Mungkin kalian udah nggak asing lagi ya ama gerakan BLM atau “Black Lives Matter” di Amerika sana dimana para penduduk kulit hitam mengaku mereka senantiasa mendapatkan diskriminasi dari penduduk kulit putih, bahkan sering menjadi korban kekerasan polisi. Namun apa benar semua klaim tersebut? Benarkah kehidupan kaum kulit hitam di sana begitu menggenaskan.
Nah, gue akan kenalkan kalian pada sebuah skandal bernama "Eksperimen Sifilis Tuskegee", yakni sebuah eksperimen tak beretika dan tak bermoral yang dilakukan pemerintah AS terhadap penduduk kulit hitam dengan dali “penelitian sains”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengamati riwayat penyakit sifilis yang tidak diobati. Mungkin kedengaran mulia ya, akan tetapi cara pemerintah AS melakukan eksperimen tersebut sungguhlah tak berperikemanusiaan.
Seperti apa ceritanya? Mari kita simak bersama dalam Dark History kali ini.
NB: Jangan harap kasusnya kayak “Russian Sleep Experiment” yeeee, nggak sesadis itu kok.
THE EVIL SCIENTISTS
"Eksperimen Tuskegee" dicetuskan oleh “The Public Health Service” atau PHS (kalo di sini Kemenkes lah) pada tahun 1932 dengan bekerja sama dengan Institut Tuskegee, sebuah perguruan tinggi di Alabama. Dalam studi tersebut, para peneliti mendaftarkan total 600 petani keturunan kulit hitam dari golongan ekonomi lemah dari Macon County, Alabama. Sekitar 399 di antaranya menderita sifilis dan 201 pria lainnya yang tidak terjangkiti penyakit ini (sehat) dijadikan kontrol. Sebagai insentif bagi mereka yang sudi berpartisipasi dalam penelitian ini, para pria ini dijanjikan perawatan medis gratis.
Kedengarannya memang menggiurkan kan, pasalnya di Amrik sana (hingga kinipun) nggak ada layanan kesehatan murah (bahkan gratis) seperti BPJS dan JKN-KIS. Layanan kesehatan di sana, seperti rumah sakit dan farmasi dipegang oleh korporat (baca: keparat) besar seperti perusahaan medis dan produsen obat-obatan yang membebankan biaya besar untuk perawatan kesehatan, sebuah ciri khas kapitalisme. Untuk menghindari biaya berat tersebut, kebanyakan memiliki asuransi kesehatan, tapi harga preminya juga tak murah. Oleh karena itu, layanan kesehatan “gratis” bagi para penduduk miskin berkulit hitam ini tentu bagi mereka bak dirundung durian runtuh.
Namun apakah pemerintah kapitalis benar-benar bersungguh-sungguh dalam janjinya yang terdengar dermawan tersebut?
Tentu tidak.
Para korban yang diiming-imingi perawatan kesehatan itu sesungguhnya tengah ditipu oleh PHS. Mereka sebenarnya tak pernah berusaha mengobati penyakit sifilis mereka. Obat-obatan yang mereka berikan pun hanya plasebo (obat palsu) yang disamarkan, serta proses “pengobatan” yang mereka lalui hanyalah prosedur diagnostik semata (tapi tentu, karena mereka bukan dokter atau petugas kesehatan, mereka sama sekali tidak paham). Tujuan percobaan tersebut, bagi pemerintah Amerika, bukanlah untuk mengobati mereka, melainkan untuk melihat seperti apa gejala dan dampak siflis berkepanjangan pada tubuh manusia.
Celakanya, prosedur yang sama sekali tidak manusiawi ini berlangsung hingga 40 tahun. Dengan kata lain, selama 40 tahun, para pasien tersebut dibiarkan hidup menderita karena penyakit mereka. Bahkan, pihak pemerintah tak ingin mereka sembuh, sebab akan menghalangi tujuan awal penelitian mereka.
Padahal kala itu, dunia kedokteran Barat sudahlah sedemikian canggih. Para dokter yang bekerja untuk riset medis tersebut tahu benar bahwa sifilis sesungguhnya dapat diobati dengan mudah menggunakan antibiotik. Perlu kalian ketahui, penyakit sifilis merupakan penyakit mematikan yang dapat menyebabkan kebutaan, tuli, penyakit jiwa, penyakit jantung, kerusakan tulang, kerusakan sistem saraf pusat, hingga kematian.
Para pasien yang menjadi subjek penelitian juga kebanyakan tak tahu bahwa mereka menderita sifilis karena rendahnya pendidikan mereka. Sebaliknya, para korban ini diberitahu bahwa mereka sedang dirawat karena anemia dan menderita penyakit “darah kotor”.
Yang lebih parah lagi, sifilis merupakan penyakit seksual menular sehingga para korban tak tahu bahwa penyakit mereka bisa menulari istri mereka. Bahkan, jika tak ditangani, penyakit tersebut dapat menular ke janin yang dikandung ibu yang mengidap sifilis dan menyebabkan bayi lahir cacat dan mengalami deformasi.
Yang lebih membuat geram lagi, eksperimen ini sesungguhnya hampir saja terbongkar pada 1940-an. Selama Perang Dunia II, 256 dari subjek penelitian yang terinfeksi diwajibkan mendaftar untuk wajib militer. Pihak militer AS kemudian akibatnya menolak mereka karena didiagnosis menderita sifilis dan merekapun diperintahkan untuk mendapatkan pengobatan. Akan tetapi para peneliti PHS menghalang-halangi agar orang-orang itu untuk diobati, tentu demi melancarkan eksperimen mereka.
Penelitian Tuskegee barulah dihentikan pada 1972, namun bukan karena pemerintah yang didominasi kulit putih tiba-tiba memiliki hati nurani, namun karena terjadi kebocoran hingga pers mencium skandal tersebut. Namun terkuaknya aib memalukan ini bisa dibilang terlambat, sebab eksperimen ini sudah menyebabkan kematian 128 pesertanya, tentu saja karena penyakit sifilis mereka tidak ditangani. Tak hanya itu, sekitar 40 istri dari para subjek penelitian juga tertular penyakit tersebut (padahal penyakit ini mudah dihindari dengan cara penggunaan kondom, yang lagi-lagi tidak diinformasikan pada mereka) dan menyebabkan 19 anak mereka lahir dengan sifilis.
BLACK AND WHITE
Para korban eksperimen Tuskegee yang tak hanya berkulit hitam, tapi dari golongan tak punya bahkan buta huruf |
Eksperimen Tuskegee, apalagi berjalan selama 40 tahun, merupakan pelanggaran besar yang sangat parah terhadap standar etika kedokteran, bahkan bisa dibilang melanggar HAM. Pada 16 Mei 1997 (yap, hampir 30 tahun setelah terbongkar), barulah pemerintah AS di bawah pimpinan Presiden Bill Clinton secara resmi meminta maaf kepada para korban penelitian, menyebutnya tragedi memalukan nan rasis. Lima dari delapan korban eksperimen yang masih hidup menghadiri upacara di Gedung Putih tersebut. Sebelumnya, pada tahun 1974, Pemerintah AS mencoba bertanggung jawab dengan membayar $10 juta (750 M rupiah) dan setuju untuk memberikan perawatan medis gratis kepada peserta dan anggota keluarga mereka yang masih hidup.
Namun semua mungkin sudah terlambat. Penelitian statistik terakhir menunjukkan trend mengkhawatirkan bahwa mayoritas kaum kulit hitam yang miskin merasa curiga pada pemerintah dan menolak untuk mencari perawatan rutin yang mampu mencegah gejala penyakit yang mereka derita. Bahkan, sebuah survei tahun 1999 menunjukkan bahwa 80% pria keturunan kulit hitam para korban dalam penelitian ini telah disuntik dengan sifilis secara sengaja. Padahal hal tersebut adalah hoax karena para peserta Eksperimen Tuskegee dipilih karena mereka sedari awal sudah menderita sifilis. Namun trend ini jelas menunjukkan ketidakpercayaan warga minoritas terhadap layanan kesehatan pemerintah.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah ini berdampak amat buruk, terutama selama pandemi HIV/AIDS pada tahun 1980-an. Beredar hoax di komunitas kulit hitam bahwa pemerintah AS sengaja menginfeksikan virus AIDS ke komunitas kulit hitam sebagai semacam eksperimen. Yang lebih mengejutkan, ternyata para kaum rasis kulit putih ini sama sekali tak belajar dari pengalaman. Tercatat pada 2019, terkuak bahwa Universitas Johns Hopkins, Bristol-Myers Squibb, dan Yayasan Rockefeller mengadakan eksperimen serupa kepada warga Guatemala.
Kisah Tuskegee yang tragis menjadi bukti bahwa kaum kulit hitam senantiasa menjadi korban rasisme dari kaum kulit putih yang menganggap mereka lebih superior. Buktinya mengapa eksperimen ini tidak dilakukan pada kaum kulit putih? Alabama juga dikenal sebagai “Southern States” alias negara-negara bagian di Amerika Serikat bagian selatan yang mendukung perbudakan kulit hitam pada masa Perang Sipil, sehingga tentu rasisme di sana lebih kental terhadap kaum yang berbeda warna kulit. Aksi rasisme di bidang penelitian medis seperti ini juga sudah berurat berakar di “Southern States”, bahkan ada budaya di sana untuk merampok makam kulit hitam demi menyediakan mayat untuk dibedah para mahasiswa kedokteran.
Namun benarkah semua kekejian ini memang berkaitan dengan warna kulit? Warga kulit hitam selalu menajdi korban tak bersalah dan warga kulit putih senantiasa menjadi penjahatnya?
Para korban Tuskegee ngobrol dengan Suster Eunice yang tega "menjual" mereka |
Ada nama seorang suster bernama Eunice Rivers yang menjadi penghubung para korban-korban ini kepada para dokter di PHS. Menyaru bak sosok malaikat, Eunice bertugas mempromosikan dan menarik hati para partisipan. mereka. Bahkan ketika ada subjek yang meninggal, Eunice kemudian meyakinkan keluarga untuk menandatangani perjanjian otopsi dengan imbalan pemakaman gratis. Tentu otopsi itu selain dilakukan untuk “perkembangan ilmu pengetahuan”, juga untuk menyembunyikan jejak mereka.
Berlawanan dengan Eunice yang tega menjerat para korban yang tak tahu apa-apa, beberapa dokter PHS yang masih memiliki moral justru mengkritik penelitian tersebut, antara lain Dokter Austin V. Deibert dan Albert P. Iskran. Salah satu “pembangkang” lain yang juga menentang penelitian itu adalah Count Gibson, seorang profesor di Medical College of Virginia yang menyatakan prihatin atas penelitian yang tak etis itu. Irwin Schatz, seorang dokter muda Chicago yang baru lulus empat tahun dari sekolah kedokteran, juga terhenyak ketika membaca artikel tentang penelitian ini di jurnal medis dan langsung terusik hati nuraninya. Ia konon menulis surat langsung kepada pihak peneliti untuk menghentikannya, yang tentu sama tak ditanggapi oleh mereka.
Namun pahlawan utama cerita ini adalah seorang anggota PHS sendiri bernama Peter Buxtun yang mengirim surat kepada atasannya tentang keprihatinannya atas etika dan moralitas Eksperimen Sifilis Tuskegee tersebut, namun justru dibalas bahwa eksperimen yang “amat penting” ini baru akan dihentikan setelah semua subjek meninggal dan diotopsi. Karena jyjy, Buxtun akhirnya keluar dari pekerjaannya dan beralih ke dunia pers pada awal 1970-an. Ia-lah yang pertama kali membocorkan Eksperimen Tuskegee kepada publik hingga akhirnya heboh dan nongol di halaman depan koran New York Times
Bedanya? Eunice adalah wanita berkulit hitam, sedangkan lima dokter yang menentang penelitian tersebut adalah kulit putih. Well, mungkin ini sudah saatnya ya buat nggak memandang seseorang cuma dari penampakan fisiknya saja (semisal warna kulit) dan lebih ke hati nurani serta perbuatan mereka.
Warisan terakhir Tragedi Tuskegee adalah salah satu plot komik Captain America yang juga didaptasi ke dalam “Falcon and Winter Soldier” tentang Isaiah Bradley, sang kapten Amerika yang tak diakui oleh pemerintah AS karena warna kulitnya. Ia juga menjadi korban ekperimen serum manusia super, sama seperti kisah Eksperimen Tuskegee.
ARTIKEL INI DIPERSEMBAHKAN BUAT PARA PENDUKUNG KARYAKARSA SETIA GUE
BULANG DESEMBER INI:
Radinda
Ananda Nur Fathur Rohman Prast
Junwesdy Sinaga
DAN TERIMA KASIH SEBESAR-BESARNYA BUAT SEMUA
PENDUKUNG KARYAKARSA BULAN JANUARI INI:
Jesica Audrey Tarigan, Latif Hidayah, Riani Azhafa,
Louis Adrian, Dyah Ayu Andita Kumala, Lydia Pransiska, Tanti Patria Putri, Rahmayanisma,
Agatha Miriam, Nadia Hayyu Furuhita, Sharnila Ilha, Maryati Ningsih, Alief Rahmansyah,
Maulii Za, Nang Fahri, Ciepha Ummi, Yoonji Min, Popy Saputri, Keny Leon, Millennio
Salsabil, Silmi Nabila, Elliot Beilschmidt, Rivandy, Fitriani, dan Adhitya Sucipto.
Jahat banget sumpaaaah, kok ada orang yang setega itu. Dia gak gemetar atau ngerasa bersalah apa ya pas bohong sama ngelakuin kejahatan tsb. ToT
ReplyDeleteGilaaaaaaaaaa gada akhlak 🖕🏼
ReplyDeletengeri banget sih
ReplyDelete