Thursday, July 2, 2020

FINE-TUNED UNIVERSE: CHAPTER 1 – BISAKAH SAINS MEMBUKTIKAN TUHAN?

Kehidupan sesungguhnya amatlah ringkih hingga hanya ada dua kemungkinan, antara kita mendapat keberuntungan berupa kebetulan yang luar biasa, atau kita ada karena campur tangan Tuhan

Salah satu pertanyaan, atau bahkan bisa juga bisa disebut “misteri”, terbesar dalam sains adalah darimana kita berasal. Apakah kita sengaja diciptakan? Ataukah keberadaan manusia di alam semesta ini sekedar kebetulan? Tak mudah memang menjawabnya. Namun semakin dalam para ilmuwan mempelajari tentang alam semesta dan kehidupan kita di Bumi, jawaban-jawaban tersebut seakan mendorong mereka ke sebuah skenario, yakni “Fine-Tuned Universe” atau “alam semesta yang disetel dengan apik”.

Apakah Fine-Tuned Universe itu? Dan apakah benar konsep Fine-Tuned Universe membuktikan keberadaan Tuhan?


Nah, bayangkan sebuah radio. Generasi muda sekarang sepertinya nggak pernah berkutat ya dengan yang namanya radio (lebih demen Spotify soalnya). Kalopun memakainya, sekarang kebanyakan radionya sudah berbentuk digital berupa aplikasi dalam hape, sehingga dengan sekali tekan, kita udah langsung nemuin channel yang cocok. Tapi kalian yang jadul kayak gue mungkin pernah menggunakan radio versi jadul. Dengan radio lama, stasiun radio yang kalian inginkan nggak bisa langsung serta-merta muncul begitu radio kalian nyalakan. Tiap stasiun punya gelombang (channel) FM-nya sendiri. Dimana di antara channel-channel tersebut, ada gelombang-gelombang yang nggak dipakai. Alhasil, kalian harus mencari terlebih dahulu channel yang kalian inginkan, biasanya dengan memutar “tuner” radio.

Ketika tuner mencapai gelombang yang kosong, maka kalian akan mendengar suara “kemresek” yang cukup menganggu. Namun begitu mendekati channel yang didiami oleh stasiun radio tersebut, akan mulai terdengar suara yang awam di telinga kalian, mungkin suara DJ radionya berbicara atau suara musik. Namun suara itu masihlah sayup-sayup atau bercampur dengan suara “kemresek” (sorry nggak tahu bahawa Indonesianya wkwkwk). Tapi begitu kalian menemukan suara itu, kalian tahu kalian sudah dekat dengan channel yang kalian inginkan. Dengan menyetelnya sedikit, kalian akan tiba dengan pas di channel yang kalian inginkan dan alhasil, suara yang merdu-pun mengalun.



Inilah yang disebut dengan “fine tuning”. Kalian harus menyetelnya dengan “halus” agar kalian bisa mendapat hasil yang kalian inginkan.

Alam semesta kita bekerja seperti itu. Tanpa ada “fine tuning” tersebut maka alam semesta kita takkan pernah ada. Bahkan, kehidupan kita juga takkan pernah muncul. Ilmuwan, baik Fisika maupun Biologi, sejak awal abad ke-20 sudah menyadari fakta tersebut. Masalahnya sekarang, apakah “fine tuning” tersebut disebabkan oleh Kekuatan yang lebih tinggi, ataukah terjadi secara kebetulan semata?

Silakan kalian simpulkan sendiri setelah membaca artikel gue berikut ini.


ALAM SEMESTA YANG SENGAJA “DISETEL”?

Benarkah alam semesta kita bak sebuah radio yang harus disetel terlebih dahulu agar bisa mengalunkan musik merdu bernama "kehidupan"?

Walaupun memiliki dampak yang amat dahsyat bagi Fisika dan Biologi, Fine-Tuned Universe pertama kali justru disadari oleh seorang ahli kimia bernama Lawrence Joseph Henderson pada 1913. Kala itu ia menyoroti bahwa lingkungan di Bumi sangatlah kondusif untuk keberadaan air dan tanpa air, kehidupan di Bumi (termasuk manusia) takkan ada. Fine-Tuned Universe dalam Fisika pertama kali dipelajari oleh Robert Dicke pada 1961 dimana ia menyadari bahwa force terpenting dalam alam semesta, yakni gravitasi dan elektromagnet bisa terjadi karena Hukum Fisika “disetel secara halus”. Di bidang Biologi, Fine-Tuned Universe juga diamini oleh Fred Hoyle pada 1984 dalam bukunya “The Intelligent Universe” dimana ia mengklaim alam semesta ini seolah diatur agar kehidupan manusia bisa ada.

Inti atau premis dari Fine-Tuned Universe adalah perubahan terkecil pada konstanta Fisika akan berakibat pada alam semesta yang benar-benar berbeda (anggap saja seperti Butterfly Effect) dimana alam semesta tersebut akan lebih “ganas” sehingga tak memungkinkan adanya kehidupan. Ilmuwan kawakan Stephen Hawking pernah mengungkapkan keheranannya akan besaran konstanta Fisika di alam semesta ini yang seolah-olah sudah sengaja “disetel” sehingga kehidupan bisa muncul.

Apakah contoh konstanta-konstanta tersebut?


Strong Force

Kalian sudah belajar tentang strong force kan, yakni force yang bertujuan menggabungkan partikel-partikel sub-atomik agar membentuk atom? Mudah dipahami jika strong force terlalu lemah, maka partikel sub-atomik takkan mampu berikatan. Namun bagaimana jika ia lebih besar? Jika strong force lebih besar 2% saja, dipostulatkan bahwa hidrogen di seluruh alam semesta akan langsung habis dalam menit-menit pertama Big Bang. Tanpa hidrogen, takkan ada bintang yang menghasilkan energi untuk kita. Tanpa energi, takkan ada kehidupan. Hidrogen juga merupakan penyusun utama air (H2O), jadi tanpa hidrogen, mudah dimahfumkan bahwa kehidupan takkan pernah ada.


6 Konstanta Semesta ala Martin Rees

Tanpa konstanta-konstanta ini berada di nilai yang tepat, maka bintang takkan pernah ada di jagad raya ini dan begitu pula kehidupan

Martin Rees dalam bukunya “Just Six Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe” yang dirilis tahun 1999 merangkum 6 konstanta fisika yang apabila nilainya diubah sedikit saja, akan menimbulkan kekacauan di alam semesta. Konstanta-konstanta tersebut adalah:
  1. “N”, yakni rasio kekuatan elektromagnetisme dengan gravitasi dari sepasang proton. Nilainya sekitar 1036. Jika nilainya lebih kecil, alam semesta kita akan berumur pendek dan keburu musnah sebelum kehidupan bisa muncul.
  2. Epsilon (ε),yakni efisiensi fusi hidrogen menjadi helium, yakni bernilai 0,007. Jika nilainya lebih kecil sedikit saja, yakni 0,006 maka takkan ada helium. Sedangkan jika nilainya lebih besar sedikit saja, semisal 0,008, maka hidrogen takkan pernah ada. Baik hidrogen dan helium merupakan elemen-elemen terpenting di alam semesta dan menyusun 99% materi di jagad raya ini. Tanpa kedua elemen itu, reaksi nuklir dalam inti bintang takkan bisa terjadi.
  3. Omega (Ω) atau “parameter densitas”, yakni pengaruh gravitasi terhadap mengembangnya alam semesta. Nilainya adalah 1. Bila gravitasi terlalu kuat, maka alam semesta akan runtuh (kolaps) begitu tercipta. Sedangkan jika gravitasi terlalu lemah, bintang-bintang takkan bisa tercipta.
  4. Lambda (Λ), atau disebut pula “cosmological constant” yang bernilai amat kecil, yakni 10-122. Nilai tersebut tentu amatlah kecil (nol koma dengan 121 angka 0 di belakangnya) sehingga efeknya hampir tak terasa. Namun jika nilainya tak sekecil ini, maka takkan ada bintang maupun benda langit lainnya yang bisa terbentuk.
  5. Q”, yakni rasio energi gravitasi yang diperlukan untuk menarik galaksi dengan energi yang ekuivalen dengan massanya (yap, gue juga pusing). Nilainya sekitar 10−5. Jika terlalu kecil, maka takkan ada bintang yang mampu terbentuk. Namun jika terlalu besar, bintang-bintang takkan selamat sebab akan saling bertabrakan.
  6. “D”, yakni jumlah dimensi ruang, yakni tentu saja 3. Dikatakan bahwa kehidupan takkan bisa ada jika hanya ada 2 atau bahkan ada 4 dimensi ruang.

Hoyle State

Karbon tak hanya bermanfaat untuk menghasilkan berlian yang begitu indah ini. namun juga tanpa karbon, takkan ada permata bernama kehidupan di Bumi ini

Contoh lain dari konstanta Fisika yang begitu menentukan takdir kita adalah “Hoyle State” yang berkaitan erat dengan energi sebuah atom karbon. Nilainya adalah 7,656 MeV. Jika nilainya kurang 7,3 atau lebih besar dari 7,9 maka takkan ada cukup karbon di alam semesta ini untuk mendukung kehidupan. Perlu kalian tahu bahwa kehidupan kita (tak hanya manusia, namun juga seluruh makhluk hidup di Bumi) merupakan kehidupan yang berbahan dasar karbon.

Mungkin kalian berpikir, kok dari tadi kita ngomongin bintang sih, Bang? Emang ada efeknya buat kita? Eits, bintang bisa disederhanakan dengan istilah yang lebih mudah kalian mengerti, yakni: MATAHARI. Bayangkan jika nggak ada Matahari, nggak akan ada Tata Surya. Mau planet Bumi kita melayang-layang nggak tentu arah di gelapnya alam semesta? Tanpa Matahari, mustahil akan ada kehidupan. Bayangkan saja jika Matahari sekarang tiba-tiba lenyap, kehidupan jelas takkan bertahan lama. Tanaman takkan mampu berfotosintesis sehingga tumbuhan akhirnya akan punah, diikuti musnahnya hewan dan manusia.

Sebuah video dari Arvin Ash justru lebih jauh lagi mengeksplor ada 19 parameter Fisika yang harus di fine-tuned atau disetel dengan halus agar kehidupan bisa ada. Dengan kata lain, apabila nilainya berubah sedikit saja, maka alam semesta ini bisa saja steril dari kehidupan. Silakan cek videonya untuk mengetahui apa saja konstanta-konstanta tersebut.

Namun benarkah adanya “Fine-Tuned Universe”menjadi bukti saintifik akan keberadaan Tuhan? Untuk menjelaskan keajaiban “Fine-Tuned Universe”, Kenneth Einar Himma dan George Schlesinger mengatakan demikian. Katakanlah ada pria bernama John yang memenangkan hadiah lotere sebesar 1 juta dolar. Tentu saja, kalian akan menganggap bahwa John adalah pria yang amat beruntung. Namun bagaimana jika katakanlah, John kemudian memenangkan hadiah lotre sebesar 1 juta dolar itu selama 3 kali berturut-turut? Pasti kalian berpikir, ada yang nggak beres! Pasti ada dalang di balik semua ini?

Maka lihatlah bukti-bukti di atas. Jika cuman satu (semisal kita ambil saja Cosmological Constant), kalian sah-sah saja jika berpikir, wah mungkin itu kebetulan sahaja. Namun jika nilai N, epsilon, omega lambda, Q, dan D juga berperilaku sama, maka kalian mungkin mulai ragu bahwa ini semua sekedar “kebetulan”.

So, does that actually prove that God exist?

Kita akan mempelajarinya lebih lanjut dengan teori lain, yakni “Rare-Earth Hypothesis”.


KEAJAIBAN “RARE-EARTH HYPOTHESIS”

Anugerah kehidupan yang begitu menakjubkan di Bumi ternyata amat dipengaruhi oleh posisi planet ini di alam semesta

Salah satu aplikasi dari “Fine-Tuned Universe” adalah “Rare-Earth Hypothesis” atau “Hipotesis Bumi Langka”. Sesuai namanya, Rare-Earth Hypothesis berpendapat bahwa kehidupan seperti di Bumi amatlah langka. Uniknya, hipotesis ini bisa menjawab pertanyaan dari Fermi Paradox mengapa hingga sekarang kita belum bisa melihat kehidupan alien selain di planet kita. Hipotesis ini berpendapat bahwa kehidupan di Bumi ini disokong oleh fenomena astrofisika dan geologis yang sebenarnya amatlah mustahil atau memiliki kemungkinan (probabilitas) yang teramat kecil. Dengan kata lain, keberadaan manusia di alam semesta ini bisa dianggap keajaiban. Ataukah, alam semesta ini malah memang sengaja dirancang untuk kita tinggali?

Istilah “Bumi Langka” pertama kali muncul dalam buku besutan Peter Ward dan Donald Brownlee pada 2000. Peter sendiri adalah seorang ahli geologi dan palaentologi, sedangkan Donald adalah astronom sekaligus ahli astrobiologi, keduanya dari Universitas Washington. Mereka berdua berpendapat bahwa agar kehidupan bisa ada, maka faktor-faktor di bawah ini perlu dipenuhi. Dan uniknya, Bumi memiliki semua syarat-syarat di bawah ini.

1. Memiliki lokasi yang tepat di galaksi yang tepat pula



Ilmuwan mempostulatkan bahwa kehidupan tak bisa berlangsung di galaksi jenis pertama (globular galaxy) tapi bisa berlangsung di galaksi jenis kedua (spiral galaxy) asalkan letaknya tak berada di pusat galaksi


Ada banyak galaksi yang berada di alam semesta kita, pasti kalian semua bisa mengamini itu. Namun tak semua galaksi bisa menjamin kehidupan. Semisal, galaksi berbentuk globular (bulat) yang teramat padat dengan banyak bintang di dalamnya akan menghasilkan radiasi yang amat tinggi yang jelas akan memusnahkan kehidupan. Galaksi globular kemungkinan memiliki banyak bintang yang berpotensi menjadi supernova, sehingga juga bisa melenyapkan kehidupan. Belum lagi kemungkinan kita bertabrakan dengan bintang lain juga semakin tinggi.

Tak hanya itu, jikapun kita tinggal di galaksi yang bisa menjamin kehidupan, semisal Bima Sakti yang berbentuk spiral, lokasinya pun akan menentukan apakah kehidupan itu bisa lestari atau tidak. Sebagai contoh, dulu pernah gue jelaskan letak Tata Surya kita berada di lengan Bima Sakti. Mengapa tidak di tengah? Karena (dulu pernah gue jelaskan juga) di pusat Bima Sakti terdapat Lubang Hitam raksasa yang memancarkan radiasi sinar X dan gamma yang teramat berbahaya. Bahkan bagian pusat galaksi disebut sebagai “Dead Zone” karena jelas kehidupan takkan selamat di sana.

Beruntungnya, kita tinggal di lengan Bima Sakti yang memiliki lebih jarang bintang, sehingga selamat dari amukan radiasi mematikan.


2. Mengorbit dengan jarak yang tepat dengan tipe bintang yang tepat pula

Gambaran sebuah Goldilocks Zone



Untuk menjelaskan ini, kalian harus tahu apa itu prinsip “Goldilocks Zone”. Zona Goldilocks adalah zona “hijau” di sekitar sebuah bintang, dimana apabila sebuah planet mengorbit di zona tersebut, maka kondisi di planet tersebut akan mendukung kehidupan. Lokasi Zona Goldilocks ini amat bergantung apa tipe, ukuran, dan usia bintang tersebut,

Syarat pertama sebuah bintang dapat mendukung sebuah kehidupan adalah bintang tersebut haruslah bintang tunggal dan bukan sebuah “binary system” atau “sistem binari”. Sistem Binary terjadi apabila sebuah sistem memiliki dua bintang, sehingga kedua bintang tersebut akhirnya saling mengorbit satu sama lain. Beruntung, bintang kita, yakni Matahari, adalah bintang tunggal yang tak memiliki kawan. Gawat jadinya bila ada dua bintang di Tata Surya kita.

Gambaran dua bintang dengan massa yang sama akan mengorbit satu sama lain

Lho, mengapa Bang? Apa akan terlalu panas? Panas bukanlah masalah utamanya, melainkan “Three Body Problems”. Apa lagi itu? Jika dua benda langit bertemu, maka logikanya benda langit yang memiliki gaya gravitasi lebih kecil akan mengorbit benda langit yang memiliki gaya gravitasi lebih besar. Contohnya seperti Bulan mengorbit Bumi. Apabila dua benda langit memiliki gaya gravitasi sama besar, mereka akan saling mengitari satu sama lain seperti sistem Binary tadi. Gerakan dua benda langit sangat mudah diprediksi oleh Hukum Newton, namun apabila satu benda langit lain ditambahkan ke dalam sistem itu, hasilnya akan kacau.

Ilustrasi "three body problems" dari tiga benda langit yang menyebabkan orbitnya menjadi maha-kacau

Inilah yang disebut “Three Body Problems”. Ketika ada tiga benda langit (semisal dua bintang dan satu planet), maka gerakan ketiganya akan sangat kacau dan “chaotic”. Tak ada satupun perhitungan matematis ataupun hukum alam yang bisa memprediksi gerakannya. Semisal bisa saja semenit Matahari ada di dekat kita (sejauh Merkurius) kemudian di menit berikutnya, kita berada sejauh Neptunus dari Matahari, kemudian tiba-tiba kita akan ada di orbit Mars. Gerakan tiba-tiba yang tak teratur itu tentu saja akan langsung memusnahkan kehidupan di planet kita.

Uniknya, sekitar 50% bintang yang ada di alam semesta kita terlibat dalam Sistem Binary tersebut, sehingga bisa dibilang kita amat beruntung.

Ukuran bintang juga amat berpengaruh. Bintang berukuran raksasa seperti Sirius dan Vega tidak hanya lebih panas, namun juga menghasilkan lebih banyak radiasi ultraviolet yang berbahaya bagi kehidupan. Bintang yang lebih kecil (disebut “dwarf star” atau bintang kerdil) mungkin lebih aman. Namun kacaunya, planet yang mengorbit bintang kerdil umumnya berada dalam kondisi “tidal lock”. Artinya, ada satu permukaan yang akan terus-menerus menghadap ke bintang itu dan permukaan lainnya akan terus menghadap ke sisi berlawanan. Akibatnya, takkan pernah ada pergantian siang dan malam. Terang dan gelap di sana akan berlangsung selama-lamanya.


3. Urutan planet yang tepat dalam Tata Surya

Pernahkah kalian membayangkan jika kita ternyata harus berterima kasih pada planet Jupiter?

Bagaimana jika gue katakan, selama ini Jupiter menyumbang amat banyak bagi kehidupan kita di Bumi? Lah kok bisa? Jupiter aja letaknya amat jauh, Bagaimana bisa mempengaruhi kehidupan di Bumi? Ternyata Jupiter selama ini diam-diam menjadi “vacuum cleaner langit”. Dengan kata lain, gaya gravitasi Jupiter yang teramat kuat membuat benda-benda langit seperti meteor, komet, hingga asteroid dari luar angkasa tertarik ke arahnya. Jika saja tak ada Jupiter, kehidupan di Bumi sudah lama punah karena benda langit asing tersebut akan menabrak kita.

Namun kita juga beruntung letak Jupiter tak terlalu dekat dengan kita. Jika letaknya terlalu dekat, gaya gravitasi Jupiter yang amat kuat jelas akan mengacaubalaukan kondisi planet kita.

4. Ukuran planet yang tepat

Mutiara di langit ini ternyata memiliki ukuran "sempurna" untuk mengayomi kehidupan

Pernah nggak sih berpikir, apa jadinya jika ukuran Bumi lebih gede atau lebih kecil? Mungkin enak ya kalo lebih gede, ada lebih banyak daratan hingga Israel dan Palestina nggak usah rebutan lahan. India dan China juga nggak perlu bersengketa soal perbatasan. Namun tak sesederhana itu. Ukuran Bumi kita sudah sempurna dan pas dari sononya.

Jika Bumi berukuran lebih kecil, akibatnya gaya gravitasinya akan lebih kecil pula. Dampaknya bisa langsung kita rasakan. Planet kita takkan bisa menarik udara dan air agar tetap di permukaan Bumi. Alhasil, planet kita takkan memiliki atmosfer dan lautan.

Kebalikannya jika Bumi kita terlalu besar, atmosfer kita justru akan terlalu tebal. Mungkin kalian malah senang ya, kan kalo atmosfer lebih tebal, udara juga lebih banyak, jadi kita bisa lebih lega bernafasnya? Eits, tapi ingat, atmosfer juga punya tekanan. Semakin tebal atmosfernya, semakin besar tekanannya. Akibatnya tubuh kita bisa langsung remuk. Selain itu, atmosfer tebal juga akan lebih cepat memicu efek rumah kaca sehingga permukaannya akan semakin panas.


5. Memiliki Satelit Berukuran Besar

Kehidupan kita ternyata juga diberkahi dengan adanya sahabat lama kita ini, Rembulan




Ternyata Bulan tak hanya berfungsi menghiasi langit malam semata. Kontribusinya terhadap kehidupan di Bumi juga teramat besar. Bahkan bisa dikatakan, tanpa adanya Bulan, takkan ada kehidupan di Bumi.

Keberadaan satelit sebesar Bulan di bagian dalam Tata Surya tergolong aneh dan ganjil. Bayangkan, dari empat planet terdekat dengan Matahari, hanya Bumi yang memiliki satelit alami. Merkurius dan Venus tak memiliki satelit. Mars memiliki dua satelit, yakni Phobos dan Deimos, namun keduanya bukanlah satelit “alami”. Phobos dan Deimos sesungguhnya asteroid dari sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter yang kebetulan tertangkap gaya gravitasi planet merah tersebut. Buktinya, bentuk Phobos dan Deimos tidaklah beraturan, jauh dari bentuk bola sempurna satelit alami seperti Bulan.

Mengapa Bumi bisa dianugerahi satelit seperti Bumi? Para astronom menduga bahwa miliaran tahun yang lalu, ketika masih dalam tahap pembentukan, Bumi dihantam oleh sebuah planet bernama Theia. Theia langsung musnah akibat tabrakan tersebut, namun pecahannya kemudian bergabung kembali menjadi Bulan.

Adanya musim, seperti mekarnya sakura ini, takkan terjadi bila saja Bulan tak tercipta

Mengapa peristiwa ini penting? Sebab tabrakan tersebut mengubah poros Bumi yang seharusnya tegak lurus menjadi miring, sehingga memiliki iklim yang teratur. Kemiringannya pun sempurna. Ilmuwan memperkirakan jika kemiringan Bumi terlalu drastis, maka musim bisa berkecamuk secara ekstrim. Namun jika poros Bumi tidak miring, maka variasi iklim takkan cukup untuk menyokong kehidupan.

Tak hanya itu, tabrakan tersebut juga membuat rotasi Bumi bertambah cepat. Konon kecepatan rotasi Bumi ini menjadi amat pas bagi lamanya pergantian siang dan malam yang mendukung fotosintesis tumbuhan berkembang.

Bagaimana dengan peran Bulan sendiri bagi kehidupan di Bumi? Adanya gaya gravitasi Bulan membantu kestabilan perputaran Bumi pada porosnya. Gaya gravitasinya juga membantu pergerakan lempeng Bumi sehingga memacu siklus mineral yang amat dibutuhkan makhluk hidup. Tak hanya itu, adanya pasang laut saat purnama juga bermanfaat sekali bagi kehidupan biota laut.


6. Memiliki atmosfer

Walaupun terlihat ringkih, namun atmosfer kita bak perisai yang melindungi kehidupan kita

Komposisi atmosfer Bumi-pun seakan begitu sempurna untuk mendukung kehidupan Bumi. Planet kita memiliki lapisan ozon untuk melindungi kehidupan dari ancaman sinar ultraviolet. Rasio nitrogen dan karbon dioksida dalam atmosfer juga dalam takaran tepat agar kehidupan bisa berkembang. Karbon dioksida hanya dibutuhkan dalam level yang sedikit, yakni sekitar 400 ppm (part per million). Kadar CO2 yang lebih tinggi dari itu akan meracuni kehidupan, belum lagi akan menciptakan efek rumah kaca dan global warming.

Sama halnya dengan kadar oksigen. Jika terlalu sedikit, tentu kita mesti rebutan oksigen dengan makhluk lain. Bagaimana jika oksigennya terlalu banyak? Jangan lupa, oksigen adalah gas yang amat mudah terbakar. Bila konsentrasi oksigen terlalu tinggi, udara kita akan mudah sekali terbakar. Berkecamuknya petir di atmosfer Bumi juga berperan penting sebab dapat memfiksasi (mengikat) nitrogen dari udara sehingga bisa diserap oleh tumbuhan.

***

Tentu gue bisa dianggap “meracuni” pikiran kalian jika gue hanya mendoktrinkan pendapat dari satu sisi saja. Di episode berikutnya gue akan menyodorkan pada kalian pendapat dari sisi yang berseberangan. Barulah kalian bisa menjawab sendiri, apa benar semua yang gue gelontorkan di atas benar-benar membuktikan keberadaan Tuhan ataukah tidak.






3 comments:

  1. Suara "kemresek" biasa di sebut suara statis... CMIIW

    Nice article bang, jadi sider sejak lama wkwk.... Semangat

    ReplyDelete
  2. Sebagai orang yang percaya tentang penciptaan, sebenarnya aku juga percaya ada lebih banyak alasan kalau Tuhan memang ada. Contohnya aja hal2 kecil kaya warna dan rasa. Ya aku bersyukur bisa liat indahnya langit sore ataupun bisa rasain manisnya semangka. Karena sebenarnya kita juga masih bisa hidup tanpa hal2 tsb, tapi nyatanya kita diberkahi kemampuan untuk menikmati semua "delights" di dunia ini.

    ReplyDelete
  3. Yang percaya kehidupan ciptaan The Engineer angkat jempol (efek nonton promotheus di Bioskop Tr*ns t*


    Etapi the engginer g dijelaskan mrk menciptakan jagad raya

    ReplyDelete