Logo Q-Anon |
Mungkin beberapa kalian masih ingat akan peristiwa menghebohkan yang terjadi awal tahun 2021 ini dimana Capitol Building di Washington DC, ibu kota Amerika Serikat, diserbu dan diduduki oleh para pendukung Donald Trump. Hal tersebut merupakan berita besar nan menghebohkan di AS sana karena Gedung Capitol merupakan gedung MPR-nya AS dan menjadi pusat pemerintahan negara Paman Sam tersebut. Bahkan, terakhir kali Gedung Capitol diserang seperti itu adalah 1814 oleh pasukan Inggris.
Namun yang lebih menarik
adalah apa yang menyulut penyerangan tersebut, yakni sebuah situs teori
konspirasi para pendukung Trump yang disebut dengan QAnon. Apa itu QAnon? Para pendukung
QAnon meyakini bahwa Amerika (dan seluruh dunia) sebenarnya dikuasai oleh
sebuah organisasi misterius (disebut “cabal”) yang memuja setan, kanibalistik,
serta mengorganisir sebuah ring perdagangan manusia yang mencakup penculikan
dan penjualan anak-anak kecil untuk memuaskan nafsu seks para pedofil. Dengan
kata lain, para elite pemerintah sesungguhnya adalah pengikut sekte pemuja
setan dan juga pedofil kelas kakap. Uniknya, Qanon meyakini bahwa Donald Trump
adalah “juru selamat” mereka dan berniat membasmi cabal sesat tersebut. Menurut
mereka, usaha Donald Trump ini dihalang-halangi hingga iapun kalah dalam
pemilihan umum Amerika tahun lalu.
Benarkah teori konspirasi ini? Lalu yang ingin lebih gue soroti dalam artikel ini, bagaimana dampak teori konspirasi ini terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (walah kayak pertanyaan PKn aja hehehe)? Kita akan simak pembahasannya dalam Dark Case kali ini.
THE
ORIGIN OF “Q”
Q-Anon diduga sebagai dalang penyerbuan gedung Capitol oleh kaum pendukung Trump |
QAnon merupakan sebutan bagi para pendukung teori konspirasi yang secara definisi politik bisa digolongkan ke dalam “sayap kanan” atau golongan religius, berlawanan dengan “sayap kiri” atau paham Komunis yang menolak Ketuhanan. Tak heran, para pendukung Trump kebanyakan adalah golongan Kristen konservatif (bahkan kadang bisa dibilang radikal) yang dalam perpoltiikan di AS sendiri diwadahi dalam partai politik bernama Republikan yang juga mengusung Trump sebagai presiden mereka. Lawan dari kaum Republikan (karena di AS hanya ada dua parpol besar, beda dengan di Indonesia yang jumlahnya puluhan) adalah kaum Demokrat yang menjunjung tinggi paham liberal yang moderat, contohnya membela hak kaum LGBT bahkan hak aborsi. Namun kaum Demokrat juga menjunjung tinggi pluralisme dan amat mendukung para imigran yang masuk ke AS, sedangkan Republikan umumnya dikenal cukup “rasis” dan ingin menjaga “kemurnian” budaya AS dengan menolak masuknya imigran. Karena paham yang bak dua sisi mata uang yang saling bertentangan inilah, kedua golongan tersebut, yakni Republikan dan Demokrat, saling bermusuhan satu sama lain.
Ada satu lagi ciri kaum
Republikan, yakni mereka amat memegang teguh hak mereka untuk dengan bebas
memiliki dan menggunakan senjata api (disebut “second amandement”). Padahal isu
tersebut sering dikaitkan dengan betapa seringnya kejadian penembakan massal
terjadi di wilayah AS, sebagai contoh kasus Columbine yang pernah gueangkat. Aneh memang, walaupun AS merupakan negara maju (developed country),
namun tingkat kriminalitas di negara tersebut masihlah amat tinggi menyerupai
demografi sebuah negara berkembang (developing country). Padahal hakikatnya,
sebuah negara maju tak hanya digdaya dalam masalah perekonomian semata, namun
juga dalam menjaga keamanan dan keselamatan warganya. Karena ini pulalah,
tingkat kriminalitas di negara-negara maju (semisal di Eropa dan beberapa
negara maju di Asia) biasanya amatlah rendah, bahkan nyaris nol, bertolak
belakang dengan kenyataan yang dihadapi di AS.
Nah, inilah asal muasal mengapa golongan sayap kanan ini amat mempercayai teori konspirasi, sebab kaum Demokrat seringkali berusaha membatasi hak memegang senjata tersebut dengan dalih untuk menurunkan angka penembakan massal yang amat memprihatinkan. Namun kaum Republikan (yang amat menjunjung tinggi hak mereka) sama sekali tak mau mengalah, bahkan percaya bahwa pemerintah sengaja mengangkat isu itu untuk “memperlemah” mereka. Sebab mereka berpendapat apabila kepemilikan senjata api dilarang, maka mereka takkan lagi memiliki senjata untuk melawan apabila mereka nanti “ditindas” oleh pemerintah.
Maka tidaklah mengherankan, di kalangan sayap kanan sendiri, sering beredar rumor bahwa kasus-kasus penembakan massal di AS sesungguhnya tak benar-benar terjadi dan hanya “panggung sandiwara” yang dirancang pemerintah agar bisa memiliki alasan untuk mencabut hak mereka memiliki senjata, sehingga nantinya akan memperlemah dan membuat mereka makin rentan untuk dikuasai. Karena alasan inilah, teori konspirasi semacam “crisis actor” (yang juga pernah gue bahas) berkembang amat cepat di kalangan sayap kanan, bahkan diterima sebagai suatu kebenaran.
Namun kini muncul pertanyaan, menurut klaim itu, pemerintah adalah “kaum jahat” yang ingin menguasai para warganya, namun niat itu terhalang karena pemerintah masih takut pada warganya yang memiliki senjata, sehingga berusaha merampas hak mereka memiliki senjata api. Nah kini pertanyaannya, mengapa?
Para pendukung Q-Anon memuja mantan presiden mereka Donald Trump sebagai sang "messiah" alias "sang juru selamat" |
Pada Oktober 2017, sebuah akun yang menyebut dirinya “Q” memposting sederet tuduhan berupa teori konspirasi yang amat menghebohkan di sebuah situs mirip Kaskus bernama 4chan. 4Chan adalah sebuah “buletin” digital dimana semua orang bisa memposting pesan atau artikel secara anonim. Karena sang Q ini berstatus anonim, maka iapun disebut sebagai “QAnon”. Q mengaku sebagai pejabat tinggi AS yang memiliki apa yang disebut “Q clearance”, sebuah status sekuriti tinggi yang membuatnya mampu mengetahui dan mengakses rahasia-rahasia negara. Lalu teori konspirasi apakah yang ia lontarkan?
Ia menuduh pemerintah AS sesungguhnya dijalankan oleh sebuah sekte sesat (disebut “cabal”) yang memiliki kekuasaan amat tinggi, namun bermoral luar biasa bejat. Mereka sesungguhnya adalah pedofil yang menjalankan ring perdagangan anak kecil berskala internasional demi memuaskan nafsu biadab mereka. Tak hanya itu, para anggota cabal ini memuja setan dan juga kanibal.
Para pendukung QAnon ini
percaya bahwa presiden junjungan mereka, Donald Trump mengetahui keberadaan
cabal ini dan berniat menghancurkan mereka. Hari dimana Donald Trump hendak
menyerang dan mengekspos kaum cabal ini mereka sebut sebagai “the day of
reckoning” atau “Storm”. Mereka juga menuduh bahwa para politikus dari kaum
Demokrat, para petinggi pemerintah serta aktor dan sutradara Hollywood termasuk
ke dalam cabal sesat ini. Tapi tentu saja bagi mereka, politikus dari partai
mereka, yakni Partai Republik merupakan orang-orang suci yang tak terkait
dengan sekte ini, walaupun mereka juga petinggi negara dan bagian dari
pemerintah. Mereka juga menuduh bahwa Barrack Obama (mantan presiden dari kubu
Demokrat), Hillary Clinton (lawan Trump dalam pemilihan presiden yang lalu),
dan George Soros (miliuner yang diduga membacking dana bagi para anggota cabal
ini) merencanakan kudeta terhadap Trump.
Mereka juga menuduh bahwa
bukan hanya AS saja yang dikuasai cabal ini, namun juga pemerintah di seluruh
dunia, yang sesungguhnya adalah kaum pedofil yang mengontrol segalanya,
termasuk media. Oleh sebab inilah, ciri khas dari para pengikut QAnon ini
adalah mereka biasanya tak percaya dengan berita. Mereka sudah telanjur dicuci
otak agar percaya bahwa semua berita yang ada di televisi hanyalah kebohongan
media semata (yang tadi, dikuasai oleh cabal). Maka masuk akal jika mereka
melihat penayangan sebuah berita tentang penembakan massal di sekolah semisal,
lalu berdalih bahwa hal tersebut tidaklah nyata dan dusta belaka karena
memiliki tujuan politik. Tak hanya itu, ketika wabah Coronavirus melanda dunia,
para pengikut QAnon juga hanya menganggapnya sebagai hoax semata agar
pemerintah bisa mengekang kebebasan mereka.
Lebih lanjut lagi, mereka
percaya bahwa Trump adalah sang “juru selamat” yang akan menciptakan sebuah
utopia penuh kedamaian dengan cara menghancurkan para cabal. Itulah sebabnya,
para pengikut QAnon amat memuja Trump, bahkan dibutakan oleh kesetiaan mereka,
rela menyerbu Gedung Capitol. Mereka percaya bahwa kekalahan Trump di Pemilu
2020 lalu merupakan bukti nyata bahwa cabal berusaha menggagalkan “Storm”
tersebut dengan cara merekayasa hasil pemilu demi menggulingkan Trump dari
kursi kepresidenan.
Q – THE
FATHER OF CONSPIRACY THEORIES
Kasus kematian Seth Rich seringkali dihubungkan dengan teori konspirasi Q-Anon |
Nah apakah QAnon menawarkan
bukti atas semua teori konspirasinya itu atau semua hanyalah berlandaskan omong
kosong belaka? Para pendukung QAnon menyatakan bahwa mereka memiliki bukti
kuat. Salah satunya adalah Anthony Weiner, seorang petinggi Demokrat yang
(entah kebetulan atau tidak) memang terbukti sebagai seorang pedofil. Pada
2017, Anthony terbukti melakukan “sexting” terhadap gadis di bawah umur berusia
15 tahun, padahal ia sendiri sudah berusia 50an tahun. Akibat perilaku cabulnya
itu, Anthony dihukum 21 bulan penjara dan karir politiknya pun tamat.
Setahun sebelumnya, pada
2016, sebuah akun twitter menyebut bahwa Anthony (yang seorang Yahudi) bekerja
sama dengan NYPD (departemen kepolisian New York, kota dimana Anthony pernah
beberapa kali mencalonkan sebagai walikota) menjalankan sebuah organisasi
pedofilia. Namun perlu diingat bahwa akun twitter ini juga kerap mengeluarkan
hujatan kebencian berbau anti-Yahudi dan juga white supremacist (paham yang
percaya bahwa ras kulit putih lebih tinggi ketimbang ras kulit berwarna yang
mereka anggap derajatnya lebih rendah).
Tak hanya itu, para
pendukung QAnon juga percaya akan sebuah teori konspirasi bernama “Pizzagate”
yang berisi bahwa sebuah kedai pizza di Washington DC bernama “Comet Ping
Pong”, sesungguhnya adalah markas para pedofil dimana di lokasi tersebut mereka
kerap berkumpul dan mengadakan ritual pemujaan setan. QAnon juga aktif
menyebarkan teori konspirasi dibalik kematian Seth Rich. Nah, siapakah Seth
Rich ini?
Seth Rich adalah pegawai
Democratic National Committee (DNC) yang masih berusia 27 tahun. Pada 10 Juli
2016, Seth ditemukan tewas tertembak dan kematiannya disimpulkan polisi sebagai
aksi perampokan biasa. Namun QAnon berpendapat lain bahwa Seth sengaja dibunuh
oleh petinggi Demokrat karena mengetahui rahasia di dalam partai tersebut dan
berniat mengumbarnya ke khalayak umum. Apalagi kematiannya kala itu hanya
berselang beberapa bulan sebelum pemilihan presiden pada 2016. Tak hanya itu,
bahkan Fox News, kanal berita yang terkenal sebagai pendukung fanatik Trump,
juga ikut aktif menyebarkan teori konspirasi itu. Keluarga Seth sendiri mengaku
merasa jyjy kematian anak mereka yang tragis justru digunakan sebagai kendaraan
politik oleh orang-orang tak bertanggung jawab.
Naasnya, platform YouTube juga digunakan para pendukung Q-Anon untuk menyebarkan paham mereka |
Celakanya, kini teori-teori
konspirasi ala QAnon menguar tanpa batas, bahkan meluap keluar dari situs 4chan
sendiri, dimana ia berawal. Tiga pendukung QAnon bernama Paul Furber, Coleman
Rogers, and Tracy Diaz (salah satunya adalah Youtubers) berniat menyebarkan
teori-teori QAnon yang menurut mereka “memukau nalar, mengguncang iman” itu ke
khalayak yang lebih luas. Mereka menyebarkannya melalui berbagai situs media
sosial seperti Twitter, Reddit, hingga YouTube. Bahkan Coleman Rogers dan
istrinya, Christina Urso meluncurkan “Patriots' Soapbox” sebuah kanal
livestream YouTube yang khusus didekasikan pada QAnon, dimana ujung-ujungnya
mereka kemudian meminta donasi dari para pemirsanya (ya ampun pengen nyekek). Q
sendiri memutuskan untuk pindah dari situs 4chan ke situs 8chan karena merasa
“dimata-matai” di sana. Namun pada 2019, situs 8chan ditutup pemerintah karena
terbukti terlibat dengan kasus penembakan massal di El Paso, Texas.
Celakanya, pada Maret dan
Juni 2020 di tengah pandemi Coronavirus, para pengikut QAnon di sosial media
justru tumbuh pesat bak jamur di musim penghujan. Di Instagram dan Twitter,
jumlah pengikut mereka naik 2 kali lipat. Bahkan di Facebook, jumlah pengikut
mereka naik sampai 3 kali lipat. Tentu saja hal ini didorong oleh kekecewaan
banyak pihak dengan aksi lockdown pemerintah sehingga merekapun “membuka hati”
terhadap berbagai teori konspirasi yang meng-antagoniskan pemerintah. Tak hanya
itu, bak virus pembawa malapetaka, QAnon kini menyebar hingga ke Eropa, mulai
dari Belanda hingga negara-negara Balkan di Eropa Timur, bahkan memiliki
pengikut setia sampai ke Jerman. Bahkan sekitar 200 ribu pengikut QAnon di
YouTube, Facebook, dan Telegram di Jerman menginginkan Trump untuk
mengembalikan kejayaan Third Reich (WTF?).
QAnon juga mulai “menginfeksi” Kanada dan Inggris, bahkan 1 dari 4 penduduk negeri Ratu Elizabeth itu menyatakan bahwa mereka percaya akan teori konspirasi yang dilontarkan QAnon. Padahal, peneliti asal University of Southern California, yakni Professor Emilio Ferrara membuktikan bahwa 25% dari akun media sosial yang menyebarkan hastag dan retweet berbau QAnon itu sesungguhnya adalah bot!
Bahkan teori konspirasi
yang disebarkan para pengikut QAnon lama-kelamaan makin aneh, semisal: Putri
Diana sengaja dibunuh karena ia berusaha menghentikan peristiwa 11 September,
kanselir Jerman Angela Merkel adalah cucu dari Adolf Hitler, keluarga Rothschild sesungguhnya adalah sekte pemuja
setan (teori lama sih ini), dan yang tak mengejutkan, mereka menyebut semua
tragedi penembakan massal di Amerika sesungguhnya didalangi oleh cabal.
Pada 2020, teori terbaru
mereka menyebutkan bahwa para elit Hollywood memanen “adenochrome” yakni
adrenalin yang diekstrak dari darah anak-anak untuk dibuat menjadi sejenis zat
psikoaktif (narkoba). Yang lebih keterlaluan, para penganut QAnon menganjurkan
meminum bleach atau pemutih pakaian sebagai “obat ajaib” yang bisa menyembuhkan
Covid-19 (WTF???). Karena kehebohan yang ditimbulkan QAnon, terutama serangan
mereka ke Gedung Capitol dan hoax-hoax meresahkan yang mereka sebarkan, pihak
Twitter, Facebook, dan Reddit kini melarang pergerakan QAnon dalam situs media
sosial mereka.
TERRORIST
OR PATRIOT?
Uniknya, walaupun awalnya
QAnon menuduh pemerintah AS sebagai sekte cabal yang sesat, banyak ahli yang
berpendapat bahwa QAnon sendiri sesungguhnya adalah sekte. Seperti layaknya
sebuah sekte, QAnon merekrut anggota-anggotanya (dari media sosial) yang
akhirnya membuat mereka terisolasi dari keluarga mereka karena paham mereka
yang bisa dibilang radikal. Ya, paham QAnon ternyata juga menyakiti anggota
keluarga dari para penganutnya, sebab seringkali para pengikut QAnon yang sudah
telanjur tercuci otak akan membenci anggota keluarganya yang menampik kebenaran
teori-teori konspirasi yang dilontarkan QAnon tersebut. Karena perpecahan yang
ditimbulkan oleh QAnon ini, Reddit sampai menyediakan support group bagi para
keluarga yang “kehilangan” anggotanya karena tercuci otak oleh paham sesat
QAnon. Bahkan semenjak wabah Coronavirus merajalela, anggota grup ini melonjak
drastis dari hanya 3.500 partisipan pada bulan Juni 2020 menjadi 28.000 pada
bulan Oktober tahun yang sama.
Sayangnya, sifat
keterisolasian dari para penganut QAnon dari keluarga mereka ini malah justru
memperburuk keadaan, sebab kini satu-satunya cara mereka untuk mengatasi rasa
kesepian adalah dengan bersosialisasi dengan sesama penganut QAnon, sehingga
merekapun makin tenggelam dalam teori-teori konspirasi yang membutakan nalar
mereka.
Keberadaan sekte (apapun
itu) dianggap amat berbahaya di Amerika, sebab sudah banyak bukti dimana
sekte-sekte yang awalnya adem ayem, lama-lama berubah mengancam jiwa banyak
orang. Contohnya sudah banyak, semisal sekte apokaliptik pemuja UFO bernama
Heaven’s Gate (dimana seluruh anggotanya melakukan bunuh diri massal pada
1997), Keluarga Manson (akan gue bahas di episode berikutnya), hingga Aum
Shinrikyo yang menyebarkan gas beracun di stasiun kereta bawah tanah Tokyo.
Sudah terbukti bahwa sekte-sekte yang awalnya terlihat “tak berdosa” pada
akhirnya melancarkan aksi pembunuhan (atau bunuh diri) massal. Tak heran banyak
pihak takut bahwa sekte QAnon pada akhirnya akan berujung sama, yakni pada
tragedi nan menggenaskan.
Pizzagate adalah teori konspirasi yang menyebut kedai pizza ini sebagai markas cabal pemuja setan |
Terlebih lagi, bukti-bukti
sudah menumpuk bahwa para penganut QAnon tak segan-segan melakukan kekerasan
demi memaksakan pendapat mereka. Tercatat pada 2016, seorang pria bernama Edgar
Maddison Welch yang percaya akan teori konspirasi “Pizzagate” melancarkan
tembakan ke kedai pizza “Comet Ping Pong“ karena mengira lokasi itu adalah
markas rahasia ring perdagangan anak kecil. Para 2018, seorang pendukung fanatik
QAnon bernama Matthew Phillip Wright memblokade Hoover Dam dengan persenjataan
berat, sebuah aksi yang sebenarnya bisa dikategorikan sebagai terorisme. Pada
tahun yang sama, seorang pria California tertangkap basah mengendarai mobil
yang dipersenjatai dengan bom untuk meledakkan Gedung Capitol negara bagian
Illinois di kota Springfield karena dianggap sebagai “monumen cabal dan kuil
pemuja setan”. Bahkan, aksi para pendukung QAnon terbukti berujung pada
pembunuhan ketika Anthony Comello, lagi-lagi suporter fanatik sekte tersebut,
menghabisi nyawa bos mafia bernama Frank Cali karena percaya bahwa aksinya ini
nanti akan dibela dan dilindungi oleh Trump, junjungannya.
Jika ini masih kurang, pada
2020 seorang wanita bernama Jessica Prim membawa pisau dengan tujuan untuk
“melenyapkan” lawan Trump di pilpres kala itu, Joe Biden, dan juga hendak
menyusup ke rumah sakit terapung milik Angkatan Laut AS di atas kapal US
Comfort. Ia kala itu percaya bahwa kapal itu digunakan untuk mengangkut
anak-anak yang akan diperjualbelikan oleh ring pedofil. Padahal kenyataannya,
kapal itu sengaja merapat untuk membantu perawatan para korban Coronavirus. Dan
yang terbaru, jelas, pada 6 Januari 2021, para suporter Trump menyerbu Gedung
Capitol, dipimpin oleh seorang pria yang mengenakan tanduk bison. Pria itu
bernama Jake Angeli yang memiliki nickname sebagai “QAnon Shaman”, bahkan
membawa tulisan “Q sent me” yang berarti “Q yang mengirimku”.
Karena aksi-aksi inilah,
pada 2019 FBI, badan penyelidik top Amerika Serikat, menerbitkan memo yang
mengecam dan menahbiskan gerakan QAnon sebagai aksi terorisme.
Namun siapakah Q ini
sesungguhnya, yang pertama kali memicu wabah QAnon dan mengaku sebagai petinggi
AS ini? Hingga kini sosoknya masih diselubungi kabut misteri. Namun pihak FBI
sendiri menyebut bahwa sang “Q” yang misterius sesungguhnya bukan hanya satu
orang saja, melainkan sebuah organisasi yang tentu, berniat buruk dan berusaha
memecah belah rakyat Amerika. Bahkan, Twitter mendapati penemuan mengejutkan
bahwa semenjak 2017, ada akun-akun Twitter asal Rusia yang dengan rajin
menyebarkan dan memviralkan paham QAnon, sehingga muncul pendapat bahwa QAnon
sesungguhnya merupakan gerakan luar negeri yang berniat menghancurkan Amerika
dari dalam.
Namun tentu tak mudah untuk
membatasi pergerakan QAnon ini, bahkan para petinggi negara yang menolak
keberadaan QAnon bisa dengan mudah dituduh sebagai pengikut cabal pemuja setan
sehingga malah menjadi bukti “kebenaran” teori konspirasi mereka. Hal ini
terbukti ketika pada 2020, seorang anggota kongres dari partai Demokrat bernama
Tom Malinowski mengutuk gerakan QAnon
ini, namun malah balik dituduh melindungi para pedofil dan mendapat ancaman
pembunuhan.
Jake Angeli atau sang "Q-anon shaman" adalah pendukung fanatik teori Q-Anon, namun ia bukanlah sang Q, pencetusnya |
Bagaimana dengan Trump
sendiri? Apakah Trump juga terlibat dengan gerakan QAnon ini? Menurut analisis
berbagai media, akun twitter Trump sudah 216 kali me-retweet teori konspirasi
yang disebarkan oleh 129 akun twitter yang memiliki keterkaitan dengan QAnon.
Pada wawancaranya pada 19 Agustus 2020, ketika ditanyai tentang QAnon, Trump
(yang kala itu masih menjabat presiden) mengatakan bahwa “Saya tak tahu banyak
tentang gerakan itu, namun saya hanya tahu bahwa mereka sangat menyukai saya,
yang jelas sangat saya hargai. Namun saya tak tahu banyak tentang gerakan
itu”. Ketika FBI mendeklarasikan bahwa
QAnon memiliki potensi untuk menjadi teroris, Trump malah menampiknya dan
menyebut para pendukung QAnon sebagai “orang-orang yang sangat mencintai negara
kita”; dengan kata lain, “patriot”.
Siapakah sang Q ini, kita
mungkin takkan pernah tahu. Namun yang jelas, di luar semua kebohongan yang ia
sebarkan Q jelas adalah sosok yang sangat berpengaruh. Bahkan majalah tenar
sekelas “Time” pada 2018 meletakkan Q ke dalam jajaran 25 Orang Paling
Berpengaruh di Internet.
Lalu bagaimanakah pendapat
kalian tentang kepercayaan QAnon ini? Tentu, banyak teori konspirasi yang
mereka sebarkan adalah hoax, tapi bagaimana dengan kasus Jeffrey Eipstein yang
beberapa kali gue angkat? Bukankah Jeffrey Eipstein memang memiliki ring
perdagangan gadis di bawah umur untuk melayani nafsu seks para pedofil dan
diduga memiliki klien-klien penting yang memiliki kedudukan tinggi dalam
pemerintahan? Berarti QAnon memang ada benarnya dong?
Nah, tapi perlu diperhatikan, walaupun ini mungkin benar, kalian mesti ingat-ingat bahwa hubungan Donald Trump dan Jeffrey Epstein sendiri amatlah erat, bahkan bisa jadi bersahabat karib sejak lama. Bahkan jika benar Trump memang berniat menghabisi para cabal ini, mengapa tak ia lakukan sejak lama saat ia memegang tampuk kekuasaan sebagai orang nomor satu di Amerika? Pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh para penganut QAnon terhadap diri mereka sendiri.
Perkembangan yang lebih
menghebohkan pun terjadi awal tahun ini. Klaim bahwa pejabat pemerintah
terlibat ring perdagangan seks di bawah umur terbukti benar, tapi jauh
berkebalikan dengan klaim QAnon, pelakunya justru dari kaum mereka sendiri.
Pada Maret 2021, surat kabar “The New York Times” melaporkan bahwa Matt Gaetz, anggota kongres Florida dari
partai Republikan terlibat dalam trafficking gadis belia yang diperjualbelikan
sebagai budak seks. Gadis itu baru berusia 17 tahun.
THE
DUNNING-KRUEGER EFFECT
Nah, mengapa QAnon, yang
walaupun isinya tak terdengar masuk akal (like drinking bleach, really?) malah
justru mendapat banyak pendukung? Well, gue akan memperkenalkan kalian pada
suatu istilah psikologi yang bernama Efek Dunning-kruger yang isinya mungkin
akan eye opening buat kalian.
Efek Dunning-Kruger
menyebutkan bahwa orang yang tidak kompeten biasanya tidak akan menyadari
ketidakkompetenan mereka. Hal ini didasarkan pada sebuah logika sederhana
dimana: “jika kamu tidak kompeten, maka kamu takkan tahu kalau kamu tidak
kompeten, karena skill (kemampuan) yang diperlukan untuk mengetahui apakah kamu
kompeten atau tidak adalah suatu bentuk kompetensi sendiri.”.
Efek Dunning-Kruger ini
dijelaskan melalui dua paper yang diterbitkan David Dunning dan Justin Kruger,
dua psikolog asal Amerika, yakni "Unskilled and Unaware of It: How
Difficulties in Recognizing One's Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments"
(Tidak Kompeten Dan Tidak Menyadarinya: Bagaimana Kesulitan Dalam Mengenali
Ketidak-Kompetenan Seseorang Berujung Pada Terlalu Tinggi Menilai Diri
Sendiri”. yang di-follow up dengan paper lain berjudul: "Why People Fail
to Recognize Their Own Incompetence (Mengapa Orang-Orang Gagal Mengenali
Ketidak-Kompetenan Mereka) dan
Kala itu mengambil contoh dari sebuah kasus perampokan konyol yang terjadi pada 1995 dimana dua orang perampok mempercayai bahwa jika mereka mengolesi wajah mereka dengan jus lemon maka mereka akan jadi tidak terlihat. Jadi yap, mereka benar-benar melakukannya dan tentu saja akhirnya tertangkap polisi. Hal itu mereka percayai karena lemon jus kala itu digunakan untuk tinta tak terlihat (invisible ink), padahal bukan seperti itu cara kerjanya.
Nah, kita bisa simpulkan
kedua perampok itu begitu bodohnya percaya pada hoax karena mereka tidak
kompeten. Kenapa mereka bisa mempercayainya? Karena kemampuan membedakan
sesuatu apakah itu hoax atau bukan (atau at least mengecek kebenarannya dengan
riset ataupun mencoba dengan teknik trial and error) adalah suatu bentuk
kompetensi yang tak mereka punyai. Parahnya lagi, karena mereka tak memiliki
kompetensi tadi, mereka juga tak “aware” bahwa pemahaman mereka salah dan
mengira bahwa mereka benar; suatu bentuk efek Dunning-Kruger tadi.
Grafik yang menunjukkan jumlah berita hoax yang disebarkan Donald Trump per bulannya. Mirisnya, pendukungnya percaya bulat-bulat tanpa mengklarifikasi kebenarannya |
Hal ini bisa kita amati pula pada orang-orang yang biasanya mudah termakan hoax. Semisal ada yang koar-koar di media sosial kalau Coronavirus itu hoax atau bisa mudah disembuhkan dengan minuman herbal seperti jus lemon semisal. Pertama, mereka nggak bisa bedain mana yang hoax dan mana yang bukan. Ya kali kalo Corona bisa sembuh segampang minum jus lemon, kenapa dunia bisa heboh banget ampe lockdown dan ratusan ribu orang meninggal? Kedua, Efek Dunning-Kruger tak hanya menyebabkan orang-orang tadi gagal melihat kesalahan mereka, namun menganggap diri mereka paling jago (terlalu tinggi dalam menilai kemampuan mereka sendiri). Semisal, apabila ditegur oleh orang-orang yang lebih kompeten (dokter semisal), mereka akan marah malah ngeyel sambil bilang, “Ah kamu tau apa! Aku lho yang paling bener!”. Contoh lain efek ini juga bisa kita lihat pada pendukung fanatik “Flat Erath” atau “Bumi Datar”.
Fenomena ini tentu bisa menjelaskan mengapa orang-orang yang mudah termakan hoax itu sampai sebegitu ngeyelnya, walaupun mungkin kebenaran sudah di depan mata. Sangat sulit memang meyakinkan orang-orang seperti ini, sebab menurut Dunning dan Kruger juga, hanya ada satu solusi untuk orang-orang seperti ini: yakni menyuruh mereka terjun ke dalam masalah itu langsung. Semisal, ada seseorang yang over estimate kemampuannya dan melihat sebuah puzzle (yang acak-acakan) lalu beranggapan “Ah, ini mah gampang. Bisa kuselesaiin dalam 5 menit!”. Lalu begitu ia diminta untuk benar-benar diminta untuk mengerjakannya, barulah ia kepayahan dan sadar, bahwa ia terlalu meng-over estimate dirinya dan puzzle itu sesungguhnya baru bisa selesai selama 5 jam, semisal. Celakanya, bila mereka sudah terendam dalam teori konspirasi yang serius (tentang Corona semisal) akan susah tentu saja membuat mereka menyadarinya (masa disuruh maju ke garda terdepan ngurusin korban virus kan nggak mungkin).
Salah satu contoh miris
adalah kasus pemboman di kota Nashville, Amerika Serikat pada Natal 2020 lalu.
Kala itu seorang pria bernama Anthony Quinn Warner meledakkan dirinya bersama
mobil yang ia tumpangi. Anthony memang melakukan aksi bunuh diri, namun lokasi
yang ia ledakkan berada di depan gedung AT&T yang merupakan perusahaan
komunikasi yang menyediakan layanan 5G. Anthony juga dikenal sebagai pecinta
fanatik teori konspirasi sehingga ada yang menyimpulkan bahwa aksinya ini
didorong atas kepercayaannya akan berita hoaks bahwa sinyal 5G menyebarkan
Coronavirus. Parahnya, Anthony sendiri mungkin memiliki penyakit kejiwaan (at
least depresi, karena ia memutuskan bunuh diri) yang jelas makin diperparah
dengan teori-teori konspirasi yang didengarnya.
Negara kita mungkin tak
separah Amerika yang memiliki gerakan QAnon, tapi tak bisa ditampik, sudah ada
tim buzzer yang berusaha memperkeruh kondisi politik dan juga mengadu domba
bangsa kita, jadi kita harus senantiasa waspada and do our job, which is not
spreading hoax!
SUMBER: WIKIPEDIA
Bang apakah mungkin gitu yah yang jadi dalang nya juga sebeneranya partai demokrat juga yang bikin istilahnya agen ganda gitu buat bikin stigma emang pendukung trump itu kolot,rasis,sama perusuh.ini opini ane aja yah bang
ReplyDeleteTernyata negara semaju dan secanggih amerika tidak lepas dari radikal ya, bahkan keknya lebih parah dari di indo 🤔
ReplyDeleteAmerika mah parah total. Teknologinya aja yang maju, pemerintahan ama akhlak mah juara dari belakang.
DeleteCoba deh buka2 situs kaya reddit, askmanager, notalwaysright, ato situs2 semacemnya dan baca komennya.
Banyak yg orang Amerika dan kalo baca komen mereka, kayaknya Indonesia masih lebih oke. Paling nggak, sebobrok2nya orang Indonesia, kita masih ramah dan santun
Kadrun nya Amerika nih...
ReplyDeleteSama2 dungunya, wkwkwk
At least "kadrun" sini masih banyak yang kritis. Ini sih udah tahap mengkhawatirkan, rusuhnya juga udah edan itu kemarin di Capitol, lagi wabah lagi.
DeleteKaskus? Nickname nya Juandry kan? Hehehehe
ReplyDeleteEneg gue sama Donald Trump yang kelakuannya kagak ada bagus-bagusnya ditiru dan lebih eneg lagi sama fanatiknya.
ReplyDeleteSekadar kasih tau aja, politik sayap kiri di Amerika bukan murni komunis. Golongan kiri itu gak selalu komunis, progresif juga masuk golongan kiri. Karena konsep progresif yang ingin mengubah tatanan pemerintahan dan berbeda dari konservatif (sayap kanan). Lagipula sejauh ini gaada partai komunis yang berhasil di Amerikaーpaling banter ada penganut sosialis.
Bleach=untuk memutihkan, putih=suci, sehingga Bleach=untuk menyucikan (dari Corona?)... Hmmmm Leh uga nih logikanya 🗿
ReplyDeleteJangan mudah percaya artikel di 4chan.
ReplyDeleteKalo gue sih jangan percaya trump aja wkwkwk
Delete