Thursday, July 2, 2020

BIG BANG TRILOGY: CHAPTER 3 – APA YANG ADA SEBELUM PERMULAAN, SEBELUM WAKTU DIMULAI?



Istri: "Pastii dia lagi mikirin awewe lain."
Suami: "Apa ya yang terjadi sebelum Big Bang?"

Sekitar abad ke-4 Masehi, seorang orang suci Katolik bernama Saint Augustine yang lahir di Aljazair, Afrika Utara, mengajukan sebuah pertanyaan filosofis. “Apa yang Tuhan lakukan sebelum Penciptaan?”. Uniknya, pertanyaan ini, bahkan setelah 2 milenium berlalu, masih saja diutarakan oleh para fisikawan. Bahkan ilmuwan atheis-pun akan bertanya-tanya, apa yang terjadi sebelum Big Bang? Apa yang terjadi sebelum waktu dimulai? Pertanyaan-pertanyaan itu tentu saja menggelitik nalar dan jawabannya, seperti diutarakan oleh para ilmuwan-ilmuwan ini menggunakan prediksi saintifik, mungkin lebih aneh ketimbang yang kalian pikirkan.


TEORI 1: STEADY STATE UNIVERSE
Apa benar alam semesta ini 'endless"?

“Alam semesta itu kekal”, begitulah mungkin bunyi singkat doktrin “Steady State Universe”. Teori ini dikemukakan oleh Sir James Jeans pada 1920 serta Hermann Bondi dan Thomas Gold pada 1948. Teori ini, ketika pertama kali dikemukakan, sangatlah berlawanan dengan Big Bang. Jika Big Bang mengatakan bahwa alam semesta memiliki permulaan (bahkan ilmuwan juga berpendapat alam semesta akan berakhir melalui salah satu dari 4 skenario, yakni Big Rip, Big Freeze, Big Crunch, dan Big Slurp), maka Teori “Steady State” menyatakan alam semesta tak memiliki awal dan akhir. Alam semesta sekedar “ada”, abadi.

Tentu saja teori ini tentu sudah usang dan tak lagi dianggap serius oleh para fisikawan. Toh mereka mafhum benar bahwa alam semesta sesungguhnya memiliki awal dan akhir. Akan tetapi di abad ke-21, fisikawan Inggris bernama Sir Roger Penrose membangkitkan kembali ide ini dengan sentuhan yang lebih “kekinian”.

Gue pernah menyinggung tentang teori “Big Crunch” di salah satu postingan gue terdahulu. Ide dari Big Crunch ini adalah alam semesta terus menerus bereinkarnasi mengikuti siklus kosmologis. Big Bang terjadi dan menciptakan alam semesta ini, lalu jagad raya yang tercipta terus mengembang hingga pada suatu titik maksimal dimana jagad berhenti mengembang. Kemudian, hal sebaliknya terjadi. Jagad raya, seperti balon yang kempes, kemudian menyusut, kembali ke ukurannya semula (kembali ke Kemanunggalan-nya). Kemudian, Kemanunggalan itu kembali mengalami Big Bang dan proses yang serupa pun dimulai lagi dari awal.

Nah, kita bisa bayangkan, proses “daur ulang” ini terjadi terus-menerus dan mungkin saja, alam semesta yang kita tempati ini adalah alam semesta yang kesekian kali yang diciptakan. Silakan imajinasikan bahwa alam semesta ini sudah mengalami siklus sejak waktu yang tak terbatas dan akan terus mengalaminya hingga waktu tak terbatas.

Dengan kata lain, siklus ini tak memiliki awal dan memiliki akhir. Alam semesta hanyalah “ada”, tanpa perlu permulaan dan kesudahan.

Tapi tentu saja kebenaran teori ini sangat sulit, atau bahkan mustahil untuk dibuktikan.



TEORI 2: FECUND UNIVERSE

Ilustrasi sebuah Lubang Hitam

Untuk teori-teori berikutnya, kita akan menginjak teori alternatif “Big Bang” dimana bukan berarti Big Bang itu dianggap nggak ada, namun kita akan melihat beberapa variasinya. Salah satu teori teraneh adalah teori bahwa alam semesta kita ini sesungguhnya berada di dalam Lubang Hitam.

Lee Smolin pada tahun 1992 melalui bukunya “The Life in The Cosmos”, diikuti Fisikawan dari indiana University bernama Nikodem Poplawski, serta paper dari Razieh Pourhasan et al pada 2013 mengajukan teori fantastis bahwa di dalam Lubang Hitam, sesungguhnya terletak sebuah alam semesta yang benar-benar baru. Jadi bayangkan saja, alam semesta kita memiliki miliaran Lubang Hitam dan di dalamnya, tersembunyi jagad raya yang lain. Dengan kata lain, alam semesta kita sesungguhnya rumah dari sebuah Multiverse.

Namun ide itu juga bisa kita terapkan pada kita. Bagaimana jika kita sendiri juga berada di dalam sebuah Lubang Hitam yang berada di sebuah alam semesta lain? Jika benar kita berada di dalam Lubang Hitam, maka itu menjelaskan mengapa kita tak bisa menembusnya keluar dan pergi ke dunia paralel lain. Lalu bagaimana alam semesta lain dimana Lubang Hitam kita berada kita tercipta? Apakah melalui Big Bang juga?

Tentu saja, karena “Cosmic Censorhip” yang gue jelaskan di episode sebelumnya, teori ini juga mustahil untuk dibuktikan.




TEORI 3: MOTHER UNIVERSE



Jika kalian sudah melihat ending video yang mind-blowing di atas, maka kalian pasti telah menyadari bahwa (secara teoritis) alam semesta kita merupakah salah satu dari banyak universe yang berada di dalam Multiverse. Universe-universe tersebut (bersama dengan alam semesta kita) mengapung dalam ketiadaan dalam bentuk gelembung-gelembung.

Nah, darimana asal gelembung-gelembung Multiverse itu?

Sean Carroll, seorang fisikawan asal California Institute of Technology bersama dengan rekannya, Jennifer Chen memiliki ide tentang apa yang terjadi sebelum Big Bang yang mereka tuangkan dalam sebuah paper pada 2016. Mereka berteori tentang keberadaan sebuah Mother Universe yang kemudian “meledak” menghasilkan “Singularitas-Singularitas” atau banyak “Kemanunggalan”. Salah satu “Kemanunggalan” inilah yang akan menjadi alam semesta yang kita kenal saat ini. Namun kita tak sendiri. Mother Universe menghasilkan banyak “Kemanunggalan”, maka iapun melahirkan banyak jagad raya. Dengan kata lain, sebuah “Multiverse”

Tapi darimana asal Mother Universe itu? Tentu saja itu menjadi pertanyaan baru yang harus kita jawab.



TEORI 4: EKPYROTIC UNIVERSE



Paul Steinhardt, seorang fisikawan dari Princeton University memperkenalkan sebuah teori alternatif Big Bang yang cukup kontroversial yang ia namakan “Ekpyrotic” (dari kata “pyro” yang artinya api atau terbakar). Di teori kosmologis yang diproposalkan tahun 2001 ini, ia mencoba menggabungkan Teori Big Bang dengan String Theory. Seperti kita tahu, String Theory merupakan teori yang “mengharuskan” keberadaan 10 dimensi untuk menjelaskan keberadaan kita sendiri. Kita, beserta seluruh alam semesta ini, terjebak di “dimensi ketiga” sehingga kita tak bisa merasakan keberadaan dimensi yang lebih tinggi.

Nah, kembali sejenak ke teori “Mother Universe” di atas. Disebutkan bahwa alam semesta kita bersama alam-alam semesta lain berada dalam bentuk gelembung yang melayang-layang. Nah, pernahkah kalian berpikir dimana alam semesta kita melayang? Apa yang ada di luar gelembung alam semesta kita?

Paul menjelaskan, dalam teorinya, bahwa alam semesta kita melayang dalam sebuah alam dimensi keempat yang ia sebut sebagai “bulk”. Namun di sinilah teorinya agak berbeda. Di dalam bulk ini, terdapat jejeran “brane” (singkatan dari “membrane” atau membran/selaput) yang bergerak atau bergetar selamanya. Tiap brane ini terpisah satu sama lain, namun karena gerakan tersebut, ada saat dimana brane tersebut saling bergesekan. Sentuhan antar brane itulah yang kemudian disebut dengan “Big Bang” yang akhirnya menciptakan alam semesta yang kita tempati ini. Uniknya, teori ini, jika benar, mengharuskan bahwa alam semesta kita ini tidaklah berbentuk bola (gelembung), melainkan berbentuk datar. Tak heran, teori tentang “flat universe” ini disebut sebagai “flat-earth”-nya teori kosmologi Big Bang.

Namun jika teori ini benar, lagi-lagi muncul pertanyaan yang sukar terjawab, semisal dari mana asalnya brane? Apa yang menciptakannya? Sejak kapan ia ada di sana? Apakah brane dan bulk juga tak memiliki awal dan akhir?



TEORI 5: WHITE HOLE THEORY

Penjelasan paling sederhana tentang apa itu White Hole, nanti kalian akan memahaminya setelah membaca paradigma di bawah


Di teori pamungkas ini, kita akan kembali ke entitas misterius yang disebut Lubang Hitam. Ketika Einstein mencoba menjelaskan mengenai gravitasi, ia memberi gambaran mudah menggunakan daya pikirnya yang senantiasa “out of box”. Ia menggambarkan alam semesta kita ini tersusun atas helaian “kain realitas” yang ia sebut sebagai “fabric space and time”. Sebuah benda bermassa besar (katakanlah Bintang) yang bermukim di fabric jagad raya akan membuatnya melengkung.

Bayangkan aja kalian menghamparkan sebuah kain lebar, lalu melemparkan sebuah bola tenis ke atasnya. Tentu kain tersebut akan melengkung ke bawah, bukan? Nah, dengan cara inilah Einstein mencoba menjelaskan gravitasi. Karena adanya lengkungan ini, apabila ada benda lain yang mendekati benda bermassa besar itu, maka benda kedua itu akan tertarik.

Katakanlah di hamparan kain itu, kita melempar sebuah bola ping pong atau kelereng (yang massa dan ukurannya lebih kecil), maka bola itu akan meluncur ke arah bola tenis yang tadi kita lemparkan ke situ. Ini juga sebabnya planet-planet dan benda langit lainnya seperti komet, meteor, dan asteroid, akan tertarik oleh gravitasi sebuah bintang.

Nah, coba kita ganti Bintang itu dengan Kemanunggalan dalam sebuah Lubang Hitam. Berbeda dengan Bintang yang mendapatkan massa besar karena ukurannya yang raksasa, sebuah Singularitas yang membentuk Lubang Hitam justru berukuran maha-kecil, namun teramat berat. Akibatnya pada fabric alam semesta adalah ini:



Tak heran, apapun yang berada terlalu dekat dengan Lubang Hitam (istilahnya melewati “Event Horizon”) akan terhisap masuk ke dalamnya. Pertanyaannya sekarang, apa yang akan terjadi dengan benda-benda yang terhisap masuk ke dalam Lubang Hitam? Jika benar Lubang Hitam terjadi seperti deskripsi Einstein, harusnya Lubang Hitam itu lama-lama akan penuh dong? “Makanan” Lubang Hitam tak main-main lho, ia bisa menelan planet hingga Bintang yang ukurannya jutaan kali lebih besar darinya. Lalu kemana semua massa raksasa itu pergi?

Ilmuwan pun kemudian kembali berpikir “out of box” untuk memecahkan misteri itu, yakni bagaimana jika Lubang Hitam sesungguhnya berbentuk terowongan? Jika benar, maka apa yang berada di ujung terowongan tersebut. Jelas ujung satunya bukanlah Lubang Hitam yang lain. Sebab jika ya, maka semua massa yang mereka telan akan tertumpuk di bagian tengah. Maka ilmuwan-pun mulai mencetuskan istilah baru: “White Hole”.

Jika sebuah benda masuk ke dalam Black Hole, maka ilmuwan berhipotesis bahwa apapun yang ia telan akan keluar ke lubang di sisi terowongan lain yang disebut “White Hole”. “White Hole” tak mesti berwarna putih, istilah tersebut hanya untuk menunjukkan bahwa sifatnya berlawanan dengan “Lubang Hitam”. Jika tak ada sesuatupun bisa keluar dari Lubang Hitam, maka teorinya, tak ada sesuatupun bisa masuk ke dalam Lubang Putih.

Jika ditelusuri, teori ini amatlah menarik. Jika Lubang Hitam benar adalah pintu masuk sebuah terowongan, maka pintu keluarnya tak mesti berdekatan. Seperti gua yang memanjang di bawah permukaan Bumi, terowongan tersebut bisa saja menelisip di “fabric of space and time” (kain jagad raya tadi). Bila saja ia muncul di tempat yang luar biasa jauh, semisal jutaan tahun cahaya jaraknya. Bisa saja segala yang ditelan Black Hole akan muncul di sisi alam semesta yang lain.

Bahkan, “White Hole” tak mesti harus berada di “waktu” yang sama dengan Black Hole. Bisa saja ia ada jauh di masa lalu atau mungkin berada di masa depan. Mengapa? Karena menurut Teori Relativitas Einstein, keberadaan gravitasi bisa “mempermainkan waktu”. Gravitasi saja bisa mengulur waktu. Apabila sebuah planet semisal berada di orbit tepat di luar Event Horizon, maka force gravitasi dari Lubang Hitam itu akan membuat planet itu bergerak amat cepat hingga menyebabkan waktu melambat, atau disebut dengan “dilatasi waktu”. Bisa saja satu menit di planet itu setara dengan 1 tahun bagi kita yang berada di Bumi.

Gravitasi memang force yang paling misterius dibandingkan 3 force fundamental lainnya. Jika gravitasi begitu mahadaya hingga bisa membengkokkan ruang seperti yang dicetuskan Einstein, maka bukan hal yang mengejutkan jika gravitasi juga mampu membelokkan waktu. Dengan kemampuannya memanipulasi waktu itu, maka tak heran Black Hole dan White Hole (dan terowongan di antaranya) menjadi kandidat kuat sebuah “wormhole” atau mesin waktu.

Ilustrasi sebuah "wormhole" dimana ujung masuknya adalah Black Hole dan ujung keluarnya adalah White Hole


Namun White Hole sebagai sebuah mesin waktu masihlah hal yang remeh temeh jika dibandingkan dengan misteri maha-besar lain yang disimpannya.

Sebuah paper dari Alon Retter dan Shlomo Heller pada 2012 menyebut bahwa “White Hole” adalah “Big Bang”. Teori ini bisa menjadi alternatif teori Big Bang dimana Big Bang sesungguhnya bukanlah disebabkan sebuah Kemanunggalan yang meledak. Jika kalian telah mempelajari proses Big Bang, maka kalian akan paham bahwa tiba-tiba saja seluruh force dan semua jenis partikel (quark, gluon, elektron, anti-materi, dll) muncul dalam waktu sepersekian detik. Bagaimana jika semua force dan materi yang tiba-tiba “terlahir” pada saat Big Bang sebenarnya dikeluarkan oleh sebuah White Hole? Bagaimana jika semua force dan materi yang membentuk alam semesta kita berasal dari materi-materi dari alam semesta lain yang dihisap oleh sebuah Black Hole?

Teori ini tak hanya akan mengubah prinsip fundamental Kosmologi secara fundamental sebab menolak keberadaan Kemanunggalan dan Big Bang (Alon dan Shlomo bahkan menyebut peristiwa ini sebagai “Small Bang”), namun juga akan membuktikan adanya Multiverse. Bahkan teori ini berkaitan erat dengan teori “Fecund Universe” mengenai semesta baru di dalam Lubang Hitam tadi. Tiap materi yang terhisap di dalam Lubang Hitam akan menciptakan semesta baru (disebut “baby universe”), dimana setiap materi tersebut bisa dikatakan berasal dari “parent universe”-nya.

Ini tentu membawa pertanyaan baru, siapakah “parent universe” kita? Bagaimana ia tercipta? Apakah ia berasal dari Lubang Hitam lain dari “grandparent universe” kita? Lalu apakah proses itu memiliki awal dan akhir?

Teori ini juga memiliki implikasi lain. Alih-alih menjadi sebuah “wormhole” yang bisa membawa kita ke waktu lain di dalam alam semesta kita, apakah Lubang Hitam sesungguhnya adalah gerbang menuju alam semesta lain?

Terus kita asalnya darimana dong ASTAGAAAA???

Tentu semua teori tersebut tak kunjung memuaskan kita. Setiap jawaban yang kita coba kemukakan untuk pertanyaan “apa yang terjadi sebelum Penciptaan” seakan malah membawa kita menuju pertanyaan-pertanyaan filosofis yang lebih mendalam. Ilmuwan kini tengah mengerjakan sebuah teori yang dinamakan “Theory of Everything” yang akan menggabungkan dua realita yang seakan berlawanan, yakni Teori Relativitas Einstein yang berkaitan dengan dunia makro (dunia kita, bintang-bintang, dan alam semesta) dengan Teori Kuantum yang mengurus dunia mikro (yakni perilaku partikel yang maha-kecil). Salah satu kandidat Theory of Everything adalah “String Theory” yang kini sedang didalami para fisikawan.

Entah, apabila kita menemukan teori yang bisa menjelaskan segalanya, mungkin kita akan menemukan semua jawaban atas pertanyaan kita. Yang bisa kita lakukan kini hanya menunggu.

SUMBER: ASTRONAUT



1 comment: