Akhir abad ke-19 merupakan zaman keemasan bagi sistem kapitalis di Amerika yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan finansial yang amatlah pesat. Pada masa itu, banyak muncul keluarga-keluarga terkaya, semisal keluarga Rockefeller, Carnegie hingga Vanderbilt. Tiba-tiba saja Eropa bukan lagi menjadi pusat kemakmuran dunia, melainkan bergeser ke Amerika Serikat. Namun walaupun demikian, kisah keluarga Vanderbilt adalah yang paling miris dan menggelitik di antara keluarga-keluarga terkaya di dunia itu.
Kita sudah membahas tentang keluarga Rothschild yang merupakan keluarga terkaya di dunia, namun siapakah keluarga Vanderbilt? Keluarga Vanderbilt sempat menjadi keluarga terkaya di muka planet ini berkat monopoli mereka di bisnis perkeretaapian di Amerika Serikat. Namun status adidaya mereka hanyalah bertahan 3 generasi. Pada tahun 1973, ketika para keluarga Vanderbilt berkumpul untuk reuni keluarga, tidak ada satupun dari mereka yang masih menyandang status sebagai miliuner.
Namun bagaimana sebuah salah satu keluarga terkaya di dunia justru merosot menjadi seperti ini hanya dalam beberapa generasi? Inilah kasus kejatuhan keluarga Vanderbilt dan bagaimana mereka bisa kehilangan seluruh kekayaan mereka.
GENERASI PERTAMA
Commodor Vanderbilt sang perintis kesuksesan keluarga Vanderbilt |
Sepertinya mustahil bagi kita untuk membahas keluarga Vanderbilt tanpa membahas tentang sang “kakek” dari keluarga ini, yakni Cornelius Vanderbilt yang dijuluki "The Commodore”. Ketika masih berusia 16 tahun, Cornelius yang berbakat bisnis meminjam uang 100 dolar dari ibunya dengan imbalan membajak delapan hektar tanah. Kala itu pada tahun 1810, uang tersebut setara dengan 30 juta rupiah, uang yang langsung ia habiskan untuk membeli sebuah kapal yang ia gunakan untuk memulai bisnis transportasi dan pengangkutannya sendiri.
Seiring waktu, Commodore mulai berinvestasi pada kapal uap dan kemudian kereta api. Tanpa sadar, iapun membangun sebuah dinasti perkapalan dan kereta api di New York dan menjadi orang terkaya Amerika. Alasannya cukup mudah dimengerti, sebab kala itu bisnis transportasi tentulah krusial, apalagi bagi penduduk New York yang memiliki mobilitas dan kesibukan tinggi. Tak hanya itu, banyak perusahaan juga membutuhkan bisnis kereta api untuk mengangkut barang-barang mereka ke kota atau negara bagian lain, sehingga rela membayar mahal demi jasa tersebut.
Ketika sang Commodore meninggal pada tahun 1877, kekayaannya mencapai 36 triliun rupiah yang kala itu lebih banyak ketimbang yang disimpan di Departemen Keuangan AS pada saat itu. Dengan kata lain, keluarga Vanderblit lebih tajir ketimbang negara Amerika sendiri.
GENERASI KEDUA
Di bisnis transportasi inilah trah Vanderbilt meraup pundi kekayaan mereka |
Konon sang Commodore memberi nasehat berharga pada sang putra sulungnya, Billy Vanderbilt, yakni "Orang bodoh bisa menghasilkan banyak uang; namun dibutuhkan orang cerdas untuk mempertahankannya." Billy menerima nasehat itu dan menggandakan kekayaan keluarga sebelum kematiannya pada tahun 1885, tetapi justru keturunannya sendiri yang akan “melenyapkan” harta-harta itu hanya dalam beberapa dekade.
Ada satu rahasia kesuksesan Commodore sebagai pengusaha super-sukses, yakni dia amat KEJAM. Commodore sampai tak mempercayai anak-anaknya sendiri dalam mengelola keuangannya, bahkan mengusir anak keduanya, Cornelius "Corneel" Vanderbilt II karena dianggap tidak bertanggung jawab. Ketika sang ayah meninggal pada tahun 1877, putra sulungnya, Billy mewarisi sebagian besar kekayaannya miliknya.
Walau Billy memiliki naluri bisnis tajam seperti ayahnya, namun Billy rupanya lebih suka main “safe” hingga memutuskan berinvestasi dalam obligasi pemerintah, langkah yang relatif aman bagi seorang taipan sepertinya. Tak hanya itu, Billy menganggap uang sebagai sumber “kecemasan” (anxiety) jadi alih-alih menjadi sosok tamak seperti ayahnya, ia lebih suka menjual sebagian saham industri kereta api yang dimilikinya. Namun langkah Billy ini tergolong berhasil, sebab ia mampu menggandakan kekayaan ayahnya, hingga, menjadikannya orang terkaya di dunia pada tahun 1883.
Dinasti bisnis sang keluarga terkaya di dunia itu mulai rubuh perlahan-lahan bak sebuah menara kartu yang rapuh ketika Billy meninggal pada 1885. Namun apa alasannya?
Alasannya adalah nasehat utama Commodore, sang perintis bisnis Vanderblit yang mulai tak ditaati oleh para keturunannya.
GENERASI KETIGA
Kemewahan seperti inilah yang ditunjukkan Alva Vanderbilt dalam pesta-pesta dansa jetsetnya |
Pada masa akhir abad ke-19, New York menjadi ibu kota ekonomi Amerika. Tak hanya keluarga Vanderbilt saja yang bertahta di sana, namun banyak keluarga tajir yang berjejal-jejal di kota tersebut. Semua berkat booming ekonomi pasca Revolusi Industri. Nah para kaum kelas atas nan elite yang baru bermunculan ini begitu meresapi sebuah pepatah kuno “bird with the same feathers will flock together”. Hal itu membuat mereka hanya mau bergaul dengan sesama kaum yang dianggap “sederajat”.
Demi memuaskan hasrat ini, seorang wanita kelas atas dari House of Astor (trah pemilik bisnis perhotelan mewah di Amerika) bernama Caroline Schermerhorn Astor menciptakan "List 400" yang berisi list 400 keluarga bergengsi di New York. Sayang, reputasi Commodore sebagai pria yang kasar dan kejam membuat keluarga Vanderbilt, walaupun ketajirannya tak diragukan lagi, menjadi kaum “pariah” yang terpinggirkan di kalangan para jetset.
Masalah mulai muncul ketika ego keluarga Vanderbilt mulai tersinggung dengan masalah keduniawian ini. Celakanya lagi, Willie, putra Billy dan cucu Commodore, menikah dengan sosialita cantik bernama Alva Smith yang amat berambisi untuk diterima di masyarakat kelas atas New York. Demi cintanya pada sang istri, Billy merelakan Alva untuk menghabiskan jutaan dolar (puluhan miliar rupiah) warisan mertuanya untuk membangun sebuah rumah besar di Fifth Avenue, tempat dimana para kaum tajir tinggal dan bertahta.
Setelah rumah mahamewah itu selesai, ia sama sekali tak perhitungan dalam mengadakan pesta-pesta supermegah di sana. Tak tanggung-tanggung, ia bisa menghabiskan sekitar 87 miliar rupiah hanya demi mengadakan satu pesta saja teruntuk kaum jetset. Usahanya inipun berhasil, yakni berhasil mendaratkan Willie dan Alva ke “List 400”. Namun tentu saja, usaha pansos ini akan berdampak pada keuangan mereka.
Berbeda dengan Commodore yang tumbuh dari keluarga miskin dan Billy Vanderbilt yang dibesarkan dengan disiplin ketat dari sang ayah, anak dan cucu mereka, yakni generasi ketiga dan keempat, diasuh dalam segala kemewahan dan tercukupi segala kebutuhannya. Akibatnya, alih-alih giat bekerja, mereka terkenal sangat boros dalam menghambur-hamburkan kekayaan mereka. Mereka lebih suka berfoya-foya dengan membeli berbagai mansion dan berpesta. Bahkan mereka juga terlibat dalam persaingan keluarga, yakni dengan membangun rumah-rumah besar untuk menyaingi satu sama lain. Semisal, setelah Alva membangun rumah megahnya yang bak gedung apartemen di Fifth Avenue, saudari iparnya, Alice Vanderbilt, mulai membangun rumah yang lebih besar yang akhirnya menjadi rumah terbesar di New York.
Biltmore house |
Seolah tak mau kalah, anggota keluarga Vanderbilt lain yakni George dan istrinya Edith membangun rumah dan perkebunan seluas 30 ribu hektar di Asheville, North Carolina. Ketika selesai pada tahun 1895, rumah (atau bisa disebut kastil) bergaya Renaissance Prancis dengan 250 kamar itu membutuhkan waktu enam tahun untuk dibangun dan biaya sekitar 23 triliun rupiah. Hingga kini, rumah bernama Biltmore House memegang rekor sebagai rumah terbesar di Amerika.
Cukup ironis, namun salah satu penyebab kejatuhan keluarga Vanderbilt adalah tradisi filantropi mereka sendiri. Keluarga Vanderbilt tak hanya beramal demi tujuan kemanusiaan saja, namun juga demi kepentingan dan hobi pribadi mereka. Contohnya Commodore mendonorkan sejumlah uang kepada Central University di Nashville, Tennessee. Saking besarnya nilai sumbangan ini, nama universitas tersebut sampai diganti sebagai Vanderbilt University. Putranya, Billy Vanderbilt menyumbangkan koleksi barang seni tak ternilai harganya ke Metropolitan Museum of Art di New York. Anak-anaknya, juga menghabiskan sebagian besar waktu dan uangnya untuk olahraga, termasuk balap kapal pesiar, serta mengoleksi karya seni dan mengoperasikan Metropolitan Opera.
Selain karena kesombongan, kemanjaan, serta hobi mahal keluarga tersebut, kejatuhan Vanderbilt juga dipengaruhi oleh regulasi pemerintah yang lebih ketat. Seperti gue sebutkan tadi, sang Commodore menimbun pundi-pundi uang karena keagresifannya dalam berbisnis di masa dimana regulasi pemerintah amatlah lemah, bahkan nyaris tidak ada. Iapun bebas meraup keuntungan sebesar apapun, terutama di bidang perkeretaapian, yang memang ia kuasai. Akan tetapi pada awal abad ke-20, pemerintah AS memperkenalkan suatu sistem yang jelas akan merugikan kaum jetset seperti keluarga Vanderbilt, yakni pajak penghasilan. Tak hanya itu, pemerintah juga mulai meregulasi bisnis sehingga membatasi ruang gerak keluarga Vanderbilt. Merekapun tak lagi berkutik dan tak mampu lagi memonopoli industri transportasi.
Nasib lebih buruk menimpa mereka ketika terjadi “Great Depression” pada akhir Perang Dunia II, yakni krisis moneter terdahsyat yang pernah melanda negara adidaya tersebut. Keluarga Vanderbilt-pun terpaksa harus pintar-pintar untuk menemukan berbagai sumber penghasilan sampingan demi mempertahankan gaya hidup mewah mereka, termasuk di antaranya membuka Biltmore House untuk umum pada tahun 1930 sebagai destinasi wisata.
GENERASI KEEMPAT
Karena kedigdayaannya, Commodore Vanderbilt kini diabadikan dalam bentuk patung di depan Grand Central, stasiun kereta api utama di New York |
Seakan tak cukup, kehidupan pribadi keluarga Vanderbilt-pun dipenuhi dengan drama, hingga mempengaruhi status mereka sebagai keluarga terkaya. Sepeninggal Cornelius Vanderbilt II, kepala keluarga Vanderbilt generasi ketiga sekaligus putra dari Billy Vanderbilt, maka status pemimpin dinasti bisnis keluarga Vanderbilt jatuh pada Alfred, anak ketiganya. Walaupun Alfred bukanlah anak sulung, namun keputusan itu jatuh karena Alfred adalah yang paling piawai dalam mengurus keuangan.
Sayangnya, pada usia muda 38 tahun, Alfred meninggal setelah kapal RMS Lusitania yang ditumpanginya ditenggelamkan oleh kapal selam Jerman pada Perang Dunia I. Setelah kematian dininya, maka kakak tertuanya Cornelius Vanderbilt III yang seharusnya menerima tahta sebagai pemimpin keluarga Vanderbilt. Namun sayang, hak warisnya telah lama dicabut sang ayah setelah ia menikah tanpa persetujuan orang tuanya.
Cornelius, kakak Alfred, memang berpendidikan tinggi dan memiliki tiga gelar dari Universitas Yale, salah satu kampus paling bergengsi di Amerika. Namun pada tahun 1896, pada usia 23 tahun ia memutuskan untuk menikahi kekasihnya, Grace Wilson, yang berasal dari keluarga biasa. Seperti kita tahu, keluarga Vanderbilt amat mementingkan gengsi dan tentunya tak sudi memiliki menantu yang tak sederajat dengan keluarga mereka. Akibatnya, Cornelius-pun diusir. Namun ternyata tanpa pertolongan keluarganya, ia mampu survive dan merintis bisnisnya sendiri hingga sukses, walau tentu takkan bisa setajir keluarga Vanderbilt yang lain.
Kini sepeninggal Alfred dan Cornelius, pilihan pun jatuh ke satu-satunya anak yang tersisa, yakni, Reginald Vanderbilt. Namun celaka tiga belas, Reggie (nama panggilannya) malah menyia-nyiakan warisannya untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Pada usia 45 tahun pada tahun 1925 iapun meninggal karena menderita sirosis hati, penyakit yang biasa menjangkiti kaum alkoholik.
Walau sudah hampir bangkrut, keluarga Vanderbilt rupanya belumlah belajar dari pengalaman, bahkan masih sibuk berfoya-foya. Bak hantaman terakhir, bisnis perkeretaapian yang menjadi tulang punggung perekonomian keluarga mereka mulai merugi pada tahun 1930-an, sebab masyarakat Amerika sudah kepincut dengan mode transportasi baru yang lebih bebas, yakni mobil.
Anak satu-satunya Reggie Vanderbilt kemudian tumbuh menjadi sosialita, aktris, dan perancang busana bernama Gloria Vanderbilt yang terkenal dengan desain celana jinsnya di awal 1980-an. Kini keturunan terakhir trah Vanderbilt (dari darah keluarga laki-laki) adalah jurnalis CNN yang amat termashyur sekaligus telah meraih banyak penghargaan, yakni Anderson Cooper. Namun harapan keluarga Vanderbilt untuk meneruskan “darah suci” mereka sepertinya akan pupus, sebab pria ini ternyata mengaku sebagai penyuka sesama jenis atau gay.
Berapakah kekayaan keluarga Vanderbilt kini? Ketika Gloria meninggal pada tahun 2019, Anderson mewarisi sebagian besar tanah miliknya yang diperkirakan bernilai 200 juta dolar (“hanya” sekitar standar budget yang diperlukan untuk membuat sebuah film MCU). Namun banyak pula yang mengestimasi bahwa seluruh kekayaan keluarga Vanderbilt sesungguhnya bernilai sekitar 1,5 juta dolar atau “cuma” 21 miliar rupiah saja. Jumlah itu memang masih banyak, namun miris, mengingat mereka pernah menjadi keluarga terkaya di dunia.
ARTIKEL INI DIPERSEMBAHKAN BUAT PARA PENDUKUNG KARYAKARSA SETIA GUE
BULANG DESEMBER INI:
Radinda
Ananda Nur Fathur Rohman Prast
Junwesdy Sinaga
DAN TERIMA KASIH SEBESAR-BESARNYA BUAT SEMUA
PENDUKUNG KARYAKARSA BULAN JANUARI INI:
Jesica Audrey Tarigan, Latif Hidayah, Riani Azhafa,
Louis Adrian, Dyah Ayu Andita Kumala, Lydia Pransiska, Tanti Patria Putri, Rahmayanisma,
Agatha Miriam, Nadia Hayyu Furuhita, Sharnila Ilha, Maryati Ningsih, Alief Rahmansyah,
Maulii Za, Nang Fahri, Ciepha Ummi, Yoonji Min, Popy Saputri, Keny Leon, Millennio
Salsabil, Silmi Nabila, Elliot Beilschmidt, Rivandy, Fitriani, dan Adhitya Sucipto.
Anderson Cooper malah mutusin...πΏπ³️π
ReplyDeleteTapi anderson cooper punya anak kok via surrogate mother. Terus dia jurnalis yang cukup sukses dan ivy league graduate. Btw coba ulas gloria vanderbilt(ibunya anderson cooper). Secara personal kisahnya lebih tragis, mulai dari hak asuhnya diperebutkan karena warisan, sampai anak sulungnya bunuh diri. But she was such a graceful woman. Coba liat interviewnya di new york magazine https://youtu.be/M5ThrZrWjpU
ReplyDelete