Apakah alam semesta kita sesungguhnya dirancang seperti arsitek yang tengah mendesain bangunan ini, ataukah semua berjalan sesuai dengan prinsip Dunia Kuantum, yakni probabilitas? |
Bagaimanakah pendapat yang kontra
dengan Fine-Tuned Universe? Beberapa (atau malah banyak mungkin)
ilmuwan yang tak setuju dengan konsep “Grand Design” (alias alam
semesta ini sudah dirancang oleh “Higher Being” untuk bisa
menampung kehidupan) mengemukakan alasan lain. Mereka menawarkan
penjelasan yang dirangkum dalam istilah “Bayesian probability”.
Apa itu probabilitas Bayesian?
BAYESIAN PROBABILITY
Hujan seperti ini sesungguhnya hanyalah satu dari sekian probabilitas, namun bagi kita mungkin memiliki makna tersendiri |
“Bayesian” adalah suatu
interpretasi (pemahaman) dalam konsep probabilitas (kemungkinan),
dimana kita menganggap sesuatu yang sebenarnya terjadi secara acak
sebagai sesuatu yang “spesial” dan bermakna. Contohnya begini.
Anggap aja lu lagi pulang dari sekolah (atau kuliah atau kerja,
apapun aktivitas kalian) dan mendung di langit udah tebel banget. Lu
berusaha pulang secepat mungkin agar nggak keburu hujan karena lu
nggak bawa payung atau jas hujan. Begitu lu sampai di rumah tiba-tiba
“Byuuuur!' hujan turun dengan sangat deras. Lu kemudian menganggap
diri lu beruntung banget, bahkan mungkin dilindungi sama Yang Di
Atas.
Gue kasi contoh lain. Semisal lu suatu
malam bermimpi tentang kakek lu dan tiba-tiba saja begitu bangun, lu
dapat kabar bahwa kakek lu meninggal. Tentu saja lu akan berpikir
kejadian itu bukanlah kebetulan dan merupakan firasat atau pertanda
dari Yang Di Atas.
Namun benarkah demikian?
Kita coba teliti kasus pertama. Ketika
lu pulang dalam kondisi nggak kehujanan, sebenarnya probabilitasnya
amatlah tinggi, yakni 50%, sehingga kondisi dimana lu pulang sebelum
hujan turun sebenarnya bukanlah sesuatu yang spesial. Tapi lu
menganggapnya spesial karena lu dalam hati nggak mau pulang dalam
keadaan kehujanan.
Begitu pula dengan kasus kedua, lu
mungkin mimpi tersebut adalah sesuatu yang bersifat supranatural,
namun coba kita tilik lebih lanjut. Lu menganggap peristiwa mimpi lu
sebagai sesuatu yang amat mustahil (kecuali itu keajaiban) karena lu
hanya berpusat pada sudut pandang lu sendiri. Namun jika kita
melihatnya dari sudut pandang yang lebih luas, ada hampir 8 miliar
penduduk Bumi. Semuanya bisa tidur. Semuanya bisa bermimpi. Semuanya
bisa saja memimpikan anggota keluarga mereka. Semuanya bisa saja
memimpikan kakek mereka secara spesifik. Dan bisa saja, dari mereka
semua, ada yang kakek mereka keesokan harinya meninggal (karena
memang yang namanya kakek kan sudah lanjut usia).
Nah, bila kita melihatnya dari sudut
pandang semua penduduk yang ada di dunia, mimpi tersebut sebenarnya
tidaklah memiliki probabilitas yang kecil.
Itulah yang dinamakan “Bayesian
Probability” yang sebenarnya bisa pula diterapkan untuk mematahkan
hipotesis Bumi Langka. Benarkah semua “kenikmatan” yang kita
rasakan, mulai dari ukuran hingga posisi Bumi yang begitu “pas”,
merupakan berkah dari Sang Pencipta? Ataukah itu hanya kebetulan
semata? Pihak yang kontra pada Hipotetis Bumi Langka mungkin menyebut
teori tersebut sebagai klaim yang berlebihan.
THE EXOPLANET DILEMMA
Mungkinkah di luar sana ada sebuah eksoplanet eksotis yang memiliki kehidupan lain? |
Mereka mencoba menggelontorkan bukti
bahwa ternyata tak hanya Bumi yang memiliki kondisi yang ramah pada
kehidupan. Buktinya mereka menemukan exoplanet (planet-planet yang
ada di Tata Surya lain) yang berada dalam Zona Goldilocks sehingga
mereka bisa saja memiliki kehidupan. Belum lagi Drake Equation dengan
berani menyebutkan angka ribuan hingga jutaan peradaban alien di
galaksi kita saja. Itu berarti kehidupan kita di Bumi bukanlah
sesuatu yang “spesial” dan bisa terjadi dimana saja. Berarti
kehidupan kita sama sekali nggak spesial dong? Kita menganggapnya
“spesial” karena kita belum menemukan kehidupan alien yang lain.
Bagaimana dengan segala konstanta yang
secara “kebetulan” mengizinkan adanya kehidupan, seolah sudah
diatur oleh Sang Pencipta? Pihak yang kontra akan berpendapat bahwa
apa yang ada di benak para pemuja “Fine-Tuned Universe” terkena
“survivor bias”, sehingga mereka berpikir bahwa “Fine-Tuned
Universe” ini disebabkan karena alam semesta memang dirancang untuk
kehidupan, bukan semestinya, yakni kehidupan justru ada karena
“Fine-Tuned Universe”. Lah, apa bedanya?
Untuk memahaminya sedikit, kita
perhatikan sejenak opini dari Richard Dicke yang dikemukakan tahun
1961. Ia berpendapat bahwa kita semua “beruntung” berada di umur
yang tepat di alam semesta ini (ia menyebutnya sebagai “golden
age”). Jika umur alam semesta lebih muda, sekitar sepersepuluh dari
umurnya sekarang, takkan ada bahan karbon yang cukup untuk mendukung
kehidupan. Jika alam semesta 10 kali lebih tua, maka bintang-bintang
yang ada di jagad raya keburu kehabisan energi mereka. Jika pendapat
itu benar, maka umur alam semesta saat ini merupakan salah
“keberkahan” yang tak terhingga bagi kita.
Namun benarkah itu? Ataukah justru kita
salah memahaminya? Bagaimana kalo sudut pandangnya kita ubah?
Bagaimana jika kita berada di umur alam semesta yang saat ini karena
memang inilah umur alam semesta yang paling optimal untuk mendukung
kehidupan?
CHAUVINISME YANG HUMANIS
Don't be selfish! |
Paham yang menyebutkan bahwa alam
semesta kita memang sengaja dirancang untuk kehidupan (semisal
nilai-nilai konstanta-nya sengaja disetel atau diatur agar bisa
“ramah” pada kehidupan) disebut sebagai “Anthropic Principle”
atau “prinsip yang berpusat pada manusia”. Bagi beberapa (atau
mungkin banyak) ilmuwan, paham itu bisa disebut juga “chaunivisme”
(sejenis rasisme), yakni menganggap kita-lah sebagai pusat alam
semesta ini dan jagad raya sengaja dibuat demi manusia. Bagaimana
jika kita selama ini malah “kepedean” dan sesungguhnya, bukan itu
yang tengah terjadi?
Peneliti berpendapat, jika saja
konstanta alam semesta sedikit berbeda, memang benar kehidupan
berbahan dasar karbon (manusia, hewan, tumbuhan, hingga bakteri)
takkan pernah ada. Namun itu tak menjamin bahwa kehidupan berbahan
dasar lain takkan pernah ada. Kita pernah menyinggung Hoyle State,
dimana jika nilainya berbeda (lebih besar atau lebih kecil sedikit),
maka takkan ada cukup karbon untuk menyusun kehidupan. Akibatnya,
manusia takkan ada. Tapi itu kan pendapat kita yang teramat
membutuhkan karbon. Bagaimana jika ada kehidupan lain yang tak
membutuhkan karbon, namun bisa menggunakan elemen lain, semisal
silikon?
Kita di episode sebelumnya tahu bahwa
nilai Epsilon, Omega, Lambda, dan Q amat penting bagi pembentukan
bintang. Bila nilai mereka bergeser sedikit saja, dipostulatkan bahwa
bintang takkan terbentuk dan kehidupan takkan ada. Namun pendapat
bahwa “kehidupan nggak akan ada jika bintang nggak ada” adalah
pendapat kehidupan berbahan dasar karbon seperti kita (karena kita
emang nggak bisa hidup tanpa Matahari). Bagaimana jika ada bentuk
kehidupan lain yang sama sekali tak membutuhkan bintang? Bagaimana
jika kehidupan itu bisa selamat hanya dengan menggunakan foton,
elektron, atau bahkan tinggal di Lubang Hitam?
Anggap saja analoginya begini. Kita di
Indonesia makanan pokoknya adalah nasi dan kita menganggap bahwa kita
nggak akan bisa hidup tanpa nasi. Pokoknya kalo belum makan nasi, itu
namanya belum makan. Namun bagaimana dengan orang-orang yang hidup di
belahan dunia lain? Semisal di sebuah pulau di Polynesia, makanan
pokok mereka adalah umbi. Di Eropa, makanan pokok mereka adalah
gandum (roti). Di Amerika Selatan, makanan pokok mereka adalah
jagung. Kalo kita cuman berpusat pada diri kita sendiri (beraliran
Chauvinisme) kita akan berpikir kalo manusia ya bisanya cuman makan
nasi. Tapi kenyataannya, manusia bisa kok survive dengan makan
makanan lain, semisal jagung dan gandum.
MULTIVERSE AND THE REALM OF
POSSIBILITY
Lalu bisakah sains bisa menjawab
mengapa Fine-Tuned Universe bisa ada? Mengapa 'seakan-akan” alam
semesta ini memang dirancang untuk keberadaan manusia? Ternyata bisa
dan uniknya, menggunakan konsep “Multiverse”. Kalian semua udah
pernah gue jelaskan konsep mengenai Multiverse dan dunia paralel
melalui postingan String Theory. Namun akan coba gue jelaskan lagi
secara singkat.
Multiverse berkaitan erat dengan semua
kemungkinan (probabilitas) yang ada di alam semesta ini. Semisal lu
lagi berjalan pulang ke rumah (atau kontrakan atau kost, terserah
kalian) dan ada dua jalan, semisal ke kiri atau kanan. Ketika lu
mengambil jalan kiri, lu akan membuka “dunia paralel” baru dimana
lu berjalan ke kiri. Jika lu berjalan ke kanan, lu juga membuka
“dunia paralel” lain dimana lu berjalan ke kanan. Segalanya
tinggal mengikuti apa yang akan terjadi di tiap jalan itu. Semisal di
jalan ke kiri lu bisa aja tertabrak mobil, sedangkan di jalan ke
kanan lu bisa aja ketemu seseorang yang nanti jadi jodoh lu. Jadi,
probabilitas ke kanan atau kiri itu akan menjadi percabangan dunia
paralel di Multiverse.
Sama halnya semisal lu lulus dari SMA
terus bingung mau apa. Apa lu mau bekerja? Apa lu mau kuliah? Jika lu
memutuskan kuliah, masih ada kemungkinan lain. Apa lu mau masuk
jurusan keguruan, ekonomi, sains, teknik, kedokteran, dan lain-lain.
Mungkin di alam semesta ini lu malah memilih opsi yang
anti-mainstream, yakni nikah. Namun di alam semesta lain, mungkin lu
mengambil keputusan berbeda. Mungkin lu bekerja di sebuah pabrik.
Mungkin lu kuliah hukum. Mungkin lu malah jadi YouTuber, dan
lain-lain. Semuanya kemungkinan kehidupan lu itu ada di Multiverse.
Coba kita terapkan pemahaman itu ke
semua konstanta Fisika yang kita punya. Anggap saja ketika Big Bang
terjadi, tercipta berbagai kemungkinan alam semesta berbeda dengan
nilai konstanta yang berbeda pula, dan semua menjelma menjadi
Multiverse. Mungkin ada alam semesta yang umurnya hanya sedetik.
Mungkin ada alam semesta yang kosong melompong, hampa tanpa bintang,
planet, apapun. Mungkin ada alam semesta yang memiliki bintang, namun
hanya sedikit, sehingga tak memiliki galaksi. Mungkin ada alam
semesta yang justru jumlahnya bintangnya amat banyak, 100 kali lipat
alam semesta kita, sehingga langit malam tidaklah hitam, melainkan
terang benderang.
Memang, kondisi-kondisi alam semesta
itu sepertinya terlalu ganas bagi kehidupan kita. Beberapa alam
semesta itu mungkin memang tak memiliki kehidupan sama sekali alias
steril. Namun kita jangan terus beranggapan, mentang-mentang kondisi
alam semesta itu tak seperti kondisi alam semesta kita, berarti nggak
mungkin ada kehidupan di sana.
Gue misalkan saja nih, kita tinggal di
Indonesia yang beriklim tropis yang nyaman sehingga kehidupan di sini
begitu subur dengan banyaknya flora dan fauna. Itu memang fakta.
Namun jangan beranggapan bahwa tempat lain di Bumi yang kondisinya
nggak subur seperti di Indonesia nggak memiliki kehidupan. Semisal di
kutub selatan yang sangat dingin, nyatanya ada penguin. Di gurun yang
amat terik, nyatanya ada kaktus. Tapi kita juga tak bisa memungkiri,
ada tempat yang sama sekali memang tak mendukung kehidupan karena
kondisinya terlalu ekstrim, semisal Laut Mati dan kawah vulkanik
(sebenarnya ada sih jenis bakteri yang bisa hidup di sana, tapi
kalian tahu lah maksud gue).
Kondisi planet kitapun bak Multiverse, ada tempat yang kondusif bagi kehidupan, namun ada pula yang kejam, seperti kawah Yellowstone ini |
Bisa saja di alam semesta itu, walaupun
bagi kita tak kondusif, memunculkan kehidupan yang jauh berbeda
dengan kita (karena harus beradaptasi dengan kondisi yang berbeda
pula). Jika kehidupan itu cerdas, bisa saja mereka berpikir bahwa
alam semesta mereka juga di “fine-tuned” alias disetel “sebegitu
nyamannya”. Padahal menurut kita, kondisi alam semesta mereka amat
ganas. Dan kebalikannya, mereka jika berkunjung ke sini, juga mungkin
akan berpendapat alam semesta kita amat ganas dan takkan mendukung
kehidupan mereka.
Tentu saja kita tidak bisa membuktikan
pendapat ini. Kita masih belum bisa menemukan gerbang ke dunia
paralel lain. Kita saja masih belum bisa membuktikan keberadaan
Multiverse, semua baru sebatas ide.
Pendapat kontra yang melibatkan
“Multiverse” ini, secara spiritual juga meresahkan, sebab seakan
“membuktikan” bahwa Tuhan memang ada, namun bukan Tuhan yang kita
harapkan. Konsep ini konon membuat Albert Einstein amat cemas (dia
Yahudi btw, jadi percaya Tuhan) sampai mengeluarkan komentar, “God
doesn't play dice” atau “Tuhan tidak bermain dadu”. Pendapat
ini ia gelontorkan ketika ia pertama kali mendengar “Interpretasi
Copenhagen” yang diusulkan dua ilmuwan Denmark, Niels Bohr dan
Werner Heisenberg untuk menjelaskan fenomena Dunia Kuantum.
Apakah maksudnya?
“TUHAN” DAN DADU MULTIVERSE
Begini ceritanya, Interpretasi
Copenhagen amat berkaitan erat dengan probabilitas di Dunia Kuantum,
salah satunya adalah Asas Ketidakpastian Heisenberg. Kalian mungkin
masih ingat pelajaran SMA tentang atom, dimana dalam sebuah atom ada
inti yang terbuat dari neutron dan proton, serta ada pula sebuah
elektron yang mengitarinya. Nah kita mungkin membayangkan lintasan
orbit elektron mirip dengan orbit planet yang mengitari Matahari,
sehingga bisa digambarkan dengan sebuah garis berbentuk lingkaran
ataupun oval.
Gambaran sederhana sebuah elektron yang mengitari inti atom |
Namun Heisenberg berpendapat lain.
Karena elektron berada di Dunia Kuantum yang aturannya (atau bahkan
realita-nya) berbeda dengan aturan dunia kita, maka orbit elektron
tersebut berupa “awan” yang berisi tiap kemungkinan lintasan
elektron tersebut. Barulah ketika diamati (semisal kita mengadakan
pengukuran), “awan kemungkinan” itu runtuh dan hanya menyisakan
satu lintasan elektron saja. Anggap saja kasusnya mirip-mirip lah ama
kasus Percobaan Celah Ganda dimana foton yang awalnya menjadi
gelombang, akan runtuh menjadi partikel apabila diamati.
Kita coba ingat kembali percobaan
Kucing Schrodinger dimana seekor kucing diletakkan dalam kotak
tertutup dengan bahan radioaktif. Kotak itu dirancang sedemikian rupa
hingga ada kemungkinan 50% kucing itu mati dan 50% kucing itu hidup
(apabila kucing itu berada di Dunia Kuantum). Sebelum kotak itu
dibuka, kucing itu berada dalam dua “state” yakni hidup dan mati
(ada yang menyebutnya “zombie” malah, yakni separuh hidup separuh
mati). Nah, ketika kita membuka dan mengamati kondisi kucing itu,
maka probabilitas tersebut runtuh dan hanya menyisakan satu
“realita”, yakni semisal kucing itu masih hidup.
Contoh lainnya adalah ketika kita
menaruh sebuah dadu di bawah sebuah gelas yang ditelungkupkan
(lagi-lagi dalam Dunia Kuantum). Gelas itu bukan gelas transparan
sehingga kita tak tahu kondisi dadu di dalam gelas itu. Anggap saja
kita mengocoknya dengan menggoyang-goyangkan gelas itu dengan keras
tanpa membaliknya. Apabila belum dibuka, di dalam gelas itu sang dadu
memiliki 6 “state” probabilitas, yakni angkanya bisa 1, 2, 3, ,4,
5, atau 6 (kondisi ini disebut “superposisi”). Menurut Teori
Kuantum, dalam gelas itu terdapat dadu dalam semua kemungkinan
tersebut. Namun ketika dibuka, semua probabilitas itu akan “kolaps”
menyisakan hanya satu, yakni dadu itu bernomor 1, semisal.
Apa benar Tuhan bermain dadu saat menciptakan alam semesta ini? |
Sekarang kita terapkan Asas
Ketidakpastian Heisenberg ini untuk menjelaskan Fine-Tuned Universe.
Anggaplah kita memiliki seorang “Tuhan” (dalam tanda kutip) yang
bisa menciptakan alam semesta. Ia ingin menciptakan kehidupan adidaya
yang ia namakan manusia (ingat ya, tujuannya menciptakan “manusia”
bukan alien). Namun “Tuhan” ini tak tahu caranya. Maka dari itu,
ia kemudian menciptakan semua kemungkinan alam semesta dalam Dunia
Kuantum. Ia mencoba semua probabilitas dengan mengetes semua
kemungkinan nilai dari semua konstanta fisika yang ada.
Semisal ia menciptakan alam semesta
dengan nilai Omega (konstanta dari Martin Rees tadi) dengan berbagai
nilai, semisal 1; 2; 3; 0,5; 0,25; bahkan mungkin 0. Dia kemudian
menemukan (dari alam-alam semesta yang tercipta) bahwa nilai 1 adalah
yang paling sempurna. Lalu ia mencoba mengutak atik nilai konstanta
lain, semisal Epsilon, Lambda, dan lain-lain. Ia juga semisal,
mencoba Matahari dengan berbagai kemungkinan ukuran, mencoba berbagai
macam kemungkinan jarak orbit Bumi ke Matahari, mencoba apakah Bumi
lebih baik dengan atau tanpa Bulan, pokoknya ia mencoba setiap
kemungkinan yang bisa terbayangkan.
Kemudian “Tuhan” itu akhirnya
menemukan bahwa probabilitas terbaik yang bisa memunculkan manusia
adalah alam semesta dengan nilai konstanta sesuai Fine-Tuned Universe
dan planet Bumi dengan lokasi sesuai Rare-Earth Hypothesis. Alam
semesta itulah yang kita tinggali. Kemudian setelah puas dengan
“ciptaannya”, iapun meruntuhkan semua alam semesta lain.
Dengan kata lain, “Tuhan” ini
“bermain dadu” dengan mengecek semua probabilitas untuk
menciptakan manusia.
Namun “Tuhan” macam apakah ini?
Bukankah Tuhan sesungguhnya maha-tahu?
Apakah Fine-Tuned Universe tercipta karena lemparan-lemparan dadu probabilitas dan kita-lah hasilnya? |
Pertanyaan paling mendasar kini
bukanlah apakah Fine-Tuned Universe berhasil membuktikan keberadaan
Tuhan atau tidak. Namun kini pertanyaannya, jika Fine-Tuned Universe
memang benar, Tuhan seperti apakah yang akan kita temui?
Jika justru pencarian Tuhan melalui
ilmu Fisika dan Mekanika Kuantum justru menemukan hasil seperti ini,
apa lebih baik jika kita tinggal di Dunia Matrix Simulasi saja?
Post yang bagus, Bang Dave. Entah kapan kita bisa bertemu "Tuhan" dengan Ilmu Sains. Padahal, misteri tentang Ruh (berbeda dengan kesadaran) saja masih belum tersentuh.
ReplyDeletemy brainnnnnn...
ReplyDelete