Sunday, April 25, 2021

WABAH BLACK DEATH: EUROPE’S DARKEST HISTORY

Postingan ini dibuat atas rekomendasi: Kinare Amarill. Thanks!

Kita semua pasti pernah mendengar tentang wabah Black Death, serbuan penyakit mematikan yang mengukir sejarah sebab menewaskan hingga separuh populasi Eropa. Karena kala itu sang Benua Biru tersebut masih berada dalam era kegelapan yang disebut sebagai “Dark Age”, maka berbagai takhyul pun menghantui wabah tersebut. Kepercayaan primitif yang dianut penduduk Eropa menyebabkan rendahnya ilmu medis yang mereka kuasai kala itu (beda banget dengan kondisi sekarang dimana benua mereka amat maju dan memimpin dunia sains dan kedokteran) sehingga tak ayak, jumlah korbanpun mencapai puluhan hingga bahkan ratusan juta, angka yang masih mencengangkan bahkan oleh standar modern saat ini.

Kita semua mungkin sudah tahu bahwa Black Death disebabkan oleh wabah pes yang disebarkan oleh tikus, namun bagaimana kisah lengkapnya hingga wabah tersebut bisa tiba di Eropa dan mencabut nyawa begitu banyak orang? Bagaimana pula kaitan wabah tersebut dengan persiapan kita menghadapi wabah modern saat ini, seperti Coronavirus.

Dear readers, please enjoy our Dark History.


JUSTINIAN PLAGUE: THE FIRST SNAP

Gambar para penderita wabah Black Death


Wabah yang sekarang kita sebut sebagai Black Death terjadi antara 1346-1353 (atau pertengahan abad ke-14 dan menyebabkan kematian dari 75-200 juta penduduk Eropa kala itu. Tak heran karena tingginya angka kematian kala itu (disebut-sebut 30-60% populasi Eropa menemui ajal akibat penyakit ini), peristiwa ini tentu mengubah arus sejarah Eropa dengan teramat drastis.

Ada beberapa fakta menarik tentang Black Death ini yang mungkin tak banyak diketahui orang. Pertama, banyak orang menyebut wabah Black Death terjadi di Eropa. Tapi kenyataannya, wabah tersebut menyapu populasi di tiga benua sekaligus, yakni Afrika, Eropa, bahkan Asia. Ya, Black Death sesungguhnya tak hanya menyerang Eropa saja, melainkan hingga Afrika Utara, Timur Tengah, bahkan sejauh China. Dengan demikian, wabah tersebut tak hanya membunuh kaum kulit putih di benua Kristen tersebut, namun juga kaum Muslim yang cukup signifikan di Abad Pertengahan.

Fakta kedua yang mungkin juga cukup mencengangkan, ternyata wabah Black Death ini bukanlah yang pertama terjadi di Eropa. Bahkan wabah Black Death sering disebut sebagai “The Second Plague” atau pandemi gelombang kedua yang pernah menimpa sejarah Eropa. Lalu kapan pandemi gelombang pertama pernah terjadi?

Pada masa pemerintahan Kaisar Romawi Timur Justinian inilah wabah pertama terjadi

The First Plague” terjadi pada masa Kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) yang kini berlokasi di Turki. Kala itu wabah tersebut dinamai “Justinian Plague” atau Wabah Justinian. Nama itu berasal dari Kaisar Romawi yang tengah memerintah kala itu, yakni Justinian I. Yang mengejutkan, sang kaisar sendiri terinfeksi oleh wabah mematikan tersebut, namun beruntung berhasil selamat. Jika seorang kaisar (yang tentu bergelimpangan makanan, memiliki dokter-dokter pribadi, serta memiliki kediaman yang tak hanya megah namun juga bersih dan terjaga) bisa terkena penyakit ini, bayangkan apa yang menimpa para kaum rakyat jelata. Seorang sejarawan bernama Procopius pada tahun 542 mencatat bahwa setiap harinya sekitar 10 ribu penduduk kota Konstantinopel (kini disebut Istanbul) meninggal setiap harinya akibat wabah tersebut, sehingga mayat-mayatpun menumpuk di jalanan tanpa terurus.

Penyebabnya diduga adalah tikus yang menyusup di kapal-kapal yang mengangkut gandum ke Konstantinopel kala itu. Sebagai ibu kota Kekaisaran Byzantium, tentu saja Konstantinopel memiliki jumlah penduduk yang amat banyak sehingga perlu mengimpor gandum untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka. Celakanya, gandum tentu saja menarik para tikus yang akhirnya menyebarkan penyakit tersebut. Penyakit pes sendiri sebenarnya bukanlah ditularkan oleh binatang tikusnya, melainkan kutu yang tinggal di tubuh tikus. Kutu-kutu itu membawa bakteri bernama Yersinia pestis di dalam usus mereka. Apabila kutu-kutu itu berpindah dari tikus ke tubuh manusia dan menghisap drah kita, maka bakteri itupun akan masuk ke tubuh manusia dan menyebabkan penyakit pes.

Jumlah korban tewas akibat wabah Justinian cukup mencengangkan, yakni hingga mencapai angka 15-100 juta orang atau sekitar 25-60% populasi Eropa kala itu. Wabah mengerikan itu tentu tercatat di sejarah Eropa sebagai salah satu bencana terburuk yang pernah menimpa mereka. Namun siapa duga, bencana dengan skala lebih mencengangkan terjadi sekitar 8 abad kemudian.


BLACK DEATH: THE SECOND SNAP

Lukisan yang menggambarkan warga Eropa berbondong-bondong menguburkan para korban wabah Black Death

Masih menjadi kontroversi darimana dan kapan wabah ini dimulai, namun para sejarawan seakan sepakat bahwa wabah Black Death pertama kali disebutkan di Crimea (semenanjung antara Ukraina dan Rusia) di Laut Hitam pada 1347. Kala itu diduga wabah itu terbawa oleh tikus-tikus yang menyusup ke dalam kapal dagang yang menuju ke Genoa, Italia. Di sepanjang perjalanan, wabah tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh benua Eropa.

Dari wilayah Crimea, kapal bertujuan Genoa itu mendarat sementara di Konstantinopel, dimana wabah tersebut “turun kapal” dan menyebar dengan cepat, bahkan membunuh sang kaisar muda penguasa Kekaisaran Byzantium kala itu. Kala tersebut kemudian berlayar ke Pulau Sisilia di Italia pada 1347 dan menyebabkan kematian dahsyat di populasi pulau tersebut. Kapal tersebut kemudian mencapai Genoa dan Venesia yang terletak di tepi laut, namun penyakit tersebut kemudian berhasil menyebar hingga ke pedalaman seperti kota Pisa, Italia. Dari Italia, wabah tersebut kemudian menyebar lebih luas ke Prancis dan Spanyol, Inggris, Jerman hingga Skandinavia (Eropa Utara).

Namun seperti gue sebutkan tadi, tak hanya populasi Eropa yang terpengaruh wabah itu, namun juga populasi Muslim. Pada 1347, wabah itu menyebar ke Alexandria, Mesir melalui kapal yang berlayar dari Konstantinopel. Setahun kemudian, wabah itu mencapai Kairo yang kala itu menjadi ibu kota Kesultanan Mamluk yang tak hanya menjadi pusat peradaban Islam kala itu, namun juga kota terbesar di wilayah Mediterania. Tercatat, separuh penduduk Kairo tewas akibat wabah itu. Black Death kemudian mencapai wilayah Gaza dan akhirnya meneror Timur Tengah. Pada 1347 wabah itu meneror tanah suci Yerusalem. Bahkan kota suci Mekah pun tak lolos dari wabah mematikan tersebut.

Mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan merupakan pemandangan biasa kala wabah Black Death berkecamuk di tiga benua sekaligus: Eropa, Asia, dan Afrika 

Oleh para penduduk E.ropa yang terinfeksi penyakit pes kala itu, mereka awalnya menyebutnya sebagai “bubonic plague”. Bubonic adalah sebutan bagi benjolan di sekitar ketiak dan selangkangan. Wilayah tubuh tersebut sesungguhnya merupakan lokasi terdapatnya kelenjar limfa yang berfungsi untuk kekebalan tubuh kita. Ketika tubuh kita terinfeksi penyakit, kelenjar limfa akan membengkak supaya menghasilkan lebih banyak sel darah putih untuk memerangi penyakit. Karena penyakit pes disebabkan oleh serangan bakteri, maka masuk akal apabila gejala pertama penyakit tersebut adalah membengkaknya bagian tubuh tersebut.

Namun lama-kelamaan, wabah Bubonic mendapatkan nama baru yang lebih “jahat”, yakni “Black Death” atau “Kematian Hitam”. Kata tersebut berasal dari gejala lain penyakit ini, yakni jari-jari tangan menghitam karena jaringannya mati. Gejala lain dari penyakit ini adalah demam hingga mencapai 38-41 derajat Celcius, pusing, nyeri sendiri, muntah dan mual, merasa lemas, bahkan muntah darah. Gejala lain adalah adanya ruam kemerahan yang sesungguhnya adalah bekas gigitan kutu yang membawa penyakit tersebut. Jika tidak sesegera mungkin dirawat, 80% penderitanya akan mati dalam kurun waktu hanya 8 hari.


THE RISE OF THE PLAGUE DOCTOR

Bakteri inilah yang menyebabkan penyakit Black Death, namun karena keterbatasan teknologi dan pemahaman masyarakat Eropa kala itu, merekapun bergantung pada hal-hal gaib berbau supranatural untuk menjelaskan asal-muasal wabah yang menyerang mereka

Kembali ke Eropa, kehidupan rakyat benua tersebut yang awalnya sudah cukup susah akibat berkecamuknya Dark Age menjadi semakin menderita. Dark Age (Masa Kegelapan) merupakan era dimana ilmu pengetahuan (sains) dianggap “tabu” dan masyarakat hidup dalam segala keterbatasan. Akibatnya mereka harus menghadapi wabah Black Death dengan cara primitif pula, yang bak lingkaran setan, semakin menambah korban jiwa. Masyarakat yang masih didera takhyul percaya bahwa wabah Black Death sesungguhnya disebabkan oleh “miasma” atau “udara jahat” yang dipenuhi berbagai roh halus dan iblis yang ingin mencelakakan manusia.

Rumor itu semakin dipercaya karena udara kala itu memang berbau busuk akibat mayat-mayat yang dibiarkan teronggok (karena kurangnya tenaga untuk mengubur mereka) dan menguarkan aroma tak sedap. Mereka percaya, apabila mereka menghirup “udara jahat” yang dipenuhi iblis tersebut, maka merekapun akan sakit dan mati. Takhyul ini bahkan dipercaya oleh para dokter kala itu sehingga merekapun mengembangkan sebuah “busana” yang kemudian disebut sebagai busana “plague doctor”.

Para plague doctor mengenakan topeng aneh berbentuk paruh burung. Konon, bagian “paruh” tersebut berongga dan diisi oleh bebungaan sehingga alih-alih mencium bau mayat, mereka akan menghirup aroma wangi yang dipercaya berkhasiat mengusir “roh-roh halus” tersebut. Tak hanya itu, mereka juga menutup seluruh tubuh mereka, bahkan mengenakan jubah, untuk meminimalisir kontak dengan udara yang mereka anggap “jahat” tersebut. Ketika memeriksa para pasiennya, para “plague doctor” ini juga akan menggunakan sebuah tongkat untuk mencegah mereka menyentuh korban secara langsung.

Para dokter di zaman Eropa kuno mengenakan busana tak biasa ini yang ternyata efektif menangkal wabah Black Death

Walaupun hanya berlandaskan takhyul belaka, namun pada nyatanya kostum “plague doctor” ini berhasil menghindarkan para dokter untuk tidak tertular penyakit tersebut. Alasannya tentu bisa dipahami, sebab para dokter tersebut secara tak sadar telah mengenakan busana APD “primitif”. Dengan menutup seluruh tubuh mereka (termasuk mengenakan topeng), mereka sebenarnya meminimalisir kontak dengan kutu-kutu pembawa wabah pes sehingga mereka tak bisa mendarat di kulit mereka dan menggigit mereka. Dengan menggunakan tongkat untuk menyentuh para korban, mereka juga meminimalisir kontak dengan para penderita wabah pes sehingga takkan mudah tertular.

Keberadaan wabah Black Death tentu mencabik-cabik kehidupan di Eropa hingga hampir tak bersisa. Di kota-kota sepanjang benua tersebut, sangatlah tidak mengherankan jika nyawa separuh populasi kota lenyap akibat wabah tersebut. Kota Paris semisal, kehilangan 50% warganya akibat penyakit tersebut. Kota-kota lain seperti Florence (Italia) dan London (Inggris) kehilangan hingga 60% warganya. Bahkan Jerman melaporkan kehilangan hingga 80% warganya akibat berkecamuknya pandemi tersebut.

Uniknya, seperti berita yang sering kita dengar akhir-akhir ini tentang banyaknya dokter dan perawat yang meninggal akibat Coronavirus karena bekerja sebagai garda terdepan, hal yang sama juga bisa diamati pada wabah Black Death. Tercatat, angka kematian tertinggi dialami oleh kalangan pendeta, biarawan, dan juga biarawati (suster) karena biasanya merekalah yang dengan sukarela merawat para korban wabah.


BLACK DEATH VS CORONAVIRUS?

Bencana Black Death menyapu separuh populasi Eropa dan membuat penduduk benua biru itu kelimpungan

Wabah Black Death yang dimulai pada 1347 telanjur menelan korban hingga 50% penduduk Eropa hingga tentu menimbulkan kedukaan teramat dalam bagi warga yang berhasil selamat, namun harus kehilangan orang-orang tercinta mereka (bayangin aja snap Thanos tapi terjadinya di Eropa kuno dan mereka yang udah hilang nggak kembali lagi kayak di Wandavision). Namun seorang dokter bernama Raimundo yang bertugas di Vatikan merawat Paus kala itu mengamati sebuah fenomena dimana wabah tersebut berangur-angsur menghilang hingga akhirnya pada 1382, ia mengamati bahwa wabah itu kini hanya menyerang anak-anak.

Kala itu ia belum menyadari bahwa ia mengamati sebuah gejala “herd immunity” dimana mereka yang selamat (setelah kejadian “snap” dahsyat tersebut) adalah mereka yang sebenarnya kebal terhadap penyakit pes. Populasi yang kebal akhirnya akan lebih banyak ketimbang yang tidak kebal (karena kebanyakan mereka sudah mati) sehingga sebagian besar warga Eropa yang tersisa kini memiliki imunitas terhadap penyakit pes. Karena populasi yang kebal lebih banyak, maka merekapun secara tidak langsung melindungi minoritas populasi yang kurang kebal. Itulah yang disebut sebagai “herd immunity” atau “kekebalan kawanan”.

Namun setelah wabah Black Death berlalu, apa kini akibatnya? Well, akibatnya ternyata amat buruk bagi kaum Yahudi sehingga merekapun mengalami Holocaust, jauh sebelum hal yang sama menimpa mereka pada masa Perang Dunia II. Masyarakat yang masih percaya takhyul kini menganggap bahwa kaum Yahudi merupakan dalang di balik semua kesusahan yang mereka alami. Kaum Kristen kala itu memang amat membenci kaum Yahudi (karena di Injil-pun, kaum Yahudi-lah yang menangkap Yesus dan meminta supaya Yesus dihukum mati).

Salah satu dampak tak terduga akibat Black Death kala itu adalah persekusi terhadap kaum Yahudi yang dianggap menyebarkan penyakit itu. Pada lukisan ini, para warga Yahudi dibakar hidup-hidup oleh penduduk Kristen Eropa

Trend untuk menyalahkan kaum minoritas tertentu dari ras berbeda ini juga ekuivalen dengan yang terjadi selama wabah Coronavirus ini dimana para warga keturunan Asia (terutama di Eropa dan Amerika Serikat) dimusuhi karena dianggap menyebarkan wabah tersebut. Akibatnya, warga Yahudi dibantai secara besar-besaran di seluruh Eropa. Uniknya, lagi-lagi (jika kita melihat sejarahnya secara mundur), peristiwa pembantaian besar-besaran ini umumnya terjadi di Jerman. Tak jarang, akibat perilaku ini, seluruh populasi Yahudi di kota-kota Jerman lenyap seluruhnya.

Lalu apakah ada dampak positif Black Death terhadap penduduk Eropa? Ternyata ada. Banyak sejarawan yang menganggap bahwa Black Death menyebabkan penduduk Eropa merasa kapok dan ogah untuk terus hidup di Dark Age dengan segala kemunduran teknologi mereka (terutama di Italia dimana wabah tersebut bermula dan menyebabkan banyak kematian). Bangsa Eropa yang berusaha mencapai kehidupan lebih baik akhirnya mendengungkan gerakan “Renaissance” pada abad ke-15 (hanya seabad setelah Black Death) yang merupakan kebangkitan sains dan seni di Eropa, yang akhirnya membawa peradaban mereka menjadi semaju dan semodern sekarang.

Karantina kesehatan yang kita jalani sata ini rupanya berakar dari wabah Black Death di Eropa hampir 600 tahun lalu

Tak hanya itu, wabah Black Death juga menciptakan istilah baru yang pastinya tidak asing di telinga kita saat ini, yakni “karantina”. Alkisah penduduk kota Ragusa kala itu paham bahwa wabah Black Death, uniknya sama seperti wabah Coronavirus, menyebar karena fenomena globalisasi. Contohnya, wabah Coronavirus disebabkan oleh warga-warga dunia yang kerap berpergian menggunakan pesawat terbang, sehingga menyebarkan wabah itu secara luas ke seluruh dunia. Di abad ke-14 Eropa kuno, ternyata hal yang sama juga terjadi. Wabah Black Death disebarkan oleh kapal-kapal dagang yang berlayar dari negara lain yang terinfeksi dan menyebarkannya ke seluruh benua Eropa.

Warga Ragusa akhirnya menerapkan hukum baru dimana kapal yang baru datang harus diisolasi (artinya baik kru kapal maupun barang-barang dari kapal dilarang untuk turun) selama 30 hari. Apabila setelah 30 hari kru kapal tersebut tidak menunjukkan gejala sakit, maka mereka diperbolehkan turun. Tradisi tersebut ditiru oleh kota-kota lain, namun mereka memperpanjang masa isolasi tersebut menjadi 40 hari. Angka “40” dalam bahasa Italia adalah “quarantino” yang akhirnya diserap oleh bahasa Inggris menjadi “quarantine” dan akhirnya menjadi “karantina” dalam Bahasa Indonesia.

Kita tentu sudah tahu betapa dahsyatnya wabah Black Death pada abad ke-14 yang sudah membunuh ratusan juta jiwa atau separuh populasi Eropa, namun bagaimana dengan sekarang? Apakah Black Death masih menjadi ancaman? Well, percaya atau tidak, Black Death di Eropa bukanlah sebuah akhir. Celakanya pada abad ke-19, terjadi “The Third Plague”, sebuah pandemi penyakit pes yang kali ini melanda China dan India dan menewaskan 10-15 juta jiwa. Namun jangan khawatir, kini angka kematian akibat Black Death amat rendah hingga 200 jiwa per tahun karena kini sudah dikembangkan antibiotik untuk membunuh bakteri Yersinia pestis penyebab penyakit pes ini.

Tapi akhir dari artikel ini akan membawa kita ke artikel berikutnya. Kita kembali ke Crimea dimana semua wabah yang mencabut nyawa jutaan orang berasal. Ternyata ada satu sosok sejarah yag ternyata menyebabkan wabah ini bermula di Crimea. Karena kebengisannya inilah, ia dikenal tak hanya (secara tak langsung) menyebabkan kematian separuh penduduk Eropa, namun juga membasmi hingga 10% populasi dunia.

Namanya adalah Jengis Khan.

SUMBER: WIKIPEDIA (Black Death), WIKIPEDIA (Plague of Justinian )


A VERY SPECIAL THANKS TO:

Aulia Pratama Putri

별처럼 우리 빛나

SPECIAL THANKS TO MY SUPPORTER THIS APRIL:

Sinyo Kulik , Singgih Nugraha , Adhitya Sucipto , Rahadian Pratama Putra , Radinda , Kinare Amarill , Maulii Za , Rara , Sharnila Ilha , Victria tan , Ali Hutapea , Keny Leon , Rosevelani Manasai Budihardjo , Marcella F , Tieya Aulia , PJ Metlit , Marwah , Dana Xylin , Paramita . Amelia Suci Wulandari . Rivandy , Syahfitri , Dyah Ayu Andita Kumala , Fitriani , Ilmiyatun Ainul Qolbi , Ciepha Ummi , Riani Azhafa


2 comments:

  1. Pengetahuanku bertambah soal sejarah Black Death, gomawo bang Dave 💕

    ReplyDelete