1. PARANORMAL ACTIVITY: NEXT OF KIN (2021)
Gue sih nggak banyak berharap banyak ketika tahu “Paranormal Activity” mau direboot, soalnya walaupun dimulai sebagai salah satu film “breakthrough” dalam dunia film found footage, kini “Paranormal Activity” hanya berujung menjadi franchise instant cash-grabbers semata yang minim kualitas dan inovasi. Apalagi trailer film ini udah ngecewain duluan, soalnya hanya memakai teknik kamera found footage biasa, udah nggak lagi bercerita menggunakan media CCTV yang menurut gue udah menjadi ciri khas dan “jiwa” franchise ini.
Film ini menceritakan seorang gadis yang diadopsi sejak kecil dan suatu hari menemukan “next of kin”-nya alias saudara terdekatnya. Ketika sang gadis bersama dua temannya kembali ke rumah keluarga kandungnya, maka bencanapun dimulai yang membuatnya menyadari, tak seharusnya ia kembali.
Film ini bisa gue bilang adalah versi found footagenya “The Village” dicampur “The Hereditary”, tapi jangan seneng dulu, kualitasnya pas-pasan kok. Yah, main aman lah tanpa ada satupun keberanian buat nampilin sesuatu yang beda. Ceritanya standar banget dan yang memalukan, masih ngandalin jump scare berupa suara yang keras buat mengagetkan penontonnya. Bisa dibilang, hanya satu adegan aja di klimaksnya (yang mungkin cuma berjalan semenit) yang mungkin bisa dianggap baru dan gue apresiasi. Selebihnya, well, mediocre banget.
Lagi-lagi sebuah entri membosankan dari sebuah franschise yang awalnya menjanjikan, gue kasih film ini skor 2 CD berdarah.
2. CAPTIVE (2020)
Film yang cukup unik hanya memiliki dua tokoh utama (maksimal 5 lah kalo ditambah dengan para pemeran pendukung yang munculnya paling 2 menitan) yakni seorang gadis yang melarikan diri dari keluarganya yang abusif, hanya untuk bertemu dengan seorang pria tak waras yang menyekapnya karena mengira ia adalah putrinya yang hilang. Film ini lebih ke drama sih ketimbang thriller dan walaupun slow burn, film ini akhirnya berujung pada jalan cerita yang sama sekali nggak gue duga. Yah, kalian sebut plot twist juga bisa, tapi yang jelas endingnya sama sekali nggak bisa ditebak.
Sebuah film thriller yang heartwarming, yah mungkin itulah definisi film ini. Gue kasi film ini skor 3,5 CD berdarah.
3. BITE (2015)
Film bergenre body horror ini memiliki cerita yang cukup simpel, yakni seorang wanita yang digigit oleh serangga ketika tengah berlibur di daerah tropis. Ketika pulang, ia merasakan perubahan terjadi pada tubuhnya dan lukanya tersebut mulai meluas, menyebabkannya berubah menjadi sosok yang menakutkan dan mengancam orang-orang di sekitarnya. Film ini bisa dibilang sekelas film monster B-movie dan memang tidak ada yang spesial dari jalan ceritanya. Jelas keunggulan film ini adalah body horornya cukup menjijikan mudah ditebak. Pokoknya kalo kalian nggak tahan adegan-adegan yang jijay kayak tubuh ngeluarin telur serangga dan lain-lain, mending kalian hindarin deh film ini.
Gue kasih film ini skor 3 CD berdarah.
4. THE REAPING (2007)
Film bergenre horor religi ini memiliki tokoh utama yang mengutamakan logika dan menganggap bahwa keajaiban-keajaiban alias mukjizat yang dipercaya oleh para penganut agama sesungguhnya hanyalah kebetulan belaka yang bisa dijelaskan dengan logika. Tapi ia kemudian mulai mempertanyakan keyakinannya ketika berhadapan dengan sebuah kota yang dilanda 10 tulah persis seperti yang terjadi pada kisah kitab suci. Apakah kejadian tersebut hanyalah sebuah kebetulan belaka ataukah ada kekuatan supranatural yang tengah mengancam kota tersebut?
Gue ingat pernah nonton film ini ketika gue masih kecil (karena film ini dibuatnyapun pada tahun 2000-an). Walaupun gue lupa sebagian besar detailnya, namun gue masih ingat benar satu adegannya ketika sang tokoh utama menjelaskan tentang logika dibalik 10 wabah yang terjadi di Mesir pada masa Nabi Musa dan jujur aja adegan itu membuat gue tercengang dan terpukau. Kisah ini juga memiliki plot twist pada endingnya yang mungkin sih udah bisa kalian tebak.
Karena keunikan film ini, gue kasih skor 3,5 CD berdarah.
5. AIYAI: WRATHFUL SOUL (2020)
Gue sih udah nggak percaya lagi ama film dari studio besar kenamaan berbudget besar, contohnya “Paranormal Activity” di atas (well, kecuali kalo dibikinnya ama James Wan). Karena alasan itulah gue lebih demen berburu film-film indie dari sineas-sineas kecil, tapi mendapat review bagus dari para kritikus film. Salah satunya adalah film asal Australia ini.
Film ini menceritakan seorang imigran yang kepayahan menyambung hidup di Australia, hingga ia akhirnya terpaksa bekerja di sebuah rumah pemakaman (it never ends well). Tapi baru berapa hari di sana, ia langsung mengalami teror supranatural, bahkan kesurupan. Apa sebenarnya yang tengah terjadi dan apa alasan di balik teror tersebut?
Film ini sama sekali nggak mengecewakan walaupun yah, tetap ada kekurangan di sana sini yang gue maklumi karena emang film indie. Semisal dari segi naskahnya kayak sinetron banget, alias dunia kek selebar daun kelor aja, ketemunya ama itu-itu aja. Tapi ya tahulah, ini pasti karena keterbatasan budget dan segala macam. Tapi semua itu ditutup dengan kelebihannya, yakni cerita yang gripping dan enganging, belum lagi ada plot twist di klimaks yang bener-bener nggak dua duga, tapi masuk dengan sedemikian logisnya berkat foreshadowing yang tertata rapi.
One of the best indie movies I’ve seen this year, tambah lagi kritik sosial tentang diskriminasi imigran (terutama Muslim), membuat gue ngasi film ini skor 4 CD berdarah.
6. LAMB (2021)
Salah satu film mengejutkan dengan jalan cerita “tergila” yang pernah gue temui tahun ini (setelah “Malignant”-nya James Wan tentu saja. Film ini berasal dari Islandia yang biasanya emang penuh dengan sineas eksentrik (kek musiknya Bjork), nggak heran ide di balik film ini jugapun terasa absurd.
Film ini menceritakan tentang sepasang suami istri yang tinggal di peternakan terpencil dan memelihara domba sebagai penghidupan mereka. Hingga suatu hari kehidupan mereka berubah ketika mereka memutuskan memelihara seekor anak domba seperti anak mereka sendiri.
Film ini punya plot twist dahsyat di pertengahan filmnya (juga mungkin endingnya yang sukar kalian prediksi), namun dengan satu syarat: jangan browsing tentang apapun mengenai film ini di Google, karena ada reviewer film GOBLO yang ngasi foto spoiler di artikelnya (yang akan langsung nongol di halaman pencarian pertama Google, bahkan di Youtube juga). Jadi demi pengalaman terbaik menonton film ini, ingat, jangan browsing apa-apa dulu sebelum menonton film ini.
Oya film ini juga sekitar 80% drama (porsi horornya dikit banget sih) karena sebagian besar emang menceritakan kehidupan keluarga tersebut. itu aja sih yang pengen gue peringatin. Tapi boleh gue bilang, film ini nggak mengecewakan (dengan catatan kalian nggak dapat spoiler lho ya) karena ide ceritanya yang cukup … yaaaah, unik lah. Horornya juga nggak terlalu brutal kek film-film lain (karena sebagian besar berupa drama) jadi aman lah buat kalian yang suka horor tapi nggak kuat ama adegan-adegan serem.
Gue kasi film ini skor 3,5 CD berdarah.
7. PIRANHA 3D (2010)
Salah satu indikator yang kadang (nggak selalu sih) menjamin kualitas sebuah film adalah komen di trailer filmnya di Youtube. Makanya, ketika gue melihat komen-komen positif di kolom komen trailer film “Piranha 3D” ini, gue akhirnya memutuskan untuk menontonnya. Sekilas sih dari judulnya film ini kayaknya bakal jadi film-film eksploitasi semacam “Sharknado” atau apalah yang isinya hewan-hewan membunuh manusia atau bakalan campy kayak “Meg”. Yap, emang iya sih, tapi walaupun cuman selevel B-movie, tetap ada yang bisa dinikmati di film ini.
Film ini, seperti judulnya, menceritakan penduduk kota di tepian danau (bersama para mahasiswa yang berlibur di sana) yang menjadi korban keganasan para ikan piranha purba pemakan manusia. Ada beberapa poin plus sih yang membuat gue memutuskan menonton film ini (selain reviewnya tentu saja), pertama adalah sutaradaranya, yakni Alexandre Aja yang sudah membesut film-film seperti “Haute Tension” dan “Hills Have Eyes” jadi bisa dibayangin dong filmnya pasti gory. Kedua, para pemerannya sudahlah tidak asing bagi gue, seperti Elizabeth Shue dari “CSI”, Steven R. McQueen dari “Vampire Diaries”, Jerry O’Connel dari “Scream”, Adam Scott dari “Krampus”, bahkan hingga aktor legendaris Christopher Llyod yang memerankan Doc di “Back to the Future”.
Oya, adegan-adegan di klimaks film ini banyak dikit mengingatkan gue ama “Final Destination”. Nah kok bisa, kan musuhnya ikan piranha? Well, pokoknya tonton aja. Oya, tapi gue perlu warning dulu nih film ini khusus buat kalian yang sudah 17 tahun ke atas karena banyak banget adegan-adegan dewasa yang nggak patut ditonton anak-anak (banyak adegan cewe toplessnya hehehe).
Gue kasi film yang sangat entertaining (horornya) ini skor 4 CD berdarah.
8. INTERIOR (2014)
Gue sih nggak begitu berharap banyak akan kualitas film ini karena gue juga nemuinnya secara random di Tubi (tau kan, layanan streaming gratis itu loh). Biasanya sih yang gratis-gratis … ya gitu deh kualitasnya. Namun gue tercengang akan betapa diluar ekspetasinya film ini.
Film ini bercerita tentang seorang pria yang diminta sebuah keluarga kenalannya untuk membuktikan keberadaan hantu di rumah mereka melalui rekaman kameranya. Pasalnya, keluarga mereka sering diganggu dengan fenomena aneh di rumah tersebut, belum lagi anak mereka berteman dengan sang hantu penghuni rumah tersebut. Dari sinopsisnya gue mengira film ini bakalan bergenre found footage, tapi ternyata kurang lebih 60-70% film ini disorot dengan gaya sinematografi yang “normal”. Sisanya menggunakan kamera go-pro sehingga gaya found footage-nya juga terasa.
Pertama perlu kalian ketahui film ini adalah film indie yang notabene memiliki budget yang tidak sedemikian besar, jadi maklum lah jika kalian merasakan ada kekurangan di sana-sini. Gue cukup kagum karena sang sineas mampu memanfaatkan budget yang tak seberapa itu untuk menciptakan scare-scare yang mumpuni. Banyak adegannya menurut gue kreatif dan beberapa memang bikin merinding.
Ceritanyapun sangat simple dan minimalis, walaupun endingnya jujur membuat gue bingung karena film ini tiba-tiba beralih ke “art house” dengan menampilkan adegan abstrak di klimaksnya. Tapi jika gue disuruh menilik kekurangannya, gue akan mengkritik penggunaan jumpscare berupa suara keras yang mengagetkan penonton (dan kejadian ini berulang cukup banyak, jadi cukup bikin gue kesel). Tapi overall, film ini jauh melampaui harapan gue dari sebuah film Tubi (walaupun yah, gue emang pernah mereview film-film yang bener-bener bagus sih di Tubi seperti “Hell House”, “Housebound”, “Black Mountain Side”, “Horror in the High Desert”, dan “Savageland”).
Sebagai sebuah film indie hybrid “found footage”, film ini jelas lebih mumpuni ketimbang film berbudget gede semisal “Paranormal Activity: Next of Kin” jadi jika kalian ingin menonton “Paranormal Activity” terbaru di bioskop, batalkan saja dan mending kalian nonton film ini dengan gratis di Tubi. Gue kasi film ini skor 4 CD berdarah.
9. RAGINI MMS (2011)
Kembali lagi ke film horor Bollywood. Yang ini agak lawas sih dan gue juga sudah sering denger reputasi film ini sebagai salah satu film horor terbaik India, tapi baru kali ini gue punya kesempatan menontonnya karena kebetulan nemu judulnya di Netflix. Kalo kalian browsing tentang film ini, mungkin kalian akan lebih banyak dapat info tentang sekuelnya, yakni Ragini MMS 2 yang diperankan aktris erotis Sunny Leone, tapi jujur film pertama jauh lebih berkualitas.
Ragini MMS menceritakan tentang sepasang kekasih yang hendak bermesum ria di sebuah rumah tua tapa sadar bahwa rumah itu berhantu dan maut tengah mengintai mereka. Uniknya, film ini bergenre found footage yang menurut gue jelas menjadi nilai tambah film ini. Di awal mungkin kalian akan mengira film ini sekedar “sex exploitation” saja (kayak film-film Indonesia tuh), namun jalan ceritanya makin ke sana makin menarik. Klimaksnya menurut gue yang paling menegangkan dan emang membuktikan kenapa banyak kritikus yang menganggap ini adalah salah satu film India terseram yang pernah dibuat.
Gue kasi film ini skor 4 CD berdarah, one of the best Hindustan’s found footage movie.
10. V/H/S 94 (2021)
Nah ini nih salah satu film yang gue tunggu-tunggu banget. Film ini adalah sekuel keempat dari franchise found footage yang legendaris, yakni VHS, apalagi di film ini ada keterlibatan Timo Tjahjanto, sutradara asal Indonesia. Film ini juga memiliki keistimewaan lain; lihat saja judulnya ada unsur ‘94 yang berarti film ini akan mengambil suasana retro ala 90-an. Tentu tema ini diambil karena pada masa itu masyarakatnya masih menggunakan kaset VHS.
Suasana retro sangat terlihat pada sinematografi dari dua film pertama dan juga terakhirnya. Film pertama, berjudul “Storm Drain” menceritakan tentang seorang reporter dan seorang kameramen yang menyelidiki tentang penampakan misterius Ratman, makhluk separuh manusia separuh tikus yang diduga menghantui saluran pembuangan air bawah tanah. Film kedua berjudul “The Empty Wake” berkisah tentang seorang wanita yang ditugaskan untuk menjaga sebuah peti mati di tengah sebuah prosesi pemakaman. Akan tetapi masalah muncul ketika ia menyadari bahwa sesuatu dalam peti itu masih bergerak. Sesi ketiga yang menurut gue paling berbeda, walaupun tetap menganut format found-footage adalah sesi besutan Timo Tjahjanto berjudul “The Subject”. Sesi ini menceritakan tentang seorang dokter gila yang menggabungkan tubuh manusia dengan mesin. Masalah mulai muncul ketika pasukan tim SWAT datang dan berhadapan dengan makhluk-makhluk yang diciptakan oleh sang dokter tersebut. Sedangkan cerita terakhir, “Terror”, kembali ke suasana 90-an dan menceritakan tentang kelompok pemberontak yang “white supremacist” yang berniat menggunakan senjata berbau supranatural. Namun senjata tersebut malah berbalik melawan mereka. Pesan politik yang disampaikan oleh sesi terakhir ini juga terkesan relevan, terutama dengan kondisi Amerika Serikat saat ini, dengan maraknya para penganut Trump yang begitu percaya dengan teori konspirasi.
Dari keempatnya, tentu saja cerita ketiga yang dibesut oleh Timo Tjahjanto adalah yang paling brutal dan berdarah. Timo jelas lebih mengandalkan gore ketimbang jalan cerita, walaupun kita juga dibuat prihatin akan kondisi sang sosok protagonisnya. Tapi sayang, sesi ini justru adalah yang paling bertentangan dengan tema keseluruhan dari film tersebut dari film ini, yakni suasana 90-nya kurang terasa. Justru cerita ke-2 yang menjadi favorit gue karena ceritanya yang minimalis. Oya sang sutradara cerita ke-2 ini ternyata adalah penulis naskahnya “You’re Next” lho, salah satu film horor favorit gue.
Secara keseluruhan, film ini menurut gue memang lebih superior ketimbang para pendahulunya. Sebagai bukti, biasanya ada 1 atau 2 sesi yang gue sukai dari film film VHS sebelumnya, sementara sesi-sesi lainnya kurang mengena dan mudah dilupakan. Semisal di sesi pertama ada kisah tentang vampir wanita, di film kedua ada sesi “Safe Haven” dari Timo Tjahjanto, dan di film ketika ada sesi tentang dunia paralel yang menurut gue sangatlah bagus. Tapi di film keempat ini ini gue menyukai semua sesinya dan tidak ada satupun cerita yang nggak gue sukai. Ini menunjukkan bahwa kualitas film ini jauh melampaui film-film sebelumnya. Yah, walaupun memang ada kekurangan yakni film ini kurang inovatif seperti film-film sebelumnya yang jelas mengeksploitasi batas-batas teknik found footage melalui sudut sudut pengambilan gambar nan kreatif. Tak hanya itu, sesi ketiga “The Subject” walaupun secara sinematografi memang bagus, menurut gue kuranglah kreatif karena idenya pernah dilakukan sebelumnya, yakni melalui film “Frankenstein’s Army”.
Overall, gue kasih ini skor 4,5 CD berdarah.
ARTIKEL INI DIPERSEMBAHKAN BUAT PARA PENDUKUNG KARYAKARSA SETIA GUE
BULANG DESEMBER INI:
Radinda
Ananda Nur Fathur Rohman Prast
Junwesdy Sinaga
DAN TERIMA KASIH SEBESAR-BESARNYA BUAT SEMUA
PENDUKUNG KARYAKARSA BULAN JANUARI INI:
Jesica Audrey Tarigan, Latif Hidayah, Riani Azhafa,
Louis Adrian, Dyah Ayu Andita Kumala, Lydia Pransiska, Tanti Patria Putri, Rahmayanisma,
Agatha Miriam, Nadia Hayyu Furuhita, Sharnila Ilha, Maryati Ningsih, Alief Rahmansyah,
Maulii Za, Nang Fahri, Ciepha Ummi, Yoonji Min, Popy Saputri, Keny Leon, Millennio
Salsabil, Silmi Nabila, Elliot Beilschmidt, Rivandy, Fitriani, dan Adhitya Sucipto.
Next of Kin plotnya standar banget, kirain bakal thrilling kayak PA installment sebelum2nya.
ReplyDeleteThe Lamb. Sebetulnya gw benci banget ma nih film. Simpel saja alasannya, karena gw bukan penikmat cerita absurd. Dan The Lamb ini idenya sangat surealis. Wajar sih kalau liat film ini dari islandia. Tapi entah kenapa walau gw harusnya sangat benci nih film, tapi begitu melekat tiap bagian dari film ini di kepala gw, bahkan seandainya ada yg nyuru gw nyeritain film ini sedetail2nya, kayanya gw bisa deh. Ibarat lukisan, ini film kayanya setara ma lukisan the burning giraffe nya salvador dali. Begitu gelap dan suram.
ReplyDelete