Monday, April 26, 2021

CHERNOBYL DIARIES: PART 1 – INILAH AKIBATNYA JIKA KALIAN MEMAKAI REAKTOR NUKLIR “HARGA TEMEN”

 

PLTN Chernobyl

Postingan ini dibuat atas rekomendasi: Kinare Amarill. Thanks!

Sudah menonton serial HBO berjudul “Chernobyl” yang merupakan re-interpretasi Hollywood tentang bencana Chernobyl di Ukraina (dulu jajahan Uni Soviet) pada 1986? Well, gue sarankan sih jangan (kecuali kalian penggemar drama-drama bertema berat) karena nggak hanya “slow burn” namun nuansanya amat kelam dan menyebabkan depresi. Namun mungkin itulah yang dialami penduduk Chernobyl kala itu dibawah cengkeraman rezim Komunis Rusia. Tapi drama tersebut (walaupun tak sepenuhnya 100% akurat karena tentu harus ada dramatisasi untuk membuatnya makin komersil) membuat gue sadar akan satu fakta yang selama ini gue abaikan.

Selama ini gue menganggap Uni Soviet sebagai pihak jahat yang akibat kelalaiannya menyebabkan bencana nuklir terburuk dalam sejarah itu. Namun kenyataannya, Uni Soviet juga merupakan “pahlawan” sebab seandainya mereka tidak bertanggung jawab atas insiden tersebut, seluruh kehidupan di Eropa mungkin akan musnah tak berbekas dan seluruh benua biru itu akan menjadi benua mati. Jika seluruh Eropa mati, maka well, jelas dampaknya akan dirasakan di seluruh dunia, at least impact ekonominya.

Mengejutkan memang, namun sebuah kesalahan yang terjadi pada Sabtu malam, 26 April 1986 itu bisa saja menimbulkan sebuah Butterfly Effect yang begitu mematikan hingga bisa mengancam keberadaan kehidupan di dunia ini akibat pancaran radiasi mautnya.

Namun mengapa bencana itu bisa sedemikian berbahaya? Apa penyebabnya dan bagaimana kita akhirnya bisa menghindari bencana yang mungkin saja bisa menimbulkan pergolakan politik dan sosial yang sedemikian dahsyat itu (jika saja seluruh Eropa menjadi benua mati tentu efeknya akan sangat drastis bagi sejarah dunia ini)?

Dear readers, silakan simak Dark History kali ini untuk mengetahui jawabannya.


RBMK: THE PHYSICS OF FALLEN GOD

Kota Pripyat kini

Kota Pripyat di Ukraina merupakan salah satu kebanggaan Uni Soviet kala itu. Kota itu dianggap sebagai sebagai “utopia” bukti keberhasilan rezim Komunis. Klaim tersebut didasarkan pada sebuah PLTN bernama Chernobyl yang menggunakan sebuah reaktor nuklir bertipe RBMK yang didirikan di kota tersebut. RBMK merupakan kebanggaan pemerintah Uni Soviet kala itu, sebab reaktor jenis itu memang murni ciptaan para ilmuwan-ilmuwan Rusia, bukan produk dari negara-negara liberal Barat seperti Eropa dan Amrik yang terlebih dulu mengembangkan teknologi nuklir. Alhasil, RBMK dianggap sebagai Tuhan-nya Komunis yang sempurna; tak pernah salah dan takkan pernah gagal.

But the problem is, RBMK ain’t a God.

And worst, it’s failed.

Namun sebelum itu, gue jelaskan dulu cara kerja sebuah PLTN.

The Chain Reaction

Cara kerja sebuah PLTN sebenarnya tak jauh berbeda dengan PLTU (tenaga uap). Baik PLTN maupun PLTU akan menghasilkan energi panas yang digunakan untuk mendidihkan air. Air yang mendidih kemudian menghasilkan uap air yang memutar turbin. Energi gerak dari turbin itulah yang kemudian diubah menjadi energi listrik. Bedanya, jika panas dari PLTU berasal dari pembakaran batu bara, maka panas dari PTLN berasal dari reaksi nuklir dari sebuah materi radioaktif, umumnya berupa uranium atau plutonium.


Secara teori, tenaga nuklir merupakan sumber tenaga alternatif yang ramah lingkungan karen hanya menghasilkan limbah berupa uap air, jika kita mengabaikan limbah radioaktif yang amat berbahaya

SUMBER GAMBAR

Menggunakan konsep ini, penggunaan PLTN sebenarnya lebih “ekonomis” karena jika PLTU memerlukan ribuan ton batu bara yang menghasilkan produk sampingan berupa CO2 (yang nantinya menyebabkan global warming), maka reaksi nuklir pada PLTN hanya memerlukan sedikit saja uranium karena begitu dahsyatnya energi yang dihasilkan oleh reaksi nuklir. Belum lagi, produk sampingannya hanyalah uap air yang jelas tidak beracun (walaupun ada pula limbah radioaktif yang cukup berbahaya dihasilkan PLTN ini, but that’s another topic to discussed).

Pertama-tama kita pahami dulu bagaimana sebuah reaksi nuklir bekerja. Kita tahu bahwa bahan bakar sebuah PLTN adalah unsur uranium (U) yang biasanya disimpan dalam suatu struktur yang disebut “core” (inti reaktor). Reaksi yang terjadi dalam uranium disebut dengan reaksi “fisi nuklir”. Dalam reaksi tersebut, apabila sebuah atom uranium (biasanya 235U) bertabrakan dengan satu partikel neutron, maka atom itu akan pecah (melalui proses yang disebut “radioactive decay”) menjadi dua atom baru, yakni Barium (141Ba) dan Krypton (92Kr) serta produk sampingan berupa 3 partikel neutron dan energi berupa panas. Nah, energi panas inilah yang tadi gue katakan akan digunakan dalam PLTN tadi.

Bagan reaksi nuklir

Namun keistimewaan uranium adalah 3 buah partikel neutron yang gue sebutkan tadi bisa menabrak atom 235U lainnya sehingga proses yang sama akan terulang. Bahkan reaksi yang terjadi akan semakin banyak sebab 3 partikel neutron tadi bisa menabrak 3 atom 235U lain, yang kemudian akan menghasilkan 9 neutron baru yang akan menabrak 9 atom 235U lagi, dst. Inilah yang dinamakan sebagai “reaksi berantai” atau “chain reaction”. Nah, bisa disimpulkan, energi yang tercipta hanya dari seluruh reaksi ini amatlah besar. Energi ini jugalah yang dimanfaatkan dalam bom atom, sehingga bisa menghasilkan ledakan yang teramat dahsyat.


Gambaran reaksi berantai


Oya, gue perlu informasikan juga bahwa selain barium, krypton, dan neutron, ada hasil sampingan dari sebuah fisi nuklir berupa xenon. Kita akan kembali lagi ke sini, sebab keberadaan xenon ini penting dalam mempelajari rahasia di balik ledakan Chernobyl.

Moderator, Absorber, and Coolant

Nah bagian paling penting dalam sebuah PLTN adalah reaktor, sebab di sanalah proses reaksi nuklir terjadi. Seperti kita tahu, reaksi nuklir bisa menimbulkan energi panas yang amatlah besar, sehingga haruslah dikendalikan. Sebuah reaktor biasanya memiliki tiga bagian penting untuk mengendalikan reaksi yang beresiko tinggi tersebut, yakni moderator, absorber, dan coolant (pendingin).

Nah bayangkan jika reaktor ini adalah sebuah mobil, maka kalian akan perlu pedal gas agar mobil bisa bergerak dan melaju. Tapi kalian juga mutlak perlu rem juga kan supaya mobil bisa berhenti jika diperlukan? Nah sama seperti reaktor, harus ada “pedal gas” agar reaksi nuklir bisa dimulai dan “pedal rem” sehingga reaksi bisa berhenti. Itulah fungsi dari moderator dan absorber.

Moderator di dalam sebuah reaktor adalah sebuah “pedal gas” yang berfungsi agar reaksi nuklir dapat berjalan seefisien mungkin sehingga menghasilkan tenaga yang diperlukan. Untuk itu, seperti yang gue jelaskan tadi, diperlukan neutron untuk menabrak atom uranium agar reaksi bisa berjalan terus. Nah, moderator ini berfungsi untuk memperlambat laju neutron agar reaksi dapat berlangsung. Mungkin kalian merasa agak aneh, lho kok malah neutronnya diperlambat? Well, kita kembali lagi sedikit sama Teori Kuantum yang semuanya berkaitan dengan “kemungkinan” atau probabilitas. Ternyata jika neutron melaju amat cepat, maka akan lebih besar kemungkinan neutron itu akan “melewati” atom uranium begitu saja, alih-alih menabraknya. Tapi jika neutron bergerak lebih lambat, akan ada kemungkinan lebih besar neutron tersebut bisa menabrak atom uranium. Untuk itu, jika kita ingin reaksi berantai tadi berjalan dengan efisien (artinya lebih banyak neutron menabrak atom uranium) maka kita harus memperlambat laju neutron. Nah, alat yang bertugas memperlambat laju neutron inilah yang disebut “moderator”.

Diagram yang menunjukkan cara kerja neutron moderator

SUMBER GAMBAR

Bayangin aja deh begini semisal ada cowok yang lagi pengen ke taman buat cari jodoh, mungkin aja dia berharap bisa ketemu cewek kayak Maudy Ayundya di sana. Tapi begitu di sana dia malah lari-lari sehingga ia cuman melewati cewek-cewek yang lagi nongkrong di situ tanpa sempat melihat mereka atau baik-baik atau sekedar menyapa. Nah, cara supaya kalian bisa bisa kenalan ama dia tentu saja jika kalian berjalan saja dengan langkah biasa, sehingga kalian bisa mengamati satu-satu cewek (atau mungkin cowok, I won’t judge) yang ada di situ dengan seksama, kemudian jika ada yang tertarik tentu kalian akan menyapanya bukan? Nah seperti ini jugalah analogi pertemuan antara neutron dan uranium (kok jadi romantis ya).

Kebalikan dari moderator adalah absorber yang merupakan “pedal rem” dari sebuah reaktor. Cara untuk menghentikan sebuah reaksi berantai tentu adalah dengan menghilangkan neutron dalam reaksi tersebut sehingga reaksi bisa diperlambat, bahkan dihentikan. Ingat, memperlambat neutron hanya akan mempercepat reaksi, maka dari itu kita harus “menyerap” neutron sepenuhnya supaya ia tidak bertabrakan dengan atom uranium. Dengan menyerap neutron ini, maka kita akan menghilangkannya dari reaksi sehingga reaksi berantai lama-lama terhenti karena semua neutron terserap. Caranya adalah dengan menabrakkan neutron itu bukan materi lain yang bukan uranium, bisa dengan menabrakkannya dengan molekul air dan unsur-unsur lain, seperti kadmium dan boron. Nah, bahan yang bisa menyerap neutron ini dinamakan “absorber”. Anggap aja absorber ini adalah pelakor yang merebut jodoh kalian hehehe.

Nah sekarang kita membahas komponen ketiga, yakni “coolant”. Gue udah sebutkan tadi bahwa PLTN menghasilkan panas, apalagi di inti reaktornya dimana reaksi nuklir berlangsung. Apabila dibiarkan, panas ini nantinya akan menumpuk dan meledakkan reaktor (sama seperti komputer pun harus diberi kipas biar nggak terus-terusan panas kan). Di sinilah fungsi coolant, untuk mendinginkan reaktor agar tidak kepanasan. Jadi kalo ditanya, mungkin inilah bedanya kamu ama reaktor nuklir. Kalo reaktor nuklir perlu didinginkan, tapi kalo kamu nggak perlu soalnya hatimu udah sedingin es eaaaaak.

Balik lagi nih ke masalah serius. Fungsi coolant ini biasanya dilakukan oleh air. Selain ekonomis karena air mudah didapatkan, air juga berfungsi ganda untuk menggerakkan turbin. Sebab jika air terkena panas dari reaktor, maka air tentu akan menguap dan bisa menggerakkan turbin. Kemudian agar reaktor tetap dingin, maka air yang menguap tadi perlu terus digantikan. Oleh karena itu, coolant ini haruslah selalu mengalir.

Enriched Uranium

Di alam bebas, uranium berwarna kuning seperti ini

Tadi di awal gue sempat menyebutkan bahwa reaktor yang meledak di Chernobyl adalah reaktor tipe RBMK buatan putra-putra “pribumi” Uni Soviet sendiri. Nah, apa bedanya RBMK dengan reaktor nuklir yang dikembangkan di negara Barat (non-Komunis)? Pertama, RBMK jauhlah lebih hemat ketimbang reaktor tipe lain yang biaya operasionalnya bisa sangat mahal. Salah satu biaya yang terpangkas drastis dalam operasional RBMK adalah reaktor tipe ini tidak perlu menggunakan”enriched uranium” seperti reaktor nuklir pada umumnya.

Apa itu enriched uranium? Nah, uranium di alam biasanya terdiri atas tiga isotop (memiliki jumlah neutron yang berbeda di inti atomnya), yakni uranium-238 (238U), uranium-235 (235U) dan uranium-234 (234U). Nah, hanya 235U yang bisa digunakan sebagai sumber energi dalam PLTN karena uranium jenis ini bisa menghasilkan reaksi fisi. Padahal, 235U amatlah langka, yakni hanya sekitar 0,7% dari uranium yang ada. Oleh karena itu, biasanya jumlah uranium isotop 235U ini “diperkaya” dengan berbagai proses, sehingga uranium yang digunakan dalam PLTN memiliki sekitar 3-5% 235U. Inilah yang disebut dengan “enriched uranium”. Namun jelas, proses pengayaan ini tentunya sangat mahal, sehingga untuk memotong biaya, didesainlah RBMK yang mampu menggunakan uranium alami (yang hanya 0,7% mengandung 235U tadi) alih-alih memakai bahan bakar yang lebih mahal.

Tadi gue bilang bahwa reaktor nuklir menggunakan air sebagai coolant dan juga untuk menghasilkan uap air. Tapi keberadaan enriched uranium ini mengubah sifat air yang digunakan. Apabila menggunakan enriched uranium, maka air akan berfungsi ganda sebagai moderator (sifatnya akan memelankan neutron sehingga mempercepat reaksi). Namun jika tidak menggunakan enriched uranium (seperti RBMK ) maka air justru akan bersifat sebagai absorber (menyerap neutron sehingga memperlambat reaksi). Sehingga, pada reaktor nuklir yang “normal”, maka air berfungsi ganda sebagai moderator dan coolant, bisa berupa “heavy water” atau “air berat" dan “light water” atau “air ringan”.

Ilustrasi molekul air berat atau D2O

Apa itu air berat dan air ringan? Nah air yang biasa kita gunakan adalah air ringan, terdiri atas satu atom hidrogen dan dua atom oksigen dan biasa dilambangkan dengan H2O. Namun ada pula jenis air lain yang disebut air berat yang memiliki salah satu isotop hidrogen yang langka, yakni deuterium (sehingga sering dilambangkan D2O). Nah pada awal-awal dikembangkan (sekitar tahun 50-60an), reaktor nuklir haruslah menggunakan air berat ini (sebagai catatan, kini sebagian besar reaktor nuklir di dunia menggunakan tipe LWR atau “Light Water Reactor” yang baru ditemukan tahun 2000-an dan bisa menggunakan air ringan sebagai moderatornya). Namun tentu saja harga air berat ini cukup mahal karena deuterium cukuplah langka.

Nah, keunggulan RBMK lagi-lagi terletak pada keekonomisannya. Alih-alih menggunakan air berat sebagai moderator-nya, RBMK menggunakan batang grafit (gampangannya isi pensil kalian) yang jelas lebih ekonomis. Hal ini disebabkan RBMK menggunakan uranium yang tidak diperkaya (bukan enriched uranium, yang juga lagi-lagi lebih murah) sehingga air takkan bisa berfungsi sebagai moderator.

Jadi ingat-ingat, inilah sesungguhnya alasan pihak Komunis mengembangkan dan menggunakan reaktor jenis RBMK . Karena harganya lebih murah!


THE NIGHT OF THE DEAD

Nah setelah paham bagaimana sebuah reaktor nuklir bekerja, kita bisa mulai membahas apa yang terjadi pada malam kejadian. Pada 26 April 1986, sebuah tanggal yang diingat hampir menyebabkan musnahnya seluruh peradaban Eropa, sebuah kesalahan telah terjadi di PLTN Chernobyl. Kala itu sebenarnya tengah dijadwalkan sebuah tes untuk mengukur kesiapan Chernobyl dalam menghadapi apabila reaktor mengalami kegagalan dan terjadi pemadaman listrik secara mendadak. Ada empat reaktor di Chernobyl. Namun kala itu, tes hanya dilakukan di reaktor terakhir, yakni Reaktor 4.

The Safety Test

Diagram reaktor RBMK

Nah, gue sudah sebutkan di awal bahwa PLTN bekerja karena reaksi nuklir menghasilkan panas. Masalahnya adalah panas yang dihasilkan PLTN bisa terus dihasilkan walaupun reaktor sudah dimatikan dan proses reaksi nuklir berhenti, sebuah proses yang disebut “heat decay”. Jelas, panas yang terus dikeluarkan walaupun reaktor mati ini bisa bermasalah, sebab bisa menyebabkan reaktor menjadi “overheating” (kepanasan) dan memicu terjadinya “meltdown” (reaktor mencair karena terlalu panas) yang bisa amat berbahaya, karena uranium akan lepas dari kontainernya dan meracuni lingkungan sekitarnya.

Gue sudah sebutkan tadi bahwa agar reaktor tidak kepanasan maka diperlukan bahan pendingin (coolant). Reaktor RBMK menggunakan semburan air dari luar untuk mendinginkan reaktor. Diperkirakan diperlukan aliran sekitar 28 ribu liter air per jamnya untuk mendinginkan reaktor selama sejam. Tentu saja, untuk memompa semua air ini diperlukan listrik yang cukup besar.

Nah masalahnya, bagaimana jika PLTN itu tiba-tiba mati (istilah Jawa-nya “oglangan”) sehingga pompa air mati? Tentu reaktor akan kepanasan dan mengalami “meltdown” bukan? Untuk mencegahnya, Chernobyl memiliki generator cadangan yang mampu menghidupkan kembali pompa air jika ada “oglangan” tersebut. Celakanya, generator tersebut tidak bisa tiba-tiba saja menyala jika listrik mati. Diperlukan waktu sekitar 1 menit hingga generator tersebut dapat berfungsi baik dan menyalakan pompa kembali. Jendela 1 menit itu, walaupun amat singkat, tetap saja amat berbahaya, karena tahu lah, energi nuklir sangatlah tak bisa diprediksi.

Nah, tujuan dari tes yang dilaksanakan pada malam naas itu adalah untuk membuktikan teori bahwa ada cara untuk menjembatani jeda 1 menit tersebut. Caranya adalah dengan memanfaatkan momentum rotasi dari turbin uap PLTN tersebut. Walah apa itu? Bayangin aja sebuah kipas angin yang tengah berputar karena ditenagai energi listrik. Nah, sekarang bayangkan di rumah kalian ada “oglangan” sehingga kipas itupun secara teori akan mati karena tak ada aliran listrik. Namun jika kalian perhatikan, kipas itu pastinya tidak langsung serta-merta berhenti seketika. Kipas itu pastinya masih berputar, walaupun lama-kelamaan makin pelan hingga akhirnya terhenti total. Mungkin saja kalian hitung ada jeda 1 menit antara kipas itu pas saat listrik mati hingga akhirnya benar-benar berhenti berputar.

Nah, kemampuan kipas berputar walaupun sudah tak ada aliran listrik itu disebabkan karena adanya “momentum” atau katakanlah ada “energi sisa” (sorry, not a physicist) dari putaran (rotasi) kipas itu saat berputar. Nah, ilmuwan di Chernobyl berpendapat adanya momentum rotasi dari turbin (yang berputar seperti layaknya kipas tadi saat listrik mati) cukup untuk menghasilkan energi listrik yang mampu memompa air selama semenit, sebelum akhirnya dibackup oleh generator cadangan yang baru menyala.

Dengan kata lain, untuk melaksanakan tes ini, para teknisi Chernobyl, harus mematikan (atau at least menurunkan) tegangan listrik yang dihasilkan reaktor dan melihat apa yang terjadi selanjutnya, untuk membuktikan teori itu. Tentu hal tersebut amat beresiko. Namun para teknisi yang seharusnya melakukan tes tersebut sudah cukup berpengalaman sehingga (secara teori) harusnya mampu mengatasi masalah yang timbul selama tes tersebut.

Masalah muncul ketika rencana itu mulai berantakan.

The Nuclear Protocol

Bagian dalam ruang kontrol yang penuh dengan tombol dan protokol sehingga rentan kesalahan

Pertama, rencana tersebut akan dilaksanakan tepat pada 26 April 1986. Alasannya, pada hari itu akan dilakukan proses maintenance sehingga reaktor akan dimatikan, karena itu mereka mengambil kesempatan itu untuk sekalian melakukan safety test tersebut. Sambil menyelam minum air, mungkin itulah harapan mereka saat itu.

Tes itu seharusnya dilakukan di siang bolong, tepatnya pada pukul 14.15 hari itu juga. Namun sayang, mereka mendapatkan informasi dari Kiev (ibu kota Ukraina) yang mendapat pasokan listrik dari Chernobyl bahwa hari itu terjadi gangguan pasokan listrik akibat kerusakan pada salah satu gardu listrik yang tiba-tiba “offline”. Akibatnya, pihak Kiev meminta Chernobyl tetap beroperasi untuk mengompensasi listrik yang hilang tersebut demi memenuhi kebutuhan warga kota tersebut. Pihak Chernobyl akhirnya menyetujuinya dan menunda pelaksaan tes itu hingga malam.

Celakanya, tim yang kata gue sudah berpengalaman untuk melakukan tes tersebut, semuanya masuk di shift siang. Ketika malam tiba, tim yang masuk shift siang pun pulang dan digantikan oleh shift malam, yang belum berpengalaman untuk melakukan tes tersebut.

Logikanya tentu saja jika kita dihadapkan pada situasi seperti itu, kita akan menunda tes tersebut. Namun bukan itu keputusan yang diambil oleh Anatoly Dyatlov, pemimpin teknisi Chernobyl kala itu. Anatoly kala itu memaksakan diri untuk melakukan tes itu malam itu juga di bawah supervisi tim yang kurang pengalaman serta kurang persiapan. Anatoly sendiri, mungkin juga di bawah tekanan bosnya, yakni Viktor Bryukhanov, direktur PLTN dan kepala teknisi, Nikolai Fomin agar semuanya segera beres pada hari itu juga.

Bekerja langsung di bawah instruksi Anatoly adalah Aleksander Akimov, kepala shift malam dan Leonid Toptunov sang teknisi “senior”. Namun kesenioran Leonid sendiri diragukan sebab usianya masih sangat muda dan ia baru bekerja di posisi itu selama 3 bulan. Yang lebih “meragukan” lagi, sang teknisi “senior” tersebut baru berusia 25 tahun.

Bagian dalam ruang kontrol sebuah PLTN pada masa komunis rezim Uni Soviet

Seperti sudah kalian duga, bencana datang malam itu di tes yang “dipaksakan” tersebut. Kala itu tes hanyalah direncanakan untuk menurunkan output tenaga dari reaktor nomor 4 dari 1000 MW menjadi 700 MW. Akibatnya tentu turbin memelan, untuk melihat efeknya terhadap momentum turbin. Namun kenyataannya, output reaktor tiba-tiba drop jauh dari target yang seharusnya, yakni menjadi hanya 30 MW. Tentu saja ini bisa berujung celaka.

Hingga kini, tak ada yang benar-benar tahu apa yang sesungguhnya terjadi hingga kesalahan tersebut mengejawantah, sebab baik Aleksander dan Leonid meninggal akibat kejadian malam itu (kedua-keduanya merupakan pelaksana alias “eksekutor” tes tersebut, sementara tugas Anatoly hanya memerintah dan mengawasi). Ada yang menduga hal tersebut karena kesalahan yang dilakukan Leonid, sang teknisi belia. Namun ada pula yang mengatakan hal tersebut disebabkan kegagalan reaktor itu sendiri.

Nah kembali ke cara kerja reaktor tadi, ada tiga komponen utama sebuah reaktor, yakni moderator untuk mempercepat reaksi, absorber untuk memperlambat reaksi, dan coolant untuk mendinginkan reaktor. Nah dalam reaktor RBMK absorber terletak di dalam sebuah batang logam yang dinamakan “control rod” atau “tuas kendali”. Tuas kendali itu terbuat dari unsur boron yang amat efektf dalam menyerap neutron. Jika kita ingin mempercepat reaksi, maka kita akan menarik tuas kendali itu dari reaktor. Sebaliknya, jika kita ingin memperlambat reaksi, kita akan memasukkan tuas kendali itu ke dalam reaktor.

Nah, bisa kita tebak apa langkah yang diambil Anatoly, sang penanggung jawab malam itu, begitu mengetahui bahwa output dari reaktor turun drastis dari 700 MW (yang diharapkan) menjadi 30 MW. Tentu untuk menaikkan output itu, reaktor harus bekerja lebih keras, sehingga tuas kendali harus dinaikkan. Nah, masalahnya Reaktor 4 kala itu memiliki sekitar 211 tuas kendali. Tentu jika kita ingin naik drastis dari 30 MW ke 700 MW maka tuas kendali yang ditarik ke atas pun semakin banyak kan? Itulah logika yang diambil Anatoly kala itu, ia menarik hampir semua reaktor ke atas dan meninggalkan hanya 18 batang saja masih berada di dalam reaktor. Itu adalah kesalahan yang amat fatal, sebab menurut protokol keamanan, semestinya ditinggalkan paling tidak 28 tuas kendali di dalam sebagai pengaman untuk berjaga-jaga apabila situasi tiba-tiba menjadi tidak terkendali.

Sebuah reaktor nuklir RBMK 

Protokol lain juga sebenarnya dilanggar malam itu. Menurut protokol keamanan, seharusnya penarikan semua tuas kendali tersebut dilakukan secara perlahan-lahan. Hal ini bertujuan agar kenaikan output nanti tidaklah drastis, melainkan secara bertahap. Bahkan, jika dilakukan sesuai protokol, proses ini akan makan waktu hingga 3 hari. Namun jelas, bukan ini yang diharapkan oleh Anatoly kala itu.

Nah, apa akibatnya dari pelanggaran protokol tersebut? Awalnya tidak terjadi apa-apa, bahkan kenaikan output yang diharapkan tak terlalu drastis, sebab hanya naik dari 30 MW menjadi 200 MW. Namun mengapa? Nah, gue sebutkan tadi di awal bahwa reaksi fisi nuklir menghasilkan sebuah produk sampingan berupa gas Xenon dalam bentuk 135Xe. Nah Xenon ini rupanya amat efektif sebagai sebuah absorber neutron sehingga menyerap neutron. Akibatnya reaksi pun tak berjalan secepat yang diharapkan Anatoly dan output hanya naik menjadi 200 MW. Namun bagi Anatoly, walaupun tak mencapai target 700 MW seperti yang diharapkan, ia masih meneruskan tes tersebut.

Konon, kala itu suara sirine dan alarm tak henti-hentinya berbunyi di ruang kendali itu. Alarm tersebut tentu saja menandakan ada yang “tidak beres” tengah terjadi di dalam reaktor. Namun Anatoly dengan sengaja tak mengindahkan semua peringatan itu dan berkilah bahwa memang seperti itulah tujuan tes tersebut sebenarnya, untuk menyimulasikan suatu bencana.

Namun bencana sesungguhnya tengah mengintai.

The Neutron Betrayal

Di sinilah masalah mulai muncul. Kalian pasti masih ingat bahwa output reaktor tersebut turun drastis dari 1000 MW menjadi 30 MW (yang seharusnya 700 W) kemudian naik kembali menjadi 200 MW setelah hampir semua tuas kendali yang mengandung absorber ditarik ke atas. Namun malam itu, tiba-tiba saja output reaktor 4 naik dengan drastis dari 200 MW. ke level yang jauh dari yang diharapkan, yakni 30.000 MW. Padahal, kapasitas maksimal reaktor itu hanya untuk menghasilkan output sebesar 3.000 MW saja.

Sebenarnya menurut teori, ada cara cepat dan instan untuk mengatasi masalah tersebut, yakni dengan menekan tombol darurat (disebut tombol AZ-5) untuk secara otomatis mematikan reaktor tersebut. Aleksander, sang kepala shift malam, melakukannya saat itu juga. Dengan sigap ia segera menekan tombol AZ-5 begitu mencium ada yang tak beres (mungkin bahkan tanpa perintah Anatoly). Namun kali ini, tak seperti dugaan mereka, hal tersebut malah menimbulkan masalah baru yang lebih fatal dan tak terbayangkan.

Reaktor nomor 4 di PLTN Chernobyl tiba-tiba meledak.

Namun lagi-lagi muncul pertanyaan, mengapa reaktor tersebut meledak?

Ledakan yang ditimbulkan di Chernobyl

Kita kembali lagi pada konsep absorber, yakni bahan yang bisa menyerap neutron sehingga memperlambat bahkan menghentikan reaksi fisi nuklir. Kita sedari awal menganggap absorber ini adalah sebuah pedal rem. Jika sebuah mobil semisal tak punya rem, apa akibatnya? Jika mobil itu lagi diam (semisal diparkir atau disimpan di garasi) sih nggak masalah. Tapi ketika mobil itu melaju (tengah beroperasi) dan rem tiba-tiba blong, tentu bencana-lah akibatnya. Inilah yang terjadi di Chernobyl kala itu.

Kita mungkin menganggap, lah naik dari 50 MW ke 200 MW kan pertanda reaksi fisi nuklirnya berjalan amat lambat, jadi aman. Sebenarnya reaksi kala itu berjalan lamban karena memang ada tiga “pedal rem” yang tengah bekerja kala itu, yakni absorber (dalam tuas kendali), air (yang juga merupakan coolant) dan juga Xenon dalam bentuk 135Xe dan merupakan produk sampingan reaksi nuklir tersebut. Kala itu untuk mempercepat reaksi, Anatoly memutuskan menarik hampir semua tuas kendali, sehingga mereka kehilangan satu rem.

Masih ada dua rem lagi, yakni Xenon dan juga air. Air biasa merupakan absorber, walaupun masih sangat lemah jika dibandingkan boron (yang menjadi absorber di RBMK ). Yang lebih parah lagi, air ketika dipanaskan (ingat, hasil dari reaksi nuklir adalah energi berupa panas) pastinya akan menguap. Nah, uap air ini tidak bisa menyerap neutron sehingga jika lama-kelamaan semua air menguap, maka kita kini kehilangan satu rem lagi. Lebih parah air, semua air yang menguap itu tak ada gantinya, sebab untuk menyimulasikan pemadaman listrik (sesuai tujuan “safety test” tadi), semua pompa air pendingin dimatikan.

Kini hanya tertinggal Xenon namun seperti kita tahu, jumlah Xenon-pun terbatas sehingga lama-kelamaan pun Xenon yang seharusnya menyerap neutron juga lama-lama berkurang dan habis.

Berarti kini, sama sekali tak ada satu rem-pun yang mampu mengendalikan laju reaktor itu.

Gue tadi sudah menceritakan bahwa pada malam itu, output reaktor naik drastis dari 200 MW menjadi 30.000 MW dalam waktu singkat, menandakan adanya reaksi yang amat cepat di dalam reaktor. Mengapa hal ini terjadi? Well, tadi gue sudah ceritakan, tanpa adanya “rem” dalam reaktor, tentu saja reaksi fisi nuklir akan berjalan tanpa kendali. Tapi kenapa memakan waktu yang begitu singkat? Ini semuanya sebenarnya diakibatkan oleh cacat dalam desain RBMK sendiri. RBMK memiliki apa yang disebut “positive void coefficient”, berlawanan dengan reaktor jenis lain yang biasanya memiliki “negative void coefficient”. Apa artinya itu?

GIF yang menunjukkan kehancuran reaktor Chernobyl

Nah anggap saja (sebagai penggampangan sih) “void” itu adalah “uap air”. Pada reaktor yang memiliki “negative void coefficient”, mereka biasanya memiliki bahan coolant dan moderator yang sama, yakni air berat. Kita ingat, karena RBMK memakai uranium yang tidak diperkaya, maka air sama sekali takkan berguna sebagai moderator, sebab malah akan berfungsi sebaliknya, yakni sebagai absorber.

Ingat, pada reaktor biasa, air (baik air berat ataupun air ringan, seperti pada reaktor yang lebih modern) berperan sebagai moderator yang mampu memperlambat neutron sehingga bisa mempercepat reaksi. Namun pada RBMK , air malah memelankan reaksi dengan menjadi absorber yang mampu menyerap neutron. Pada reaktor biasa, apabila air menguap (karena panas berlebih yang disebabkan oleh reaktor yang “overheating”) maka air itu akan kehilangan kemampuannya sebagai moderator (karena ya tadi, sudah habis menguap). Sebuah reaktor tanpa moderator tentu berdampak pada melambatnya reaksi dalam reaktor tersebut. Inilah yang disebut “negative void coefficient”, jadi reaksi berhenti apabila air berubah menjadi uap air, sehingga secara otomatis reaktor akan mati, alih-alih terus menghasilkan panas.

Hal sebaliknya terjadi dalam RBMK . Air berfungsi hanya sebagai coolant. Akibatnya ketika air menguap, maka reaktor akan kepanasan karena bahan pendinginnya sudah habis. Air juga berperan sebagai aborber (atau “rem” tadi) sehingga ketika air habis, maka reaksi nuklirpun akan malah lebih cepat, alih-alih melambat. Reaksi lebih cepat akan berakibat panas yang dikeluarkan semakin banyak dan reaktor-pun masuk ke dalam sebuah lingkaran setan. Inilah yang disebut “positive void coefficient” yang menyebabkan output reaktor naik drastis (karena begitu banyaknya energi yang dihasilkan).

Sebenarnya bencana ini dapat dengan mudah dicegah apabila para kru di ruang kendali kala itu mengikuti protokol dengan meninggalkan paling tidak 28 tuas kendali (yang tadi berisi absorber sehingga bisa menjadi “rem”) di dalam reaktor. Namun tentu kalian tahu, Anatoly malam itu sudah tak begitu sabarnya hingga ia menarik hampir semua tuas kendali dari dalam reaktor.

Bencana yang sesungguhnya dimulai ketika dalam keadaan darurat, mereka menekan tombol AZ-5 yang memasukkan kembali tuas kendali ke dalam reaktor. Namun ternyata, hal itu malah mengakibatkan bencana yang lebih besar. Lagi-lagi pertanyaannya, mengapa?

Jawabannya kembali ke desain dasar tuas kendali RBMK kembali. Tuas kendali RBMK ternyata tak hanya berfungsi sebagai absorber saja, melainkan juga sekaligus sebagai moderator. Jadi, bagian atas dari tuas kendali merupakan “absorber” berupa boron, sedangkan bagian bawahnya merupakan “moderator” berupa grafit.

Kenapa mereka melakukannya? Jawabannya mudah.

Karena absorber yang dijadikan satu dengan moderator lebih murah.


Detail reaktor RBMK , perhatikan bahwa ujung batang kendali (control rods) terdapat ujung grafit


Bisa bayangkan, ketika mereka menekan tombol AZ-5 yang akan memasukkan semua tuas kendali ke tempatnya kembali, tentu saja yang pertama kali turun adalah moderator grafit yang berada di ujungnya. Ingat, semua reaksi yang gue ceritakan terjadi di “core” atau “inti reaktor”. Jika kita ingin menghentikan atau at least memperlambat reaksi, kita akan menurunkan absorber berupa boron ke dalam inti ini. Namun sebelum kita bisa melakukannya, ujung grafit akan terlebih dulu masuk ke dalam inti, sehingga dengan cepat, terjadi lonjakan energi yang terbayangkan yang pada ujungnya menyebabkan ledakan dahsyat. Peristiwa ini disebut sebagai neutron flux (ketidakseimbangan neutron) yang akhirnya memicu bencana, bak sebuah tombol bom yang ditekan.

Namun ledakan yang terjadi bukanlah ledakan seperti di film-film Hollywood yang dipenuhi bara api. Ledakan yang terjadi sebenarnya terjadi karena perubahan tekanan di dalam reaktor.

Seperti kita tahu, energi yang dihasilkan dalam reaktor adalah energi panas. Sedangkan mengalir di dalam reaktor adalah bergalon-galon air yang nanti diuapkan untuk menggerakkan turbin. Karena di dalam reaktor dihasilkan panas yang begitu besar dalam waktu yang amat singkat, maka seluruh air di dalam reaktor itupun secara tiba-tiba pula berubah menjadi uap air. Ingat uap air adalah gas dan gas memiliki volume yang lebih tinggi ketimbang zat cair, sehingga apabila terjebak dalam sebuah ruang tertutup (seperti sebuah reaktor), maka tentu peningkatan tekanan itu berujung pada ledakan.

Perebdaan RBMK dan reaktor nuklir lain. RBMK hanya memiliki "shielding" sebagai pelindung, namun reaktor jenis lain memiliki pelindung tambahan bernama "containment vessel"


Nah lagi-lagi di sinilah letak kelemahan reaktor RBMK. Reaktor nuklir pada umumnya memiliki pelindung di bagian luarnya yang disebut RPV (Reactor Pressure Vessel) yang berguna untuk menahan materi radioaktif supaya tak terlempar keluar apabila terjadi ledakan. RPV umumnya terbuat dari beton yang diperkuat dengan baja dan tebalnya pun tak main-main, yakni mencapai 1,5 meter. Tapi tentu saja, demi menghemat budget, reaktor tipe RBMK tak memiliki pelindung semacam RPV ini.

Yang lebih celaka lagi, grafit yang menjadi bahan moderator reaktor tipe RBMK (yang lagi-lagi dipilih karena lebih ekonomis) merupakan bahan yang sangat mudah terbakar (kalian mungkin masih ingat saat gue menjelaskan tentang channel Ann Reardon dimana ada adegan dalam salah satu videonya yang menunjukkan bagaimana grafit bisa terbakar di dalam oven).

Akibatnya tentu bisa dibayangkan, yakni bencana yang kita sebut sebagai Bencana Chernobyl yang nyaris saja menyapu seluruh kehidupan di Eropa.

BERSAMBUNG ...


SUMBER: WIKIPEDIA, USER.OWT


A VERY SPECIAL THANKS TO:

Aulia Pratama Putri

별처럼 우리 빛나

SPECIAL THANKS TO MY SUPPORTER THIS APRIL:

Sinyo Kulik , Singgih Nugraha , Adhitya Sucipto , Rahadian Pratama Putra , Radinda , Kinare Amarill , Maulii Za , Rara , Sharnila Ilha , Victria tan , Ali Hutapea , Keny Leon , Rosevelani Manasai Budihardjo , Marcella F , Tieya Aulia , PJ Metlit , Marwah , Dana Xylin , Paramita . Amelia Suci Wulandari . Rivandy , Syahfitri , Dyah Ayu Andita Kumala , Fitriani , Ilmiyatun Ainul Qolbi , Ciepha Ummi , Riani Azhafa


7 comments:

  1. Part 2 nya kapan bg..

    ReplyDelete
  2. Bang Dave, bisa gak bang Dave juga jelaskan soal naiknya tingkat penyebaran covid di India soalnya lagi hangat

    ReplyDelete
  3. Bangdep : menjelaskan reaksi kimia sampai berbusa2

    Me : nyekip bagian penjelasan

    Ampun bsngdep, otakku g mampu, drpd ntar hamba batal puasa :((

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo di-skip mulu trus lu kapan pinter nya Hyung? 😒
      Kek gue dong, tetep baca walaupun gak paham 😂😂

      Delete
  4. Bangdep o bangdep, apakah ini diposting dalam rangka mengenang 35 tahun tragedi Chernobyl?

    *Be2c cuec*

    ReplyDelete
  5. aku yang awam masalah fisika, bener2 ngerti banget.. ditunggu lanjutannya bangg hehe

    ReplyDelete