“AKIBAT
PERGAULAN BEBAS”
WARNING:
cerbung ini akan memuat konten dewasa
Upin
terbangun dengan tubuh berbasuh keringat. Ia mengusap wajahnya yang
basah.
“Kenapa
... kenapa saya memimpikan ini lagi? Kejadian ini sudah berlalu
bertahun-tahun lalu ...” Upin berbisik dalam hati. Memang kejadian
itu sudah terjadi lama sekali, namun Upin sama sekali tak pernah
melupakan kematian neneknya. Setiap detik peristiwa itu selalu
terpatri dalam benaknya. Namun, baru kali ini ia memimpikannya hingga
terbangun seperti ini.
Semenjak
tragedi itu, ia tak pernah berbicara sepatah katapun pada Ipin.
Bahkan ketika pindah ke Kuala Lumpur dan masuk militer pun, ia tak
pernah menyuratinya atau mengirimi SMS. Ia masih berkomunikasi dengan
Kak Ros, yang semenjak tragedi itu menjual rumah mereka. Namun tidak
pada Ipin.
Itulah hal
yang paling disesalinya saat ini.
Kemarahannya
sudah membutakan matanya dan memutuskan ikatan darah dengan saudara
kembarnya sendiri. Sebenarnya Upin sudah memiliki firasat bahwa ia
takkan bertemu lagi dengan Ipin, namun ia mengabaikannya begitu saja.
Beberapa
hari sebelum meninggal, Ipin sempat pergi ke Kuala Lumpur untuk
menemuinya. Bahkan ia sudah sampai di depan baraknya dan mengatakan
ingin berbicara kepadanya tentang suatu hal. Namun Upin menolak untuk
menemuinya dan Ipin-pun pulang dengan tangan hampa.
Upin sadar,
itu adalah kesalahan terbesarnya.
Jika saja
ia mau menemuinya. Jika saja ia mau mendengarkannya, mungkin Ipin
masih hidup saat ini.
Entahlah,
mungkin.
Upin
menyadari hujan di luar telah berhenti. Ia tak bisa berdiam diri. Ia
segera bangkit dari kasurnya dan pergi di tengah malam untuk
melakukan sesuatu.
Jika ada
yang tahu tentang kematian Ipin, pastilah gadis itu orangnya.
***
“Susanti?”
Kak Ros menoleh, “Awak mau mencarinya? Kenapa?”
Upin
terkejut mendengar nada suara Kak Ros meninggi, “Sa ... saya hanya
ingin bertanya tentang Ipin, itu saja.”
Kak Ros,
masih dengan tatapan tajam memandangnya, “Kalau Awak mau, cari saja
dia di klub malamnya Sally.”
“Sally?
Maksud kakak Abang Salleh?”
***
Malam telah
menyisip masuk ke Kampung Durian Runtuh. Jalanan yang dulu dikenalnya
sebagai pasar itu kini ramai dengan bangunan-bangunan permanen. Salah
satu di depannya adalah sebuah diskotik berhiaskan puluhan lampu neon
yang semarak.
“Kampung
ini sudah banyak berubah.” pikir Upin. Iapun masuk ke tempat
hiburan malam itu. Seorang pelayan menawarinya minuman keras, namun
Upin menolak.
“Upin?”
suara seorang wanita menyapanya.
“Abang
Salleh?” Upin mengenali suara itu, namun penampilannya kini berubah
drastis. Wajahnya amat cantik dan awet muda, bahkan tak bisa
dibedakan dengan wanita tulen. Saat itupun ia memakai busana ketat
berbahan kulit ala BSDM yang provokatif dan tentu takkan berani ia
kenakan saat Kampung Durian Runtuh masih memegang teguh adat dan
konservatif seperti dulu.
“Sssssst!”
sosok transgender itu segera menyentuhkan jemari telunjuknya ke bibir
Upin, “Jangan panggil saya dengan nama itu lagi. Panggil saja saya
Sally.” ujarnya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Apa yang
Awak lakukan
di sini, Upin? Kapan Awak kembali dari Kuala Lumpur?” tanyanya lagi
begitu melihat Upin speechless.
“Baru
tadi malam. Usaha Abang, eh ... Kak Sally rupanya sangat maju dan
ramai sekali.” Upin melirik para pengunjung yang membludak. Banyak
di antaranya sibuk berjudi dan minum-minum, serta sesekali menggoda
para pramusaji.
“Yah,
begitulah.” Sally tertawa, menganggapnya pujian, “Jika tidak
seramai ini, bagaimana mungkin saya bisa membiayai operasi sampai ke
Thailand. Apa malam ini Awak memang ingin bersenang-senang di sini
atau ...”
“Saya ke
sini mencari Susanti.” jelas Upin, “Apa dia bekerja di sini
sebagai pelayan?”
Sally hanya
tersenyum dan malah mempersilakan Upin duduk.
“Oh, dia
akan tampil sebentar lagi. Duduklah saja dulu.” ia mendorong tubuh
Upin ke salah satu meja dan membungkuk untuk berbisik.
“Nikmati
saja penampilannya malam ini.” Upin merasakan bibir Sally yang
dihiasi gincu merah menyentuh bibirnya ketika ia berbisik kepadanya.
“Malam ini akan menjadi malam yang ... seronok!”
“Tampil?”
Upin dengan keheranan melihat tirai panggung di depannya terbuka
perlahan.
“Mari
kita sambut penampilan utama malam ini! Susanti sang geisha asal
negeri Jiran! Berikan tepuk tangan semeriah mungkin!” seru sang
pembawa acara.
Para
penonton langsung riuh bertepuk tangan dan bersiul sekencang mungkin.
Dari balik
panggung membuka dan muncullah seorang gadis cantik berpakaian kimono. Namun segera, begitu lampu meredup dan suasana berubah menjadi remang-remang, ia menanggalkan kimononya untuk menampakkan tubuhnya yang berbalut lingerie
hitam yang menerawang. Dengan gemulai ia mulai menari dengan gerakan
menggoda. Para penonton menjadi heboh dan melemparkan uang saweran ke
arahnya.
Lagu pengiring
yang sesuai dengan suasana klub malam itu mulai diputar. Bibir gadis
itupun bergerak, lypsinc
mengikuti lirik lagu tersebut.
“All
the time ... all the time ... if you can’t do ... I’ll be all
good ...”
“All
the time ... all the time ... if you can’t do ... I’ll be all
good ...”
Gadis itu
mengedip genit ke arah para penonton, lalu menari meliuk-liuk
mengitari tiang. Upin shock
melihat pemandangan itu.
***
“Wow,
sexy
banget ya penampilan Susanti tadi!” Upin mendengar dua pria
berhidung belang tengah membicarakannya seusai penampilannya tadi.
“Ah,
masih hot
penampilan waktu dia cosplay jadi Shizuka di Doraemon XXX ...
hahaha.”
Dengan
geram, Upin berjalan ke belakang panggung. “Mustahil! Mustahil
Susanti yang dulu polos berubah menjadi seperti itu! Kampung ini ...
kampung ini telah berubah ... saya tak lagi mengenalinya!”
Dilihatnya
Susanti mengenakan jubah kimono untuk menutupi lingerie
yang dikenakannya lalu beranjak ke pintu belakang. Namun, tiba-tiba
seorang pria mabuk menghentikan langkahnya.
“Hei,
Cantik ... berapa tarif awak semalam? Saya booking
ya ...” ia meraih lengan Susanti.
“Pergi!
Lepaskan aku!” gadis itu meronta, “LEPASKAN!!!”
“Ayolah
ikut saya ke hotel...” pria mesum itu berusaha menciumnya, namun
Susanti terus mengelak dan menjerit.
“Hei,
lepaskan dia!” dengan sigap Upin mencengkeram tangan pria itu.
“Hei,
siapa Awak? Berani-beraninya ...”
“AAAAAA!!!”
Susanti menjerit ketika Upin dengan bogem mentahnya menghajar pria
itu hingga tersungkur tak sadarkan diri.
Wanita itu
mendongak dan menatapnya. Wajahnya langsung pucat.
“I ...
Ipin ...” bibirnya gemetar ketika menyebutkan nama itu.
Matanya
sekilas berbinar. Namun nyala di pelupuk matanya kemudian padam
begitu ia menyadari siapa pria di depannya itu.
“Santi,
ini saya!” jawab pemuda itu.
“Upin?”
***
Upin
akhirnya mengantarkan Susanti pulang ke rumahnya.
“Masuklah,”
Susanti membuka kunci rumah, “Rumahku memang kecil, namun kuharap
kau merasa nyaman.”
Upin sama
sekali tak berkomentar mengenai pekerjaan Susanti sekarang. Ia merasa
tak enak. Namun wanita itu tahu, bibirnya pasti sudah merasa gatal
ingin menanyakan mengapa ia mengambil jalan hidup seperti ini.
Susanti
meletakkan kuncinya di atas meja, “Terima kasih sudah menolongku
tadi. Banyak orang menganggapku perempuan gampangan karena profesiku.
Yah, kurasa memang sudah resiko pekerjaan di dunia malam.”
“Apa Ipin
tahu awak bekerja seperti ini?”
“Tentu
saja.” Susanti menjawab dengan santai, kemudian masuk ke dapur
untuk membuatkan minuman, “Tapi bisa apa dia? Aku kan juga butuh
uang untuk menafkahi keluargaku.”
“Keluarga
awak?” tanya Upin, “Bukankah di Malaysia awak tinggal sendirian?”
Tiba-tiba
seorang anak kecil keluar dari dalam biliknya. Ia mengusap-usap
matanya karena masih mengantuk.
“Mama
sudah pulang ya?”
“Oh,
Udin! Maaf, Mama membangunkanmu ya?” Susanti buru-buru keluar dan
memeluk anak itu.
Upin
berjalan mundur, terhuyung-huyung karena shock.
Mustahil!
Di depannya sekarang ada ... Ipin?
Ya, tak
salah lagi! Rambut pelontos itu ... kaos itu ... ia tengah melihat
Ipin yang masih berumur lima tahun!
Upin
menatap Susanti dengan tatapan tak percaya.
“A ...
apa ayah anak ini adalah ...”
***
“Apa Kak
Ros tahu?” tanya Upin ketika Susanti menghidangkan segelas teh
hangat kepadanya.
“Ya,
karena itulah ia sangat membenciku!”
“Mustahil
ini semua terjadi ... kenapa tak ada yang mengatakannya kepada saya?”
Upin mengusap wajahnya dengan sedih. Udin telah tertidur pulas, namun
tak salah lagi ... anak itu adalah keponakannya!
“Kau
pergi terlalu lama, Upin. Sudah lima tahun bukan? Dan kau tak pernah
sekalipun pulang ke kampung ini.”
Susanti
benar. Memang amat berat rasanya kembali ke kampung ini setelah
kematian Opah. Semua yang ada di sini, walaupun disayanginya,
membangkitkan memori dan luka lama yang selalu ingin ia pendam.
“Bagaimana
dengan kehidupanmu di KL? Aku iri kau bisa pergi dari kampung ini dan
memulai kehidupan baru.”
“Kehidupan
di militer sangat berat, namun saya senang menjalaninya.”
Susanti
terkekeh pelan, “Kau benar-benar jadi tentara ya sekarang? Rambut
pelontosmu mengingatkanku padamu pas masih kecil dulu.”
“Yah,
kurasa begitu.” dengan malu Upin mengelus kepala botaknya.
“Dulu
kalian selalu membotaki kepala kalian. Tapi selepas SMP, kalian malah
lebih suka membiarkan rambut kalian gondrong. Kami hampir tak bisa
membedakan kalian gara-gara model rambut kalian selalu sama.”
“Yah,
acak-acakan. Kami selalu mendapat masalah karena guru menyuruh kami
merapikan rambut kami.” Wajah Upin bersemu merah ketika ia
mengenang masa lalu.
“Namun
ketika melihat sikap dan sifat kalian, barulah kami bisa membedakan
kalian. Kau selalu menjadi yang bertanggung jawab, sedangkan Ipin ...
yah, dia suka semaunya sendiri. Kau tahu, bahkan hingga akhir
ajalnya, Ipin masih membiarkan rambutnya panjang ...”
Raut wajah
Susanti menjadi sedih.
“Yah,
Saya tahu. Saya melihatnya di foto.”
Kembali
kondisi jenazah Ipin yang berlumuran darah terbayang di benak Upin.
Ia buru-buru berusaha menghapusnya.
“Bagaimana
kabar teman-teman kita yang lain?” Upin berusaha mengalihkan topik
pembicaraan.
“Mereka
semua masih di sini. Kau pasti sudah dengar Fizi menjadi polisi, tapi
apa kau sudah tahu Mei Mei dan Jarjit menikah?”
“Benarkah?
Lalu Ehsan dan Mail?”
“Mail
menjadi pengusaha kopi luwak. Ia mengimpornya dari Sumatra. Ia cukup
sukses, bahkan bisa dibilang ia orang paling kaya di sini. Sedangkan
kudengar Ehsan kini juga sukses dan sudah lama melanglang buana
hingga ke Korea. Lama aku nggak melihat dia. Tapi kudengar ia membeli
rumah panggung keluargamu dan mengubahnya menjadi resor.
Pembukaannya besok. Kurasa kau harus datang.”
Upin
mengangguk. Besok teman-temannya pasti berkumpul dan itulah saat yang
tepat untuk mengumpulkan informasi tentang kematian Ipin.
“Santi
... maafkan saya menanyakan hal ini ...” Upin dengan berat hati
mengungkapkan maksudnya menemui gadis itu, “Namun saya harus
bertanya ...”
Gadis itu
menggeleng, “Tidak! Aku tak tahu apa-apa tentang kematian Ipin ...”
Upin telah
lama mengenal gadis itu. Mereka berteman sejak kecil.
Dan ia tahu
benar gadis itu tengah menyembunyikan sesuatu.
“Maaf,
Upin. Kurasa kau harus pergi. Tak baik kau bertamu di rumahku larut
malam begini ...”
Upin pun
beranjak pergi dengan seribu pertanyaan.
Apa yang
terjadi dengan kampung ini?
Dan
rahasia apa yang disembunyikannya?
TO BE
CONTINUED
Melihat cerita ini, tidak terbayang ini adalah fanfiction dari upin ipin yang dipenuhi gelak tawa. Malah yang terbayang hanyalah tokoh dan karakter baru. Aura gelap di cerita cukup kental dan saya suka penggunaan bahasanya yang khas.
ReplyDeleteDitunggu lanjutannya
Gila nih cerita bocil malah jadi dark gitu wkwkwk... Salut sama bang Dave
ReplyDeleteTatkala realita mengubah segalanya...
ReplyDeleteMantap bang 👍👍👍
namanya udin, indonesia sekali wkwk
ReplyDeleteBtw ada yg ngenalin lagunya nggak?😏
ReplyDeleteLagunya awkarin:(
ReplyDeletepadahal ngeship mei mei sama mail:(
ReplyDeletehehehe ditunggu lanjutannya
Delete3....2....1... BOOM no more childhood
ReplyDeletebtw yang blog darker itu ngkupdate lagi bang?
ReplyDeleteLagi proses nih nerjemahin cerita2 dari reddit lagi. Ditunggu ya :)
Deleteanjir... namanya udin
ReplyDeletekasian amat si Fizi, gak disebut haha
ReplyDeleteKan disebut kalo Fizi jadi polisi..
DeletePadahal ngeship mei mei sama mail:( (2)
ReplyDeleteNgebayangin bang saleh jadi seksi. Wkwk.
ReplyDeleteBtw mei-mei nikahnya sama jarjit?
jadi bayangin kaya lulove gak si
Deleteoke laksanakan bang~
ReplyDeletePadahal ngeship mei mei sama mail:( (3)
ReplyDeletewell dave, you did it. Childhood is no more
ReplyDeleteGw jadi ji2k nonton kartun ny di tv karna baca cerita ne,, ngebayangin mereka gede ny kayak gitu😆
ReplyDeletegw juga sama kayak comment2 di atas,, lebih sip Mei2 sama Mail..
Anak ny Susanti syukur aj gak kembar,, kalo kembar jadi Udin Idin.. Wkwkwkwkkk