Wednesday, February 19, 2020

MISTERI KONSPIRASI DI BALIK KEMATIAN JEFFREY EIPSTEN: PEDOFIL DENGAN “SAHABAT-SAHABAT” ADIDAYA





“Eipsten didn’t kill himself” adalah meme yang amat sering gue temui ketika gue berselancar di kolom komentar YouTube. Siapa Eipsten dan mengapa kasusnya menjadi bahan perbincangan para pecinta teori konspirasi? Jeffrey Eipsten adalah sorang miliuner asal Amerika Serikat yang pada tahun 2005 didakwa atas kasus-kasus pelecehan seksual. Kasusnya berhenti di tengah jalan ketika pada tahun 2019, ia ditemukan tewas di sel penjaranya. Pihak kepolisian kala itu menyatakan kematiannya murni sebagai aksi bunuh diri. Namun banyak pihak meragukannya, sebab kasus Eipsten kala itu menyeret banyak nama-nama tenar dengan kedudukan tinggi di berbagai belahan dunia. Sehingga, banyak yang menduga ia sengaja “disingkirkan” oleh kaum berkuasa.

Seperti apakah kasusnya? Semua akan gue bahas tuntas di Dark Case kali ini.


Jeffrey Eipsten lahir pada tahun 1953 dalam asuhan keluarga Yahudi di Brooklyn, New York. Namanya kini bersinonim dengan tindak kejahatan seksual, karena kiprahnya selama puluhan tahun mencabuli gadis-gadis di bawah umur. Namun yang mengejutkan, di usia mudanya, Jeffrey justru pernah menjadi guru SMA, tepatnya sebagai guru matematika di Dalton High School, Manhattan. Namun dua tahun bekerja di sana, ia-pun dipecat dengan alasan “performa yang buruk”. Perlu kita ketahui dari pengakuan rekan-rekannya, Jeffrey dikenal sebagai pria yang amat cerdas, jadi jelas ia tidak dipecat karena ketidakmampuannya mengampu mata pelajaran tersebut. Entah apa alasan Jeffrey dipecat kala itu, kita hanya bisa berspekulasi. Namun ini seharusnya menjadi “red flag” akan perilaku Jeffrey berikutnya.

Setelah berhenti dari pekerjaannya sebagai guru, Jeffrey menjajal kemampuannya berbisnis (maklum, keturunan Yahudi) dengan bekerja sebagai bankir dan konsultan finansial. Iapun mendirikan perusahaannya sendiri, yakni firma finansial bernama Epstein & Company. Di sinilah Jeffrey mulai mencicipi kesuksesan dan meraup pundi-pundi penghasilannya. Melihat ketajirannya mulai merangkak naik berkat kesuksesan perusahaannya, Jeffrey kemudian memindahkan perusahaannya ke Pulau St. Thomas di kepulauan Virgin Islands. Di sana, ia berhasil menghemat 90% pengeluarannya untuk pajak sehingga iapun menjadikan pulau itu sebagai “surga”-nya.

Pulau pribadi Jeffrey Eipsten di Virgin Islands dan juga villa mewahnya dimana banyak perbuatan nista terjadi yang melibatkan tokoh-tokoh penting

Jeffrey rupanya tak puas dengan bisnis konsultan finansial saja. Bak seorang enterpreneur sejati, iapun mulai melebarkan sayapnya ke bidang militer. Identitasnya sebagai seorang Yahudi membuatnya tertarik untuk berinvestasi di industri senjata dan pertahanan di Israel. Mungkin di sinilah (mengingat Israel memiliki hubungan yang cukup erat dengan para pejabat pemerintah di Eropa dan Amerika), Jeffrey mulai memperluas koneksinya dengan para petinggi politik negara-negara adidaya.

Namun dinasti dengan kekayaan tak terbendung itu akhirnya mulai menemui kegoncangan. Pada Maret 2005, seorang wanita melapor ke Kepolisian Palm Beach, Florida, bahwa putrinya yang berusia 14 tahun pernah dibawa ke mansion (rumah mewah) milik Jeffrey untuk kemudian dicabuli. Di sana, ia dijanjikan akan mendapat uang untuk “memijat” sang miliuner tersebut. Namun kenyatannya, gadis itu disuruh menanggalkan semua pakaiannya.

Polisi segera turun tangan menyelidikinya dan menemukan bahwa seluruh sudut kediamannya (termasuk rumahnya di Palm Beach dan pulau pribadinya di Virgin Island) diperlengkapi dengan kamera, tak terkecuali tempat-tempat pribadi seperti kamar tidur, bahkan kamar mandi. Polisi menemukan sekitar 30-40 gadis di bawah umur yang menjadi korban keberingasan Jeffrey. Namun surat kabar Miami Herald melakukan investigasinya sendiri dan menemukan dua kali lipatnya, yakni hingga 80 gadis, dicabuli oleh pengusaha bejat itu. Tak heran, dalam sehari sang konglomerat bisa menerima sesi “pijatan” hingga tiga kali sehari. Kebanyakan dari gadis-gadis itu bahkan diterbangkan dari negara-negara miskin di Eropa (biasanya bekas negara komunis seperti di Eropa Timur) dan Amerika Latin.

Pada 2008, Jeffrey akhirnya mengaku bersalah akan tindak kejahatannya dan diganjar hukuman penjara. Namun ternyata, keadilan masihlah enggan berpihak. Di penjara, Jeffrey justru mendapat perlakuan yang amat spesial. Kamar selnya tidak dikunci dan ia bebas lalu lalang, bahkan keluar masuk penjara untuk mengurus pekerjaannya di kantornya, bahkan memiliki sopir pribadi sendiri. Hukuman penjaranya yang selama 18 bulan pun hanya dijalaninya selama 13 bulan dan sisanya dijalaninya sebagai “probation” atau tahanan rumah.

Jeruji besi seakan tak ada artinya, apalagi membuat jera, bagi Jeffrey Eipsten karena koneksi yang dimilikinya serta statusnya sebagai miliuner

Namun dengan statusnya sebagai “parole” itupun ia jalani dengan penuh kebebasan. Semisal, setahu gue mantan narapidana yang mendapat parole akan menjalani pengawasan yang amat ketat. Semisal mereka tak diperbolehkan keluar dari negara bagiannya dan diharuskan melapor ke pihak berwajib secara berkala. Namun yang ada, Jeffrey justru leluasa terbang dengan jet pribadinya ke New York, bahkan ke pulau pribadinya di Virgin Island.

Banyak pihak, terutama keluarga korban, tentu saja geram dengan perlakuan istimewa ini. Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa sebab Jeffrey merupakan sosok yang tajir melintir, belum lagi koneksinya yang meliputi orang-orang penting dan berkuasa.

Namun semuanya berubah ketika pada 2015, seorang wanita bernama Virginia Roberts maju.

Virginia, yang kala itu berusia 31 tahun, mengaku bahwa ia telah menjadi budak seks Jeffrey semenjak ia berumur 17 tahun. Namun pengakuannya selanjutnya-lah yang mengguncang publik kala itu. Ia mengaku menjadi korban perdagangan manusia (human trafficking) oleh Jeffrey dan disuruh melayani, tak lain dan tak bukan, Pangeran Andrew dari Kerajaan Inggris. Pangeran Andrew adalah adik dari Pangeran Charles, suami mendiang Lady Diana, dan dengan kata lain, adalah paman dari Pangeran William dan Harry. Tak hanya itu, di pengadilan ia kembali mengaku disuruh melayani nafsu bejat petinggi-petinggi terkenal dari seluruh dunia, mulai dari “seorang gubernur”, “seorang pangeran”, “seorang presiden”, hingga “seorang perdana menteri”.

Media kemudian menduga, dari pengakuan tersebut, bahwa Jeffrey menjaga hubungan baik dengan para koneksinya itu dengan menyediakan jasa-jasa “pemuas nafsu seks” dalam rupa gadis-gadis muda di bawah umur. Tak jarang, gadis-gadis itu dibawa ke pulau pribadinya di Virgin Island dimana ia menyelenggarakan pesta seks untuk melayani para tamunya. Yang memuakkan, umur gadis termuda yang diperjualbelikan di sana adalah 11 tahun.

Pihak media hanya bisa menduga, siapakah tokoh-tokoh “terkenal” yang dilayani oleh jasa prostitusi Jeffrey tersebut. Namun kita bisa menebaknya dari para penumpang jet mewah milik Jeffrey. Ia konon memiliki jet pribadi bernama "Lolita Express" (EEEWWWW!!!) yang kerap digunakannya untuk menjemput para tamunya ke pulau pribadinya di Virgin Island. Yang mengejutkan, nama-nama seperti aktor Kevin Spacey, mantan presiden Bill Clinton, hingga presiden Amerika Serikat kala ini, Donald Trump, tercatat sebagai sosok penting yang pernah menumpang jet ini.

Potret persahabatan antara sang pedofil dengan Donald Trump yang kemudian menjadi tokoh terpenting di Amerika. Di tengah adalah Melanie yang kemudian menjadi sang ibu negara

Yang menarik, Kevin Spacey sendiri adalah aktor kenamaan Hollywood yang terjerat dengan kasus pelecehan dan pemerkosaan  anak-anak di bawah umur (tapi bedanya, dia gay). Bill Clinton di lain pihak, pernah mendapat “impeachment” atau pemakzulan gara-gara skandal seks-nya dengan sekretaris pribadinya sendiri, Monica Lewinski. Bagaimana dengan Donald Trump sendiri? Media ternyata kerap menangkap basah persahabatannya dengan Jeffrey melalui kamera. Namun ketika ditanya media, Donald menyanggah kedekatan tersebut dan ngeles bahwa, “Semua orang di Palm Beach kenal dengan dia [Jeffrey Eipsten]”.

Namun bukti berkata lain, Trump. Pada wawancaranya dengan New York Times pada 2002 (kala itu kejahatan Jeffrey belum terendus sama sekali dan ia hanya dikenal dengan miliuner yang filantropis), Donald Trump mengatakan INI ketika ditanya soal Jeffrey Eipsten (bukan clickbait!):

“I’ve known Jeff for 15 years. Terrific guy. He’s a lot of fun to be with. It is even said that he likes beautiful women as much as I do, and many of them are on the younger side.”

Terjemahan: “Saya kenal Jeff sudah 15 tahun. Pria yang hebat. Saya banyak bersenang-senang dengannya [Hmmmm]. Ia sama seperti saya, menyukai wanita cantik [HMMMMM] tapi dia lebih suka cewek-cewek yang lebih muda [EEWWWWW!!!]”

Sama seperti kasus Jimmy Savile yang pernah gue bahas, Jeffrey Eipsten menyamarkan sosok aslinya yang memiliki moral maha-bobrok dengan topeng sosok filantropis yang dermawan. Ia menyumbangkan jutaan dolar untuk Harvard University dan berbagai institusi pendidikan lain. Yang memalukan, kemudian terkuak, bahwa salah satu pelanggan setia dari “jasa”yang ditawarkan Jeffrey adalah seorang profesor asal Harvard.

Pada 2019, kasus Jeffrey Eipsten yang menghebohkan publik kala itupun menemui babak baru, yakni dengan kematiannya.

Jeffrey kala itu kembali mendekam di penjara karena rentetan pengakuan para gadis yang pernah dicabulinya. Pada 23 Juli 2019, Jeffrey ditemukan tak sadar di dalam selnya dengan luka di lehernya. Pihak penjara menduga Jeffrey hendak berusaha bunuh diri, sehingga iapun mulai diawasi dengan ketat. Peraturan penjara kala itu, apabila ada narapidana yang ingin mengakhiri hidupnya sendiri, ia harus ditaruh di dalam “suicide watch”. Ia harus diawasi selama 24 jam, dimana tiap 30 menit, akan ada penjaga yang datang ke selnya untuk mengecek keadaannya.

Namun malam itu, pada 9 Agustus 2019, “kebetulan” demi “kebetulan” terus terjadi. Teman sekamar Jeffrey di sel itu dipindahkan. Tentu logikanya, jika ada napi yang memiliki keinginan bunuh diri, akan lebih masuk akal untuk memasukkannya ke dalam sel dengan teman sekamar. Alasannya tentu jika napi itu memang berusaha bunuh diri, maka temannya itu bisa menghentikannya atau paling tidak memperingatkan para sipir. Namun malam itu, selepas teman satu selnya itu “dipindahkan”, tak ada napi lain yang masuk sebagai penggantinya.

“Kebetulan” lain pun terjadi. Ingat dengan penjaga yang seharusnya mengecek Jeffrey tiap 30 menit? Well, malam itu mereka “ketiduran”. Ada dua orang penjaga malam itu dan pada waktu yang sama, mereka berdua “ketiduran” sehingga tidak mengecek kondisi Jeffrey selama 3 jam. “Kebetulan” ketiga yang bener-bener “wow” menurut gue, adalah pada malam kejadian itu, kamera CCTV yang terletak tepat di depan sel Jeffrey tiba-tiba tidak berfungsi.

Keesokan harinya pada 10 Agustus 2019 pada 6.30 pagi, tubuh Jeffrey sudah ditemukan tak bernyawa di dalam selnya.

Otopsi pun dilakukan pada hari berikutnya dan hasilnya, Jeffrey meninggal karena tulang lehernya patah. Perlu diingat, ada dua penyebab tulang leher patah, yakni ketika seseorang gantung diri dan kedua, jika ada yang mencekiknya. Polisi tentu saja mengambil kesimpulan yang pertama, bahwa Jeffrey Eipsten bunuh diri di kamar selnya.

Seusai kematian Jeffrey Eipsten, penyelidikan kasusnya pun dihentikan oleh pihak berwajib. Cukup masuk akal, di dunia ini mana ada sistem yang sudi menyelidiki kejahatan seseorang yang sudah meninggal. Toh, kita sudah nggak bisa menjatuhkan hukuman untuknya. Kasusnya-pun dibiarkan menggantung. Siapa nama “sang pangeran”, “sang presiden”, dan “sang perdana menteri” yang disebut-sebut sebagai klien jasa prostitusi gadis-gadis di bawah umur yang didalangi Jeffrey, tak lagi ditelusuri. Bahkan jikapun mereka tahu, namanya-pun takkan dibuka ke publik karena kasus itu dianggap sudah selesai.

Menyenangkan bukan?

Tak heran jika publik menganggap kematian Jeffrey Eipsten sebagai kasus konspirasi tingkat tinggi. Banyak yang meragukan jika Jeffrey benar-benar bunuh diri. Toh, dengan ketajirannya yang tiada tara, ia bisa memperoleh berbagai kemudahan di dalam sel penjaranya. Untuk apa ia mengakhiri hidupnya? Karena rasa malu dan bersalah? Gue rasa iblis seperti Jeffrey, yang tega memperdagangkan gadis berumur 11 tahun demi keuntungannya sendiri, takkan menyesal semudah itu.

Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian menyakini Jeffrey Eipsten memang bundir ataukah kalian lebih menikmati teori konspirasi yang didengungkan karena kematiannya yang janggal?

SUMBER ARTIKEL: Wikipedia

5 comments:

  1. jadi keinget novel lolita karya vladimir nabokov

    ReplyDelete
  2. Pintu penjaranya g dikunci, akses keluar masuk penjara sesuka hati, fasilitas sopir pribadi, tajir mlintir dan menikmati hasil prostitusi.

    Kemudian bunuh diri karena menyesal dan tertekan emang mustahil.

    Hhhh Eipsten didn't kill himself

    Banana

    ReplyDelete
    Replies
    1. It keadaan waktu dy pertama kali dipenjara.. Tapi yg terakhir ne dy dijaga ketat apalagi setelah ad dugaan percobaan bunuh diri..

      Delete
  3. Kalo Ewing ngeliput ini bakal keren sih

    ReplyDelete
  4. Ya seperti inilah kenyataan dunia... tidak pernah adil. Yang berkuasa selalu menang dan dilindungi

    ReplyDelete