Tuesday, July 30, 2019

MENILIK ISU “SJW” DAN INDUSTRI PERFILMAN HORROR DI HOLLYWOOD



Gue lebih membuat postingan ini sebagai curhatan alih-alih review serial horor. Akhir-akhir ini gue sering banget binge-watching serial-serial horor terbaru, mulai dari “Haunting of The Hill House”, “Stranger Things”, “Slasher”, “Scream”, “Twilight Zone”, “Hemlock Grove”, “Castle Rock”, dan “Kingdom”. Gue kali ini akan menyinggung tiga serial aja, yakni “Slasher”, “Scream”, dan “Twilight Zone” karena ketiganya akan gue pakai sebagai contoh akan isu SJW yang tengah melanda perfilman Hollywood dan dampak positif (dan juga negatif) yang akan ditimbulkannya.


Awalnya gue nggak terlalu peduli ama isu SJW yang tengah kencang-kencangnya digelontorkan di Hollywood. FYI SJW sendiri adalah singkatan dari “Social Justice Warrior” atau sebutan bagi orang-orang yang menginginkan kesetaraan hak di industri perfilman Hollywood. Kita tahu bahwa industri perfilman di Hollywood didominasi oleh pria kulit putih (yang kebanyakan menjabat sebagai produser dan sutradara), bahkan aktor utamanya pun biasanya berasal dari gender dan ras tersebut. 

Hal ini menyebabkan pihak casting bisa dibilang diskriminatif terhadap kaum perempuan dan kaum minoritas. Kita bisa lihat, jarang banget kan ada film yang tokoh utamanya perempuan atau kaum minoritas (bisa dari kulit hitam, keturunan Latin atau Asia, Muslim, ataupun kaum minoritas lain semisal gay). Nah, para SJW menginginkan lebih banyak diversifikasi dalam hal casting ini. Makanya kita bisa lihat lebih banyak representasi di film-film Hollywood zaman sekarang, semua semata karena usaha dan protes para SJW ini.

Salah satu bukti kemenangan kaum SJW adalah film “Black Panther” yang disutradari oleh Ryan Coogler yang berkulit hitam, bahkan hampir semua cast-nya berkulit hitam. Namun nyatanya, film ini sukses besar dan membuktikan bahwa nggak hanya film yang diperani oleh cast kulit putih (yang biasanya lebih rupawan) saja yang bakalan sukses. Contoh lain adalah Jordan Peele dengan film “Get Out” yang juga diperankan oleh cast utama berkulit hitam, tapi nyatanya juga bisa meraup untung besar.

Reaksi gue terhadap SJW di film-film superhero nggak terlalu berpengaruh bagi hidup gue, toh gue juga bukan penggemar berat film-film tersebut. Mau Captain Marvel mewakili feminisme, Black Panther mewakili kulit hitam, ataupun bahkan Valkyrie yang katanya bakal didapuk jadi superhero lesbian pertama di Marvel, gue sama sekali nggak peduli. Let them do what they wanna do, I don't care.

Tapi kalo sudah merembet sampai ke film horor, itu jadi masalah gue!


Ketika isu SJW muncul di season ketiga “Slasher” semisal, gue nggak terlalu mempermasalahkannya. FYI “Slasher” adalah serial horor bergenre slasher (ofc) yang hingga kini telah mencapai season ketiga. Season pertama dan kedua masih didominasi oleh kaum kulit putih. Hampir seluruh cast-nya adalah bule yang rupawan. Tapi gue nggak mempermasalahkannya. Toh yang gue pentingin adalah adegan gore dan juga sisi misterinya. Namun di season ketiga, pengaruh SJW mulai terasa. Di sini diperkenalkan tokoh protagonis Muslim berhijab pertama dalam dunia horor, yakni seorang remaja bernama Saadia (diperankan aktris cantik berdarah Arab bernama Baraka Rahmani).


Yang gue salut, identitasnya sebagai seorang pengungsi dari Timur Tengah ini nggak hanya untuk memperkaya cast saja, namun benar-benar digunakan dalam plot ceritanya. Di sini diceritakan bagaimana dia dibully di sekolah hanya karena cara berpakaiannya dan identitasnya sebagai Muslim (yang sejak Tragedi 9/11 sering dituding secara tidak adil sebagai teroris). Dalam salah satu adegan, bahkan pengalamannya sebagai korban perang juga membantunya memecahkan misteri yang tengah terjadi (di plotnya sendiri, satu demi satu penghuni apartemen tempatnya tinggal dihabisi satu persatu oleh pembunuh misterius). Terakhir, sebagai seseorang yang mengalami banyak penderitaan hidup, mentalnya teruji hingga ia pada akhirnya mampu melawan sang pembunuh dan berhasil menggagalkan rencananya.

Plot yang bagus menurut gue serta keserasian isu SJW dengan jalan cerita membuat gue menikmati serial ini dari awal sampai akhir. Sayang, hal yang sama nggak bisa gue katakan tentang “Twilight Zone” dan “Scream” season ketiga.


“Twilight Zone” adalah serial legendaris yang sudah berjalan sejak 1959 (bayangkan, pada saat itu televisi masih hitam putih!). Serial ini kemudian “dibangkitkan” kembali pada 2019 dengan mendapuk Jordan Peele sebagai produser. Tentu nama besar Jordan Peele yang sudah sukses dengan film horor “Get Out” dan “Us” membuat banyak orang yakin bahwa ia akan menelurkan karya yang fantastis. Akan tetapi sayang, harapan itu pupus ketika Jordan terlalu banyak mengangkat isu SJW di dalam ceritanya.

Gue sempat girang ketika awal episode pertama memperkenalkan karakter utama seorang berdarah India. Namun ternyata, hingga akhir episode itu gue malah kecewa sebab ceritanya menurut gue biasa-biasa, bahkan gue yakin nggak akan mencapai status “legend” seperti Twilight Zone season-season jadul sebelumnya.

Dan isu SJW nggak berhenti sampai di situ. Episode 3 membahas diskriminasi terhadap kaum kulit hitam, episode 4 membicarakan status penduduk asli Amerika, episode 5 menyentuh ke panggung politik dan jelas-jelas menyindir terpilihnya Donald Trump sebagai presiden, episode 7 menyinggung “toxic masculinity”, episode 8 jelas mengalegorikan isu pengungsi, dan episode 9 mengangkat tema “gun control” di Amerika. Season ini berakhir di episode 10 sebenarnya, namun gue terlanjur kecewa hingga memutuskan takkan mengakhiri serial ini dengan menonton finalenya.

Kenapa? Kalian mungkin bertanya.

Karena semua cerita di atas hanya peduli pada isu SJW yang dibawanya, tanpa mengunggahnya ke dalam cerita yang apik.



Yap, ceritanya biasa-biasa aja. Dalam hati gue sebenarnya salut mereka mau mengangkat isu-isu yang kekinian dan jarang dibicarakan orang karena dianggap “tabu”. Namun dalam “Twilight Zone” ini gue ragu, apakah sang sutradara merasa seolah-olah isu SJW adalah “misi suci” yang harus mereka kotbahkan karena merekalah “nabi”-nya, alih-alih memberikan hiburan yang apik pada pemirsanya? Karena itulah yang gue rasakan saat menonton serial ini.

Yap, memang gue akui nggak ada hiburan apapun yang gue dapatkan dari “Twilight Zone” ini. Semuanya berisi isu SJW yang tanpa menonton serial inipun bisa gue baca sendiri di artikel berita di internet. Sebuah film ataupun serial fiksi harusnya bukan melulu berisi agenda politis atau komentar sosial yang dipaksakan masuk. Jika memang tujuannya memang untuk agenda politik atau menyadarkan masyarakat, bikin saja film dokumenter yang niatnya emang sejak awal bukan untuk menghibur (walaupun kini mulai ada trend membuat film dokumenter dengan sifat lebih entertaining untuk menangkap lebih banyak audiens). Atau bikin aja “iklan layanan masyarakat” di televisi, itu lebih mudah, murah, dan nggak membuang-buang waktu pemirsanya.

Satu-satunya episode yang bagus menurut gue adalah episode keduanya yang berjudul “Nightmare at 30.000 feet” dan itupun entah kenapa harus diakhiri dengan ending yang tolol dan nggak masuk akal.

Menginjak ke isu SJW lain yang membuat gue marah adalah “Scream” season 3. Isu SJW memang sudah diperkenalkan semenjak season pertamanya. Walaupun masih didominasi aktor kulit putih, namun sudah ada karakter yang mewakili minoritas, yakni sidekick lesbian bernama Audrey yang diperankan salah satu aktris favorit gue Bex Taylor-Klaus. Bisa dibilang gue mengidolakan tokoh ini yang walaupun cewek tapi punya temperamen kayak cowok dan ini membuatnya berkali-kali menghadapi (atau bahkan dicurigai sebagai) sang pembunuh. Apalagi akting Bex di sini amat memukau dan meyakinkan (belum lagi dandanannya). Bisa dibilang tokohnya ini amat sentral (bahkan kalo gue bilang lebih dominan dan likable ketimbang tokoh utamanya) serta bener-bener menyatu dan ngalir dalam cerita. Bahkan gue berani berkata, tanpa tokoh Audrey ini, serial “Scream” bukanlah “Scream”.

Gue sempet girang setelah mendengar bahwa season 3 bakalan digarap dan kali ini merupakan reboot (sebab banyak yang protes kenapa sosok “Ghostface” yang udah jadi trademark “Scream” nggak nongol di Season 1 dan 2-nya). Bahkan sudah ada “teaser” yang dikeluarkan MTV selaku sponsor dan rumah produksinya, kali ini menampilkan Tyler Posey, aktor remaja kenamaan yang udah duluan tenar lewat aktingnya di “Teen Wolf”.



Dari teaser di atas udah keliatan bahwa mayoritas pemerannya adalah remaja berkulit putih serta mengindikasikan adegan gore yang mantap. Namun sayang, setelah teaser ini dikeluarkan, pihak MTV justru mencancel rencana awal mereka dan justru membuat season 3 Scream ini selang 3 tahun setelah teaser pertama dikeluarkan.


Yap, dari cast-nya kelihatan bahwa mereka sudah dirombak abis. Yang awalnya memiliki plot yang setia dengan tetralogi film “Scream” versi orisinil yang bercerita tentang remaja-remaja kulit putih yang dikejar-kejar pembunuh gila, tiba-tiba settingnya diubah dengan memasukkan unsur SJW yang menurut gue udah kelewat batas. Alih-alih bersetting di kawasan suburb yang aman, lokasinya malah dipindah ke sebuah sekolah dimana siswanya kudu berbaris melewati metal detector untuk mengangkat isu gun control. Alih-alih menceritakan remaja-remaja kulit putih, malah tokoh utamanya diganti menjadi berkulit hitam. Tyler Posey yang harusnya jadi tokoh utama malah dijadikan karakter sekunder. Lucu menurut gue, kenapa nggak karakter Tyler sekalian aja dihapus kalo dia emang mau “diturunkan derajatnya”? Alasannya cukup simpel, Tyler adalah satu-satunya artis terkenal di film ini dan mereka merasa perlu mempertahankan wajahnya demi tetap meraup untung. Sounds hypocrite?

Semua perubahan ini membuat gue muak hingga gue memutuskan nggak akan menonton kelanjutan serial ini. Gue nggak peduli jika ternyata ceritanya bagus, sebab muatan SJW di serial ini gue anggap sudah nggak sehat lagi. Setelah excited dengan teasernya yang gue harap bakalan seru karena mengikuti plot asli film “Scream”, malah mereka mengubahnya dengan drastis cuman untuk mengikuti “mode” (atau menghindari “backlash” mungkin, karena di teaser-nya hampir semua aktornya kulit putih dan kurang “diverse”). Fuck diversity, dude! Satu-satunya yang penonton inginkan adalah cerita, cerita, dan cerita! Memaksakan isu SJW masuk ke sebuah cerita yang sudah matang (dan cast yang harusnya sudah mapan) malah terlihat janggal bagi gue.

Kalo pemeran utamanya kulit hitam terus mau apa? Apa yang bakalan berbeda jika dia kulit putih? Apa akan diceritain kalo dia tinggal di perumahan kumuh dan tidak aman? Bukankah itu justru memperparah stereotip bahwa kaum kulit hitam erat kaitannya dengan kriminalitas? Bukankah alasan utama SJW adalah mendobrak stereotip negatif seperti itu?


Gue merasa bahwa Hollywood kini sedang salah kaprah dengan isu SJW. Mereka berpikir dengan mengangkat isu SJW sebanyak-banyaknya ke cerita mereka, maka mereka akan makin sukses. Sebab kini ukuran sukses bukan hanya berasal dari pemirsa setianya, namun juga dari “mulut nyinyir” para netizen yang menghakimi sebuah karya bahkan sebelum karya itu dirilis.

Mereka menganggap memiliki aktor utama kulit hitam akan menaikkan pamor film mereka. Lihat saja “Star Wars: The Force Awakens” yang sukses di mata kritikus maupun penonton awam karena dengan berani memajang seorang John Boyega, seorang aktor kulit hitam yang saat itu kurang dikenal, sebagai bintang utamanya Lucunya, ketika rumah produksi di Hollywood ingin mengulang kesuksesan serupa dengan memajang aktor yang sama di sekuel “Pacific Rim”, yang ada filmnya justru flop alias jatuh di pasaran.

Sama halnya dengan isu feminisme. Film-film seperti “Frozen”, “Beauty and The Beast”, “Hunger Games”, dan “Alita: Battle Angel” dipuji karena menampilkan karakter utama wanita yang kuat. Kesuksesannya di Box Office-pun sangat tidak mengecewakan. Namun ketika “Ghostbusters” dan “Ocean's 8” menampilkan seluruh cast-nya perempuan, sambutannya malah dingin-dingin saja, bahkan tak sesuai harapan.

Kapan Hollywood belajar, bahwa bukan isu SJW-lah yang membuat suatu karya sukses. Bukan masalah ketika lead actornya kulit hitam atau, ataupun perempuan, ataupun dari kaum minoritas lain. Melainkan ketika sebuah film atau serial memiliki cerita yang bagus. Ketika film atau serial itu adalah horor, maka perlu ada shock factor seperti gore, jumpscare, suspense, sosok antagonis yang ikonik, ataupun sekedar misteri atau atmosfer kelam dan mistis. I love diversity, tapi ketika diversity itu benar-benar masuk ke dalam cerita. Not this piece of shit, you guys!

IDK, mungkin mereka harus berkaca pada "Stranger Things" yang sudah mencapai season ketiganya tapi tetap dicintai oleh pemirsanya bahkan sudah memiliki fanbase yang tak bisa dianggap remeh. "Stranger Things" memiliki karakterisasi yang sama sekali tak mempedulikan warna kulit, tidak menyinggung sama sekali tema SJW, bahkan memiliki karakter-karakter yang stereotip, namun tetap saja sukses luar biasa dan menjadi fenomena global. Rahasianya hanya satu: karena mereka membuat naskah sebaik mungkin dengan cerita yang walaupun simpel, namun amat menarik, serta tidak disisipi isu-isu politik dan sosial, hanya kepolosan anak kecil dan kedunguan orang dewasa yang menyegarkan. Bagaimana menurut kalian?

8 comments:

  1. Bang Dave, alasan utama Ghostbusters dapat rating rendah bukan karena pemeranx perempuan semua, tapi karena efek CGI yang jelekx minta ampun

    ReplyDelete
    Replies
    1. ya emang kok, maksud gue sutradara film ini sengaja manfaatin isu SJW buat mendongkrak popularitas filmnya, tapi dia lupa kalo banyak faktor lain yg mendukung kesuksesan suatu film, semisal cerita dan naskah yg bagus juga (seperti kata lu) CGI yang mengesankan. lebih parah lagi, yg nggak suka ama film ini justru diserang anti-feminis, padahal mah yg jelek naskah ama CGI-nya

      Delete
  2. aku setuju sama tulisan bung dave bukan masalah SJW atau feminisme tapi FAIRNESS kalo bagus ya bagus aja hehehe

    ReplyDelete
  3. Nebeng curcol tentang SJW di film favorit saya, Harry Potter. Pas the Cursed Child publish, masa banyak yang nganggap JK Rowling rasis soalnya tokoh-tokoh HP mayoritas kulit putih, semakin menjadi-jadi setelah Fantastic Beast 2 karena Nagini, yang notabene cewek Asia bakal jadi peliharaan pria kulit putih.

    Protes begituan jujur bikin kesel. Pertama, HP itu settingnya Inggris tahun 1990-an yang mana globalisasi belum terlalu mendunia dan Wizarding Worldnya sendiri baru saja pulih dari perang besar, jadi terang aja mayoritas anak-anak Hogwarts ya kulit putih. Mana mau wizards negara lain pindah ke negara yang ga aman?
    Kedua soal Nagini, Mrs. Rowling udah ngejelasin kalo kutukannya itu berasal dari mitologi Asia, tentunya witches yang kena banyakan yang berasal dari Asia.

    Intinya, SJW si boleh-boleh aja. Tapi juga harus bisa disesuaikan konten. Misal main settingnya kehidupan sehari-hari nunnery di London tahun 1500-an, ya terang aja ga mungkin ada wanita berjilbab, cowok, ato artis Asia.

    ReplyDelete
  4. Setuju bang. Twilight zone versi Jordan ini yang seru cuman Nightmare at 30.000 feet doang walau akhirnya bikin mikir "Apaan sih". Btw tau link buat nonton Twilight zone versi originalnya gak bang? Ingin nonton gak nemu-nemu :(((.

    ReplyDelete
  5. Jordan Peele bukan sutradara black panther, salah.

    ReplyDelete
  6. Memang SJW ini pemaksaan banget tapi yang disayangkan rumah produksi Hollywood lebih suka baca twit-nya SJW alih-alih penggemarnya sehingga mau nggak mau menurutinya padahal mereka nonton atau beli DVD/BD nya saja belum tentu

    Gue malah kecewa berat pas ada rencana James Bond baru pengganti Daniel Craig itu berkulit hitam atau wanita atau malah perpaduan dua-duanya, awas saja jika fix malah jadi lesbian karena bond girl aja sudah jadi bumbu cerita apalagi Miss Moneypenny yang baru saja diganti berkulit hitam 😤

    ReplyDelete