Dunia kini lagi digoncang gundah gulana gara-gara merebaknya Coronavirus
atau yang kini disebut dengan COVID-19. Banyak yang menyamakan wabah
Coronavirus ini dengan wabah serupa yang pernah terjadi pada awal abad ke-20.
Pada tahun 1918, dunia kala itu dihantam oleh wabah flu misterius yang mengoyak
jagad. Wabah itu disebut dengan Flu Spanyol (sebuah salah kaprah sebenarnya,
tapi akan gue jelaskan nanti) dan yang mengagetkan, wabah ini menginfeksi 500
juta penduduk dunia kala itu serta menewaskan (angkanya masih simpang siur)
antara 50 hingga 100 juta penduduk Bumi.
Mengapa bencana ini begitu mematikan? Apakah penyebabnya? Mungkinkah
wabah berskala apokaliptik ini akan terulang kembali?
Dear readers, inilah Dark History kali ini!
Hampir seabad berlalu setelah wabah virus ini menulari hampir 30%
penduduk dunia kala itu. Yap benar, kalian nggak salah baca. Sekitar 500 juta dari 1,8 milyar penduduk
Bumi kala itu terjangkit penyakit misterius ini. Angka kematiannya pun
tergolong tinggi, yakni 3-6%. Mungkin secara persentase, kalian mengira angka
itu rendah. Namun melihat jumlah korbannya, kalian akan berpikir sebaliknya.
Sekitar 100 juta penduduk dunia lenyap dan menghadap Yang Maha Kuasa akibat
penyakit mematikan ini. Wow, kayak bencana berskala Thanos ya.
Mungkin tak banyak dari kita pernah mendengar tentang wabah Flu Spanyol.
Jarang sekali kasus ini disinggung-singgung dalam pelajaran sejarah. Hal itu
tidaklah mengherankan, sebab merebaknya virus mematikan ini berbarengan dengan
sebuah peristiwa berskala global yang mengguncang dunia kala itu: Perang Dunia
I. Ya, wabah flu yang muncul bak malaikat maut utusan Tuhan ini semakin
menambah penderitaan masyarakat kala itu. Tak hanya didera perang
berkepanjangan, kini mereka juga harus menghadapi amukan alam. Namun
darimanakah asal virus ini?
Wabah ini pecah pada tahun 1918, dimana kala itu bisa kalian tebak,
dunia kedokteran belumlah semaju sekarang ini. Apalagi bangsa Barat kala itu
terlalu disibukkan dengan berkecamuknya peperangan, sehingga tak begitu banyak
penelitian dilakukan untuk melacak asal-usul virus ini. sehingga ilmu kedokteran
generasi masa kini hanya bisa menduga-duga darimana asalnya. Mungkin dari
namanya, kalian akan mengira bahwa Flu Spanyol ini memang berasal dari salah
satu negara Latin di Eropa itu. Namun nama itu sebenarnya salah kaprah media belaka.
Di tengah peperangan seperti inilah wabah Flu
Spanyol berkecamuk
Kala itu, negara-negara adidaya seperti Jerman, Inggris, Prancis, hingga
Amerika Serikat terlibat Peranfg Dunia yang menyebabkan banyak surat kabar
mendapat penyensoran (tentu agar kondisi
dalam negeri mereka tak terdengar musuh). Mereka tidak leluasa
membeberkan kekacauan yang timbul akibat wabah tersebut. Sebaliknya, Spanyol
yang tak terlibat perang, memiliki pers yang amat bebas, sehingga sebagian
besar berita tentang wabah itu berasal dari media Spanyol. Hal ini menimbulkan
kesan bahwa Spanyol terkena dampak paling hebat dari virus itu, makanya bencana
itu dinamakan Flu Spanyol. Padahal, negara-negara lain juga mengalami hal
serupa, bahkan lebih naas; hanya saja mereka pintar merahasiakannya
rapat-rapat.
Kembali ke pertanyaan asal, darimana virus ini berasal? Pertama perlu
diketahui bahwa Flu Spanyol ini merupakan salah satu strain dari virus
influenza bernama H1N1. Terdengar tak asing? Ya, sebab virus ini, di dunia
modern, dikenal dengan nama flu babi. Maka bisa ditebak bahwa flu ini pertama
bermula dari binatang (tersangka utama tentu hewan berkaki empat yang dikenal
jorok itu) yang kemudian ditularkan kepada manusia.
Prancis diduga sebagai awal mula kasus pandemi ini. Tentu kini Prancis
dikenal sebagai negara modern yang teramat bersih, namun tidak kala Perang
Dunia I berkecamuk. Kala itu, tentara Prancis hidup dalam kondisi yang
menggenaskan. Kamp militer mereka penuh sesak dengan tentara yang terluka.
Belum lagi untuk menjaga suplai makanan, mereka membawa babi-babi hidup untuk
dipelihara dan dijagal di sekeliling kamp mereka. Kondisi tak steril inilah,
ditambah lagi fisik para tentara yang lemah karena terluka, stress, dan
kelaparan ini, akhirnya menjadi resep sempurna bagi bencana ini lahir.
Namun tak semua sependapat. Ada pula yang menduga bahwa kasus ini
bermula justru di Amerika Serikat. Lho kok jauh? Karena kasus pertama wabah ini
dilaporkan terjadi di Haskell County di negara bagian Kansas. Waduh, gue harap
semoga bukan berasal dari laboratorium militer yaaaa. Teori bahwa “kampung
halaman” virus ini berada di Amrik didukung oleh ahli virologist terkemuka asal
Australia bernama MacFarlane Burnet. Beliau bukan ilmuwan abal-abal ya, soalnya
pernah meraih hadiah Nobel atas
penelitiannya di bidang imunitas (kekebalan tubuh).
Tempat lain yang diduga keras menjadi sumber malapetaka itu adalah
Tiongkok. Nah, kenapa lagi-lagi negara tirai bambu ini disalahkan dalam kasus
ini? Karena menurut statistik, jumlah korban di Tiongkok kala itu amat rendah
jika dibandingkan dengan berbagai belahan dunia lain. Hal ini menunjukkan bahwa
rakyat Tiongkok memiliki kekebalan khusus untuk menghadapi ancaman virus ini.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika mereka sebelumnya tidak terekspos oleh
virus serupa, namun kurang mematikan. Maka banyak yang menyimpulkan, virus ini
bermula di Tiongkok sebagai virus tak berbahaya, namun kemudian bermutasi
menjadi patogen kejam.
Penampakan virus flu di bawah mikroskop
Hal ini lebih diperkuat lagi dengan kenyataan bahwa banyak penduduk
Tiongkok yang berdiaspora ke berbagai negara di dunia. Kemungkinan ada warga
Tiongkok bermigrasi ke Amerika dan tanpa sadar membawa penyakit itu. Belum lagi
tercatat selama Perang Dunia I, sekitar 96 ribu pekerja etnis Tionghoa
didatangkan untuk membantu garis depan pertahanan Inggris dan Prancis kala itu,
diduga semakin menyebarluaskan bencana itu.
Wabah Flu Spanyol, seperti gue singgung tadi, pertama tercatat di
Haskell County, Kansas pada Januari 1918. Satu orang yang tertular virus ini
kala itu bekerja sebagai koki di sebuah markas militer AS dan celakanya,
menulari 500-an tentara yang berdiam di sana. WADUUUH MOGA-MOGA BUKAN DARI
LABORATORIUM MILITER YAAAA!!!
Pada bulan Agustus, wabah itu telah menjangkiti seluruh Eropa, yang kala
itu masih dicekam peperangan. Angka kematian akibat virus ini cukup tinggi.
Sekitar 10-20% pasien yang tertular penyakit ini meninggal. Bahkan yang
mengejutkan, jumlah korban meninggal akibat pandemi ini jauh lebih tinggi
ketimbang korban akibat Perang Dunia I dan II digabungkan!
Tak hanya di Benua Amerika dan Eropa, virus ini juga menyebar hingga ke
Asia. Di India, 17 juta penduduknya meninggal akibat wabah ini. Di Indonesia
(yang kala itu masih dalam jajahan Belanda), sekitar 1,5 juta jiwa melayang
(perlu diingat jumlah penduduk Indonesia kala itu masih 30 juta jiwa). Iran
terkena dampak paling dahsyat, sekitar 1/5 lebih penduduknya tewas akibat
serangan virus ini. Semua orang, baik kaya miskin, pria wanita, semua tak ada
yang mampu luput dari ancaman global ini. Tercatat, bahkan presiden Brazil kala
itu meregang nyawa gara-gara terinfeksi penyakit mematikan ini.
Nama Flu Spanyol lagi-lagi menipu. Gejalanya sama sekali tak seperti flu
biasa yang hanya bersin-bersin atau batuk-batuk. Penderitanya bisa mengalami
pendarahan yang keluar dari darah, telinga, bahkan kulit. Walaupun tak terlihat
dari luar, penderitanya juga bisa mengalami pendarahan hebat di organ dalamnya.
Virus ini juga menyebabkan pneumonia, bahkan pendarahan di paru-paru, yang
biasanya berakibat fatal.
Banyak lokasi disulap menjadi rumah sakit darurat ketika wabah flu ini merebak
Virus flu ini benar-benar tak kenal ampun dan menyapu seantero planet.
Bahkan penduduk yang tinggal di lokasi terpencil, seperti kepulauan di Samudra
Pasifik yang terisolir, hingga ke Kutub Utara sekalipun, semuanya tak mampu
bersembunyi dari kekejian penyakit ini. Mulai dari Selandia Baru, hingga
penduduk primitif yang bermukim di kepulauan Nauru, Fiji, hingga Samoa, tak
sanggup lolos dari kekejaman virus ini. Bahkan Samoa tercatat mendapat dampak
paling parah. Sekitar 90% penduduknya terjangkit Flu Spanyol dan 30% di
antaranya tewas. Di Kutub Utara, tercatat beberapa suku Eskimo di Alaska punah
dari muka bumi setelah 100% dari mereka terbunuh oleh penyakit ini.
Dari seluruh permukaan Bumi, hanya Pulau Saint Helena di selatan Samudra
Atlantik dan Pulau Marajo, di pedalaman Hutan
Amazon yang lebat, merupakan dua lokasi yang sama sekali tak tersentuh
pandemi global tersebut. Yang unik, bak plot dari film apokaliptik “Bird Box”,
sebuah sekolah khusus tuna netra di Pittsburgh, AS juga terhindar dari
malapetaka ini karena mengisolasi diri dari dunia luar.
Bagaimana akhir dari dongeng mimpi buruk ini? Virus ini, sama seperti
kemunculannya yang begitu misterius tanpa satupun firasat pada awal 1918,
tiba-tiba saja lenyap begitu saja, pada akhir 1918.
Ada teori yang mengemuka mengapa hal ini terjadi. Seperti awal mulanya
sebagai virus flu biasa yang bermutasi menjadi patogen jahat, ada kemungkinan
bahwa virus ini kemudian bermutasi menjadi strain yang lebih ramah dan tak
mematikan. Bak sulap, virus inipun musnah tanpa bekas. Mungkin kala itu, Tuhan
masih berbaik hati mengampuni umat manusia, yang telah bertekuk lutut di bawah
amukan alam yang mahadahsyat.
Namun itu bukan berarti ancaman bagi kemanusiaan
sudah benar-benar tiada. Kini kita menghadapi wabah pandemi lain, yakni
Coronavirus. Namun kita berdoa saja, semoga dampak virus COVID-19 ini (yang
sudah disebut-sebut sebagai senjata bio-terorisme menurut ahli teori
konspirasi) takkan berdampak semengerikan Flu Spanyol, yang melenyapkan ratusan
juta nyawa hanya dalam sekali hembusan nafas.
SUMBER
ARTIKEL DAN GAMBAR: Wikipedia
Bang bahas black death dong bang salah satu wabah paling mematikan di dunia
ReplyDeleteKeren
ReplyDeleteBaru sadar flu spanyol ini cuma berlangsung sebentar tapi bisa merenggut banyak nyawa
ReplyDelete