“HASRAT
TERPENDAM”
WARNING:
cerbung ini akan memuat konten dewasa
ENAM
TAHUN LALU
“Hei,
Santi!” Upin memanggilnya, “Awak mau lihat dagangan saya?”
Gadis itu
menoleh ke arahnya. Saat itu ia masih memakai seragam SMA. Rambutnya
yang dikuncir dua membuatnya tampak manis.
“Kau
membuat sendiri gelang itu, Upin? Bagus sekali.” Susanti menatapnya
sambil tersenyum, “Sayang sekali dompetku tertinggal di rumah. Lain
kali saja ya?”
“Untuk
gadis secantik awak gratis kok.”
Susanti
hanya tergelak, “Jangan ah! Aku kasihan nanti kau tak dapat uang
lagi.”
Upin pun
beranjak menghampiri Ipin, yang ia lihat tengah memperhatikan gadis
itu berjalan kembali ke kelas.
“Masih
suka stalking
Susanti ya?” tepuknya dari belakang.
“Astaga, kau bikin kaget saja!” Ipin menoleh dengan deg-degan.
“Kenapa
sih awak ini? Kita dan dia kan sudah bersahabat sejak kecil?”
“Entahlah,
Upin. Perasaanku dengannya kini berbeda seperti waktu kita masih
kecil.” Ia menandangi Susanti yang masih terlihat dari jendela
kelasnya.
“Beda?
Beda bagaimana?”
Dalam hati,
Ipin tahu bahwa Upin tak pernah memikirkan status mereka sebagai anak
yatim piatu. Kedua orang tua mereka meninggal dalam kecelakaan
pesawat saat mereka masih kecil, begitulah yang dikatakan Opah.
Bahkan seperti apa wajah mereka-pun, baik Upin dan Ipin tak lagi
mengingatnya.
Bagi Upin,
kedua orang tuanya hanyalah kenangan yang tak pernah ia ingat.
Baginya, Opah dan Kak Ros lebih penting karena mereka-lah yang
merawatnya sejak kecil.
Namun tidak
bagi Ipin.
Ia selalu
lebih penasaran tentang seperti apa kedua orang tua mereka. Ia sering
mengunjungi makam mereka di batas desa bersama Opah, namun hanya batu
nisan itu sajalah satu-satunya peninggalan mereka. Dan kadang itu
membuatnya minder. Melihat anak-anak lain seperti Ehsan, Mail, Fizi,
Jarjit, dan Mei Mei bersama orang tua mereka, kadang itu membuat Ipin
sedih.
Ia hanyalah
seorang anak tanpa orang tua.
Kemudian ia
bertemu Susanti.
Ia masih
ingat ketika ia pertama kali bertemu dengannya pada hari ia masuk
sekolah.
“Seorang
murid pindahan dari Indonesia.” begitulah Cikgu Yasmin
memperkenalkannya.
Namun
Susanti juga mengatakan banyak hal mengenai dirinya pada Ipin dan
Upin. Hal-hal yang bahkan tak pernah ia ceritakan pada anak-anak
lain.
“Ibuku
meninggal di sini, di Malaysia, karena kecelakaan kereta api.”
ujarnya bercerita, “Beliau dimakamkan di sini karena mahalnya biaya
untuk membawa jenazahnya kembali ke Indonesia. Karena itu kami
memutuskan untuk menetap di sini agar tidak jauh-jauh darinya.”
Beberapa
tahun kemudian ayah Susanti juga meninggal. Namun gadis itu cukup
mandiri untuk hidup sendirian.
“Kurasa
kita senasib sekarang, Pin.” kata gadis itu pada Ipin sembari
menyembunyikan kesedihannya, “Kita sama-sama yatim piatu sekarang.”
Upin
mungkin takkan pernah mengerti perasaan Ipin, namun gadis itu
mengerti.
Dan mulai
sejak saat, perasaan yang Ipin rasakan dalam hatinya lebih daripada
sahabat.
“Awak
menyukainya ya?”
Ipin
menoleh ke arah saudara kembarnya dengan wajah memerah. Ia tak bisa
membohonginya.
“Berikan
saja ini padanya,” Upin memberikan gelangnya, “dan katakan
perasaan awak, sebelum terlambat.”
Ipin
menerimanya dengan malu-malu. Dan keesokan harinya, Upin melihat
Susanti sudah mengenakan gelang itu.
Jika selama
ini ada yang bisa membedakan Upin dan Ipin dengan baik, orang itu
bukanlah Kak Ros maupun Opah, melainkan Susanti.
Buktinya ia
bisa memilih satu di antara mereka.
Semenjak
saat itu Upin hanya bisa menatap gadis itu dengan berbesar hati.
Hari itu ia
telah memberikan pengorbanan terbesarnya pada Ipin.
Yakni
memberikan cinta pertamanya pada saudaranya.
***
Upin
lagi-lagi terbangun, kali ini karena tamparan sinar matahari hangat
yang masuk dari jendela dan menyapu pipinya.
Sudah lama
sekali, pikirnya, namun kenapa ia masih saja teringat perasaannya
dulu pada Santi?
“Ipin
...” Kak Ros masuk ke kamarnya, “Ah, maaf ... Upin, maksud Kakak.
Hanya saja ini kamar Ipin, kadang Kakak ...”
“Tak apa,
Kak.” Upin tersenyum, “Ada apa Kakak membangunkan saya?”
Kak Ros
berusaha tak menatap wajahnya saat mengatakannya, “Ada perempuan
itu di luar.”
***
“Maaf
tadi malam aku mengusirmu dari rumah, Upin.” Susanti terlihat malu.
Mereka berdua tengah berjalan bersama menuju resor baru yang akan
dibuka oleh Ehsan.
“Tak apa.
Kenapa awak tak mengajak Udin bersama awak? Saya ingin melihatnya
lagi.”
“Aku
sudah menitipkannya. Lagipula ...”
Tiba-tiba
Upin mendengar para tetangga berbisik-bisik di belakang mereka.
“Lihat
bukankah itu Upin? Dia sudah kembali?”
“Lihat
perempuan itu sudah mulai menggoda saudara kembarnya. Padahal pria
yang kumpul kebo dengannya kuburnya saja belum kering.”
“Mana
anak haram itu ya? Jangan biarkan anak kita bergaul dengan anak perempuan Indon
itu ...”
Upin merasa
geram mendengar gunjingan itu. Tangannya terkepal, namun Santi buru-buru
menenangkannya.
“Sudahlah,
tak apa-apa. Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu.”
Diam-diam
Susanti tertawa. Upin merasa heran dibuatnya.
“Kau ini
mirip sekali dengan Ipin ya? Ia juga akan berbuat sama kalau
mendengar gosip tentang diriku. Dan aku juga harus menenangkannya,
sama seperti dirimu saat ini.”
“Kampung
ini banyak berubah.” Upin menatap bisnis-bisnis hiburan malam yang
menjamur di kanan kiri jalan utama desa itu.
“Tempat
ini sudah lebih maju, tergerus perkembangan zaman. Maka beginilah
konsekuensinya.” keluh Susanti. “Tapi paling tidak, teman-teman
kita kecipratan rejekinya,”
“Apa
maksud awak?”
“Ah,
lihat! Kita sudah sampai! Bukankah itu dulu rumahmu?”
Mata Upin
membelalak melihat rumah panggung di hadapannya. Rumah itu sama
sekali tak berubah sedikitpun, masih sama seperti waktu ia dan Ipin
dulu masih meninggalinya. Hanya ada satu perubahan, yakni plang
bertuliskan “Resort Exotic”, Selain itu ada beberapa karangan
bunga berisi ucapan selamat kepada Ehsan atas pembukaan resor barunya
itu.
“Sepertinya
Ehsan adalah pebisnis yang sukses. Saya lega melihat rumah ini masih
sama seperti yang dulu.”
“Ya, dia
belajar di luar negeri. Mungkin di sana ia menyadari bahwa lebih
banyak wisatawan yang menyukai suasana tradisional seperti ini.
Satu-satunya perubahan di rumahmu adalah kolam renang itu.”
Susanti
menunjuk ke kolam renang yang masih ditutup dengan penutup otomatis,
Upin sudah biasa melihatnya di hotel-hotel di KL.
“Itu
tempatmu dan Tuk Dalang dulu biasa memelihara ayam bukan?”
“Tuk
Dalang, oh ya ... saya belum berziarah ke makamnya dan juga makam
Opah.”
“Tuk
Dalang baru saja meninggal beberapa hari lalu, sebelum kematian
Ipin.” wajah Susanti kembali menyiratkan raut sedih.
“Iya,
saya juga mendengarnya dari Kak Ros, Hei, bukankah itu Mail?”
tunjuk Upin.
“Dimana
sih Ehsan? Jam segini dia belum nongol juga?” Mail dengan kesal
berbicara di telepon, “Apa dia mau terlambat ke pembukaan resornya
sendiri?”
“Apa saya
perlu menyuruh anak buah awak mencarinya?” Fizi dengan seragam
polisi menampakkan diri dari dalam resor.
“Tak
perlu, Fizi.” Mail dengan geram menutup telepon, “Palingan bentar
lagi dia muncul dengan wajah mabuk.”
“Hahaha
dia memang selalu mabuk ... ” tiba-tiba wajah Fizi berubah menjadi
kosong ketika melihat Upin.
“I ...
Ipin ...” bisiknya dengan wajah pucat.
“Kenapa
sih Fiz? Kau seperti baru melihat hantu?” Mail dengan heran menoleh
dan menjatuhkan teleponnya begitu melihat kehadiran Upin.
“Ka ...
kau sudah mati!” tunjuknya ketakutan.
“Teman-teman,
ini aku Upin!”
“U ...
Upin?” Fizi akhirnya tersadar dan berusaha menyembunyikan
kegugupannya, “Ten ... tentu saja. Kapan awak pulang?”
“Baru
kemarin ...”
“UPIN!”
Perkataan
Upin terpotong ketika seseorang tiba-tiba memeluknya.
“Jar ...
Jarjit?”
“Bunga
kenanga bunga cempaka ... lama kita tak jumpa ...hahaha!”
“Hahaha
awak masih suka berpantun juga ya?” Upin tertawa mengenang masa
lalu. Kehangatan mereka sebagai sahabat lama seakan menguar lagi,
walaupun hanya sesaat.
Di belakang
Jarjit, Upin melihat seorang gadis cantik berkaca mata yang tampil
mengenakan qipao
berwarna merah muda.
“Mei
Mei?” Upin langsung mengenalinya.
“Wah,
seperti reuni ya?” diam-diam Mei Mei melirik ke arah Fizi dan Mail.
Mereka berdua segera salah tingkah.
“Bagaimana
ini?” bisik Mail ke telinga
Fizi, “Kita sama sekali tak
memperhitungkan kalau dia bakalan datang!”
“Sudahlah!
Semua akan baik-baik saja jika kita semua tutup mulut!”
bisik Fizi tak kalah geramnya.
“Hei,
Mail!” panggil Jarjit. Mail dengan gugup buru-buru menoleh.
“A ...
ada apa Jit?”
“Bukalah
kolam renangnya. Kami semua ingin melihatnya! Bukankah itu atraksi
utama resor ini?”
“Seharusnya
Ehsan yang membukanya bersamaan dengan peresmian resor ini. Namun
kurasa tak ada salahnya kita melakukannya sekarang. Salah sendiri
Ehsan menghilang di hari besar seperti ini.”
Mail segera
menyuruh orang untuk membuka kolam renang. Sementara itu Jarjit
menyerahkan kartu namanya kepada Upin.
“Hei, Pin
... jangan lupa datang ke tempat kami ya!”
“Sirkus?”
Upin heran ketika membacanya, “Kalian berdua membuka bisnis
sirkus?”
“Circus
of the Freak!” tambah Mei Mei sambil menyeringai, “Sirkus khusus
orang-orang aneh.”
Jarjit
kemudian berbisik di telinga Upin dengan cara yang membuatnya
bergidik ngeri.
“Hanya
ini yang bisa dilakukan orang-orang pendatang aneh seperti kami
bukan? Bukankah itu anggapan orang-orang pribumi seperti kalian?”
Tiba-tiba
suara jeritan terdengar. Upin tersentak begitu menyadari teriakan itu
berasal dari Susanti.
“Ada
apa?”
Dengan
gemetaran, Susanti menunjuk ke arah kolam renang.
Para
pengunjung lain ikut menjerit.
Kolam itu
sudah terbuka dan menampakkan jasad seorang pria terapung di atasnya.
“Di ...
dia ...” Upin mengenalinya sebagai pria yang berusaha menggoda
Susanti di klub tadi malam.
“I ...
itu Ehsan ...” seru Mail.
“Apa?!”
tanya Upin tak percaya menatap mayat itu.
TO BE
CONTINUED
Makin tidak terduga :(
ReplyDeletesemangat terus berkarya bro!
ReplyDeleteOh my...
ReplyDeleteterlalu cepatkah menyimpulkan sesuatu?
ditunggu lanjutannya!
Bakal jadi cerita detektif nih ....
ReplyDeletelanjut lanjut lanjut
ReplyDeletespoiler gaes: Mail nanti nyanyi Lucid dream karena mei-mei nikah sama jarjit
ReplyDeletespoiler macam apa ini
DeleteSudah kuduga ehsan bakal ada di situ hoho...
ReplyDelete