“Eipsten didn’t kill
himself” adalah meme yang amat sering gue temui ketika gue berselancar di kolom
komentar YouTube. Siapa Eipsten dan mengapa kasusnya menjadi bahan perbincangan
para pecinta teori konspirasi? Jeffrey Eipsten adalah sorang miliuner asal
Amerika Serikat yang pada tahun 2005 didakwa atas kasus-kasus pelecehan
seksual. Kasusnya berhenti di tengah jalan ketika pada tahun 2019, ia ditemukan
tewas di sel penjaranya. Pihak kepolisian kala itu menyatakan kematiannya murni
sebagai aksi bunuh diri. Namun banyak pihak meragukannya, sebab kasus Eipsten
kala itu menyeret banyak nama-nama tenar dengan kedudukan tinggi di berbagai
belahan dunia. Sehingga, banyak yang menduga ia sengaja “disingkirkan” oleh
kaum berkuasa.
Seperti apakah
kasusnya? Semua akan gue bahas tuntas di Dark Case kali ini.
Jeffrey Eipsten lahir
pada tahun 1953 dalam asuhan keluarga Yahudi di Brooklyn, New York. Namanya
kini bersinonim dengan tindak kejahatan seksual, karena kiprahnya selama
puluhan tahun mencabuli gadis-gadis di bawah umur. Namun yang mengejutkan, di
usia mudanya, Jeffrey justru pernah menjadi guru SMA, tepatnya sebagai guru
matematika di Dalton High School, Manhattan. Namun dua tahun bekerja di sana,
ia-pun dipecat dengan alasan “performa yang buruk”. Perlu kita ketahui dari
pengakuan rekan-rekannya, Jeffrey dikenal sebagai pria yang amat cerdas, jadi
jelas ia tidak dipecat karena ketidakmampuannya mengampu mata pelajaran
tersebut. Entah apa alasan Jeffrey dipecat kala itu, kita hanya bisa
berspekulasi. Namun ini seharusnya menjadi “red flag” akan perilaku Jeffrey
berikutnya.
Setelah berhenti dari
pekerjaannya sebagai guru, Jeffrey menjajal kemampuannya berbisnis (maklum,
keturunan Yahudi) dengan bekerja sebagai bankir dan konsultan finansial. Iapun
mendirikan perusahaannya sendiri, yakni firma finansial bernama Epstein &
Company. Di sinilah Jeffrey mulai mencicipi kesuksesan dan meraup pundi-pundi
penghasilannya. Melihat ketajirannya mulai merangkak naik berkat kesuksesan
perusahaannya, Jeffrey kemudian memindahkan perusahaannya ke Pulau St. Thomas
di kepulauan Virgin Islands. Di sana, ia berhasil menghemat 90% pengeluarannya
untuk pajak sehingga iapun menjadikan pulau itu sebagai “surga”-nya.
Pulau pribadi Jeffrey Eipsten di Virgin Islands dan juga villa mewahnya
dimana banyak perbuatan nista terjadi yang melibatkan tokoh-tokoh penting
Jeffrey rupanya tak
puas dengan bisnis konsultan finansial saja. Bak seorang enterpreneur sejati,
iapun mulai melebarkan sayapnya ke bidang militer. Identitasnya sebagai seorang
Yahudi membuatnya tertarik untuk berinvestasi di industri senjata dan
pertahanan di Israel. Mungkin di sinilah (mengingat Israel memiliki hubungan
yang cukup erat dengan para pejabat pemerintah di Eropa dan Amerika), Jeffrey
mulai memperluas koneksinya dengan para petinggi politik negara-negara adidaya.
Namun dinasti dengan
kekayaan tak terbendung itu akhirnya mulai menemui kegoncangan. Pada Maret
2005, seorang wanita melapor ke Kepolisian Palm Beach, Florida, bahwa putrinya
yang berusia 14 tahun pernah dibawa ke mansion (rumah mewah) milik Jeffrey
untuk kemudian dicabuli. Di sana, ia dijanjikan akan mendapat uang untuk
“memijat” sang miliuner tersebut. Namun kenyatannya, gadis itu disuruh
menanggalkan semua pakaiannya.
Polisi segera turun
tangan menyelidikinya dan menemukan bahwa seluruh sudut kediamannya (termasuk
rumahnya di Palm Beach dan pulau pribadinya di Virgin Island) diperlengkapi
dengan kamera, tak terkecuali tempat-tempat pribadi seperti kamar tidur, bahkan
kamar mandi. Polisi menemukan sekitar 30-40 gadis di bawah umur yang menjadi
korban keberingasan Jeffrey. Namun surat kabar Miami Herald melakukan
investigasinya sendiri dan menemukan dua kali lipatnya, yakni hingga 80 gadis,
dicabuli oleh pengusaha bejat itu. Tak heran, dalam sehari sang konglomerat
bisa menerima sesi “pijatan” hingga tiga kali sehari. Kebanyakan dari
gadis-gadis itu bahkan diterbangkan dari negara-negara miskin di Eropa
(biasanya bekas negara komunis seperti di Eropa Timur) dan Amerika Latin.
Pada 2008, Jeffrey
akhirnya mengaku bersalah akan tindak kejahatannya dan diganjar hukuman penjara.
Namun ternyata, keadilan masihlah enggan berpihak. Di penjara, Jeffrey justru
mendapat perlakuan yang amat spesial. Kamar selnya tidak dikunci dan ia bebas
lalu lalang, bahkan keluar masuk penjara untuk mengurus pekerjaannya di
kantornya, bahkan memiliki sopir pribadi sendiri. Hukuman penjaranya yang
selama 18 bulan pun hanya dijalaninya selama 13 bulan dan sisanya dijalaninya
sebagai “probation” atau tahanan rumah.
Jeruji besi seakan tak ada artinya, apalagi membuat jera, bagi Jeffrey Eipsten karena koneksi yang dimilikinya serta statusnya sebagai miliuner
Namun dengan statusnya
sebagai “parole” itupun ia jalani dengan penuh kebebasan. Semisal, setahu gue
mantan narapidana yang mendapat parole akan menjalani pengawasan yang amat
ketat. Semisal mereka tak diperbolehkan keluar dari negara bagiannya dan
diharuskan melapor ke pihak berwajib secara berkala. Namun yang ada, Jeffrey
justru leluasa terbang dengan jet pribadinya ke New York, bahkan ke pulau
pribadinya di Virgin Island.
Banyak pihak, terutama
keluarga korban, tentu saja geram dengan perlakuan istimewa ini. Namun mereka
tak bisa berbuat apa-apa sebab Jeffrey merupakan sosok yang tajir melintir,
belum lagi koneksinya yang meliputi orang-orang penting dan berkuasa.
Namun semuanya berubah
ketika pada 2015, seorang wanita bernama Virginia Roberts maju.
Virginia, yang kala itu
berusia 31 tahun, mengaku bahwa ia telah menjadi budak seks Jeffrey semenjak ia
berumur 17 tahun. Namun pengakuannya selanjutnya-lah yang mengguncang publik
kala itu. Ia mengaku menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking)
oleh Jeffrey dan disuruh melayani, tak lain dan tak bukan, Pangeran Andrew dari
Kerajaan Inggris. Pangeran Andrew adalah adik dari Pangeran Charles, suami
mendiang Lady Diana, dan dengan kata lain, adalah paman dari Pangeran William
dan Harry. Tak hanya itu, di pengadilan ia kembali mengaku disuruh melayani
nafsu bejat petinggi-petinggi terkenal dari seluruh dunia, mulai dari “seorang
gubernur”, “seorang pangeran”, “seorang presiden”, hingga “seorang perdana
menteri”.
Media kemudian menduga,
dari pengakuan tersebut, bahwa Jeffrey menjaga hubungan baik dengan para
koneksinya itu dengan menyediakan jasa-jasa “pemuas nafsu seks” dalam rupa
gadis-gadis muda di bawah umur. Tak jarang, gadis-gadis itu dibawa ke pulau
pribadinya di Virgin Island dimana ia menyelenggarakan pesta seks untuk
melayani para tamunya. Yang memuakkan, umur gadis termuda yang diperjualbelikan
di sana adalah 11 tahun.
Pihak media hanya bisa
menduga, siapakah tokoh-tokoh “terkenal” yang dilayani oleh jasa prostitusi
Jeffrey tersebut. Namun kita bisa menebaknya dari para penumpang jet mewah
milik Jeffrey. Ia konon memiliki jet pribadi bernama "Lolita Express"
(EEEWWWW!!!) yang kerap digunakannya untuk menjemput para tamunya ke pulau
pribadinya di Virgin Island. Yang mengejutkan, nama-nama seperti aktor Kevin
Spacey, mantan presiden Bill Clinton, hingga presiden Amerika Serikat kala ini,
Donald Trump, tercatat sebagai sosok penting yang pernah menumpang jet ini.
Potret persahabatan antara sang pedofil dengan Donald Trump yang
kemudian menjadi tokoh terpenting di Amerika. Di tengah adalah Melanie yang
kemudian menjadi sang ibu negara
Yang menarik, Kevin
Spacey sendiri adalah aktor kenamaan Hollywood yang terjerat dengan kasus
pelecehan dan pemerkosaan anak-anak di
bawah umur (tapi bedanya, dia gay). Bill Clinton di lain pihak, pernah mendapat
“impeachment” atau pemakzulan gara-gara skandal seks-nya dengan sekretaris
pribadinya sendiri, Monica Lewinski. Bagaimana dengan Donald Trump sendiri?
Media ternyata kerap menangkap basah persahabatannya dengan Jeffrey melalui
kamera. Namun ketika ditanya media, Donald menyanggah kedekatan tersebut dan
ngeles bahwa, “Semua orang di Palm Beach kenal dengan dia [Jeffrey Eipsten]”.
Namun bukti berkata
lain, Trump. Pada wawancaranya dengan New York Times pada 2002 (kala itu
kejahatan Jeffrey belum terendus sama sekali dan ia hanya dikenal dengan
miliuner yang filantropis), Donald Trump mengatakan INI ketika ditanya soal
Jeffrey Eipsten (bukan clickbait!):
“I’ve known Jeff for 15 years. Terrific guy. He’s a lot of fun to be with. It is even said that he likes beautiful women as much as I do, and many of them are on the younger side.”
Terjemahan: “Saya kenal
Jeff sudah 15 tahun. Pria yang hebat. Saya banyak bersenang-senang dengannya
[Hmmmm]. Ia sama seperti saya, menyukai wanita cantik [HMMMMM] tapi dia lebih
suka cewek-cewek yang lebih muda [EEWWWWW!!!]”
Sama seperti kasus
Jimmy Savile yang pernah gue bahas, Jeffrey Eipsten menyamarkan sosok aslinya
yang memiliki moral maha-bobrok dengan topeng sosok filantropis yang dermawan.
Ia menyumbangkan jutaan dolar untuk Harvard University dan berbagai institusi
pendidikan lain. Yang memalukan, kemudian terkuak, bahwa salah satu pelanggan
setia dari “jasa”yang ditawarkan Jeffrey adalah seorang profesor asal Harvard.
Pada 2019, kasus
Jeffrey Eipsten yang menghebohkan publik kala itupun menemui babak baru, yakni
dengan kematiannya.
Jeffrey kala itu
kembali mendekam di penjara karena rentetan pengakuan para gadis yang pernah
dicabulinya. Pada 23 Juli 2019, Jeffrey ditemukan tak sadar di dalam selnya
dengan luka di lehernya. Pihak penjara menduga Jeffrey hendak berusaha bunuh
diri, sehingga iapun mulai diawasi dengan ketat. Peraturan penjara kala itu,
apabila ada narapidana yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri, ia harus ditaruh
di dalam “suicide watch”. Ia harus diawasi selama 24 jam, dimana tiap 30 menit,
akan ada penjaga yang datang ke selnya untuk mengecek keadaannya.
Namun malam itu, pada 9
Agustus 2019, “kebetulan” demi “kebetulan” terus terjadi. Teman sekamar Jeffrey
di sel itu dipindahkan. Tentu logikanya, jika ada napi yang memiliki keinginan
bunuh diri, akan lebih masuk akal untuk memasukkannya ke dalam sel dengan teman
sekamar. Alasannya tentu jika napi itu memang berusaha bunuh diri, maka
temannya itu bisa menghentikannya atau paling tidak memperingatkan para sipir.
Namun malam itu, selepas teman satu selnya itu “dipindahkan”, tak ada napi lain
yang masuk sebagai penggantinya.
“Kebetulan” lain pun
terjadi. Ingat dengan penjaga yang seharusnya mengecek Jeffrey tiap 30 menit?
Well, malam itu mereka “ketiduran”. Ada dua orang penjaga malam itu dan pada
waktu yang sama, mereka berdua “ketiduran” sehingga tidak mengecek kondisi
Jeffrey selama 3 jam. “Kebetulan” ketiga yang bener-bener “wow” menurut gue,
adalah pada malam kejadian itu, kamera CCTV yang terletak tepat di depan sel
Jeffrey tiba-tiba tidak berfungsi.
Keesokan harinya pada
10 Agustus 2019 pada 6.30 pagi, tubuh Jeffrey sudah ditemukan tak bernyawa di
dalam selnya.
Otopsi pun dilakukan
pada hari berikutnya dan hasilnya, Jeffrey meninggal karena tulang lehernya
patah. Perlu diingat, ada dua penyebab tulang leher patah, yakni ketika
seseorang gantung diri dan kedua, jika ada yang mencekiknya. Polisi tentu saja
mengambil kesimpulan yang pertama, bahwa Jeffrey Eipsten bunuh diri di kamar
selnya.
Seusai kematian Jeffrey
Eipsten, penyelidikan kasusnya pun dihentikan oleh pihak berwajib. Cukup masuk
akal, di dunia ini mana ada sistem yang sudi menyelidiki kejahatan seseorang
yang sudah meninggal. Toh, kita sudah nggak bisa menjatuhkan hukuman untuknya.
Kasusnya-pun dibiarkan menggantung. Siapa nama “sang pangeran”, “sang
presiden”, dan “sang perdana menteri” yang disebut-sebut sebagai klien jasa
prostitusi gadis-gadis di bawah umur yang didalangi Jeffrey, tak lagi
ditelusuri. Bahkan jikapun mereka tahu, namanya-pun takkan dibuka ke publik
karena kasus itu dianggap sudah selesai.
Menyenangkan bukan?
Tak heran jika publik
menganggap kematian Jeffrey Eipsten sebagai kasus konspirasi tingkat tinggi.
Banyak yang meragukan jika Jeffrey benar-benar bunuh diri. Toh, dengan
ketajirannya yang tiada tara, ia bisa memperoleh berbagai kemudahan di dalam
sel penjaranya. Untuk apa ia mengakhiri hidupnya? Karena rasa malu dan
bersalah? Gue rasa iblis seperti Jeffrey, yang tega memperdagangkan gadis
berumur 11 tahun demi keuntungannya sendiri, takkan menyesal semudah itu.
Bagaimana menurut
kalian? Apakah kalian menyakini Jeffrey Eipsten memang bundir ataukah kalian
lebih menikmati teori konspirasi yang didengungkan karena kematiannya yang
janggal?
SUMBER ARTIKEL: Wikipedia
jadi keinget novel lolita karya vladimir nabokov
ReplyDeletePintu penjaranya g dikunci, akses keluar masuk penjara sesuka hati, fasilitas sopir pribadi, tajir mlintir dan menikmati hasil prostitusi.
ReplyDeleteKemudian bunuh diri karena menyesal dan tertekan emang mustahil.
Hhhh Eipsten didn't kill himself
Banana
It keadaan waktu dy pertama kali dipenjara.. Tapi yg terakhir ne dy dijaga ketat apalagi setelah ad dugaan percobaan bunuh diri..
DeleteKalo Ewing ngeliput ini bakal keren sih
ReplyDeleteYa seperti inilah kenyataan dunia... tidak pernah adil. Yang berkuasa selalu menang dan dilindungi
ReplyDelete