Sunday, August 11, 2019

UPIN IPIN: THE DARKEST SECRET - BAB 5


TERKUBUR DALAM DUSTA”


WARNING: cerbung ini akan memuat konten dewasa

Upin menaburkan bunga di atas pusara saudara kembarnya. Ia datang ke sini untuk mencari jawaban, namun justru lebih banyak pertanyaan yang menjeratnya.

Dan lebih banyak tragedi.

Dalam sehari, sudah tiga orang sahabat lamanya yang tewas secara beruntun.


Penduduk kampung mulai gusar dan panik. Apa ada pembunuh berantai di kampung ini? Ataukah kematian mereka hanya kebetulan sahaja? Apakah Ehsan mabuk dan lehernya patah ketika ia jatuh membentur tepi kolam? Apakah ular itu tanpa sengaja masuk ke sirkus dan menggigit Mei Mei? Apakah Jarjit bunuh diri karena tak kuat menanggung kesedihan akibat kematian tragis istrinya? Mungkin, semua mungkin.

Lalu bagaimana menjelaskan kematian Ipin? Apa benar Ijat membunuhnya dengan darah dingin karena penyakit jiwanya? Tapi jika benar ia pelakunya, lalu bagaimana menjelaskan kematian tiga temannya yang lain? Kematian mereka terjadi setelah polisi menangkap Ijat, jadi mustahil dia pelakunya juga.

Jadi, pelakunya pasti adalah orang lain. Tapi apa motifnya?

Apa dia dirampok? Tapi semua tahu keluarga mereka tak punya apa-apa.

Apa karena dendam? Apa yang diperbuat Ipin? Dan itu membawanya kembali ke pertanyaan semula, siapa yang membunuhnya?

Kampung itu menyimpan lebih banyak misteri ketimbang yang Upin ketahui. Ia menghela napas, mencoba mengistirahatkan otaknya dari misteri-misteri yang terus berkecamuk.

Ia mengalihkan perhatiannya ke makam Opah. Ipin dimakamkan di samping liang lahat neneknya. Mungkin ini yang terbaik, pikir Upin.

Ia kemudian bangkit dan berjalan. Selang beberapa makam adalah kuburan kedua orang tuanya.

Upin menaburkan bunga di atasnya. Jika dipikir-pikir, hanya dia-lah kini satu-satunya penerus keluarga mereka sepeninggal Ipin. Kak Ros semenjak dulu tak mau menikah, jadi hanya Upin-lah harapan satu-satunya untuk meneruskan garis keturunan mereka.

Entah mengapa, Kak Ros selalu membenci laki-laki. Dulu Upin dan Ipin selalu mengejeknya sebagai perawan tua. Namun Opah selalu memarahi mereka dan membela Kak Ros. Kata neneknya, Kak Ros begitu karena dulu pernah dikecewakan lelaki. Siapa lelaki itu, Opah juga tak pernah bercerita.

Upin tersenyum mengenang masa-masa itu. Ia hendak beranjak pergi ketika ia menyadari sesuatu.

Warna tanah di bawahnya berbeda.

Ia memandangi makam kedua orang tuanya. Warna tanah makam mereka dan tanah di sekitarnya berbeda.

Dan anehnya, tanahnya juga lebih gembur.

Ada apa ini?” Upin berpikir.

Sementara itu, sesosok wanita tengah bersembunyi di balik pohon kamboja, tengah mengawasi Upin dari kejauhan.

***

Upin menggedor-gedor pintu rumah kecil itu.

Susanti akhirnya membukakan pintu dan terkejut melihat kedatangan pemuda itu.

Ada apa, Upin? Ini sudah malam!” Susanti sepertinya enggan membukakan pintu.

Katakan, Santi! Apakah sebelum meninggal, Ipin mengatakan sesuatu tentang orang tua kami?”

Mata Susanti membelalak, “Ba ... bagaimana kau tahu?”

***

Mereka berdua berbincang di teras rumah. Sepertinya Susanti masih enggan membiarkannya masuk. Upin sangat memahami alasannya. Mungkin ia tak mau memancing pergunjingan tetangga.

Semua dimulai beberapa hari lalu, sebelum Tuk Dalang meninggal.”

Apa hubungan kematian beliau dengan semua ini?”

Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir, Tuk Dalang sempat memanggil Upin untuk menyampaikan pesan terakhirnya.” Susanti bercerita. “Di saat itulah Datuk menyampaikan bahwa apa yang dikatakan Opah selama ini salah.”

Tentang apa?”

Tentang kedua orang tua kalian.”

Apa maksud awak?”

Susanti tertunduk, “Orang tua kalian tidak meninggal dalam kecelakaan pesawat. Itu hanyalah cerita karangan Opah kalian saja.”

Apa maksudmu?! Jadi Opah selama ini membohongi kami?” Upin langsung berdiri dari kursinya karena tak dapat menerima kenyataan itu, “Lalu dimana orang tua kami?”

Aku tak tahu. Upin hanya membicarakannya sekilas. Setelah itu, aku ingat, malam itu ia langung pergi entah kemana dan pulang dengan tubuh berbalut lumpur. Ia menangis tersedu-sedu dan tak mau mengatakan apa yang terjadi.”

Lumpur?” Upin bak tersambar petir mendengar cerita tersebut. Dengan segera, ia pergi meninggalkan rumah Susanti.

Upin, tunggu! Mau kemana kamu?” Susanti bangkit, berusaha mengejarnya. Namun langkahnya terhenti oleh hujan yang mulai turun.

***

Napas yang mulai tersengal-sengal tak membuat Upin berhenti menggali tanah itu. Hujan yang turun juga jelas tak menyurutkan niatnya. Hujan itu justru membuat tanah gembur itu lebih mudah digali.

Ayah dan ibunya dikubur dalam liang lahat yang sama, jadi pasti mudah untuk menggalinya. Begitulah yang ada di pikiran Upin saat ini. Ya, ia harus membuktikan orang tuanya benar-benar dimakamkan di sini.

Harus, ia harus menemukannya!

Opah tak mungkin berbohong kepada mereka! Untuk apa Opah melakukannya? Ia tak mungkin setega itu pada cucu-cucunya.

Petir yang menggelegar membuatnya tersadar. Kilatan cahaya dari halilintar yang menyambar di langit menerangi lubang yang ia gali. Tak ada apapun di sana. Hanya ada tanah, air, dan dirinya. Sudah terlalu dalam ia menggali, namun ia tak menemukan apapun.

Makam ini kosong.

Tak ada yang dikubur di sini.

Tapi jika begitu ... dimana orang tua mereka?

Upin berusaha keras keluar dari lubang yang dibuatnya. Tak peduli walaupun tubuhnya sudah dibalur lumpur, ia tetap merangkak naik. Guntur kembali menggelegar di angkasa, membuat hatinya tercekam. Mungkin inilah yang dirasakan Ipin malam itu.

Saat ia mengetahui kebenaran tentang kedua orang tua mereka.

Atau lebih tepatnya kebohongan.

Upin akhirnya mencapai atas dan hanya berbaring di sana, membiarkan lumpur di tubuhnya dibasuh hujan. Kenapa semakin dalam ia berusaha menggali kebenaran, justru semakin banyak pertanyaan yang ia temukan?

Apa ini juga yang Ipin coba katakan saat ia pergi ke baraknya sebelum kematiannya?

Ipin.

Upin menoleh ke makam tak jauh darinya. Dengan susah payah, ia menginjakkan kakinya di lumpur sambil membopong cangkulnya.

Ia kembali menggali.

Menggali lebih dalam dan dalam lagi.

Bagaimana jika kematian Ipin juga adalah kebohongan seperti orang tuanya?

Bagaimana jika ia juga masih hidup?

Ia boleh berharap.

Suara sambaran kilat kembali mengiringi penemuannya. Kain putih mencuat di tanah yang ia gali. Upin melemparkan cangkulnya dan mulai menggali menggunakan tangan.

Pocong itu mulai menyembul dari dalam tanah. Upin menyibak kain yang menutup wajahnya dan ...

AAAAAAARGHH!!!” suara gertakan halilintar menenggelamkan teriakannya.

Dan juga tangisannya.

Wajah itu mulai membusuk dengan kulit menghitam dan belatung keluar lubang hitung dan rongga matanya.

Namun wajah yang tengah menatapnya itu jelas adalah wajah yang serupa dengannya.

Wajah Ipin.

***

Kita tak bisa cuman berdiam diri, Fiz!” Mail berjalan bolak-balik, sementara halilintar masih menggelegar di luar jendela pabriknya.

Saya sudah melakukannya sebisa mungkin, Mail.” Fizi berusaha menenangkannya. “Ke sinilah, minum kopi awak lagi agar pikiran awak bisa lebih santai.”

Santai? Awak sendiri yang terlalu santai, Fizi!” Mail menggebrak meja di depannya, “Sudah tiga teman kita yang tewas, padahal seharusnya mereka semua berada di bawah pengawasan awak. Apalagi Jarjit! Bukannya dia ada dalam sel tahanan polisi saat ia mati?”

Dia sendiri yang memutuskan bunuh diri! Jangan salahkan saya! Saya sudah berusaha sebaik mungkin dengan memfitnah si Ijat sebagai pembunuh Ipin!” Fizi mengelak. “Lagipula kita salah memperhitungkan satu hal. Kita sama sekali tak mengira Upin akan kembali ke kampung ini.”

Bagaimana ini?” Mail menjambak rambutnya dengan panik, “Bagaimana jika dia tahu apa yang sudah kita lakukan? Saya sudah tahu sejak dulu, seharusnya kita mengaku saja pada polisi saat itu!”

Jangan bodoh!” kini ganti Fizi yang naik darah, “Saya sekarang sudah jadi polisi, Mail! Saya bisa dipecat dan kehilangan lencana saya jika sampai ada yang tahu perbuatan kita saat itu!”

PERBUATAN APA YANG KALIAN BICARAKAN?”

Guntur kembali menyalak. Namun bukan itu yang membuat Fizi dan Mail terkejut, melainkan pemilik suara itu.

Mereka menoleh dan melihat seorang pemuda berdiri di ambang pintu dengan tubuh basah kuyub.

U ... Upin ...” Mail terlihat gugup. “A ... apa yang awak lakukan di sini?”

Mencari jawaban.” Ia berjalan menghampiri mereka, meninggalkan jejak air di lantai. “Kurasa hanya kalian yang memiliki jawabannya. Hanya kalian yang tersisa. Kematian Ipin dan tiga teman kita hari ini pastilah bukan suatu kebetulan. Ada yang kalian sembunyikan, bukan?”

Petir lagi-lagi menyambar di luar jendela.

Katakan, apa yang sudah kalian lakukan?” kilat yang menyambar meninggalkan cahaya di wajah Upin yang membuatnya terlihat seram. Mail yang semenjak tadi bergidik ketakutan akhirnya bersimpuh dan tangisannya pun meledak,

Ma ... maafkan saya! Kejadian itu hanya kecelakaan!” seru Mail tiba-tiba di tengah tangisnya, “Saya bersumpah! Kami benar-benar tak sengaja!!”

Mail! Hentikan!” bentak Fizi. Namun itu tak menghentikan pengakuan pria itu.

Apa maksud awak?” Upin tak mengerti.

Kami berlima yang membunuhnya ...” jerit Mail histeris, “Namun kami benar-benar tidak bermaksud untuk melakukannya!”

Ka ... kalian yang membunuh Ipin?” Upin tersentak.

Bu ... bukan ...” Mail terisak, mengakhiri pengakuannya, “Namun Opah kalian .... kamilah yang membunuhnya ...”


TO BE CONTINUED

6 comments:

  1. Jeng jeng.. tirai misteri sedikit tersibak tetapi masih menyisakan misteri lainnya. Sepertinya sudah bisa disimpulkan siapa pembunuh berantai itu tetapi tetap baru dugaan.

    Ditunggu lanjutannya!

    ReplyDelete
  2. Pelakunya pasti gak ketebak, aku yakin itu gak mungkin bang Dave bikin cerita simple

    ReplyDelete
  3. well, plot twist ga cuma nebak pelaku, motif juga bisa

    ReplyDelete