Imogiri adalah kompleks pemakaman raja-raja Mataram Islam. Makam ini adalah kelanjutan makam raja-raja di Kotagede. Kalo di Kotagede, raja-raja yang dimakamkan di sana adalah raja-raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Mataram Islam. Kalo di Imogiri, raja-raja yang dimakamkan di sana adalah para penerusnya. Salah satu hal yang membuatku tertarik backpacking ke Imogiri adalah mitos bahwa jika kita berhasil menghitung jumlah anak tangga di Imogiri dengan tepat, maka permohonan kita akan terkabul. Maka akupun mencoba membuktikannya!
Hari Minggu pagi, aku berangkat ke Yogya dengan kereta Prameks jam 9 pagi dari stasiun Balapan Solo. Ini dia stasiunnya. Konon bentuk bangunannya nggak berubah lho sejak zaman penjajahan. Dinamakan Balapan karena dulu lokasi ini sering dijadikan adu balapan merpati (doro). Bahkan di sini masih ada kampung yang namanya Kandang Doro.
Naek kereta Prameks hanya bayar 10 ribu saja dari Solo sampai ke Yogya (1 jam perjalanan). Walaupun pas bulan puasa, tapi animo masyarakat Solo untuk berwisata ke Yogya masih tinggi. Apalagi alasannya kalo nggak buat nyari baju baru di Malioboro buat lebaran hehehe. Sekitar 1 jam perjalanan aku langsung disuguhi pemandangan gunung ini. Langsung aja aku jepret2.
Hayoo tebak aku lagi dimana nih? Sekilas keliatannya aku ambil foto ini di Belanda, padahal ini di Malioboro lho. Dari tulisannya dulu sepertinya bangunan tua ini adalah apotek, tapi sekarang sudah menjadi minimarket.
Tapi tujuanku hari ini bukan jalan-jalan ke Malioboro (udah sering). Akhirnya aku langsung menuju halte bus trans dan naik bus jurusan 3B menuju terminal Giwangan. Sepanjang perjalanan aku disuguhi pemandangan berupa benteng-benteng putih, mungkin bagian dari Keraton Yogyakarta (belum sempet jalan-jalan ke Keraton soalnya). Sampai di terminal Giwangan, aku sempet heran soalnya terminal di kota sekelas Yogya ini sangat sepi. Padahal terminalnya masih baru dan bagus banget. Beda banget ama terminal Surabaya yang ramenya minta ampun, pas backpacking ke sana dulu aja aku nyaris keinjek-injek ama kelides bus saking ramenya (lebay).
Dari keterangan penjaga terminal, aku disarankan naek minibus “Mahardika” menuju Pasar Imogiri. Biayanya cuma 5 ribu aja, tapi kudu sabar ngetem lama buat nunggu penumpang. Bapak kernetnya sempat menawarkan nganter ke makam dengan tambahan biaya, tapi dengan halus aku menolak (dan segera aku akan menyesali keputusan itu). Di jalan aku juga sempat melihat papan penunjuk Makam Raja Cirebon Girilaya. Hmm…kok bisa makam raja Cirebon ada di sini? Sekitar 15 menit kemudian akhirnya aku sampai di Pasar Imogiri, Bantul. Untuk ukuran kota kecil, pasar ini lumayan bagus dan megah.
Akupun berjalan ke arah yang ditunjukkan kernet busnya, yaitu terus lalu belok ke kiri. Tapi begitu melihat papan penunjuk jalan ini, aku langsung shock!
Apa??? Masih 2 km lagi??? Dari pengalaman pribadiku, manusia bisa bo’ong, tapi papan penunjuk jalan nggak pernah bo’ong. Akupun celingukan nyari tukang ojek, namun nggak ada. Akhirnya kuputuskan untuk berjalan saja. Dalam hati aku menyesal, tau jauh gini mending tadi minta bapak sopir busnya buat ngaterin sampai ke TKP. Walaupun udara panas (Imogiri tuh masih di kaki gunung ya, jadi jangan harapkan udaranya sejuk), tapi untunglah aku masih disuguhi pemandangan gunung yang indah.
Awalnya kupikir Imogiri adalah tempat terkecil yang terisolasi dari peradaban, tapi tetap saja ada Indomaret di sini. Di sepanjang perjalanan aku juga melihat rumah-rumah khas Jawa yang indah. Punya ningrat kali ya?
Setelah beberapa menit berjalan, akupun sampai ke terminal kecil (yang sepertinya nggak dipakai, soalnya sepi) dan berjalan menuju areal parkir. Di areal parkir, akupun mulai berjalan menapaki tangga. Di sepanjang jalan, aku disapa mbok2 “Kok piyambakan (sendirian) dik?”. Ya iyalah, aku kan solo backpacker jawabku dalam hati hahaha.
Aku lalu menemukan sebuah gerbang dengan seorang penjaga yang masih memakai pakaian khas Jawa.
Di dalamnya, aku menemukan sebuah masjid tua dengan sebuah tugu jam.
Tangga-tangga di areal parkir tadi lumayan enteng. Tapi tangga yang menuju makam bukan tangga yang tadi lho! Kalo itu mah kegampangan, ibu2 menyusui juga bisa. Begitu nyampe di masjid barulah terlihat tangga yang sesungguhnya…!!!
Huaaaa…serius nih mau naikin semua? Akhirnya dengan semangat 45, aku mulai menghitung tangga demi tangga menuju ke atas. Oya, sebelum naik ada baiknya kalian mengisi kotak infak yang ada di masjid ini seikhlasnya.
Aku punya pengalaman superkocak di sini. Saat tangga terakhir, hitunganku cuma sampai 408, padahal jumlah tangganya harusnya 409. Aku langsung “Gubrakkk!!!”. Udah capek2 naik malah salah itung (cuma selisih satu anak tangga lagi). Dalam hati aku langsung ngakak2. Dasar, niatnya mau mengalap berkah malah jadi alap2, payah bener nih. Namun kekecewaanku langsung tergantikan dengan keindahan gerbang makam Imogiri. Ini dia fotonya.
Bangunannya masih bergaya akulturasi Hindu-Islam, mirip2 sama yang ada di Imogiri. Nah, di dalam gerbang ada sebuah surau kecil dan beberapa gentong yang ada namanya. Nggak tau maksudnya apa.
Kondisi makam saat itu sangat sepi, hanya ada beberapa pengunjung (ada bule juga). Maklum lah, kan bulan puasa. Bisa batal kalo disuruh naik tangga sebanyak ini hehehe. Tempat ini rupanya masih sangat dikeramatkan, soalnya tidak boleh berbuat seenaknya di sini, seperti memetik daun atau ranting, mendengarkan musik, ataupun berbuat maksiat (minum, judi, nge-drugs, tapi kalo dipikir2 emang ada orang yang mau ke Imogiri buat nge-drugs?). Pantesan aja suasana di sini masih asri dan begitu peaceful.
Aku lalu berjalan ke sebelah kiri gerbang makan (dari arah dalam) dan menemukan gerbang putih ini. Ada juga joglo yang sejuk banget di sini.
Sedangkan di sebelah kanan gerbang ada juga gerbang putih. Detail pintunya bagus banget lho.
Nah, begitu masuk ke gapura yang ada pohon kelapanya itu, ternyata justru ada gerbang-gerbang berwarna hitam. Wow, kontras banget sama yang tadi. Ternyata gerbang-gerbang hitam itu menuju makam raja-raja Solo. Keren banget!
Aku juga menemukan kolam-kolam yang kayaknya sih ada sesuatu berenang di dalamnya (tapi nggak tau ikan apa). Ada juga simbah2 yang menjual buku sejarah dan peta makam2 Imogiri dan Kotagede (fotokopian, ada 3 buku) seharga 5 ribu. Itung-itung amal, akhirnya aku beli juga buku itu. Begitu kubaca, di dalamnya ada sejarah Pangeran Diponegoro juga.
Anehnya, aku merasa berat hati saat meninggalkan tempat ini. Aneh banget ya, soalnya baru pertama aku ngerasain perasaan kayak gini selama travelling. Selama ini sih kalo emang waktunya pulang ya pulang gitu aja. Mungkin karena rasa damai dan sejuk yang terasa saat berada di kompleks Imogiri yang tenang ini ya, jadi rasanya berat buat ditinggalin
Saat menyusuri tangga turun (nggak usah diitung kalo yang ini), aku sempat jepret-jepret pemandangan indah di sini. Di kanan kiri juga terdapat makam-makam kecil, nggak tau itu makam warga setempat atau makam para abdi dalem.
Di bawah, aku menemukan wedang uwuh yang kucari. Namun karena aku terburu-buru balik ke Yogya (ngejar kereta), akhirnya aku beli aja wedang uwuh dalam bentuk sachet. Sachet pasti mikirnya yang instan gitu ya, tapi ternyata di sini diberikan bahan-bahannya berupa jahe, gula jawa, dan daun2an herbal seharga Rp.1.500,00 per bungkus. Kalo mau dibikin minuman, jahenya ditumbuk dulu baru bahan-bahannya dicampurin dalam gelas berisi air hangat (jangan air panas kata penjualnya). Coba ah di rumah.
Berangkatnya sih penuh semangat, tapi perjalanan pulangnya sangat membosankan. Aku terpaksa berjalan 2 km lagi ke pasar karena tidak bertemu tukang ojek. Eh, ketemu tukang ojek baru setelah beberapa meter dari pasar. “Ojek, Mas?:” tanyanya. Telat mas, dah hampir nyampe baru nawarin. Huuuh…bikin emosi aja.
Oya uniknya selama perjalanan aku menemukan gereja Katolik ini. Wah, mentang2 gerejanya di Imogiri terus ada anak tangganya juga.
Uniknya lagi, gereja ini terletak berdampingan ama SMP Muhammadiyah lho (bener2 cuma dibatasi tembok aja). Jadi salib gereja terletak berdampingan dengan kubah masjid. Wow, benar-benar unik!
Begitu sampai di dalam pasar, aku sempet kaget, soalnya bagian dalamnya bagus dan nyaman banget, mirip ama toko suvenir di Prambanan.
Di pasar aku menemukan minibus jurusan Yogya yang ngetem. Lebih emosi lagi pas aku menemukan pangkalan ojek ternyata ada di dalam pasar. Pantes tadi kucariin nggak ketemu. Akhirnya minibus itu berangkat dan aku diturunkan depan terminal Giwangan. Dengan naik bus trans jurusan 3A, aku berencana ke Malioboro. Sialnya, jalur yang kunaiki itu ternyata muter2 dulu ampe Bandara Adi Sumarmo (lebih deketan ke Solo daripada Malioboro malahan). Di bandara aku juga terpaksa transit ke 1A yang penuh banget (maklum lah, pas hampir2 waktunya ngabuburit, siapa sih yang nggak pengen ngabuburit di Malioboro?). Alhasil aku pun berdiri hingga sampai Stasiun Tugu. Eh, lebih naas lagi, kereta prameks yang kutumpangi jam 4 sore penuh juga hingga akupun terpaksa berdiri lagi. Untunglah karena ini bulan puasa, kereta nggak sepenuh biasanya dan aku masih bisa duduk di lantai. Inilah foto suasana sore di kereta komuter Prameks.
Kesimpulanku, jangan males menapaki 409 anak tangga di Imogiri. Sesampainya di atas, benar2 worthed!
NB: PAPAN IKLAN KOCAK DI IMOGIRI
Wah kalo kita puas, berarti Narsi cs ikut puas juga…wakakakakakak…
bukan lucu tapi serem. abis dipijit diapain lg tuh ampe tukang pijitnya puas :D
ReplyDeleteWaahhh....itu kampung halamanku lho. Kakek & nenek dr ibuku tinggal tdk jauh dari gereja itu, sedangkan kakek & nenek dr ayah tinggal dekat kantor polisi sebelum ke arah makam Imogiri.
ReplyDelete