilik berapa butir peluru yang mereka tembakkan, kitapun bisa menyimpulkan bahwa Eric menembakkan lebih banyak peluru (bahkan hampir dua kali jumlah peluru yang ditembakkan Dylan). Dengan kata lain, Eric-lah sang pemimpinnya dan Dylan pengikutnya.
Pada bukunya yang berjudul “Columbine”, seorang jurnalis Amerika bernama Dave Cullen berteori bahwa Eric memiliki kelainan “messianic-level superiority complex” dimana ia menganggap dirinya “agung” dan superior, menyamai Tuhan. Dave Cullen juga setuju dengan teori FBI bahwa Dylan hanyalah pengikut. Bahkan, sejak awal niat awal Dylan sebenarnya hanyalah untuk bunuh diri. Dr. Peter Langman, seorang psikolog yang ahli dalam kasus penembakan massal menambahkan bahwa Eric menderita “pathological narcissistic personality disorder”. Tak hanya narsis, sifat tersebut masih ditambah dengan sikap yang antisosial, paranoid, dan agresif, sehingga menghasilkan seorang pembunuh keji.
Jika kita mengabaikan penyakit jiwa yang mungkin (atau tidak) diderita oleh dua penembak itu, maka teori umum yang beredar akan penyebab tragedi itu adalah bullying. Ya, Eric dan Dylan, menurut penuturan teman-teman sekolah mereka, sering menjadi target pembully-an. Eric lahir dengan sebuah kelainan fisik dimana dadanya sedikit cekung, sehingga tiap kali ia melepas bajunya untuk berganti pakaian saat pelajaran olahraga, ia senantiasa ditertawakan. Mereka berdua juga, karena bersahabat karib, sering diejek sebagai “faggot” atau kaum homoseksual. Tak heran, muncul sebuah teori bahwa Dylan sesungguhnya adalah seorang biseksual dan diam-diam “jatuh cinta” pada Eric. Itulah sebabnya, ia tak pernah ragu mengikuti perintahnya untuk melancarkan aksi penembakan, bahkan rela mati bersamanya.
Ada sebuah insiden dimana Eric dan Dylan disemprot menggunakan saos ketika berada di kafetaria sambil diejek sebagai “gay”. Di rumah, Dylan kemudian mengungkapkan bahwa itu adalah hari terburuk yang pernah dialaminya seumur hidup. Yang lebih membuat geram, kala itu banyak guru yang melihatnya, namun memutuskan mengabaikannya. Alasannya, menurut mereka hal itu sudah “biasa” dan “namanya juga anak-anak”.
Namun alasan itu malah dipertanyakan banyak pihak. Kita bisa lihat sendiri di perpustakaan, Eric dan Dylan sebenarnya memiliki beberapa teman yang cukup setia (mereka bahkan melepaskan John, salah seorang teman mereka) jadi mereka tak sepenuhnya antisosial. Mereka bahkan berperilaku sebaliknya, yakni membully seorang anak kulit hitam, bahkan membunuhnya. Muncul pertanyaan, apakah selama ini karena terus-menerus menjadi “korban”, maka merekapun menjelma menjadi “pelaku”? Apakah karena mereka sering dibully, maka merekapun menjadi pembully?
THE LEGACY
Percaya atau tidak, adanya rumor bahwa Dylan dan Eric adalah korban bully, membuat segelintir orang menganggap mereka sebagai “pahlawan”. Bahkan, situs media sosial semacam Tumblr dijadikan pusat fandom mereka. Para fans Eric dan Dylan menyebut diri mereka sebagai “Columbiners”. Bahkan tak jarang, para pengagum mereka muncul dengan kostum memerankan kedua penembak itu dalam ajang cosplay.
Investigasi yang dilakukan CNN pada 2015 mengungkapkan fakta mengejutkan, bahwa semenjak Tragedi Columbine pada 1999, sudah terjadi paling tidak 19 kasus penembakan massal yang terinspirasi oleh aksi kedua remaja tersebut. Bahkan, kasus penembakan di kampus Virginia Tech yang menewaskan 32 orang (termasuk satu mahasiswa Indonesia) juga terinspirasi oleh Kasus Columbine. Tak hanya itu, Adam Lanza, sang pelaku penembakan massal di Sandy Hook Elementary School yang menewaskan 28 orang juga mengaku terinspirasi olehnya. Terakhir, pada 2019 seorang remaja berusia 18 tahun bernama Sol Pais mengaku mengidolakan kedua remaja tersebut, membeli amunisi, dan mengancam akan melakukan aksi penembakan massal. Namun kemudian ia ditemukan bunuh diri, menembak dirinya sendiri.
Kasus Eric Harris dan Dylan Klebold membuktikan, bahwa kondisi psikologis kaum remaja amatlah rapuh, apalagi jika didera dengan penyakit kejiwaan dan depresi akibat pembully-an. Sehingga tak heran jika jiwa ringkih mereka dengan mudah bisa terseret dalam pusaran amarah, hingga akhirnya tenggelam ke dalam lautan tragedi dan air mata.
SUMBER: WIKIPEDIA
Semoga tidak pernah terjadi lagi.
ReplyDeleteSemoga tidak terjadi lagi. Jika di bully, cobalah ke BK Sekolah/ruang konseling kampus. Cobalah berdiskusi disana dan temukan solusi
ReplyDeleteLewat film Elephant (2003) yg stylish kita bisa tahu lingkungan situasi di sekolah Amrik itu gimana hingga detik2 penembakan terjadi, walaupun ini fiksi tp pesan yg disampaikan cukup dapat menurut saya.
ReplyDeleteReporter biadab,demi duit hati nuraninya hilang, gimana bisa foto korban pembunuhan dipajang frontal macem gitu
ReplyDeleteMiris ya ketika bullying dianggap wajar ☹️
ReplyDeleteBang bagian Austin Eubanks bunuh diri harusnya dua puluh tahun setelah tragedi, kan 1999-2019
ReplyDeleteSo, bad.
ReplyDeleteAku tau kasus ini dari artikel pictures taken before disaster, yang salah satunya foto dylan sama eric di pojokan foto sekolah pose nembakin senjata. Bisa dibilang kasus ini yang bikin aku tertarik sama kasus2 kriminal di amerika, dan tetep jadi salah satu kasus paling chilling di antara lainnya karena kekejamannya. Makasih bang dave udah bahas kasus ini.
ReplyDeleteThis is why you should take action when you notice something is wrong. Not putting blame for anyone but we should learn to reach out and don't dismiss anything. Thinking that we maybe just "overreacting".
ReplyDeletePatrick ireland sakti bgt. 3x ditembak kepala jarak dekat masih selamat
ReplyDeleteJadi inget salah satu episode AHS yang Tate (salah satu perannya) membantai teman2nya, hantu para korban sampai ngejer2 Tate nanya sebenernya apa alasannya. Dan Tate lupa, dia bahkan gatau atau menolak ingat kenapa dia bisa mati dan denial pernah bunuh orang. Adegan pembunuhan juga di perpus. Mungkin terinspirasi dari tragedi eric dan dylan.
ReplyDeleteInsane
ReplyDeleteJadi ini colombine yang dimaksud em, i feel so bad for the victim
ReplyDelete