Mungkin pada tahun 90-an kalian masih berbentuk embrio ya, tapi di
masa itu gue demen banget nonton
film animasi X-Men. Bisa dibilang X-Men adalah superhero favorit gue.
Gue malah masih asing ama Avengers. Satu-satunya Avengers yang gue
tahu cuman Iron Man karena dulu hanya dia yang dibikin versi
animasinya. Salah satu yang membuat gue kagum ama X-Men adalah
kematangan ceritanya. Konsepnya dimana mutan dibenci karena
kekuatannya menjadi perlambang sempurna bagi kondisi masyarakat kita,
dimana banyak kaum minoritas yang dibenci hanya karena mereka
berbeda.
Ketika film X-Men pertama kali diadaptasi ke layar lebar, bisa
dibilang gue sama sekali nggak merasa girang. Kenapa? Well, gue yakin
Hollywood bakal ngancurin image superhero masa kecil gue itu. Dan
ternyata ketakutan gue terbukti. Dari semua film X-Men, hanya film
“X2” yang menyinggung (itupun cuman satu adegan) ideologi asli
dari komik dan animasinya. Yang lainnya, X-Men cuman dijadikan sapi
perah studio saja. Oleh karena itu, franchise (bahkan udah bisa
dibilang universe sebenarnya) kalah telak baik dari segi kualitas
maupun kucuran profit dari Mavel Cinematic Universe. Ini dibuktikan
dengan film terakhir mereka, “Dark Phoenix” yang gatot alias
gagal total di pasaran.
Sebenarnya apa sih yang membuat X-Men Universe ini kurang diterima
dengan baik dan masih tertinggal jauh dengan X-Men? Well di artikel
ini, gue selaku fans setia X-Men sejak kecil bakal membahasnya satu
demi satu.
1. Nggak Ada Visi yang Jelas
Berbeda dengan MCU yang punya visi yang jelas, X-Men malah
bernasib seperti lagunya Armada “Mau dibawa kemana ...”. Yak,
film-film X-Men besutan Fox emang nggak punya visi yang jelas. Nggak
seperti MCU yang sejak awal memperkenalkan Thanos sebagai sang big
boss yang harus mereka kalahkan sejak jauh-jauh hari, yakni di Phase
1. Ceritanya pun sudah ditata dengan rapi. Tiap film akan berujung
pada film berikutnya, walaupun karakternya berbeda. Semisal
“Avengers: Age of Ultron” membawa kita ke “Captain America:
Civil War” yang selanjutnya membawa kita ke Wakanda melalui “Black
Panther” yang menjadi lokasi pertempuran di “Avengers: Infinity
War”.
Bahkan jika dibandingkan dengan universe milik Fox lainnya, yakni
Spiderman, film-film X-Men lebih tak bervisi. Semisal di
Spiderman-nya Andrew Garfield, sudah ada “tease” bahwa mereka
akan membawa film ini ke Sinister Six. Sedang di X-Men, sepertinya
sejak awal sutradaranya main aman dengan hanya membuat trilogi saja,
yakni “X-Men”, “X2: United”, dan “Last Stand”. Kemudian
setelah itu, untuk “mengulur-ulur” plot diperkenalkanlah versi
muda dari para mutan. Ini mah sama aja kayak di sinetron tokoh utamanya udah mati terus tiba-tiba nongol kembarannya. Haduuuuh.
Konsep mempertemukan “mutan tua” dan “mutan muda” di “Days
of Future Past” sebenarnya cukup keren, namun lagi-lagi konsep
X-Men baru ini menemui kegagalan. Lebih bagus jika mereka membuat
Apocalypse sebagai sang big boss seperti Thanos, namun di film
“X-Men: Apocalypse” karakternya malah seperti nggak bernyawa.
Padahal banyak komik-komik X-Men dengan jalan cerita keren yang bisa
diadaptasi menjadi jalur cerita yang keren, semisal “House of M”,
“God Loves, Man Kills”, dan yang paling bikin gue ngiler,
“Avengers vs X-Men”. Tapi malahan, mereka malah terlalu
berkonsentrasi pada “Phoenix Saga”, bahkan membuatnya sampai dua
kali!
2. Nggak Ada Theme Song yang Keren
Avengers memperkenalkan theme song mereka yang selalu muncul di
adegan-adegan keren, sementara X-Men sendiri nggak punya identitas
alias theme song yang bisa mereka andalkan. Hal ini amat disayangkan,
karena sebenarnya hal ini bisa dengan mudah diatasi. Serial animasi
X-Men yang muncul pada tahun 1990-an sebenarnya sudah memiliki theme
song legendaris yang sangat dikenali oleh para fans setianya. Sayang,
entah kenapa, theme song keren ini nggak pernah diangkat ke layar
lebar.
3. Kostum Nggak Akurat
Ada kalanya memang kostum para superhero di komik tidak ditiru 100% di versi filmnya, sebab toh tetap saja komik aslinya diperuntukkan bagi anak-anak dan kostumnya pasti terlihat cheesy karena warna-warnanya terlalu ceria. Namun dalam hal kostum, tetap saja X-Men kalah dibanding Avengers (yang sebenarnya melakukan langkah serupa dengan tidak mengadaptasi kostumnya benar-benar mirip). Kostum mereka dominan hitam, yang harusnya keren, tapi malah bosenin. Semua anggota X-Men di filmnya juga digambarkan memiliki kostum yang sama sebagai seragam. Namun di versi komik, mereka sebenarnya punya kostum sendiri-sendiri untuk memperlihatkan kepribadian mereka. Bayangin aja deh kalo Avengers punya seragam di seluruh filmnya, nggak cuma di “Endgame”, pasti bosenin banget.
4. Ceritanya Terlalu Berfokus pada Wolverine
Wolverine emang member X-Men paling keren, apalagi setelah
perannya yang “bad-ass” bener-bener dihayati oleh Hugh Jackman.
Namun di X-Men versi aslinya, Wolverine hanyalah anggota X-Men, sama
seperti Storm, Rogue, dll. Di versi filmnya, Wolverine seakan-akan
diagungkan, bahkan sudah memiliki beberapa film spin-off-nya sendiri,
semisal “The Wolverine”, “X-Men Origin”, dan “Logan”. Hal
ini mungkin disebabkan Fox ingin meraup untung sebanyak-banyaknya
setelah melihat Wolverine yang diperankan Hugh Jackman ternyata
menjadi tokoh paling dicintai oleh para pemirsanya. Dan sosok
Wolverine yang naik rank di versi filmnya ini menyebabkan satu hal
yakni ...
5. Cyclops Kurang Porsi Sebagai Pemimpin X-Men
Di X-Men versi asli, justru Cyclops-lah tokoh dominan karena
dialah pemimpin para X-Men. Namun di versi filmnya, walau dua kali
tokoh Cyclops diadaptasi oleh dua aktor berbeda, tetap saja dia nggak
“segarang” versi aslinya. Di versi filmnya, ia cuman jadi tokoh
pembantu doang dan jiwa kepemimpinannya sama sekali nggak terlihat.
FYI, di alur komik “Avengers vs X-Men” tokoh Cyclops ini sempat
“menghajar” Captain America. Well, if there's anyone who can kick
that American Ass, it would be Cyclops!
6. Karakterisasi Storm Amat Dangkal
Tokoh kunci lain di X-Men versi asli yang diremehin di filmnya
adalah Storm alias Ororo Munroe. Di komik dan animasi X-Men dia
termasuk tokoh sentral. Namun lagi-lagi di filmnya, dia minim dialog,
apalagi karakterisasi, dan kehadirannya hanya dibutuhkan buat nyambar
petir doang. Padahal Storm di versi komiknya termasuk Omega Level
Mutant alias mutan yang kekuatannya tak terhingga, menyaingi Magneto.
Sosoknya sebenarnya bisa dengan mudah diperdalam, apalagi dia adalah
sosok berkulit hitam yang pastinya memiliki banyak konflik (karena
karakter mutan yang didiskriminasi di X-Men sebenarnya ditulis
sebagai alegori diskriminasi terhadap kaum kulit hitam). Ditambah
lagi, dia diperanin ama aktris peraih Oscar, Halle Berry. Tapi
sayang, kualitas aktingnya yang tentunya nggak diragukan itu malah
disia-siakan dengan penokohan yang tipis.
7. Rogue Digambarkan Lemah
Salah satu yang bikin gue kesel di trilogi awal X-Men adalah
bagaimana mereka menggambarkan Rogue. Rogue di sini digambarin
sebagai cewek remaja labil yang terkesan lemah dan harus dilindungi,
padahal di versi aslinya, Rogue ini amat kuat dan “bad-ass”, baik
di segi kekuatan mutannya maupun mentalnya. Bahkan karakternya
cenderung tomboy. Sayang di sini dia malah kebagian peran “damsel
in distress” yang melulu kudu diselamatin Wolverine.
8. Nggak Ada Gambit
Ini adalah salah satu hal nggak masuk akal yang dilakukan Fox,
yakni nggak menyertakan Gambit sebagai tim X-Men. Padahal, Gambit
adalah salah satu karakter paling populer dan cukup sentral di tim X-Men. Hal ini mungkin
disebabkan karena Fox pada saat itu berambisi membuat film solo
Gambit. Ambisi ini dimulai dengan memperkenalkan Gambit sekilas di
“X Men Origin: Wolverine”. Namun di sini para fans kecewa karena
alih-alih menggunakan senjata khasnya, yakni kartu, ia malah memakai
tongkat. Belum lagi penampilannya hanya secuplik. Langkah
“menyimpan” Gambit ini terbukti sebagai kesalahan telak sebab
film “X Men: Origin” gagal di pasaran. Daripada terlalu bernafsu
dini membuat sekuel atau spin-off, seharusnya Fox berkonsentrasi
dulu membuat satu film yang benar-benar bagus, barulah melanjutkan
dari sana.
9. Terlalu Mengagungkan Mystique
Ini adalah salah satu bukti bahwa alih-alih mengadaptasi komik
X-Men yang udah punya basis fans sendiri, Fox justru ingin meraup
untung sebanyak-banyaknya dengan ideologi “aji mumpung” tanpa sedikitpun
setia pada alur asli komiknya. Gue membicarakan tentang Jennifer
Lawrence yang memerankan Mystique. Demi memuaskan fans
“millenial”-nya, Fox membuat karakter Mystique menjadi protagonis
(padahal di seri komiknya ia adalah antagonis), bahkan menjadikannya
pemimpin X-Men. Hal ini tentu untuk memanfaatkan pamor Jennifer
Lawrence yang kala itu memang di puncak popularitasannya setelah
sukses berperan di “Hunger Games”. Lagi-lagi langkah ini
mengecewakan para fans komiknya.
10. Alur Cerita Berantakan dan Nggak Masuk Akal
Ini adalah salah satu alasan utama mengapa franchise X-Men nggak
akan sesukses MCU, karena mereka nggak mengagungkan detail. Ada
banyak plot hole dan hal yang nggak masuk akal di sepanjang
universenya. Semisal trilogi awal X-Men menceritakan Profesor X
menemukan Jean Grey saat dia sudah lumpuh di kursi roda, namun di
X-Men versi muda, justru sebelumnya. Di “Apocalypse”
diperlihatkan Jean Grey sudah mendapatkan kekuatan Phoenix dalam
dirinya, namun di “Dark Phoenix” yang plotnya jelas terjadi
setelah “Apocalypse” (karena Storm udah bergabung dengan
mereka), ia justru baru mendapatkan kekuatannya di luar angkasa.
Belum lagi di ending “Days of Future Past”, Jean Grey
digambarkan masih hidup dan bertemu dengan Wolverine. Namun di
ending “Dark Phoenix” dia malah mengorbankan dirinya.
Itu baru sekelumit saja. Terlihat sekali bahwa penulis naskahnya ceroboh dan tidak konsisten karena tak memperhatikan detail plotnya (tapi ini bisa dipahami karena
pemimpin proyeknya selalu berpindah-pindah dan berbeda-beda di tiap
film). Tetap saja, kesalahan-kesalahan kecil seperti ini amat
menganggu dan menjadikan kontuinitas universe X-Men menjadi terasa
janggal.
Lagi-lagi kesalahan ini berakar pada masalah intinya, yakni tak
adanya visi mau dibawa kisah X-Men ini. Gue pernah membaca salah
satu kritikus menyarankan bahwa seharusnya pihak Fox mengakhiri
seluruh X-Men saga dengan film “Logan”, hal itu akan lebih masuk
di akal. Apalagi critical acclaim yang didapatkan oleh film “Logan”
seharusnya bisa menjadi “Endgame” yang benar-benar tepat untuk
menutup keseluruhan kisah X-Men.
Fox sendiri sebenarnya udah melakukan beberapa hal yang benar
untuk franchise X-Men ini (nggak cuman ngritik ya gue). Semisal
mereka dengan tepat meng-casting Michael Fassbender sebagai Magneto,
gue nggak bisa bayangin aktor lain yang bisa lebih bagus meranin
karakter itu ketimbang dia. Selain itu, adegan-adegan Quicksilver
juga sangat memorable. Tapi tetap saja, gue bersyukur X-Men sudah berpindah dari FOX dan menjadi bagian MCU. Cuman, jika MCU benar menggarap X-Men, gue
berharap mereka tetap menjaga tone gelap dan serius di X-Men versi
asli (karena X-Men mengangkat isu serius, yakni diskriminasi) dan
nggak malah membuatnya dengan tone humor seperti di Avengers (kalo
buat Fantastic Four nggak apa-apa lah, malah aneh kalo serius).
Selain itu gue juga berharap, Phase-Phase berikutnya, MCU bakal
mengeksplor para mutan dengan konsep yang setia dengan komiknya.
Wolverine garang tapi tetap sekunder jika dibandingin Cyclops.
Mungkin mereka bakal mendalami kisah cinta Storm dan Black Panther
serta Rogue dan Gambit. Mungkin Wanda akan bertemu dengan ayahnya,
Magneto, dan mengucapkan tagline legendarisnya, “No more mutants!”.
Dan semoga pula Phase-Phase selanjutnya berujung pada pertempuran
X-Men versus Avengers yang pastinya gue nanti-nanti!
Kalo menurut gue sih universe X-men ini gagal ya karena kurang berhasil aja gitu
ReplyDeletetabok lho gi
Deletebang... coba bikin artikel soal pendapat bang Dave soal DCEU yg mulai berbenah diri setelah film2nya bikin kesel semua
Deletekalo dipikir2 lama banget ya film ini tapi gagal agak nyesek hehe,cuma kalo versi jean grey dan dark phoenix yg jadi beda itu mgkn karena tercipta multiverse?btw gw juga dulu kadang liat X man animasi tp ga terlalu tertarik duluuuu malah tertarik banget sama animasi spiderman nmalah pernah ngikutik komik spiderman yg diterbitkan misurind n berharap agar spiderman versi MJ nya michelle jones ga dirusak sama MCU dan gw seneng indikasi spiderman akan dijadikan leader avenger yg baru agak tersirat HEHEHEH
ReplyDeleteYah kalau filmnya cuma dilihat sebagai film tunggal sih gak masalah cuma kalau di sebut universe sih ribet.karena memang alurnya tidak beraturan
ReplyDeleteSemisal xmen sampai the last stand aja
Aku cukup menikmati versi reboot yang first class dan day of future past.
Kayaknya ini karena mereka nggak pakai jasa produser yang bagus, terus mereka ingin mempertahankan alur cerita X-Men yang emang sejak awal udah jelek
ReplyDeleteSetuju bro
DeleteGara-gara fox, gw malah tiap denger kata X-Men ingetnya ke Wolverine. Gw pas kecil malah ngira tokoh utama di setiap film X-Men itu Wolverine ��
ReplyDeleteKerasa sih. Aku ga ngikutin rutin alur MCU ataupun X-men, cuma nonton beberapa filmnya doang. Tapi kalau MCU nonton "bolong2" pun aku tetep ngerti garis besar tokoh & ceritanya gimana. Kalau X-men aku ga pernah ngerti dia ceritanya tuh gimana. Aku paling bingung sama timeline kemunculan tokoh2nya kayak yg bang dave bilang, contohnya si Jean itu. Aku paling inget di salah satu film dia dibilangnya udah mati karena ngorbanin diri, tapi kok di film selanjutnya masih ada. Waktu ketemu Jean pertama kali juga profesor X nya udah tua, tapi di film selanjutnya ketemunya waktu masih muda. (Btw aku ga baca komik maupun nonton animasi kedua universe itu)
ReplyDelete