Masih karena heboh Coronavirus nih, gue akan
mengangkat kisah para “asymptomatic carrier” alias orang-orang yang terinfeksi oleh patogen
(virus atau bakteri penyebab penyakit), namun kebal terhadap penyakit itu sehingga
tidak menunjukkan gejala apapun, akan tetapi masih bisa menularkannya pada
orang lain. Contoh terkenal dari para “carrier” itu adalah sosok yang pada awal
abad ke-20 disebut sebagai “Typhoid Mary”. Sosoknya kala itu mengguncang publik
Amerika Serikat, bahkan mengundang ketakutan. Pasalnya, kemanapun sang Mary
pergi, malaikat maut seolah senantiasa mengikutinya. Mary menyebarkan penyakit
tifus (yang kala itu masih mematikan) kepada orang-orang di sekitarnya. Kasus
serupa ternyata terjadi dalam penyebaran COVID-19 ketika seorang pria,
lagi-lagi kebal terhadap virus ini, menularkan wabah ini ke penjuru Eropa.
Seperti apakah kisah mereka? Gue akan
membahasnya di Dark Case kali ini.
“Typhoid Mary”, sosok yang amat ditakuti ini
disebut-sebut menularkan penyakit tifus pada puluhan orang di kota New York,
dimana beberapa orang korban bahkan meninggal dunia. Lahir dengan nama Mary
Mallon, di Irlandia Utara, sang penebar maut ini kemudian bermigrasi ke Amerika
Serikat dan tinggal bersama bibinya di sana. Entah dimana ia terinfeksi penyakit
tifus (yang disebabkan bakteri Salmonella typhii), namun yang jelas Mary
sama sekali tak menyadarinya. Ia bahkan tak menunjukkan gejala penyakit itu dan
terlihat sehat wal'afiat. Mungkin karena ia adalah sedikit dari dengan genetik
yang mampu tahan terhadap penyakit itu. Akan tetapi itu bukan berarti bakteri
itu mati dalam tubuhnya, tidak. Bakteri itu terus tumbuh di dalam dirinya dan
siap untuk ditularkan kepada orang lain yang tak beruntung bertemu dengannya.
Pada tahun 1900, ia mulai bekerja pada sebuah
keluarga berada di New York, dimana dalam dua minggu, para penghuni rumah itu
tiba-tiba secara “misterius” mengalami demam. Setahun kemudian ia pindah ke
Manhattan dan lagi-lagi, keluarga dimana ia bekerja diterjang demam misterius.
Bahkan, salah satu pegawai rumah itu meninggal. Kala itu Mary sama sekali belum
sadar akan wabah yang ia tebarkan dan pindah bekerja di rumah seorang
pengacara. Di sana, tujuh dari delapan anggota keluarga tersebut jatuh sakit.
Pada 1906, ia bekerja di Long Island dan dalam
2 minggu, 10 dari 11 anggota keluarga dimana ia bekerja harus dirumahsakitkan.
Kecurigaan mulai tersulut ketika ia bekerja di rumah keluarga banker bernama
Warren. Warren, seorang pria tajir,
memiliki pondok musim panas tepi laut di Oyster Bay. Selama liburan, ia
mengajak keluarganya untuk berlibur di sana. Mary, sebagai koki kepercayaannya,
tentu ikut. Namun di sana, lagi-lagi tragedi merebak. 6 dari 10 anggota
keluarga Warren kala itu mengalami demam. Dokter di sana mendiagnosis mereka
dengan tifus, namun hal tersebut justru membuat mereka bingung. Tidak pernah
ada wabah tifus merebak di wilayah itu selama mereka bekerja sebagai dokter
puluhan tahun. Sehingga mau tak mau, kecurigaan jatuh kepada keluarga Warren
sebagai sumber wabah itu.
Namun kala itu, tak ada yang mencurigai Mary.
Toh, dia senantiasa terlihat sehat.
Salah satu
gejala tifus adalah demam yang bisa berakibat kematian
Seorang detektif bernama George Soper pun
ditugaskan untuk menyelidikinya. Dari hasil investigasinya, George
berkesimpulan bahwa Mary-lah “dalang” yang menyebabkan semua kekacauan itu,
menilik bencana demi bencana yang merundung tiap rumah yang didatangi Mary.
Akan tetapi sayang, Mary kala itu sudah pindah lagi dan susah untuk melacak
keberadaannya kini. Beruntung, George mendengar tentang maut yang
menggentayangi sebuah keluarga yang tinggal di Park Avenue. Dua dari pembantu
di rumah tersebut mondok di rumah sakit dan seorang anak gadis dari keluarga
itu tewas karena demam.
Sesuai tebakan George, ternyata benar Mary
bekerja di rumah itu.
Tanpa membuang waktu, George langsung
mengkonfrontasi wanita itu. Namun Mary justru marah dan menolak mentah-mentah
tuduhan itu. Ia kemudian mengurung dirinya di dalam kamar dan menolak bertemu
pria itu.
Soper tak menyerah dan memberi tahu Departemen
Kesehatan Kota New York. Di sana mereka bersama beberapa petugas polisi
berhasil memaksa Mary untuk meninggalkan keluarga tak berdosa itu. Namun hal
itu justru semakin menyulut kemaraha Mary yang beranggapan bahwa pihak berwajib
berbuat tak adil padanya.
Peneltian medis terhadapnya membuktikan
kecurigaan para dokter bahwa Mary memang seorang “carrier” penyakit tifus.
Keberadaan Mary kala itu menghebohkan publik, terutama media surat kabar yang
kemudian menjulukinya dengan “Typhoid Mary”. Namun Mary masih bersikeras bahwa
dirinya tak bersalah. Mary juga menolak ketika para dokter mengusulkan agar
mereka mengoperasi kandung kemihnya (dimana mereka menduga di organ itulah para
bakteri tersebut bersembunyi di tubuh Mary).
Tak punya pilihan lain, demi menjaga
keselamatan banyak orang, pihak medis terpaksa mengisolasi Mary dalam sebuah
klinik di pulau terpencil bernama Brother Island. Namun tentu, siapa sih yang
rela dikurung di dalam sebuah gedung di pulau terpencil selama bertahun-tahun?
Apalagi ia dilarang melakukan kontak sosial dengan siapapun. Akhirnya setelah 3
tahun mendekam di sana, Mary tak tahan lagi dan meminta para dokter untuk
melepaskannya.
Karena rasa kasihan, hati para dokter akhirnya
luluh dan mereka mengizinkan Mary kembali ke peradaban dengan syarat yang
ketat. Pertama, ia tidak boleh lagi bekerja sebagai koki dan kedua, ia harus
menjaga kehigienisannya selama melakukan kontak dengan orang lain untuk
meminimalisir infeksi. Mary setuju dengan syarat-syarat itu dan akhirnya dilepaskan
dari karantina.
Mary yang
terlihat kesal saat dikarantina
Akan tetapi celakanya, sang “Typhoid Mary” ini
rupanya tak kapok. Awalnya Mary masih menepati janjinya dengan mengubah mata
pencahariannya sebagai tukang laundri, dimana ia tentu hanya memiliki sedikit
kontak dengan orang lain, belum lagi ia dikelilingi bahan-bahan desinfektan
yang bisa mencegah penularan penyakitnya. Akan tetapi karena gajinya yang amat
sedikit, Mary berubah pikiran dan tergoda untuk kembali bekerja sesuai keahliannya,
yakni sebagai koki. Tak hanya itu, Mary sengaja mengubah nama keluarganya
menjadi Brown agar tak seorangpun mengetahui identitasnya yang sebenarnya.
Dan seperti bisa ditebak, wabah kembali merebak
di tiap keluarga yang didatangi Mary.
Kiprahnya sebagai pembawa malapetaka akhirnya
usai ketika sebuah wabah tifus menerpa sebuah rumah sakit di New York pada
1915. Di sana, tak kurang 25 pasien terinfeksi, bahkan dua meninggal. Mary,
lagi-lagi tertangkap basah bekerja sebagai koki di rumah sakit itu. Iapun
kembali ditangkap dan dikarantina kembali di Pulau North Brother. Di sana, para
dokter tak lagi berbaik hati dan mengurungnya di sana sampai akhir hayatnya.
Namun status selebriti telanjur menempel pada
wanita itu akibat gencarnya pemberitaan media. Beberapa kali para wartawan
mendatanginya untuk wawancara karena penasaran akan sosoknya. Namun para dokter
terus mengingatkan setiap tamu yang berkunjung untuk tidak menerima apapun yang
diberikan Mary, bahkan segelas airpun. Untuk mengisi kesibukan dan mengusir
kebosanan, Mary kemudian bekerja di laboratorium klinik itu dan bertugas
mencuci alat-alat gelas.
Setelah dikarantina selama 23 tahun, Mary
akhirnya meninggal pada usia 69 tahun tanpa pernah sekalipun meninggalkan
klinik itu. Seolah tak adil memang, namun itu demi kebaikan banyak orang.
Otopsi yang dilakukan terhadap jenazahnya akhirnya membuktikan kecurigaan para
dokter selama beberapa dekade. Kandung kemihnya ternyata memang benar menjadi
organ tempat bakteri tifus bersembunyi dan berkembang biak. Naas, jika saja
Mary mau mengikuti saran dokter untuk mengoperasinya, tentu ia akan bebas dan
tak lagi menyandang gelar sebagai sang pembawa maut.
Tapi tentu, bahkan seusai kematiannya-pun,
banyak pihak yang takut ia akan masih menularkan bibit penyakit tersebut.
Mereka akhirnya memutuskan jenazah Mary untuk dikremasi .
Mary mungkin sosok tak bersalah dalam kasus
ini. Tentu kita tak bisa menyalahkannya sebagai “carrier” penyakit mematikan
itu karena apa yang dialaminya tentu di luar keinginan dan kuasanya. Akan
tetapi setelah ia tahu bahwa dirinya mampu menularkan wabah, seharusnya Mary
lebih bijak dalam menjaga dirinya, juga orang-orang di sekitarnya.
Namun kasus Mary ini, walaupun menjadi yang
pertama dalam dunia kedokteran modern, ternyata bukan menjadi yang terakhir.
Wabah Coronavirus yang merebak saat ini ternyata juga membawa cerita lain
tentang seorang “carrier” tak berdosa yang membawa malapetaka kemanapun ia
pergi.
Sang “Typhoid Mary” modern yang membawa
wabah virus Corona dalam setiap hembusan napasnya
Kenyataan bahwa wabah virus ini bermula di Tiongkok bukanlah sesuatu
yang dipungkiri. Namun fakta itu naasnya membuat banyak keturunan Tionghoa yang
berdiaspora ke seluruh dunia mendapat berbagai macam diskriminasi. Banyak yang
cemas bahwa etnis tertentu ini akan menyebarkan penyakit yang kini dinamai
COVID-19 tersebut. Padahal pada kenyataannya, sosok yang menyebarkan penyakit
ini ke penjuru Eropa justru bukanlah seorang etnis Tionghoa, melainkan seorang
bule asal Inggris.
Pria ini bernama Steve Walsh yang kala itu diutus oleh perusahaannya,
Servomex, untuk menghadiri sebuah konferensi di hotel Grand Hyatt di Singapura.
Tanpa ia tahu, salah satu peserta konferensi itu berasal dari Wuhan. Steve yang
tak tahu menahu bahwa dirinya terjangkit penyakit mematikan kemudian pulang
dari Singapura dan memutuskan mampir berlibur bersama keluarganya di sebuah
resort ski di pegunungan Alpen, Prancis. Di sana, ia menginfeksi 11 orang yang
berada di resort tersebut.
Ia kemudian kembali ke Inggris bersama keluarganya menggunakan pesawat
dan sempat transit di Jenewa, Swiss. Celakanya, ada sekitar 200 penumpang di
pesawat itu. Sampai di kampung halamannya di Brighton, ia kembali menularkan
virus itu ke beberapa orang, termasuk seorang suster. Sialnya, para tamu di
resort di Prancis tersebut pulang ke kampung halamannya masing-masing, semakin
menyebarluaskan virus itu. Satu orang bahkan kembali ke Spanyol sehingga total,
satu pria Inggris ini sudah menyebarkan penyakitnya ke tiga negara, yakni
Inggris, Prancis, dan Spanyol (bahkan mungkin Swiss, namun belum ada konfirmasi
pasien di sana).
Kasusnya dianggap sebagai contoh seorang “super-spreader”, yakni
seseorang dengan kemampuan unik dimana ia bisa menyebarkan penyakit lebih luas
karena daya tahannya terhadap penyakit itu. Untuk menjelaskannya, bayangkan aja
nih semisal ada satu orang terjangkit COVID-19. Namun ia hanya sempat
menularkan kepada keluarganya, paling banter 2-3 orang, sebelum akhirnya ambruk
karena tak kuat dengan penyakitnya itu. Namun seorang super spreader ini bisa
menularkan hingga ke puluhan orang sebab ia
masih bisa berpergian dan beraktivitas, sehingga memperluas wilayah
penyebaran virus itu. Buktinya, setelah terkonfirmasi penyakit tersebut, Steve
Walsh akhirnya dipulangkan dari rumah sakit dengan kondisi sehat.
Beruntung kasus Steve Walsh ini tak separah “Typhoid Mary” yang memakan
korban jiwa. Namun tak menutup kemungkinan akan adanya para “carrier” dan
“super spreader” di luar sana yang kebal terhadap virus itu, tapi kenyataannya
justru membawa bencana dengan menularkan ke lebih banyak orang. Apalagi kini
adalah zaman globalisasi dimana tiap benua dapat dikunjungi dengan kilat
menggunakan berbagai sarana transportasi seperti pesawat terbang. Well, apapun
yang terjadi, yang kita bisa lakukan adalah menjaga kesehatan kita sendiri,
bukan dengan mendiskriminasikan orang lain, termasuk terduga “super-spreader”
ini.
SUMBER
ARTIKEL: Wikipedia
Kok jadi curiga kalo penduduk Indonesia aslinya pada Super Spreader ya?
ReplyDeleteSoalnya emang rada mencurigakan kenapa di Indo sampe saat ini belum ada kasus sama sekali padahal Indo dekat ama Tiongkok, dan banyak turis-turis Tiongkok, ataupun mereka yang habis liburan ke Tiongkok, liburan di Indo.
Carrier, kayak tokoh di salah satu dark darkness darkest yg semua org jadi bisa melihat mahluk astral, dikiranya kebal,
ReplyDeleteBanana
Eh nyepoiler
Adakah tokoh kays gitu? Judulnya apa? Kayaknya aku udah baca semua cerita dr 2 blog mengakubackpacker fapi kaga tau tentang itu deh
DeleteJangankan elu, gw aja kaga tau wkwkwk 😂😂😂
DeleteYang cerbung City of Fear, kan?
DeleteHooh, yg itu maksudku
DeleteWah parah juga bangdep Sampek lupa wkwke padahal itu plot twist terkeren di jagad mbp2
jadi ingat FAIRY TAIL itu loh karakter Zeref dragniel sama mavis vermillion yang membawa kematian dimanapun berada
ReplyDeleteLah, klo gtu berarti bkn si Steve Walsh dong pasien pertama yg terjangkit, tapi si org dr wuhan tetepan. Tapi dia termasuk ke org yg kebal dgn penyakit itu. Gtu?
ReplyDeleteIy bener sepemikiran,, te2p ae awal ny emank dari org Wuhan..
DeleteMakanya masker itu perlu, walaupun di Indonesia belum ada laporan penyebaran corona disini. Kita ngga tau siapa aja orang2 yang kita temui di transportasi umum, mall, atau kantor/sekolah. Kali aja mereka udah terpapar dengan virusnya dan jadi carrier
ReplyDeleteIndonesia dg penduduk sebanyak ini gk mungkin 100% bebas covid19. Gw curiga jgn2 banyak "carrier" yg kebal krn sejak sd udh mengkonsumsi bakteri e coli dan boraks tiap hari
ReplyDeleteCakNgganteng
Mampir ke blognya Bang Dave setelah dikasih link sama Harllie ^^ Yang menyedihkan dari kasus Mary Mallon ini adalah setelah dia meninggal baru diketahui ternyata sebenarnya Mary bukan satu-satunya yang menjadi carrier, ada ratusan super spreader lainnya. Tapi hanya Mary Mallon yang menjalani hukuman tahanan di pulau terpencil selama nyaris seperempat abad hingga ajal menjemputnya :(
ReplyDelete