Saat mudik ke Solo, aku masih sempet jalan2, kali ini ke Monumen Pers Indonesia. Selama 20 tahun tinggal di Solo, nggak pernah sekalipun aku masuk ke tempat ini, padahal dekat sekali dengan rumah orang tuaku. Mungkin karena dulu Monumen Pers tidak begitu terbuka untuk umum, jadi yang berkunjung pun enggan. Namun sekarang kondisinya berbeda. Pintu Monumen Pers dibuka lebar2 untuk umum, seorang pun boleh mengunjunginya. Di dalamnya kita bisa sedikit mempelajari sejarah pers Indonesia.
Oke sedikit tentang sejarah bangunan ini. Gedung ini semula bernama asli Societiet Sasana Soeka yang dibangun oleh Paduka KGPAA Sri Mangkunegoro VII pada tahun 1918 (raja Solo saat itu) sebagai balai pertemuan. Emang sih tiap kota di Indonesia pada masa penjajahan Belanda memiliki gedung societiet sendiri, misalnya di Jakarta ada Harmonie Societiet yang kini sudah dirubuhkan. Namun kenapa gedung ini memiliki kaitan sejarah yang amat erat dengan pers Indonesia sehingga sekarang disebut Monumen Pers Indonesia?
Nah, ceritanya di gedung ini pada tahun 1933 diadakan rapat yang dipimpin oleh R.M. Ir. Sarsito Mangunkusumo yang melahirkan stasiun radio baru pribumi pertama bernama Solosche Vereeniging (SRV). Wow, nggak nyangka kan stasiun radio pertama di Indonesia berdiri di Solo? Nggak hanya itu lho guys, di gedung ini pula, berdiri organisasi PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada 9 Pebruari 1946. Hingga saat itu, tanggal 9 Februari tersebut ditetapkan sebagai Hari Pers Nasional.
Bangunan ini secara arsitektural sangatlah unik. Bangunan ini merupakan percampuran antara gaya bangunan Eropa dan candi2 ala Jawa. Pembangunannya pun menggunakan batu andesit dengan permukaan kasar, mirip sekali dengan candi2 di Jawa Tengah. Banyak juga ornamen bergaya etnik di tempat ini, misalnya naga yang menghiasi tangga menuju pintu masuk ini.
Di dalam Monumen Pers ini terdapat perpustakaan sekaligus museum. Sekilas koleksi museum ini agak mirip2 lah ama Museum Penerangan yang kukunjungi di TMII. Ini beberapa koleksi barang2 yang berhubungan dengan pers dan penyiaran berita pada zaman dulu, misalnya gramafon, radio kuno (yang ajaibnya masih menyala!), dan lain-lain.
Ada juga baju milik Hendro Subroto, seorang penyiar TVRI yang tertembak saat meliput invasi Indonesia ke Timor Timur.
Uniknya museum ini memiliki koleksi koran2 lama mulai dari masa perjuangan kemerdekaan. Koran ini diterbitkan 22 Agustus 1945, 5 hari sesudah proklamasi. Wow keren!
Ini koleksi lainnya. Headline-nya aja sudah memompa semangat kebangsaan kita.
Yang menarik bagiku adalah iklan2 tua ini. Wah zmaan dulu ada iklan kayak gini ya. Masih simpel banget ajakannya hehehe. Sekarang mah udah gokil2 dan kreatif.
Nah, itulah sekilas guys tentang Monumen Pers di Solo yang mulai berbenah meningkatkan pelayanannya. Selain ada koleksi museum, kita juga bisa belajar di perpustakaanya. Masuknya pun tak ditarik biaya sepeserpun. Makanya, kalo berkunjung ke Solo, jangan sungkan berkunjung ke dalamnya.
kalo mudik lagi,mampir neng umahku yo. Jurug. Hahaha
ReplyDelete