“TERKUBUR
DALAM DUSTA”
WARNING:
cerbung ini akan memuat konten dewasa
Upin
menaburkan bunga di atas pusara saudara kembarnya. Ia datang ke sini
untuk mencari jawaban, namun justru lebih banyak pertanyaan yang
menjeratnya.
Dan lebih
banyak tragedi.
Dalam
sehari, sudah tiga orang sahabat lamanya yang tewas secara beruntun.
Penduduk
kampung mulai gusar dan panik. Apa ada pembunuh berantai di kampung
ini? Ataukah kematian mereka hanya kebetulan sahaja? Apakah Ehsan
mabuk dan lehernya patah ketika ia jatuh membentur tepi kolam? Apakah
ular itu tanpa sengaja masuk ke sirkus dan menggigit Mei Mei? Apakah
Jarjit bunuh diri karena tak kuat menanggung kesedihan akibat
kematian tragis istrinya? Mungkin, semua mungkin.
Lalu
bagaimana menjelaskan kematian Ipin? Apa benar Ijat membunuhnya
dengan darah dingin karena penyakit jiwanya? Tapi jika benar ia
pelakunya, lalu bagaimana menjelaskan kematian tiga temannya yang
lain? Kematian mereka terjadi setelah polisi menangkap Ijat, jadi
mustahil dia pelakunya juga.
Jadi,
pelakunya pasti adalah orang lain. Tapi apa motifnya?
Apa dia
dirampok? Tapi semua tahu keluarga mereka tak punya apa-apa.
Apa karena
dendam? Apa yang diperbuat Ipin? Dan itu membawanya kembali ke
pertanyaan semula, siapa yang membunuhnya?
Kampung itu
menyimpan lebih banyak misteri ketimbang yang Upin ketahui. Ia
menghela napas, mencoba mengistirahatkan otaknya dari misteri-misteri
yang terus berkecamuk.
Ia
mengalihkan perhatiannya ke makam Opah. Ipin dimakamkan di samping
liang lahat neneknya. Mungkin ini yang terbaik, pikir Upin.
Ia kemudian
bangkit dan berjalan. Selang beberapa makam adalah kuburan kedua
orang tuanya.
Upin
menaburkan bunga di atasnya. Jika dipikir-pikir, hanya dia-lah kini
satu-satunya penerus keluarga mereka sepeninggal Ipin. Kak Ros
semenjak dulu tak mau menikah, jadi hanya Upin-lah harapan
satu-satunya untuk meneruskan garis keturunan mereka.
Entah
mengapa, Kak Ros selalu membenci laki-laki. Dulu Upin dan Ipin selalu
mengejeknya sebagai perawan tua. Namun Opah selalu memarahi mereka
dan membela Kak Ros. Kata neneknya, Kak Ros begitu karena dulu pernah
dikecewakan lelaki. Siapa lelaki itu, Opah juga tak pernah bercerita.
Upin
tersenyum mengenang masa-masa itu. Ia hendak beranjak pergi ketika ia
menyadari sesuatu.
Warna tanah
di bawahnya berbeda.
Ia
memandangi makam kedua orang tuanya. Warna tanah makam mereka dan
tanah di sekitarnya berbeda.
Dan
anehnya, tanahnya juga lebih gembur.
“Ada apa
ini?” Upin berpikir.
Sementara
itu, sesosok wanita tengah bersembunyi di balik pohon kamboja, tengah
mengawasi Upin dari kejauhan.
***
Upin
menggedor-gedor pintu rumah kecil itu.
Susanti
akhirnya membukakan pintu dan terkejut melihat kedatangan pemuda itu.
“Ada apa,
Upin? Ini sudah malam!” Susanti sepertinya enggan membukakan pintu.
“Katakan,
Santi! Apakah sebelum meninggal, Ipin mengatakan sesuatu tentang
orang tua kami?”
Mata
Susanti membelalak, “Ba ... bagaimana kau tahu?”
***
Mereka
berdua berbincang di teras rumah. Sepertinya Susanti masih enggan
membiarkannya masuk. Upin sangat memahami alasannya. Mungkin ia tak
mau memancing pergunjingan tetangga.
“Semua
dimulai beberapa hari lalu, sebelum Tuk Dalang meninggal.”
“Apa
hubungan kematian beliau dengan semua ini?”
“Sebelum
menghembuskan napasnya yang terakhir, Tuk Dalang sempat memanggil
Upin untuk menyampaikan pesan terakhirnya.” Susanti bercerita. “Di
saat itulah Datuk menyampaikan bahwa apa yang dikatakan Opah selama
ini salah.”
“Tentang
apa?”
“Tentang
kedua orang tua kalian.”
“Apa
maksud awak?”
Susanti
tertunduk, “Orang tua kalian tidak meninggal dalam kecelakaan
pesawat. Itu hanyalah cerita karangan Opah kalian saja.”
“Apa
maksudmu?! Jadi Opah selama ini membohongi kami?” Upin langsung
berdiri dari kursinya karena tak dapat menerima kenyataan itu, “Lalu
dimana orang tua kami?”
“Aku tak
tahu. Upin hanya membicarakannya sekilas. Setelah itu, aku ingat,
malam itu ia langung pergi entah kemana dan pulang dengan tubuh
berbalut lumpur. Ia menangis tersedu-sedu dan tak mau mengatakan apa
yang terjadi.”
“Lumpur?”
Upin bak tersambar petir mendengar cerita tersebut. Dengan segera, ia
pergi meninggalkan rumah Susanti.
“Upin,
tunggu! Mau kemana kamu?” Susanti bangkit, berusaha mengejarnya.
Namun langkahnya terhenti oleh hujan yang mulai turun.
***
Napas yang
mulai tersengal-sengal tak membuat Upin berhenti menggali tanah itu.
Hujan yang turun juga jelas tak menyurutkan niatnya. Hujan itu justru
membuat tanah gembur itu lebih mudah digali.
Ayah dan
ibunya dikubur dalam liang lahat yang sama, jadi pasti mudah untuk
menggalinya. Begitulah yang ada di pikiran Upin saat ini. Ya, ia
harus membuktikan orang tuanya benar-benar dimakamkan di sini.
Harus, ia
harus menemukannya!
Opah tak
mungkin berbohong kepada mereka! Untuk apa Opah melakukannya? Ia tak
mungkin setega itu pada cucu-cucunya.
Petir yang
menggelegar membuatnya tersadar. Kilatan cahaya dari halilintar yang
menyambar di langit menerangi lubang yang ia gali. Tak ada apapun di
sana. Hanya ada tanah, air, dan dirinya. Sudah terlalu dalam ia
menggali, namun ia tak menemukan apapun.
Makam ini
kosong.
Tak ada
yang dikubur di sini.
Tapi jika
begitu ... dimana orang tua mereka?
Upin
berusaha keras keluar dari lubang yang dibuatnya. Tak peduli walaupun
tubuhnya sudah dibalur lumpur, ia tetap merangkak naik. Guntur
kembali menggelegar di angkasa, membuat hatinya tercekam. Mungkin
inilah yang dirasakan Ipin malam itu.
Saat ia
mengetahui kebenaran tentang kedua orang tua mereka.
Atau lebih
tepatnya kebohongan.
Upin
akhirnya mencapai atas dan hanya berbaring di sana, membiarkan lumpur
di tubuhnya dibasuh hujan. Kenapa semakin dalam ia berusaha menggali
kebenaran, justru semakin banyak pertanyaan yang ia temukan?
Apa ini
juga yang Ipin coba katakan saat ia pergi ke baraknya sebelum
kematiannya?
Ipin.
Upin
menoleh ke makam tak jauh darinya. Dengan susah payah, ia
menginjakkan kakinya di lumpur sambil membopong cangkulnya.
Ia kembali
menggali.
Menggali
lebih dalam dan dalam lagi.
Bagaimana
jika kematian Ipin juga adalah kebohongan seperti orang tuanya?
Bagaimana
jika ia juga masih hidup?
Ia boleh
berharap.
Suara
sambaran kilat kembali mengiringi penemuannya. Kain putih mencuat di
tanah yang ia gali. Upin melemparkan cangkulnya dan mulai menggali
menggunakan tangan.
Pocong itu
mulai menyembul dari dalam tanah. Upin menyibak kain yang menutup
wajahnya dan ...
“AAAAAAARGHH!!!”
suara gertakan halilintar menenggelamkan teriakannya.
Dan juga
tangisannya.
Wajah itu
mulai membusuk dengan kulit menghitam dan belatung keluar lubang
hitung dan rongga matanya.
Namun wajah
yang tengah menatapnya itu jelas adalah wajah yang serupa dengannya.
Wajah Ipin.
***
“Kita tak
bisa cuman berdiam diri, Fiz!” Mail berjalan bolak-balik, sementara
halilintar masih menggelegar di luar jendela pabriknya.
“Saya
sudah melakukannya sebisa mungkin, Mail.” Fizi berusaha
menenangkannya. “Ke sinilah, minum kopi awak lagi agar pikiran awak
bisa lebih santai.”
“Santai?
Awak sendiri yang terlalu santai, Fizi!” Mail menggebrak meja di
depannya, “Sudah tiga teman kita yang tewas, padahal seharusnya
mereka semua berada di bawah pengawasan awak. Apalagi Jarjit!
Bukannya dia ada dalam sel tahanan polisi saat ia mati?”
“Dia
sendiri yang memutuskan bunuh diri! Jangan salahkan saya! Saya sudah
berusaha sebaik mungkin dengan memfitnah si Ijat sebagai pembunuh
Ipin!” Fizi mengelak. “Lagipula kita salah memperhitungkan satu
hal. Kita sama sekali tak mengira Upin akan kembali ke kampung ini.”
“Bagaimana
ini?” Mail menjambak rambutnya dengan panik, “Bagaimana jika dia
tahu apa yang sudah kita lakukan? Saya sudah tahu sejak dulu,
seharusnya kita mengaku saja pada polisi saat itu!”
“Jangan
bodoh!” kini ganti Fizi yang naik darah, “Saya sekarang sudah
jadi polisi, Mail! Saya bisa dipecat dan kehilangan lencana saya jika
sampai ada yang tahu perbuatan kita saat itu!”
“PERBUATAN
APA YANG KALIAN BICARAKAN?”
Guntur
kembali menyalak. Namun bukan itu yang membuat Fizi dan Mail
terkejut, melainkan pemilik suara itu.
Mereka
menoleh dan melihat seorang pemuda berdiri di ambang pintu dengan
tubuh basah kuyub.
“U ...
Upin ...” Mail terlihat gugup. “A ... apa yang awak lakukan di
sini?”
“Mencari
jawaban.” Ia berjalan menghampiri mereka, meninggalkan jejak air di
lantai. “Kurasa hanya kalian yang memiliki jawabannya. Hanya kalian
yang tersisa. Kematian Ipin dan tiga teman kita hari ini pastilah
bukan suatu kebetulan. Ada yang kalian sembunyikan, bukan?”
Petir
lagi-lagi menyambar di luar jendela.
“Katakan,
apa yang sudah kalian lakukan?” kilat yang menyambar meninggalkan
cahaya di wajah Upin yang membuatnya terlihat seram. Mail yang
semenjak tadi bergidik ketakutan akhirnya bersimpuh dan tangisannya
pun meledak,
“Ma ...
maafkan saya! Kejadian itu hanya kecelakaan!” seru Mail tiba-tiba
di tengah tangisnya, “Saya bersumpah! Kami benar-benar tak
sengaja!!”
“Mail!
Hentikan!” bentak Fizi. Namun itu tak menghentikan pengakuan pria
itu.
“Apa
maksud awak?” Upin tak mengerti.
“Kami
berlima yang membunuhnya ...” jerit Mail histeris, “Namun kami
benar-benar tidak bermaksud untuk melakukannya!”
“Ka ...
kalian yang membunuh Ipin?” Upin tersentak.
“Bu ...
bukan ...” Mail terisak, mengakhiri pengakuannya, “Namun Opah
kalian .... kamilah yang membunuhnya ...”
TO BE
CONTINUED
Jeng jeng.. tirai misteri sedikit tersibak tetapi masih menyisakan misteri lainnya. Sepertinya sudah bisa disimpulkan siapa pembunuh berantai itu tetapi tetap baru dugaan.
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya!
hayooo siapa ...
DeletePelakunya pasti gak ketebak, aku yakin itu gak mungkin bang Dave bikin cerita simple
ReplyDeleteMantab bang dave panutanqu
ReplyDeleteSusanti is that u ?
ReplyDeletewell, plot twist ga cuma nebak pelaku, motif juga bisa
ReplyDelete