Sunday, August 11, 2019

REVIEW “SCARY STORIES TO TELL IN THE DARK”: A PG-13 HORROR MOVIE, BUT IT AIN'T GOOSEBUMPS!



Balik lagi dengan review film guys! Kebetulan karena gue lagi bosen, iseng-iseng gue browsing film-film apa yang lagi diputer di bioskop. Eh ternyata “Scary Stories To Tell In The Dark” udah tayang. Gue udah denger-denger dari jauh-jauh hari bahwa film ini bakalan diproduseri sama Guilermo del Toro. Menurut gue ini udah jaminan mutu, sebab sosoknya udah nggak bisa dipisahin dengan film monster yang desainnya selalu disturbing. Tapi walaupun udah ada nama besar del Toro di sini, pada awalnya gue sebenarnya nggak terlalu tertarik nonton film ini. Alasannya ... well, karena film ini dikasi rating PG-13 alias bisa ditonton anak-anak. Pasti kalian pikir, “Oh, come on guys! Masa iya ada film horor khusus buat anak-anak?”


Akhir-akhir ini emang mulai dikenalkan konsep film horor PG-13. Yang masih segar di ingatan kalian mungkin adalah “Goosebumps” yang agak-agak berbaur dengan komedi. Terus juga ada film yang didapuk sebagai “Saw” versi PG-13, yakni “Escape Room”. Gue juga sempet mikir, ya ampun ... trend apa sih ini? Masa iya film horor dibikin PG-13? Mana serem? Jangan-jangan abis ini bakal dibikinin “Fifty Shades” atau “Game of Thrones” ala PG-13 buat ngenalin BSDM ama incest lebih dini ke anak-anak ya? Tapi gue emang mengerti strategi ini. Berkaca ama film-film Disney yang meraup trilyunan dolar, memang film-film PG-13 akan menarik lebih banyak penonton (dan lebih banyak duit) karena bisa ditonton oleh seluruh keluarga.

Namun dugaan gue rupanya salah. Kalo dipikir-pikir ternyata arti sebenarnya PG-13 itu bukan film yang diperuntukkan khusus buat anak-anak, namun film yang “aman” dari adegan seks, dialog dengan kata-kata kasar, ataupun adegan gore yang terlalu sadis. Dan gue sendiri cukup terkejut dengan film “Scary Stories To Tell In The Dark” ini. Karena ratingnya yang PG-13, gue sempet mengharap tontonan yang ringan. But, oh boy ... adegan-adegan klimaksnya justru malah disturbing dan gue yakin bakalan bikin anak-anak mimpi buruk dan trauma seumur hidup.

And it's a good thing!


Mungkin gue bahas dulu dari awal ya. “Scary Stories To Tell In The Dark” diangkat dari kumpulan kisah-kisah horor untuk anak-anak karangan Alvin Schwartz yang dirilis pada 1981. Nah, banyak nih komen-komen yang gue baca tentang para pembacanya (yang sekarang udah gede) kalo yang bikin novel ini seram sebenarnya bukan ceritanya, tapi ilustrasi di dalamnya (namanya juga buku anak-anak, pasti ada gambarnya). Nah, mungkin desain makhluk-makhluk halus dalam buku inilah yang membuat sutradara sekelas Guilermo del Toro memutuskan untuk menggarap film ini.

Seperti bukunya, “Scary Stories To Tell In The Dark” ini berkonsep kumpulan cerita-cerita pendek (anthology) dalam satu film. Namun, berbeda dengan anthology lain, film ini memuat konsep baru, dimana para tokoh-tokoh utamanya-lah yang menjadi subjek dalam tiap potongan cerita tersebut. Film ini diawali dengan apa yang gue harapkan dari sebuah film anak-anak. Film ini menceritakan petualangan 3 remaja, yakni Stella, Augie, dan Chuck, yang melarikan diri dari seorang pembully pada malam Halloween. Mereka kemudian bertemu dengan seorang pemuda bernama Ramon dan mereka berempat pun bersembunyi di sebuah rumah tua yang konon digentayangi oleh sosok hantu bernama Sarah. Stella menemukan sebuah buku di salah satu ruangan rahasia di rumah itu dan semenjak itu, bencanapun dimulai. Di buku itu, tertulis kisah-kisah horor mengerikan dimana celakanya, mereka-lah pemeran utamanya.

Secara keseluruhan, film ini menceritakan kembali lima kisah horor yang terinspirasi dari cerita pendek di buku aslinya. Empat dari lima cerita tersebut melibatkan monster-monster dengan desain disturbing. Gue bisa bilang, film ini mirip-mirip dengan Goosebumps, cuman lebih gritty dan kelam.


Pertama gue akan bahas tentang kelebihannya. Ada banyak jumpscare yang cukup buat gue puas dan deg-degan di film ini. Walaupun beberapa masih mengandalkan suara keras buat ngagetin penonton, tapi tiap adegannya gue rasa seru, apalagi pas mereka dikejar-kejar monster. Tegangnya bener-bener kerasa. Dan desain monster terakhirnya ... wow, gue salut mereka berani mengeluarkan monster seseram itu ke film yang boleh ditonton anak-anak. Gue rasa, dari keseluruhan film, cerita kelima yang juga merupakan klimaksnya, merupakan bagian yang paling seru. Ada juga plot yang cukup bagus menurut gue yang menyorot tentang lingkungan (gue nggak akan bahas lebih lanjut karena itu akan jadi plot twist di film ini).

Sekarang kekurangannya. Sayangnya dari segi cerita utama yang jadi pengikat kelima cerita pendek tersebut masihlah amat kurang. Kebaca banget ini cerita untuk anak-anak. Bahkan pemeran utama ceweknya kurang menarik simpati menurut gue (walaupun aktingnya bagus sih). Menurut gue karakternya datar-datar aja. Temen-temennya yang harusnya jadi comic relief menurut gue malah garing. Settingnya di tahun 1960-an ketika Amerika terlibat perang dengan Vietnam juga harusnya berkontribusi lebih banyak ke plot ceritanya. Namun di sini, setting itu cuman nyambung ke satu karakter aja, padahal seharusnya bisa lebih dieksplore untuk memberikan suasana yang lebih “grim” serta keputusasaan bagi tokoh-tokohnya. Gue rasa jika film ini mengambil setting di dunia modern-pun, menurut gue nggak masalah. Nggak akan berpengaruh banyak. Endingnya juga menurut gue agak ...ehm, mengecewakan. Tapi ya mau bagaimana lagi, ini kan film PG-13, jadi gue emang nggak bisa berharap banyak dan menyandingkannya dengan film-film horor lain yang kebanyakan emang ditujukan buat penonton dewasa.


Kesimpulan, film ini cukup memberi gue hiburan. Kalo boleh gue bandingin nih, film ini mirip ama serial zombie “Black Summer” yang hanya mengandalkan ketegangan saat karakter-karakternya dikejar zombie (and it works!) tapi dari segi cerita, kurang banget. Cuman adegan lari-larinya aja yang seru, tapi plotnya kayak “empty” gitu.

Kalo kalian mencari hiburan yang nggak bikin kalian banyak berpikir, langsung aja serbu film ini. Jika kalian mencari film dengan ketegangan dan bikin deg-degan, maka film ini cocok buat kalian. Tapi tetap ingat bahwa ini adalah film PG-13, dengan kata lain jangan memiliki ekspetasi lebih bahwa kalian akan mendapat sajian seperti film-film horor dewasa.

Karena udah banyak readers yang bertanya-tanya: mana nih CD berdarah yang udah jadi trademark review film di blog ini? Nah, ini nih gue kasi skor 4 dari total 5 CD berdarah. 



Gue pengen kasi skor lebih tinggi, sayang endingnya mengecewakan. Gue nggak tahu apa endingnya emang disiapin buat sekuelnya atau gimana, tapi yang jelas kurang memuaskan. Dan ada pertanyaan belum terjawab, semisal dimana ibu Stella? Gue awalnya sempat kepengen ada plot dimana si bokapnya Stella bakal jelasin ke anaknya kalo sebenarnya ibunya itu nggak hilang, tapi dibunuh ama bokapnya. Tapi sayang lagi-lagi gue ingat ...

Ini film PG-13 :(

Dan gue juga pengen tahu apa itu dongeng Wendigo!!!

3 comments:

  1. Dongeng When I Go

    I miss you so bad


    ~tamat~


    Btw mantap reviewnya, no sopiler2an

    ReplyDelete
  2. coba bahas Ritual nya Netflix bang, itu monsternya keren bgt

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eeeeh udah pernah kali. Ampe gue kasi 5 CD berdarah huehehehe

      Delete