Thursday, July 2, 2020

FINE-TUNED UNIVERSE: CHAPTER 2 – PRO KONTRA PENCIPTA JAGAD RAYA


Apakah alam semesta kita sesungguhnya dirancang seperti arsitek yang tengah mendesain bangunan ini, ataukah semua berjalan sesuai dengan prinsip Dunia Kuantum, yakni probabilitas?

Bagaimanakah pendapat yang kontra dengan Fine-Tuned Universe? Beberapa (atau malah banyak mungkin) ilmuwan yang tak setuju dengan konsep “Grand Design” (alias alam semesta ini sudah dirancang oleh “Higher Being” untuk bisa menampung kehidupan) mengemukakan alasan lain. Mereka menawarkan penjelasan yang dirangkum dalam istilah “Bayesian probability”.

Apa itu probabilitas Bayesian?


BAYESIAN PROBABILITY

Hujan seperti ini sesungguhnya hanyalah satu dari sekian probabilitas, namun bagi kita mungkin memiliki makna tersendiri

“Bayesian” adalah suatu interpretasi (pemahaman) dalam konsep probabilitas (kemungkinan), dimana kita menganggap sesuatu yang sebenarnya terjadi secara acak sebagai sesuatu yang “spesial” dan bermakna. Contohnya begini. Anggap aja lu lagi pulang dari sekolah (atau kuliah atau kerja, apapun aktivitas kalian) dan mendung di langit udah tebel banget. Lu berusaha pulang secepat mungkin agar nggak keburu hujan karena lu nggak bawa payung atau jas hujan. Begitu lu sampai di rumah tiba-tiba “Byuuuur!' hujan turun dengan sangat deras. Lu kemudian menganggap diri lu beruntung banget, bahkan mungkin dilindungi sama Yang Di Atas.

Gue kasi contoh lain. Semisal lu suatu malam bermimpi tentang kakek lu dan tiba-tiba saja begitu bangun, lu dapat kabar bahwa kakek lu meninggal. Tentu saja lu akan berpikir kejadian itu bukanlah kebetulan dan merupakan firasat atau pertanda dari Yang Di Atas.

Namun benarkah demikian?

Kita coba teliti kasus pertama. Ketika lu pulang dalam kondisi nggak kehujanan, sebenarnya probabilitasnya amatlah tinggi, yakni 50%, sehingga kondisi dimana lu pulang sebelum hujan turun sebenarnya bukanlah sesuatu yang spesial. Tapi lu menganggapnya spesial karena lu dalam hati nggak mau pulang dalam keadaan kehujanan.

Begitu pula dengan kasus kedua, lu mungkin mimpi tersebut adalah sesuatu yang bersifat supranatural, namun coba kita tilik lebih lanjut. Lu menganggap peristiwa mimpi lu sebagai sesuatu yang amat mustahil (kecuali itu keajaiban) karena lu hanya berpusat pada sudut pandang lu sendiri. Namun jika kita melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas, ada hampir 8 miliar penduduk Bumi. Semuanya bisa tidur. Semuanya bisa bermimpi. Semuanya bisa saja memimpikan anggota keluarga mereka. Semuanya bisa saja memimpikan kakek mereka secara spesifik. Dan bisa saja, dari mereka semua, ada yang kakek mereka keesokan harinya meninggal (karena memang yang namanya kakek kan sudah lanjut usia).

Nah, bila kita melihatnya dari sudut pandang semua penduduk yang ada di dunia, mimpi tersebut sebenarnya tidaklah memiliki probabilitas yang kecil.

Itulah yang dinamakan “Bayesian Probability” yang sebenarnya bisa pula diterapkan untuk mematahkan hipotesis Bumi Langka. Benarkah semua “kenikmatan” yang kita rasakan, mulai dari ukuran hingga posisi Bumi yang begitu “pas”, merupakan berkah dari Sang Pencipta? Ataukah itu hanya kebetulan semata? Pihak yang kontra pada Hipotetis Bumi Langka mungkin menyebut teori tersebut sebagai klaim yang berlebihan.


THE EXOPLANET DILEMMA

Mungkinkah di luar sana ada sebuah eksoplanet eksotis yang memiliki kehidupan lain?

Mereka mencoba menggelontorkan bukti bahwa ternyata tak hanya Bumi yang memiliki kondisi yang ramah pada kehidupan. Buktinya mereka menemukan exoplanet (planet-planet yang ada di Tata Surya lain) yang berada dalam Zona Goldilocks sehingga mereka bisa saja memiliki kehidupan. Belum lagi Drake Equation dengan berani menyebutkan angka ribuan hingga jutaan peradaban alien di galaksi kita saja. Itu berarti kehidupan kita di Bumi bukanlah sesuatu yang “spesial” dan bisa terjadi dimana saja. Berarti kehidupan kita sama sekali nggak spesial dong? Kita menganggapnya “spesial” karena kita belum menemukan kehidupan alien yang lain.

Bagaimana dengan segala konstanta yang secara “kebetulan” mengizinkan adanya kehidupan, seolah sudah diatur oleh Sang Pencipta? Pihak yang kontra akan berpendapat bahwa apa yang ada di benak para pemuja “Fine-Tuned Universe” terkena “survivor bias”, sehingga mereka berpikir bahwa “Fine-Tuned Universe” ini disebabkan karena alam semesta memang dirancang untuk kehidupan, bukan semestinya, yakni kehidupan justru ada karena “Fine-Tuned Universe”. Lah, apa bedanya?

Untuk memahaminya sedikit, kita perhatikan sejenak opini dari Richard Dicke yang dikemukakan tahun 1961. Ia berpendapat bahwa kita semua “beruntung” berada di umur yang tepat di alam semesta ini (ia menyebutnya sebagai “golden age”). Jika umur alam semesta lebih muda, sekitar sepersepuluh dari umurnya sekarang, takkan ada bahan karbon yang cukup untuk mendukung kehidupan. Jika alam semesta 10 kali lebih tua, maka bintang-bintang yang ada di jagad raya keburu kehabisan energi mereka. Jika pendapat itu benar, maka umur alam semesta saat ini merupakan salah “keberkahan” yang tak terhingga bagi kita.

Namun benarkah itu? Ataukah justru kita salah memahaminya? Bagaimana kalo sudut pandangnya kita ubah? Bagaimana jika kita berada di umur alam semesta yang saat ini karena memang inilah umur alam semesta yang paling optimal untuk mendukung kehidupan?


CHAUVINISME YANG HUMANIS

Don't be selfish!

Paham yang menyebutkan bahwa alam semesta kita memang sengaja dirancang untuk kehidupan (semisal nilai-nilai konstanta-nya sengaja disetel atau diatur agar bisa “ramah” pada kehidupan) disebut sebagai “Anthropic Principle” atau “prinsip yang berpusat pada manusia”. Bagi beberapa (atau mungkin banyak) ilmuwan, paham itu bisa disebut juga “chaunivisme” (sejenis rasisme), yakni menganggap kita-lah sebagai pusat alam semesta ini dan jagad raya sengaja dibuat demi manusia. Bagaimana jika kita selama ini malah “kepedean” dan sesungguhnya, bukan itu yang tengah terjadi?

Peneliti berpendapat, jika saja konstanta alam semesta sedikit berbeda, memang benar kehidupan berbahan dasar karbon (manusia, hewan, tumbuhan, hingga bakteri) takkan pernah ada. Namun itu tak menjamin bahwa kehidupan berbahan dasar lain takkan pernah ada. Kita pernah menyinggung Hoyle State, dimana jika nilainya berbeda (lebih besar atau lebih kecil sedikit), maka takkan ada cukup karbon untuk menyusun kehidupan. Akibatnya, manusia takkan ada. Tapi itu kan pendapat kita yang teramat membutuhkan karbon. Bagaimana jika ada kehidupan lain yang tak membutuhkan karbon, namun bisa menggunakan elemen lain, semisal silikon?

Kita di episode sebelumnya tahu bahwa nilai Epsilon, Omega, Lambda, dan Q amat penting bagi pembentukan bintang. Bila nilai mereka bergeser sedikit saja, dipostulatkan bahwa bintang takkan terbentuk dan kehidupan takkan ada. Namun pendapat bahwa “kehidupan nggak akan ada jika bintang nggak ada” adalah pendapat kehidupan berbahan dasar karbon seperti kita (karena kita emang nggak bisa hidup tanpa Matahari). Bagaimana jika ada bentuk kehidupan lain yang sama sekali tak membutuhkan bintang? Bagaimana jika kehidupan itu bisa selamat hanya dengan menggunakan foton, elektron, atau bahkan tinggal di Lubang Hitam?

Anggap saja analoginya begini. Kita di Indonesia makanan pokoknya adalah nasi dan kita menganggap bahwa kita nggak akan bisa hidup tanpa nasi. Pokoknya kalo belum makan nasi, itu namanya belum makan. Namun bagaimana dengan orang-orang yang hidup di belahan dunia lain? Semisal di sebuah pulau di Polynesia, makanan pokok mereka adalah umbi. Di Eropa, makanan pokok mereka adalah gandum (roti). Di Amerika Selatan, makanan pokok mereka adalah jagung. Kalo kita cuman berpusat pada diri kita sendiri (beraliran Chauvinisme) kita akan berpikir kalo manusia ya bisanya cuman makan nasi. Tapi kenyataannya, manusia bisa kok survive dengan makan makanan lain, semisal jagung dan gandum.


MULTIVERSE AND THE REALM OF POSSIBILITY



Lalu bisakah sains bisa menjawab mengapa Fine-Tuned Universe bisa ada? Mengapa 'seakan-akan” alam semesta ini memang dirancang untuk keberadaan manusia? Ternyata bisa dan uniknya, menggunakan konsep “Multiverse”. Kalian semua udah pernah gue jelaskan konsep mengenai Multiverse dan dunia paralel melalui postingan String Theory. Namun akan coba gue jelaskan lagi secara singkat.

Multiverse berkaitan erat dengan semua kemungkinan (probabilitas) yang ada di alam semesta ini. Semisal lu lagi berjalan pulang ke rumah (atau kontrakan atau kost, terserah kalian) dan ada dua jalan, semisal ke kiri atau kanan. Ketika lu mengambil jalan kiri, lu akan membuka “dunia paralel” baru dimana lu berjalan ke kiri. Jika lu berjalan ke kanan, lu juga membuka “dunia paralel” lain dimana lu berjalan ke kanan. Segalanya tinggal mengikuti apa yang akan terjadi di tiap jalan itu. Semisal di jalan ke kiri lu bisa aja tertabrak mobil, sedangkan di jalan ke kanan lu bisa aja ketemu seseorang yang nanti jadi jodoh lu. Jadi, probabilitas ke kanan atau kiri itu akan menjadi percabangan dunia paralel di Multiverse.

Sama halnya semisal lu lulus dari SMA terus bingung mau apa. Apa lu mau bekerja? Apa lu mau kuliah? Jika lu memutuskan kuliah, masih ada kemungkinan lain. Apa lu mau masuk jurusan keguruan, ekonomi, sains, teknik, kedokteran, dan lain-lain. Mungkin di alam semesta ini lu malah memilih opsi yang anti-mainstream, yakni nikah. Namun di alam semesta lain, mungkin lu mengambil keputusan berbeda. Mungkin lu bekerja di sebuah pabrik. Mungkin lu kuliah hukum. Mungkin lu malah jadi YouTuber, dan lain-lain. Semuanya kemungkinan kehidupan lu itu ada di Multiverse.

Coba kita terapkan pemahaman itu ke semua konstanta Fisika yang kita punya. Anggap saja ketika Big Bang terjadi, tercipta berbagai kemungkinan alam semesta berbeda dengan nilai konstanta yang berbeda pula, dan semua menjelma menjadi Multiverse. Mungkin ada alam semesta yang umurnya hanya sedetik. Mungkin ada alam semesta yang kosong melompong, hampa tanpa bintang, planet, apapun. Mungkin ada alam semesta yang memiliki bintang, namun hanya sedikit, sehingga tak memiliki galaksi. Mungkin ada alam semesta yang justru jumlahnya bintangnya amat banyak, 100 kali lipat alam semesta kita, sehingga langit malam tidaklah hitam, melainkan terang benderang.

Memang, kondisi-kondisi alam semesta itu sepertinya terlalu ganas bagi kehidupan kita. Beberapa alam semesta itu mungkin memang tak memiliki kehidupan sama sekali alias steril. Namun kita jangan terus beranggapan, mentang-mentang kondisi alam semesta itu tak seperti kondisi alam semesta kita, berarti nggak mungkin ada kehidupan di sana.

Gue misalkan saja nih, kita tinggal di Indonesia yang beriklim tropis yang nyaman sehingga kehidupan di sini begitu subur dengan banyaknya flora dan fauna. Itu memang fakta. Namun jangan beranggapan bahwa tempat lain di Bumi yang kondisinya nggak subur seperti di Indonesia nggak memiliki kehidupan. Semisal di kutub selatan yang sangat dingin, nyatanya ada penguin. Di gurun yang amat terik, nyatanya ada kaktus. Tapi kita juga tak bisa memungkiri, ada tempat yang sama sekali memang tak mendukung kehidupan karena kondisinya terlalu ekstrim, semisal Laut Mati dan kawah vulkanik (sebenarnya ada sih jenis bakteri yang bisa hidup di sana, tapi kalian tahu lah maksud gue).

Kondisi planet kitapun bak Multiverse, ada tempat yang kondusif bagi kehidupan, namun ada pula yang kejam, seperti kawah Yellowstone ini

Bisa saja di alam semesta itu, walaupun bagi kita tak kondusif, memunculkan kehidupan yang jauh berbeda dengan kita (karena harus beradaptasi dengan kondisi yang berbeda pula). Jika kehidupan itu cerdas, bisa saja mereka berpikir bahwa alam semesta mereka juga di “fine-tuned” alias disetel “sebegitu nyamannya”. Padahal menurut kita, kondisi alam semesta mereka amat ganas. Dan kebalikannya, mereka jika berkunjung ke sini, juga mungkin akan berpendapat alam semesta kita amat ganas dan takkan mendukung kehidupan mereka.

Tentu saja kita tidak bisa membuktikan pendapat ini. Kita masih belum bisa menemukan gerbang ke dunia paralel lain. Kita saja masih belum bisa membuktikan keberadaan Multiverse, semua baru sebatas ide.

Pendapat kontra yang melibatkan “Multiverse” ini, secara spiritual juga meresahkan, sebab seakan “membuktikan” bahwa Tuhan memang ada, namun bukan Tuhan yang kita harapkan. Konsep ini konon membuat Albert Einstein amat cemas (dia Yahudi btw, jadi percaya Tuhan) sampai mengeluarkan komentar, “God doesn't play dice” atau “Tuhan tidak bermain dadu”. Pendapat ini ia gelontorkan ketika ia pertama kali mendengar “Interpretasi Copenhagen” yang diusulkan dua ilmuwan Denmark, Niels Bohr dan Werner Heisenberg untuk menjelaskan fenomena Dunia Kuantum.

Apakah maksudnya?


TUHAN” DAN DADU MULTIVERSE

Begini ceritanya, Interpretasi Copenhagen amat berkaitan erat dengan probabilitas di Dunia Kuantum, salah satunya adalah Asas Ketidakpastian Heisenberg. Kalian mungkin masih ingat pelajaran SMA tentang atom, dimana dalam sebuah atom ada inti yang terbuat dari neutron dan proton, serta ada pula sebuah elektron yang mengitarinya. Nah kita mungkin membayangkan lintasan orbit elektron mirip dengan orbit planet yang mengitari Matahari, sehingga bisa digambarkan dengan sebuah garis berbentuk lingkaran ataupun oval.

Gambaran sederhana sebuah elektron yang mengitari inti atom

Namun Heisenberg berpendapat lain. Karena elektron berada di Dunia Kuantum yang aturannya (atau bahkan realita-nya) berbeda dengan aturan dunia kita, maka orbit elektron tersebut berupa “awan” yang berisi tiap kemungkinan lintasan elektron tersebut. Barulah ketika diamati (semisal kita mengadakan pengukuran), “awan kemungkinan” itu runtuh dan hanya menyisakan satu lintasan elektron saja. Anggap saja kasusnya mirip-mirip lah ama kasus Percobaan Celah Ganda dimana foton yang awalnya menjadi gelombang, akan runtuh menjadi partikel apabila diamati.

Kita coba ingat kembali percobaan Kucing Schrodinger dimana seekor kucing diletakkan dalam kotak tertutup dengan bahan radioaktif. Kotak itu dirancang sedemikian rupa hingga ada kemungkinan 50% kucing itu mati dan 50% kucing itu hidup (apabila kucing itu berada di Dunia Kuantum). Sebelum kotak itu dibuka, kucing itu berada dalam dua “state” yakni hidup dan mati (ada yang menyebutnya “zombie” malah, yakni separuh hidup separuh mati). Nah, ketika kita membuka dan mengamati kondisi kucing itu, maka probabilitas tersebut runtuh dan hanya menyisakan satu “realita”, yakni semisal kucing itu masih hidup.

Contoh lainnya adalah ketika kita menaruh sebuah dadu di bawah sebuah gelas yang ditelungkupkan (lagi-lagi dalam Dunia Kuantum). Gelas itu bukan gelas transparan sehingga kita tak tahu kondisi dadu di dalam gelas itu. Anggap saja kita mengocoknya dengan menggoyang-goyangkan gelas itu dengan keras tanpa membaliknya. Apabila belum dibuka, di dalam gelas itu sang dadu memiliki 6 “state” probabilitas, yakni angkanya bisa 1, 2, 3, ,4, 5, atau 6 (kondisi ini disebut “superposisi”). Menurut Teori Kuantum, dalam gelas itu terdapat dadu dalam semua kemungkinan tersebut. Namun ketika dibuka, semua probabilitas itu akan “kolaps” menyisakan hanya satu, yakni dadu itu bernomor 1, semisal.

Apa benar Tuhan bermain dadu saat menciptakan alam semesta ini?

Sekarang kita terapkan Asas Ketidakpastian Heisenberg ini untuk menjelaskan Fine-Tuned Universe. Anggaplah kita memiliki seorang “Tuhan” (dalam tanda kutip) yang bisa menciptakan alam semesta. Ia ingin menciptakan kehidupan adidaya yang ia namakan manusia (ingat ya, tujuannya menciptakan “manusia” bukan alien). Namun “Tuhan” ini tak tahu caranya. Maka dari itu, ia kemudian menciptakan semua kemungkinan alam semesta dalam Dunia Kuantum. Ia mencoba semua probabilitas dengan mengetes semua kemungkinan nilai dari semua konstanta fisika yang ada.

Semisal ia menciptakan alam semesta dengan nilai Omega (konstanta dari Martin Rees tadi) dengan berbagai nilai, semisal 1; 2; 3; 0,5; 0,25; bahkan mungkin 0. Dia kemudian menemukan (dari alam-alam semesta yang tercipta) bahwa nilai 1 adalah yang paling sempurna. Lalu ia mencoba mengutak atik nilai konstanta lain, semisal Epsilon, Lambda, dan lain-lain. Ia juga semisal, mencoba Matahari dengan berbagai kemungkinan ukuran, mencoba berbagai macam kemungkinan jarak orbit Bumi ke Matahari, mencoba apakah Bumi lebih baik dengan atau tanpa Bulan, pokoknya ia mencoba setiap kemungkinan yang bisa terbayangkan.

Kemudian “Tuhan” itu akhirnya menemukan bahwa probabilitas terbaik yang bisa memunculkan manusia adalah alam semesta dengan nilai konstanta sesuai Fine-Tuned Universe dan planet Bumi dengan lokasi sesuai Rare-Earth Hypothesis. Alam semesta itulah yang kita tinggali. Kemudian setelah puas dengan “ciptaannya”, iapun meruntuhkan semua alam semesta lain.

Dengan kata lain, “Tuhan” ini “bermain dadu” dengan mengecek semua probabilitas untuk menciptakan manusia.

Namun “Tuhan” macam apakah ini? Bukankah Tuhan sesungguhnya maha-tahu?

Apakah Fine-Tuned Universe tercipta karena lemparan-lemparan dadu probabilitas dan kita-lah hasilnya?

Pertanyaan paling mendasar kini bukanlah apakah Fine-Tuned Universe berhasil membuktikan keberadaan Tuhan atau tidak. Namun kini pertanyaannya, jika Fine-Tuned Universe memang benar, Tuhan seperti apakah yang akan kita temui?

Jika justru pencarian Tuhan melalui ilmu Fisika dan Mekanika Kuantum justru menemukan hasil seperti ini, apa lebih baik jika kita tinggal di Dunia Matrix Simulasi saja?





2 comments:

  1. Post yang bagus, Bang Dave. Entah kapan kita bisa bertemu "Tuhan" dengan Ilmu Sains. Padahal, misteri tentang Ruh (berbeda dengan kesadaran) saja masih belum tersentuh.

    ReplyDelete