Sunday, November 28, 2021

DARK STORIES SPESIAL ULTAH MENGAKU BACKPACKER #5: BALADA PPKM

SUMBER GAMBAR: UNSPLASH 

“Apaaaaa???” teriak istriku tak percaya, “Kita PPKM lagi?!”

Aku perlahan mengangguk, “Iya tadi diberitakan Pak Presiden di TV.”

Istriku membanting dirinya ke kasur dengan kesal. “Ta … tapi kan katanya dulu kita hanya PPKM selama sebulan … tapi akhirnya berlarut-larut begini. Kapan selesainya?”

Suara Maya, istriku, hampir terisak saat mengatakannya.

“Sudahlah, Ya. Kamu tahu sendiri kan situasi di luar seperti apa? Pak presiden pastinya melakukan ini semua demi kebaikan kita.”

“Alah kebaikan kita apanya! Liat aja baliho-baliho di luar! Kita disuruh berdiam di dalam rumah selama masa yang katanya sulit ini, tapi apa yang mereka lakukan? Malah mereka sendiri yang keluar memasang baliho-baliho politik seperti itu!”

“Sabar, Ya.” aku kembali menenangkannya, “Yang penting kan kita sudah vaksin, jadi kita pasti aman …”

“Vaksin? Apa gunanya vaksin?” Maya malah makin berang mendengarnya, “Katanya kalo kita sudah vaksin, semua akan back to normal. Tapi apa buktinya? Kita malah masih dikurung di sini!”

“Yah apa boleh buat, kan ada varian baru yang tak bisa diprediksi. Bahkan katanya varian yang baru ini lebih mudah menyebar, jadi kita mesti waspada.”

Bagaimana dengan pekerjaan Mas, hah?” Maya menatap tajam ke arahku, “Apa Mas bisa terus bekerja online seperti itu?”

Aku menatap ke bawah dengan pandangan murung, “Memang pendapatan kita jauh berkurang selama pandemi ini. Tapi jangan khawatir, aku yakin kita akan segera dapat bantuan dari pemerintah.”

“Bantuan 600 ribu itu?” teriak istriku, “Jangan harap kita terima utuh! Pasti sudah dipotong segala macam sama orang-orang kelurahan dan RT/RW itu. Kau kan tahu seperti apa mereka!”

“Sudahlah, Sayang. Jangan marah-marah terus.” akupun membelainya dengan mesra, “Omong-omong dimana anak kita, Tino dan Tini?”

“Entahlah, dari tadi aku tak lihat. Mungkin masih belajar online?”

“Belajar online?” aku menaikkan alisku, “Bukannya sekolah seharusnya selesai jam 3 siang tadi? Ini kan sudah hampir maghrib?”

Tiba-tiba Tini, anak bungsuku masuk ke kamar kami.

“Pah, Mah, aku khawatir sama Tino.” ujarnya ketakutan.

“Lho, ada apa Nak? Dimana kakakmu?”

“Di … dia tadi menyelinap pergi bersama teman-temannya ke mall.”

“APA?!” teriak kami berdua.

“I … iya, katanya dia sudah bosan di rumah. Ta … tapi sampai sekarang dia belum kembali dan …” Tini juga menunjukkan sesuatu di tangannya.

“Astaga! Dia pergi tidak pakai masker?” ujarku tak percaya.

“Ini pasti karena channel-channel Youtube yang sering ia dengarkan, Mas!” ujar Maya, “Pasti karena itu dia jadi ikut-ikutan menganggap wabah virus ini sebagai hoax!”

“Iya, Pah.” Tini mau tak mau mengakuinya, “Aku sering mendengarnya dari kamar Kak Tino. Mereka mengatakan PPKM ini seperti sekual Marvel yang tak selesai-selesai. Bahkan ada yang menyebutnya PPKM Ragnarok, PPKM Infinity, PPKM Endgame …”

“Dasar anak itu! Aku akan segera mencarinya!” aku segera mencari maskerku. Namun sebelum aku menemukannya, aku mendengar suara pintu depan dibuka.

“Itu pasti Tino pulang!” seruku. Kami bertiga segera bergegas ke ruang tamu.

“Tino! Tutup segera pintunya!” ujarku sembari menutup mulutku, “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kau keluar tanpa masker?”

Namun Maya menjerit ketika melihat darah di pakaian Tino.

“Ti … Tino? Apa yang terjadi padamu, Nak?” Maya berniat menghampirinya, namun aku segera menghentikannya.

“Ja … jangan dekati dia! Pakai masker kalian!” ujarku sembari masih menutupi hidungku dengan lengan bajuku.

Anakku itu terlihat sempoyongan dengan wajah pucat.

“A … apa yang terjadi padamu, No? Dimana teman-temanmu?”

“Me … mereka …” tiba-tiba Tino langsung muntah di hadapan kami. Kamipun berteriak begitu melihat belatung berkeriyapan di cairan yang dimuntahkan Tino tadi.

“Di … dia sudah terkena!”

“AAAAAAA! AAAAAAAAAA!!!” Tino meronta kesakitan. Tiba-tiba paku-paku tajam muncul dari dalam tubuh, menusuknya hingga darah mengucur dari lubang-lubang yang ditimbulkannya. Lalu, paku-paku itu berjatuhan begitu saja, berdenting di lantai.

“Di … dia akan berubah menjadi seperti mereka! Kita harus melakukan sesuatu!” teriakku sembari mengambil salah satu paku itu.

“Tidak, jangan!” teriak istriku, “JANGAAAAN!”

Walaupun berat, namun ini harus kulakukan. Aku tak mau ia nantinya menginfeksi istri dan anak perempuanku yang amat aku sayangi.

“JLEB!” aku segera menancapkan paku itu ke kepala itu. Segera iapun terjerembap, rebah ke lantai, tanpa bergerak sedikitpun.

“Ti … Tino …” Maya mulai menangis. Tini berusaha menenangkannya.

“Sreeeek … sreeeeek …” tiba-tiba terdengar suara dari arah jendela. Akupun menoleh dan menatap ngeri wajah tetanggaku yang terpampang di luar kaca jendela. Kini ia hanya tertinggal sebuah kepala yang melayang, diikuti organ-organ dalamnya yang bergelantungan. Ketika ia tahu ia tak bisa masuk ke sini, iapun terbang pergi. Di luar terdengar suara tawa anak-anak dengan langkah-langkah kecil mereka. Anak tetanggaku itu pasti sudah berubah menjadi makhluk-makhluk botak itu.

“Kita harus segera pergi! Kita tak punya waktu!” ujarku.

“Ta … tapi Tino …” Maya masih menangis.

“Tak ada waktu lagi! Lingkungan kita sudah masuk Zona Merah! Sebentar lagi mereka akan datang … laskar dukun itu … dan kau tahu kan apa yang akan mereka lakukan pada kita? Mereka akan membunuh kita, tak peduli kita terinfeksi virus santet itu atau tidak!”

Maya dengan masih bersimbah air mata akhirnya bangkit dan menuruti perkataanku. Dulu awalnya aku amat panik ketika ini pertama kali terjadi, namun kini aku mulai bisa mengendalikan diri dan berpikir jernih. Hanya ini yang bisa kami lakukan, pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, sampai pandemi gaib ini berakhir, entah kapan.

Ya, aku sudah mulai terbiasa dengan semua ini; jauh lebih terlatih ketimbang ketika Pemberlakuan Pembatasan Karena Monster ini pertama kali diberlakukan.

Sebab jika kupikir-pikir, bukanlah PPKM ini sudah berlangsung selama 15 tahun sekarang?

 

5 comments: