Saturday, January 16, 2021

TRAGEDI ANDES: DARI SEMANGAT HIDUP HINGGA KANIBALISME







Menilik kasus kanibalisme di Donner Party kemarin, gue mulai penasaran, adakah kasus-kasus kanibalisme lain yang pernah terjadi dalam kondisi serupa, namun di masa yang lebih modern? Naasnya, jawabannya adalah: ada! Kasus yang ingin gue bahas kali ini adalah tragedi Andes yang terjadi pada tahun 1972 dimana pesawat Uruguayan Air Force Flight 571 yang kala itu mengangkut tim rugby untuk bertanding tiba-tiba jatuh ke pegunungan Andes yang diselimuti salju. Para penumpangnya banyak yang tewas dan yang selamatpun harus mempertahankan diri mereka di kondisi alam yang teramat ganas. Karena tak punya pilihan lain, para penyintas dari kecelakaan pesawat itupun terpaksa melakukan aksi kanibalisme dengan memakan jenazah teman-teman mereka yang telah meninggal.

Celakanya, dengan terjebak pada ketinggian 3.500 meter di atas permukaan laut, bagaimana mereka akan selamat?

Kisah Andes ini, walaupun begitu tragis, sesungguhnya amatlah inspiratif dan menjadi bukti bahwa kita sesungguhnya bisa mencapai apapun asalkan kita berusaha.

Dear readers, bersiaplah menyimak kisah kelam ini, hanya di Dark Case kali ini.

CHAPTER 1: FLIGHT NUMBER 571


Tak ada yang menduga tim sepak bola dari Uruguay ini mengalami nasib tragis

Sebuah tim rugby amatir bernama “Old Christians Club” dari Montevideo, Uruguay, dijadwalkan bertanding dengan tim rugby lain asal Inggris di Santiago, Chile. Untuk tiba di sana, mereka mencarter sebuah pesawat dari Angkatan Udara Uruguay. Kala itu, pesawat tersebut mengangkut 40 penumpang (kebanyakan adalah para mahasiswa yang bergabung dalam tim rugby tersebut berserta keluarga mereka) dan 5 anggota kru. Pesawat itu dipiloti oleh seotang kolonel berpengalaman bernama Julio César Ferradas yang telah malang melintang di dunia aviasi dan memiliki lebih dari 5.000 jam pengalaman terbang. Co-pilotnya kala itu Letkol Dante Héctor Lagurara yang kala itu masih dalam pelatihan.

Karena masih ada sisa kursi, maka keluarga dari anggota tim-pun diundang untuk mengisi kekosongan kursi tersebut. Sang dokter yang ditugaskan menangani tim itu, Dr. Francisco Nicola membawa serta istrinya, Esther. Fernando (Nando) Parrado, salah satu pemain rugby, mengajak ibunya, Eugenia, dan adiknya, Susana. Francisco Abal, pemain lainnya, mengajak sepupunya, Javier Menthol dan istrinya, Liliana, sebagai kado anniversary pernikahan mereka. Ketika salah satu penumpang membatalkan perjalanannya, tiket itu kemudian dibeli oleh seorang wanita bernama Graziela Mariani yang kala itu ingin menghadiri pesta pernikahan di Santiago, Chile.

Pesawat Uruguayan Air Force Flight 571 yang mereka tumpangi berangkat pada 12 Oktober 1972. Ketika pesawat tersebut melewati Pegunungan Ades, awan tebal menutupi mereka. Namun, telah terbang sebanyak 29 kali melintasi Andes, Julio César, sang pilot, sama sekali tak khawatir. Mengandalkan intuisinya, sang pilot kemudian memberitahu petugas bandara di Curicó, kota terdekat kala itu untuk meminta izin menurunkan ketinggian pesawat mereka. Celakanya, sang pilot salah perhitungan. Kala itu dibutuhkan waktu 7 menit bagi pesawat tersebut di posisinya saat itu untuk selamat mencapai Curicó, namun sang pilot justru turun 4 menit lebih awal.

Padahal, tepat di bawah mereka, masihlah menjulang Pegunungan Andes.

Akibatnya tak terbayangkan, pesawat tersebut langsung menabrak pegunungan tersebut. Sang pilot berusaha menyelamatkan pesawat tersebut dengan cara menerbangkannya secara vertikal. Namun naas, mereka tak bisa mengalahkan keperkasaan Andes yang menjulang tinggi di depan mereka. Tabrakan tersebut menyebabkan pesawat terpecah menjadi dua. Bagian ekornya terlepas sehingga tiga penumpang dan dua kru yang duduk paling belakang terlempar keluar dari pesawat dan terbunuh. Sayap pesawat kemudian patah dan dua lagi penumpang terbang keluar, menewaskan mereka. Akhirnya pesawat tersebut menghantam salah satu puncak pegunungan tersebut dengan bagian kepala menghantam salju terlebih dahulu. Sang pilot langsung tewas dan Dante, sang ko-pilot kini dalam kondisi kritis.

Gawatnya lagi, kala itu pesawat naas tersebut terdampar di sebuah gletser (kemudian diberi nama “Glaciar de las Lágrimas” atau “Gletser Air Mata”) dengan ketinggian 3.570 kilometer dari permukaan laut, terletak di perbatasan terpencil antara Chile dan Argentina. Jika kalian sukar membayangkan seberapa tinggi itu, ingat bahwa Pegunungan Andes merupakan wilayah pegunungan tertinggi kedua di dunia, setelah Pegunungan Himalaya.


CHAPTER 2: SURVIVAL


Para anggota tim ketika berangkat, tak menyangka mereka akan mengalami nasib yang menggenaskan

Sementara itu di dalam pesawat, situasi amatlah kacau. Tak hanya sang pilot serta tujuh penumpang yang terlempar keluar dari pesawat saja yang menjadi korban. Akibat tabrakan, empat penumpang juga menemui ajal. Gawatnya, justru sang dokter, sosok paling senior dari tim tersebut, yakni Dr. Francisco Nicola, jadi salah satu yang pertama yang gugur. Selain itu, istrinya, Esther Nicola; ibu dari Nando, Eugenia Parrado; dan seorang mahasiswa kedokteran bernama Fernando Vazquez, juga tewas.

Kondisi para penyintas-pun amatlah menggenaskan. Hanya tersisa 33 orang, kondisi mereka sebagian besar dalam keadaan terluka. Kedua kaki Arturo Nogueira, seorang anggota tim rugby, patah. Nando Parrado kini bahkan dalam keadaan koma. Beruntung, masih ada dua mahasiswa kedokteran yang masih hidup, yakni Roberto Canessa dan Gustavo Zerbino. Walaupun mereka masihlah mahasiswa baru di semester keempat, namun mereka menggunakan kemampuan mereka untuk menyelamatkan teman-teman mereka yang terluka. Marcelo Perez, sang kapten dari tim rugby kemudian mengambil inisiatif untuk memimpin teman-temannya.

Mengetahui bahwa salah satu pesawat mereka mengalami kecelakaan, pihak militer Uruguay segera mengirimkan tim pencari, dibantu pesawat dari Chile dan Argentina. Namun bahkan bala bantuan dari ketiga negara tersebut tak mampu menemukan para penyintas tersebut. Mereka bahkan beberapa kali melihat pesawat pencari melintas di atas mereka, namun mereka gagal menarik perhatian kru pesawat tersebut, yang akhirnya terbang meninggalkan mereka.

Seperti gue singgung tadi, kondisi para penyintas amatlah menggenaskan. Kini satu-satunya tempat mereka bernaung dari kejamnya alam adalah bangkai pesawat yang kini telah robek di bagian belakangnya. Untuk melindungi mereka dari udara dingin yang merangkak masuk, mereka menyumpalinya bagian belakang yang menganga terbuka tersebut dengan barang bawaan mereka. Namun tetap saja, kondisi Andes yang ganas itu meminta tumbal nyawa.

Pada malam pertama saja, lima orang kemudian meninggal, termasuk Dante sang kopilot, Francisco Abal (yang mengundang sepupu dan istrinya), Graziela Mariai (sang wanita yang kurang beruntung naik pesawat naas tersebut), dan dua anggota tim rugby lain.

Para penyintas dari kecelakaan pesawat di Andes mengalami nasib menggenaskan dan harus bertahan hidup di tengah dinginnya hamparan pegunungan salju yang jauh dari peradaban

Demi bertahan hidup, para penyintas yang tersisa terpaksa harus “kreatif”. Ada sekitar 27 orang yang berada di bangkai pesawat yang hanya seluas 2,5 x 3 meter tersebut. Mengetahui angin dingin masih berhembus di sela-sela barang bawaan yang mereka gunakan untuk menutupi bagian belakang pesawat yang terbuka, mereka menggunakan salju untuk menutupi celah-celah tersebut. Untuk mendapatkan air, salah satu mahasiswa bernama Fito Strauch menggunakan lempeng aluminium dari rongsokan pesawat untuk mencairkan salju. Mereka bahkan menggunakan bra dan kaca spion pesawat untuk dijadikan kaca mata salju. Salju bukanlah hal yang bisa dianggap remeh, sebab bisa memantulkan sinar UV yang mampu membutakan mata, sebuah gejala yang disebut “eye blindness”.

Tiga hari kemudian, Nando terbangun dari komanya. Namun tak hanya kini mengetahui bahwa ibunya telah meninggal; adik perempuannya, Susana, juga terluka parah. Akhirnya pada hari ke-19, sang gadis tersebut menghembuskan napas terakhirnya, menimbulkan duka mendalam di hati Nando. Namun nantinya, kematian tragis Susana juga menjadi pemantik semangat membara di dalam hatinya untuk terus bertahan hidup, bahkan membawa Nando muncul sebagai pahlawan di akhir cerita.

Kini hanya tersisa 27 orang yang harus menghadapi suhu yang bisa drop serendah −30 °C saat malam. Tak hanya itu, bagi sebagian besar penyintas, inilah kala pertama mereka melihat salju, mengingat Uruguay terletak di wilayah tropis yang panas dan dekat laut. Jadi jelas, hampir tak ada yang memiliki ketrampilan bertahan hidup di salju. Selain itu, tak ada vegetasi maupun kehidupan apapun di sekitar mereka, sehingga mereka hanya bergantung pada sisa makanan yang mereka temukan di dalam kabin.

Pada hari ke-11, Rob Harley, salah satu anggota tim yang tertarik dengan elektronik, berhasil menemukan sebuah radio di kokpit. Iapun menggunakannya untuk mengetahui berita dari luar. Namun dari radio itu, ia malah mendapatkan berita mencengangkan.

Bahwa tim pencari kini telah menghentikan semua usaha penyelamatan mereka.

Walaupun terlihat indah, namun terjebak di puncak pegunungan Andes merupakan musibah tak terperikan bagi para penyintas kecelakaan pesawat tersebut

Begitu mendengar berita mengejutkan tersebut, para penyintas tentu saja langsung shock dan putus asa. Terkecuali satu orang: anggota tim bernama Gustavo Nicolich. Ia bahkan berkata, “Hei, teman-teman! Itu adalah berita bagus!”. Teman-temannya tentu tercengang dan terpaku, bahkan menjawab “Kenapa itu malah berita bagus?”. Iapun menjawab, “Karena itu berarti [mereka percaya bahwa] kita akan keluar dari sini sendiri!”

Perkataan itu kemudian menyulut semangat anggota tim yang lain, yang tadinya terpuruk dalam jurang keputusasaan.

Namun mereka mau tak mau harus melihat kenyataan. Kala itu mereka hanya memiliki sedikit makanan tersisa, antara lain 8 batang coklat, sekaleng daging kerang, tiga botol kecil selai, sekaleng kacang almond, beberapa butir kurma, permen, plum kering, dan beberapa botol anggur. Semua itu harus mereka bagi dan pertahankan selama mungkin. Sebagai gambaran, Nando harus menghabiskan tiga hari dengan hanya memakan sebatang coklat.

Celakanya, walaupun sudah berusaha sehemat mungkin, tetap saja setelah seminggu, mereka sama sekali kehabisan bahan makanan. Mereka mulai mencoba memakan bagian penutup kursi dan juga isinya, yang mereka pikir terbuat dari kulit dan kapas. Namun ternyata, bahan tersebut terbuat dari bahan sintetik sehingga malah membuat mereka sakit.

Akhirnya, tanpa punya pilihan lain, mereka mengambil keputusan, bahwa agar bisa selamat, mereka harus memakan satu-satunya sumber makanan yang terhidang di hadapan mereka.

Yakni, jenazah para korban.


CHAPTER 3: CANNIBALS


Roberto Canessa sang dokter muda yang pertama mengusulkan kanibalisme sebagai satu-satunya cara agar mereka selamat

Ide mengerikan ini dicetuskan oleh Roberto Canessa, sang mahasiswa kedokteran, sebagai satu-satunya cara agar mereka bisa selamat. Reaksi para penyintas tersebut tentu saja menolaknya mentah-mentah. Mereka semua, seperti layaknya penduduk Amerika Latin kala itu, adalah penganut Katolik yang amat taat. Mereka percaya bahwa memakan daging manusia adalah dosa tak terampuni yang bisa membuat mereka dijebloskan ke neraka. Namun Roberto mengatakan bahwa mereka tak punya pilihan lain, bahkan menjadi yang pertama dengan memotong jenazah salah satu korban menggunakan pecahan kaca, lalu mengonsumsinya.

Tak hanya itu, demi membuat mereka merasa tak bersalah jika melakukan perbuatan yang “biadab” tersebut, mereka saling berjanji satu sama lain, bahwa jika mereka meninggal, maka mereka mengizinkan teman mereka untuk mengonsumsi jenazah mereka.

Akhirnya, satu demi satu para penyintas mengalah dan memberanikan diri memakan jenazah para korban. Bagi mereka, ini adalah hal yang teramat berat dan traumatis, sebab yang mereka santap tak lain adalah teman-teman dekat mereka sendiri. Namun apa boleh buat, hal itu tetap mereka jabanin. Akan tetapi tak semua mayat boleh dimakan. Bagi mereka, ada dua jenazah yang tabu untuk mereka mangsa, yakni jenazah ibu dan adik perempuan Nando.

Seolah penderitaan mereka belum cukup, pada hari ke-17, bencana lain menimpa mereka. Sebuah longsor salju terjadi tengah malam, mengubur mereka dalam bangkai pesawat. Peristiwa itu terjadi kala mereka tengah lelap tertidur, sehingga mereka tak mampu menyelamatkan diri. Bencana yang datang tiba-tiba tersebut menewaskan 8 orang langsung. Celakanya, yang meninggal termasuk orang-orang terpenting dalam grup penyintas tersebut.

Para anggota tim rugby harus bertahan hidup di badan pesawat yang sempit dan terus-menerus mengalami tragedi memilukan

Marcelo Perez, pemimpin para grup penyintas, terbunuh dalam tragedi tersebut. Tak hanya itu, Carlos Roque, satu-satunya kru pesawat yang tersisa yang juga seorang mekanik, juga terbunuh. Padahal kemampuannya amat dibutuhkan dalam tim. Gustavo Nicolich, yang kita ketahui sebagai pengobar semangat dalam tim itu, juga tewas dalam insiden longsor itu. Terakhir, kematian yang paling membuat shock adalah Liliana Menthol, satu-satunya wanita yang tersisa dalam grup itu. Pasalnya, sifat keibuan Liliana-lah yang selama ini mengayomi mereka dan membuat mereka merasa tenang.

Tak hanya mengubur harapan mereka, longsor itu juga membuat mereka terkubur (literally) dalam salju dalam kedalaman 1 meter. Dikelilingi oleh mayat teman-teman mereka dalam kegelapan, mereka juga mulai kehabisan udara. Nando akhirnya berhasil merangkak keluar dan membebaskan mereka. Namun di luar, justru tengah berkecamuk badai salju, yang membuat mereka tak punya pilihan lain selain meringkuk kembali ke dalam bangkai pesawat.

Terjebak tanpa jalan keluar, mereka akhirnya dengan berat hati memutuskan untuk kembali mengkanibalisasi jenazah mereka yang terbunuh dalam longsor tersebut.


CHAPTER 4: MESSENGERS


Kondisi pegunungan seperti inilah yang harus dilintasi Nando dan Roberto demi mencari pertolongan


Mengetahui bahwa tak ada seorangpun yang menyelamatkan mereka, akhirnya mereka memutuskan untuk mengirim Nando Parrado, Roberto Canessa (sang mahasiswa kedokteran), dan
Antonio Vizintin untuk mencari pertolongan. Misi itu bak misi bunuh diri bagi mereka karena tak ada satupun yang tahu dimana mereka berada dan kemana mereka harus pergi. Namun akhirnya pada 12 November, mereka berangkat. Di sepanjang perjalanan, mereka menemukan bagian ekor pesawat yang terpisah saat pesawat mereka mengalami tabrakan. Tragisnya, tak jauh dari situ, mereka juga menemukan jenazah teman-teman mereka yang terlempar dari pesawat.

Pada 15 November, tragedi kembali mengemuka ketika tiga orang lain (yang masih terjebak di reruntuhan pesawat) akhirnya meninggal. Korban pertama adalah Arturo Nogueira, yang sejak awal saat pesawat jatuh menderita patah kaki. Tak mampu bertahan lagi, ia akhirnya menghembuskan napasnya yang terakhir. Korban kedua adalah Rafael Echavarren, mengungkapkan keinginan terakhirnya sebelum meninggal, yakni bahwa ia ingin dimakamkan di kota kelahirannya. Korban ketiga adalah Numa Turcatti, yang akhirnya meninggal karena menolak memakan daging manusia.

Kala itu, sudah 60 hari atau 2 bulan berlalu semenjak pesawat mereka jatuh dan mereka terdampar di sana.

Dua bulan.

Setelah 10 hari berjalan kaki, Nando, Roberto, and Antonio akhirnya berhasil mendaki gletser setinggi 4.670 meter (dari ketinggian 3.570 meter dari tempat mereka terdampar). Dengan kata lain mereka berhasil mendaki 1.000 meter sejauh 61 kilometer tanpa satupun peralatan mendaki yang memadai, bahkan kompas sekalipun.

Ketika mereka sampai di puncak, merekapun tercengang. Sebab mereka tak melihat apapun kecuali puncak-puncak pegunungan bersalju yang terbentang tanpa akhir.

Hal tersebut tentu akan membuat siapapun putus asa. Namun tidak bagi para korban yang hingga selama ini berhasil mengatasi selamat di kondisi yang pasti sudah membuat siapapun terbunuh itu.

Di sebelah barat, Nando melihat dua puncak yang tak tertutupi salju. Ia menduga, di sana pastilah ada kehidupan. Namun masihlah, hal itu adalah sebuah perkiraan yang tak pasti. Di puncak tersebut, melihat tak ada jalan lain, Nando berkata, “Kita mungkin akan berjalan menuju ke kematian kita, tapi lebih baik aku mencari kematian-ku ketimbang menunggunya datang menjemputku.”

Roberto setuju dan menjawab, “Kalau begitu, marilah kita mati bersama, saudaraku.”


CHAPTER 5: MIRACLE

Begitu diselamatkan, kondisi para penyintas amatlah lemah dan kekurangan gizi

Mereka berdua kemudian memutuskan meneruskan perjalanan. Sementara itu, melihat persediaan mereka makin menipis dan jarak yang harus mereka tempuh masihlah jauh, maka Nando dan Roberto akhirnya memutuskan bahwa sebaiknya Antonio kembali ke pesawat mereka agar mereka berdua bisa menghemat bekal mereka. Antonio setuju dan kembali ke teman-teman mereka di pesawat.

Mereka berdua terus berjalan hingga akhirnya salju yang selama berbulan-bulan menemani mereka tak lagi terhampar. Pertama, mereka menemukan sungai yang mengalir. Kemudian, mereka mulai menemukan rumput dan vegetasi lainnya. Mereka makin girang ketika mereka menemukan bukti-bukti kehidupan, yakni sisa-sisa sebuah perkemahan. Kemudian di hari ke-9, mereka melihat beberapa ekor sapi tengah merumput.

Kala mereka beristirahat, hal menakjubkan lain terjadi. Mereka melihat 3 orang penunggang kuda di seberang sungai. Ini adalah kali pertama mereka melihat manusia lain semenjak mereka terdampar di Pegunungan Andes. Dua pemuda itu segera berteriak ke arah mereka, namun deru sungai yang keras menenggelamkan suara mereka. Salah satu penunggang kuda itu, yakni pria bernama Sergio Catalán adalah seorang “arriero” yang kebetulan melintas (sebutan bagi pria yang mengantarkan barangnya dari kota ke kota menggunakan keledai). Ia kemudian melemparkan pensil dan kertas ke arah seberang sungai. Nando pun segera menceritakan siapa mereka dan bagaimana mereka sampai ke sana di atas secarik kertas tersebut.

Membacanya, Sergio amat terkejut. Ia pernah mendengar tentang pesawat yang kandas di Andes sebab ia pernah bertemu dengan para tim pencari. Namun ia takmenyangka masih ada penumpang pesawat tersebut yang hidup. Sergio tak membuang waktu dan dengan menunggang kuda, segera mencari pertolongan. Sementara itu dua temannya membawa Nando dan Roberto ke desa terdekat. Untuk menggambarkan betapa terpencilnya lokasi tersebut, Sergio harus menunggang kuda selama 10 jam hanya untuk memanggil bantuan. Nando dan Roberto sendiri sudah menghabiskan waktu 10 hari untuk berjalan sejauh 38 kilometer. Dan ingat, kondisi fisik mereka tentu kelelahan, apalagi mereka tak mendapat asupan nutrisi yang cukup. Roberto sendiri ketika berhasil diselamatkan, sudah kehilangan sekitar 44 kilogram atau separuh dari berat badannya sebelum kecelakaan.


Kebahagiaan para penyintas ketika berhasil diselamatkan

Begitu mencapai peradaban, berita menggemparkan itupun langsung tersebar. Para tentara di Santiago, Chile segera bertindak dengan mengirimkan helikopter untuk menjemput mereka. Para wartawan pun tak tinggal diam. Demi mengejar berita yang kini tengah menghebohkan dunia internasional tersebut, mereka rela berjalan berhari-hari sepanjang berkilo-kilometer demi mendatangi desa dimana Roberto dan Nando kini dirawat. Demi mendara wartawan yang bahkan datang dari luar negeri itu berbondong-bondong ingin meliput berita itu secara eksklusif dan mewawancarai mereka.

Begitu bala bantuan dari militer tiba, Nando, yang mulai pulih kesehatannya, segera menawarkan diri untuk menunjukkan jalan kepada sang pilot helikopter yang dikirim untuk menjemput teman-teman mereka. Ketika membawa Nando, sang pilot tercengang ketika melihat betapa jauhnya perjalanan Nando dan Roberto demi mencari pertolongan serta betapa beratnya medan yang harus ditempuh.

Pada 22 Desember 1972, akhirnya dua tim helikopter penyelamat tiba dan menolong para penyintas. Saat itu, sudah 72 hari berlalu semenjak pesawat itu jatuh di Pegunungan Andes hingga akhirnya hari penyelamatan tiba. Kala itu, 16 orang, termasuk Nando dan Roberto, tercatat sebagai penyintas Tragedi Andes, yang telah menewaskan 29 orang.

Namun kini, setelah raga mereka selamat, pertanyaan lain muncul. Bagaimana jika masyarakat mengetahui tentang aksi kanibalisme yang mereka lakukan?


CHAPTER 6: CERCA, OH DIOS DE TI


Nando Parrado dan Roberto Canessa bersama Sergio Catalán, penyelamat jiwa mereka

Sumber Gambar: Héctor Maffuche - Wikipedia


Ketika akhirnya tiba di peradaban, hal pertama yang mereka lakukan (sesuai tradisi Katolik) adalah mengakukan dosa mereka kepada seorang pastur. Kala itu mereka penuh rasa bersalah mengaku, bahwa demi menyelamatkan nyawa mereka, mereka memakan daging manusia. Sang pastur menjawab bahwa aksi kanibalisme yang mereka lakoni bukanlah sebuah dosa, sebab dilakukan dalam kondisi terpaksa dan demi bertahan hidup.

Begitu kabar tentang aksi kanibalisme mereka tersebar di media massa, awalnya mereka mendapat kecaman dari masyarakat, yang tentu menolak keras hal tabu tersebut. Namun setelah mereka mereka mengadakan jumpa pers pada 28 Desember, tak lama setelah mereka diselamatkan, masyarakat justru trenyuh setelah mendengar pengakuan mereka bahwa mereka telah berjanji satu sama lain apabila mereka mati, maka yang selamat bolehlah memakan jenazah mereka.

Pada Januari, seorang pastur dan 12 relawan dikirim kembali ke lokasi kecelakaan. Tujuan mereka untuk memakamkan jenazah para korban yang meninggal. Kala itu, sekitar 18 jenazah tinggal tulang belulang belaka karena, yah kalian tahu lah. Demi mencegah trauma lebih dalam, tak satupun anggota keluarga yang diperkenankan ikut. Kedua belas relawan yang dikirim kemudian menggali kubur di dalam salju bagi jenazah-jenazah tersebut dan di atasnya, ditegakkan sebuah salib dengan tulisan:

EL MUNDO A SUS HERMANOS URUGUAYOS

CERCA, OH DIOS DE TI

DUNIA INI UNTUK SAUDARA-SAUDARA URUGUAY

BEGITU DEKATNYA [MEREKA], OH TUHAN, DENGANMU

Lalu, mereka membakar habis sisa bangkai pesawat tersebut, untuk menghapuskan kenangan buruk yang pernah berkecamuk di dalamnya, selamanya.

Seusai mimpi buruk di Andes berakhir, masih tersisa cerita-cerita menarik lainnya. Ricardo Echavarren, ayah dari Rafael, satu dari tiga anggota tim yang terakhir meninggal, mendengar bahwa sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, anaknya berwasiat agar jenazahnya dimakamkan di kampung halamannya. Namun sayang, Ricardo tak mendapat izin dari otoritas setempat. Demi mewujudkan keinginan terakhir mendiang anaknya itu, Ricardo nekad memanjat ke Pegunungan Andes, ke lokasi jatuhnya pesawat itu untuk mengambil jenazah anaknya. Namun malang, begitu sampai di kaki gunung, ia malah ditangkap atas tuduhan merampok makam. Mendengar kejadian itu, seorang hakim, dibantu oleh walikota lokal, atas dasar rasa manusiawi langsung turun tangan berusaha membantunya. Akhirnya, Ricardo-pun mendapatkan izin untuk membawa jenazah putranya dan memakamkannya sesuai keinginan terakhirnya.


Nando mencoba move on dari pengalamn mengerikannya dan merintis karir menjadi seorang pembalap

Pada 2007, untuk mengenang peringatan 30 tahun peristiwa tersebut, sebuah stasiun televisi Chile kala itu mewawancarai Sergio Catalán, sang penunggang kuda yangmembantu mencarikan pertolongan bagi Nando dan Roberto hingga berkendara selama 10 jam. Kala itu ia mengaku kini menderita radang se ndi. Mendengarnya, Roberto yang kala itu telah menjadi seorang dokter dibantu teman-temannya tak membuang-buang waktu untuk mengumpulkan donasi demi membiayai operasi untuk Sergio. Akhirnya, setelah 3 dekade berlalu, mereka diberikan kesempatan untuk membalas budi.

Kisah Tragedi Andes yang begitu memukau publik inipun dibukukan beberapa kali. Pertama oleh seorang penulis Inggris bernama Piers Paul Read yang menuliskan hasil wawancaranya dengan para penyintas ke dalam buku “Alive: The Story of the Andes Survivors”. Buku inipun sukses, diikuti oleh Nando Parrado yang menulis “Miracle in the Andes” dan Roberto Canessa yang menulis “I Had to Survive” untuk menuangkan perjuangan hidup mereka kala itu demi menginspirasi generasi muda. Tentu tak lengkap jika pengalaman mereka tersebut tak difilmkan. Sebuah film berjudul “Alive” disebut pada 1993 dan terinspirasi oleh Tragedi Andes, dimana aktor Ethan Hawke didaulat memerankan Nando.

Keberanian para penyintas Tragedi Andes pun menjadi sensasi internasional, terutama karena umur mereka masih sangatlah muda, berkisar 19 tahun. Mereka bahkan dianggap menjadi “nyala mercusuar harapan” bagi kawula muda, sebab mereka menunjukkan bahwa dengan ketekunan dan tekad yang tinggi, kaum muda pastilah mampu mengatasi setiap tantangan yang mereka hadapi dan mencapai keberhasilan.

Jadi guys, jika kalian merasa gagal atau menghadapi kesulitan hidup yang seakan tak teratasi, ingatlah bahwa dulu, 16 orang terjebak dalam kondisi yang lebih buruk dari kalian dan berhasil selamat. Ingat itu!

SUMBER ARTIKEL: WIKIPEDIA


 

5 comments:

  1. halo bang dave, izinkan aku menuangkan sedikit pendapat dsini bang. heheheh, moon maap ni sbelomnya bang. aku suka banget tulisan abang, dah aku baca dari th 2013, cuma sayang bang, ada beberapa gaya nulis yang bikin aku kesel atau kurang sreg.
    "Namun nantinya ", nah ini sering banget aku temuin di tulisan-tulisan bang dave dari dulu, bisanya muncul d dark case edition dkk, bukannya brmksud mengkritik bang, tapi munculnya kalimat yang diawali "namun, nantinya" ini terkesan kayak dapet spoiler cerita yang gak enak, dibacanya pun gak asik bang. kebayang ni, pas lagi adegan rumit dan putus asa, emosi udah terbangun dengan baik dan mulai memuncak, tetiba muncul tuh kalimat yang seakan memberikan harapan atau selingan sejuk, biasanya digunakan untuk salah satu tokoh yang nantinya berperan penting, jujur nih bang, aku gak butuh. sorry bang, biarlah pembaca macam aku ni menemukan peran tokoh itu sndiri d akhir cerita. kesannya kayak nton film horor pas pmbunuhnya dah mau nusuk korban, udah emosi, putus asa, kesel, horor, trus ternyata cuma mimpi. kan gak asik bang. maap ni bang, aku dah nyimpen uneg2 lama ni, dah gemes aku pengen komen dari dulu bang. sebelumnya, thanks banget buat artikel2 serunya bang, gratis pulak. heheheheeh

    ReplyDelete
  2. "Kita mungkin akan berjalan menuju ke kematian kita, tapi lebih baik aku mencari kematian-ku ketimbang menunggunya datang menjemputku.” terenyuh banget baca kalimat itu, kalimat secerca harapan anak anak muda untuk tetap berjuang meski maut bisa kapan saja datang

    ReplyDelete
  3. Nangis di pojokan 🤧🤧🤧🤧

    ReplyDelete