Kehidupan sesungguhnya amatlah ringkih hingga hanya ada dua kemungkinan, antara kita mendapat keberuntungan berupa kebetulan yang luar biasa, atau kita ada karena campur tangan Tuhan |
Salah satu pertanyaan, atau bahkan bisa
juga bisa disebut “misteri”, terbesar dalam sains adalah darimana
kita berasal. Apakah kita sengaja diciptakan? Ataukah keberadaan
manusia di alam semesta ini sekedar kebetulan? Tak mudah memang
menjawabnya. Namun semakin dalam para ilmuwan mempelajari tentang
alam semesta dan kehidupan kita di Bumi, jawaban-jawaban tersebut
seakan mendorong mereka ke sebuah skenario, yakni “Fine-Tuned
Universe” atau “alam semesta yang disetel dengan apik”.
Apakah Fine-Tuned Universe itu? Dan
apakah benar konsep Fine-Tuned Universe membuktikan keberadaan Tuhan?
Nah, bayangkan sebuah radio. Generasi
muda sekarang sepertinya nggak pernah berkutat ya dengan yang namanya
radio (lebih demen Spotify soalnya). Kalopun memakainya, sekarang
kebanyakan radionya sudah berbentuk digital berupa aplikasi dalam
hape, sehingga dengan sekali tekan, kita udah langsung nemuin channel
yang cocok. Tapi kalian yang jadul kayak gue mungkin pernah
menggunakan radio versi jadul. Dengan radio lama, stasiun radio yang
kalian inginkan nggak bisa langsung serta-merta muncul begitu radio
kalian nyalakan. Tiap stasiun punya gelombang (channel) FM-nya
sendiri. Dimana di antara channel-channel tersebut, ada
gelombang-gelombang yang nggak dipakai. Alhasil, kalian harus mencari
terlebih dahulu channel yang kalian inginkan, biasanya dengan memutar
“tuner” radio.
Ketika tuner mencapai gelombang yang
kosong, maka kalian akan mendengar suara “kemresek” yang cukup
menganggu. Namun begitu mendekati channel yang didiami oleh stasiun
radio tersebut, akan mulai terdengar suara yang awam di telinga
kalian, mungkin suara DJ radionya berbicara atau suara musik. Namun
suara itu masihlah sayup-sayup atau bercampur dengan suara “kemresek”
(sorry nggak tahu bahawa Indonesianya wkwkwk). Tapi begitu kalian
menemukan suara itu, kalian tahu kalian sudah dekat dengan channel
yang kalian inginkan. Dengan menyetelnya sedikit, kalian akan tiba
dengan pas di channel yang kalian inginkan dan alhasil, suara yang
merdu-pun mengalun.
Inilah yang disebut dengan “fine
tuning”. Kalian harus menyetelnya dengan “halus” agar kalian
bisa mendapat hasil yang kalian inginkan.
Alam semesta kita bekerja seperti itu.
Tanpa ada “fine tuning” tersebut maka alam semesta kita takkan
pernah ada. Bahkan, kehidupan kita juga takkan pernah muncul.
Ilmuwan, baik Fisika maupun Biologi, sejak awal abad ke-20 sudah
menyadari fakta tersebut. Masalahnya sekarang, apakah “fine tuning”
tersebut disebabkan oleh Kekuatan yang lebih tinggi, ataukah terjadi
secara kebetulan semata?
Silakan kalian simpulkan sendiri
setelah membaca artikel gue berikut ini.
ALAM SEMESTA YANG SENGAJA “DISETEL”?
Benarkah alam semesta kita bak sebuah radio yang harus disetel terlebih dahulu agar bisa mengalunkan musik merdu bernama "kehidupan"? |
Walaupun memiliki dampak yang amat
dahsyat bagi Fisika dan Biologi, Fine-Tuned Universe pertama kali
justru disadari oleh seorang ahli kimia bernama Lawrence Joseph
Henderson pada 1913. Kala itu ia menyoroti bahwa lingkungan di Bumi
sangatlah kondusif untuk keberadaan air dan tanpa air, kehidupan di
Bumi (termasuk manusia) takkan ada. Fine-Tuned Universe dalam Fisika
pertama kali dipelajari oleh Robert Dicke pada 1961 dimana ia
menyadari bahwa force terpenting dalam alam semesta, yakni gravitasi
dan elektromagnet bisa terjadi karena Hukum Fisika “disetel secara
halus”. Di bidang Biologi, Fine-Tuned Universe juga diamini oleh
Fred Hoyle pada 1984 dalam bukunya “The Intelligent Universe”
dimana ia mengklaim alam semesta ini seolah diatur agar kehidupan
manusia bisa ada.
Inti atau premis dari Fine-Tuned
Universe adalah perubahan terkecil pada konstanta Fisika akan
berakibat pada alam semesta yang benar-benar berbeda (anggap saja
seperti Butterfly Effect) dimana alam semesta tersebut akan lebih
“ganas” sehingga tak memungkinkan adanya kehidupan. Ilmuwan
kawakan Stephen Hawking pernah mengungkapkan keheranannya akan
besaran konstanta Fisika di alam semesta ini yang seolah-olah sudah
sengaja “disetel” sehingga kehidupan bisa muncul.
Apakah contoh konstanta-konstanta
tersebut?
Strong Force
Kalian sudah belajar tentang strong
force kan, yakni force yang bertujuan menggabungkan partikel-partikel
sub-atomik agar membentuk atom? Mudah dipahami jika strong force
terlalu lemah, maka partikel sub-atomik takkan mampu berikatan. Namun
bagaimana jika ia lebih besar? Jika strong force lebih besar 2% saja,
dipostulatkan bahwa hidrogen di seluruh alam semesta akan langsung
habis dalam menit-menit pertama Big Bang. Tanpa hidrogen, takkan ada
bintang yang menghasilkan energi untuk kita. Tanpa energi, takkan ada
kehidupan. Hidrogen juga merupakan penyusun utama air (H2O), jadi
tanpa hidrogen, mudah dimahfumkan bahwa kehidupan takkan pernah ada.
6 Konstanta Semesta ala Martin Rees
Tanpa konstanta-konstanta ini berada di nilai yang tepat, maka bintang takkan pernah ada di jagad raya ini dan begitu pula kehidupan |
Martin Rees dalam bukunya “Just Six
Numbers: The Deep Forces That Shape the Universe” yang dirilis
tahun 1999 merangkum 6 konstanta fisika yang apabila nilainya diubah
sedikit saja, akan menimbulkan kekacauan di alam semesta.
Konstanta-konstanta tersebut adalah:
- “N”, yakni rasio kekuatan elektromagnetisme dengan gravitasi dari sepasang proton. Nilainya sekitar 1036. Jika nilainya lebih kecil, alam semesta kita akan berumur pendek dan keburu musnah sebelum kehidupan bisa muncul.
- Epsilon (ε),yakni efisiensi fusi hidrogen menjadi helium, yakni bernilai 0,007. Jika nilainya lebih kecil sedikit saja, yakni 0,006 maka takkan ada helium. Sedangkan jika nilainya lebih besar sedikit saja, semisal 0,008, maka hidrogen takkan pernah ada. Baik hidrogen dan helium merupakan elemen-elemen terpenting di alam semesta dan menyusun 99% materi di jagad raya ini. Tanpa kedua elemen itu, reaksi nuklir dalam inti bintang takkan bisa terjadi.
- Omega (Ω) atau “parameter densitas”, yakni pengaruh gravitasi terhadap mengembangnya alam semesta. Nilainya adalah 1. Bila gravitasi terlalu kuat, maka alam semesta akan runtuh (kolaps) begitu tercipta. Sedangkan jika gravitasi terlalu lemah, bintang-bintang takkan bisa tercipta.
- Lambda (Λ), atau disebut pula “cosmological constant” yang bernilai amat kecil, yakni 10-122. Nilai tersebut tentu amatlah kecil (nol koma dengan 121 angka 0 di belakangnya) sehingga efeknya hampir tak terasa. Namun jika nilainya tak sekecil ini, maka takkan ada bintang maupun benda langit lainnya yang bisa terbentuk.
- “Q”, yakni rasio energi gravitasi yang diperlukan untuk menarik galaksi dengan energi yang ekuivalen dengan massanya (yap, gue juga pusing). Nilainya sekitar 10−5. Jika terlalu kecil, maka takkan ada bintang yang mampu terbentuk. Namun jika terlalu besar, bintang-bintang takkan selamat sebab akan saling bertabrakan.
- “D”, yakni jumlah dimensi ruang, yakni tentu saja 3. Dikatakan bahwa kehidupan takkan bisa ada jika hanya ada 2 atau bahkan ada 4 dimensi ruang.
Hoyle State
Karbon tak hanya bermanfaat untuk menghasilkan berlian yang begitu indah ini. namun juga tanpa karbon, takkan ada permata bernama kehidupan di Bumi ini |
Contoh lain dari konstanta Fisika yang
begitu menentukan takdir kita adalah “Hoyle State” yang
berkaitan erat dengan energi sebuah atom karbon. Nilainya adalah
7,656 MeV. Jika nilainya kurang 7,3 atau lebih besar dari 7,9 maka
takkan ada cukup karbon di alam semesta ini untuk mendukung
kehidupan. Perlu kalian tahu bahwa kehidupan kita (tak hanya manusia,
namun juga seluruh makhluk hidup di Bumi) merupakan kehidupan yang
berbahan dasar karbon.
Mungkin kalian berpikir, kok dari tadi
kita ngomongin bintang sih, Bang? Emang ada efeknya buat kita? Eits,
bintang bisa disederhanakan dengan istilah yang lebih mudah kalian
mengerti, yakni: MATAHARI. Bayangkan jika nggak ada Matahari, nggak
akan ada Tata Surya. Mau planet Bumi kita melayang-layang nggak tentu
arah di gelapnya alam semesta? Tanpa Matahari, mustahil akan ada
kehidupan. Bayangkan saja jika Matahari sekarang tiba-tiba lenyap,
kehidupan jelas takkan bertahan lama. Tanaman takkan mampu
berfotosintesis sehingga tumbuhan akhirnya akan punah, diikuti
musnahnya hewan dan manusia.
Sebuah video dari Arvin Ash
justru lebih jauh lagi mengeksplor ada 19 parameter Fisika yang harus
di fine-tuned atau disetel dengan halus agar kehidupan bisa ada.
Dengan kata lain, apabila nilainya berubah sedikit saja, maka alam
semesta ini bisa saja steril dari kehidupan. Silakan cek videonya
untuk mengetahui apa saja konstanta-konstanta tersebut.
Namun benarkah adanya “Fine-Tuned
Universe”menjadi bukti saintifik akan keberadaan Tuhan? Untuk
menjelaskan keajaiban “Fine-Tuned Universe”, Kenneth Einar Himma
dan George Schlesinger mengatakan demikian. Katakanlah ada pria
bernama John yang memenangkan hadiah lotere sebesar 1 juta dolar.
Tentu saja, kalian akan menganggap bahwa John adalah pria yang amat
beruntung. Namun bagaimana jika katakanlah, John kemudian memenangkan
hadiah lotre sebesar 1 juta dolar itu selama 3 kali berturut-turut?
Pasti kalian berpikir, ada yang nggak beres! Pasti ada dalang di
balik semua ini?
Maka lihatlah bukti-bukti di atas. Jika
cuman satu (semisal kita ambil saja Cosmological Constant), kalian
sah-sah saja jika berpikir, wah mungkin itu kebetulan sahaja. Namun
jika nilai N, epsilon, omega lambda, Q, dan D juga berperilaku sama,
maka kalian mungkin mulai ragu bahwa ini semua sekedar “kebetulan”.
So, does that actually prove that God
exist?
Kita akan mempelajarinya lebih lanjut dengan teori lain, yakni “Rare-Earth Hypothesis”.
KEAJAIBAN “RARE-EARTH HYPOTHESIS”
Anugerah kehidupan yang begitu menakjubkan di Bumi ternyata amat dipengaruhi oleh posisi planet ini di alam semesta |
Istilah “Bumi Langka” pertama kali
muncul dalam buku besutan Peter Ward dan Donald Brownlee pada 2000.
Peter sendiri adalah seorang ahli geologi dan palaentologi, sedangkan
Donald adalah astronom sekaligus ahli astrobiologi, keduanya dari
Universitas Washington. Mereka berdua berpendapat bahwa agar
kehidupan bisa ada, maka faktor-faktor di bawah ini perlu dipenuhi.
Dan uniknya, Bumi memiliki semua syarat-syarat di bawah ini.
Ilmuwan mempostulatkan bahwa kehidupan tak bisa berlangsung di galaksi jenis pertama (globular galaxy) tapi bisa berlangsung di galaksi jenis kedua (spiral galaxy) asalkan letaknya tak berada di pusat galaksi
Ada banyak galaksi yang berada di alam
semesta kita, pasti kalian semua bisa mengamini itu. Namun tak semua
galaksi bisa menjamin kehidupan. Semisal, galaksi berbentuk globular (bulat) yang teramat padat
dengan banyak bintang di dalamnya akan menghasilkan radiasi yang amat
tinggi yang jelas akan memusnahkan kehidupan. Galaksi globular kemungkinan memiliki banyak bintang yang berpotensi menjadi
supernova, sehingga juga bisa melenyapkan kehidupan. Belum lagi
kemungkinan kita bertabrakan dengan bintang lain juga semakin tinggi.
Tak hanya itu, jikapun kita tinggal di
galaksi yang bisa menjamin kehidupan, semisal Bima Sakti yang berbentuk spiral, lokasinya pun akan menentukan
apakah kehidupan itu bisa lestari atau tidak. Sebagai contoh, dulu
pernah gue jelaskan letak Tata Surya kita berada di lengan Bima
Sakti. Mengapa tidak di tengah? Karena (dulu pernah gue jelaskan
juga) di pusat Bima Sakti terdapat Lubang Hitam raksasa yang
memancarkan radiasi sinar X dan gamma yang teramat berbahaya. Bahkan
bagian pusat galaksi disebut sebagai “Dead Zone” karena jelas
kehidupan takkan selamat di sana.
Beruntungnya, kita tinggal di lengan
Bima Sakti yang memiliki lebih jarang bintang, sehingga selamat dari
amukan radiasi mematikan.
2. Mengorbit dengan jarak yang tepat
dengan tipe bintang yang tepat pula
Gambaran sebuah Goldilocks Zone |
Untuk menjelaskan ini, kalian harus
tahu apa itu prinsip “Goldilocks Zone”. Zona Goldilocks adalah
zona “hijau” di sekitar sebuah bintang, dimana apabila sebuah
planet mengorbit di zona tersebut, maka kondisi di planet tersebut
akan mendukung kehidupan. Lokasi Zona Goldilocks ini amat bergantung
apa tipe, ukuran, dan usia bintang tersebut,
Syarat pertama sebuah bintang dapat
mendukung sebuah kehidupan adalah bintang tersebut haruslah bintang
tunggal dan bukan sebuah “binary system” atau “sistem binari”.
Sistem Binary terjadi apabila sebuah sistem memiliki dua bintang,
sehingga kedua bintang tersebut akhirnya saling mengorbit satu sama
lain. Beruntung, bintang kita, yakni Matahari, adalah bintang tunggal
yang tak memiliki kawan. Gawat jadinya bila ada dua bintang di Tata
Surya kita.
Gambaran dua bintang dengan massa yang sama akan mengorbit satu sama lain |
Lho, mengapa Bang? Apa akan terlalu
panas? Panas bukanlah masalah utamanya, melainkan “Three Body
Problems”. Apa lagi itu? Jika dua benda langit bertemu, maka
logikanya benda langit yang memiliki gaya gravitasi lebih kecil akan
mengorbit benda langit yang memiliki gaya gravitasi lebih besar.
Contohnya seperti Bulan mengorbit Bumi. Apabila dua benda langit
memiliki gaya gravitasi sama besar, mereka akan saling mengitari satu
sama lain seperti sistem Binary tadi. Gerakan dua benda langit sangat
mudah diprediksi oleh Hukum Newton, namun apabila satu benda langit
lain ditambahkan ke dalam sistem itu, hasilnya akan kacau.
Ilustrasi "three body problems" dari tiga benda langit yang menyebabkan orbitnya menjadi maha-kacau |
Inilah yang disebut “Three Body
Problems”. Ketika ada tiga benda langit (semisal dua bintang dan
satu planet), maka gerakan ketiganya akan sangat kacau dan “chaotic”.
Tak ada satupun perhitungan matematis ataupun hukum alam yang bisa
memprediksi gerakannya. Semisal bisa saja semenit Matahari ada di
dekat kita (sejauh Merkurius) kemudian di menit berikutnya, kita
berada sejauh Neptunus dari Matahari, kemudian tiba-tiba kita akan
ada di orbit Mars. Gerakan tiba-tiba yang tak teratur itu tentu saja
akan langsung memusnahkan kehidupan di planet kita.
Uniknya, sekitar 50% bintang yang ada
di alam semesta kita terlibat dalam Sistem Binary tersebut, sehingga
bisa dibilang kita amat beruntung.
Ukuran bintang juga amat berpengaruh.
Bintang berukuran raksasa seperti Sirius dan Vega tidak hanya lebih
panas, namun juga menghasilkan lebih banyak radiasi ultraviolet yang
berbahaya bagi kehidupan. Bintang yang lebih kecil (disebut “dwarf
star” atau bintang kerdil) mungkin lebih aman. Namun kacaunya,
planet yang mengorbit bintang kerdil umumnya berada dalam kondisi
“tidal lock”. Artinya, ada satu permukaan yang akan terus-menerus
menghadap ke bintang itu dan permukaan lainnya akan terus menghadap
ke sisi berlawanan. Akibatnya, takkan pernah ada pergantian siang dan
malam. Terang dan gelap di sana akan berlangsung selama-lamanya.
3. Urutan planet yang tepat dalam
Tata Surya
Pernahkah kalian membayangkan jika kita ternyata harus berterima kasih pada planet Jupiter? |
Bagaimana jika gue katakan, selama ini
Jupiter menyumbang amat banyak bagi kehidupan kita di Bumi? Lah kok
bisa? Jupiter aja letaknya amat jauh, Bagaimana bisa mempengaruhi
kehidupan di Bumi? Ternyata Jupiter selama ini diam-diam menjadi
“vacuum cleaner langit”. Dengan kata lain, gaya gravitasi Jupiter
yang teramat kuat membuat benda-benda langit seperti meteor, komet,
hingga asteroid dari luar angkasa tertarik ke arahnya. Jika saja tak
ada Jupiter, kehidupan di Bumi sudah lama punah karena benda langit
asing tersebut akan menabrak kita.
Namun kita juga beruntung letak Jupiter
tak terlalu dekat dengan kita. Jika letaknya terlalu dekat, gaya
gravitasi Jupiter yang amat kuat jelas akan mengacaubalaukan kondisi
planet kita.
4. Ukuran planet yang tepat
Mutiara di langit ini ternyata memiliki ukuran "sempurna" untuk mengayomi kehidupan |
Pernah nggak sih berpikir, apa jadinya
jika ukuran Bumi lebih gede atau lebih kecil? Mungkin enak ya kalo
lebih gede, ada lebih banyak daratan hingga Israel dan Palestina
nggak usah rebutan lahan. India dan China juga nggak perlu
bersengketa soal perbatasan. Namun tak sesederhana itu. Ukuran Bumi
kita sudah sempurna dan pas dari sononya.
Jika Bumi berukuran lebih kecil,
akibatnya gaya gravitasinya akan lebih kecil pula. Dampaknya bisa
langsung kita rasakan. Planet kita takkan bisa menarik udara dan air
agar tetap di permukaan Bumi. Alhasil, planet kita takkan memiliki
atmosfer dan lautan.
Kebalikannya jika Bumi kita terlalu
besar, atmosfer kita justru akan terlalu tebal. Mungkin kalian malah
senang ya, kan kalo atmosfer lebih tebal, udara juga lebih banyak,
jadi kita bisa lebih lega bernafasnya? Eits, tapi ingat, atmosfer
juga punya tekanan. Semakin tebal atmosfernya, semakin besar
tekanannya. Akibatnya tubuh kita bisa langsung remuk. Selain itu,
atmosfer tebal juga akan lebih cepat memicu efek rumah kaca sehingga
permukaannya akan semakin panas.
5. Memiliki Satelit Berukuran Besar
Kehidupan kita ternyata juga diberkahi dengan adanya sahabat lama kita ini, Rembulan |
Ternyata Bulan tak hanya berfungsi
menghiasi langit malam semata. Kontribusinya terhadap kehidupan di
Bumi juga teramat besar. Bahkan bisa dikatakan, tanpa adanya Bulan,
takkan ada kehidupan di Bumi.
Keberadaan satelit sebesar Bulan di
bagian dalam Tata Surya tergolong aneh dan ganjil. Bayangkan, dari
empat planet terdekat dengan Matahari, hanya Bumi yang memiliki
satelit alami. Merkurius dan Venus tak memiliki satelit. Mars
memiliki dua satelit, yakni Phobos dan Deimos, namun keduanya
bukanlah satelit “alami”. Phobos dan Deimos sesungguhnya asteroid
dari sabuk asteroid antara Mars dan Jupiter yang kebetulan tertangkap
gaya gravitasi planet merah tersebut. Buktinya, bentuk Phobos dan
Deimos tidaklah beraturan, jauh dari bentuk bola sempurna satelit
alami seperti Bulan.
Mengapa Bumi bisa dianugerahi satelit
seperti Bumi? Para astronom menduga bahwa miliaran tahun yang lalu,
ketika masih dalam tahap pembentukan, Bumi dihantam oleh sebuah
planet bernama Theia. Theia langsung musnah akibat tabrakan tersebut,
namun pecahannya kemudian bergabung kembali menjadi Bulan.
Adanya musim, seperti mekarnya sakura ini, takkan terjadi bila saja Bulan tak tercipta |
Mengapa peristiwa ini penting? Sebab
tabrakan tersebut mengubah poros Bumi yang seharusnya tegak lurus
menjadi miring, sehingga memiliki iklim yang teratur. Kemiringannya
pun sempurna. Ilmuwan memperkirakan jika kemiringan Bumi terlalu
drastis, maka musim bisa berkecamuk secara ekstrim. Namun jika poros
Bumi tidak miring, maka variasi iklim takkan cukup untuk menyokong
kehidupan.
Tak hanya itu, tabrakan tersebut juga
membuat rotasi Bumi bertambah cepat. Konon kecepatan rotasi Bumi ini
menjadi amat pas bagi lamanya pergantian siang dan malam yang
mendukung fotosintesis tumbuhan berkembang.
Bagaimana dengan peran Bulan sendiri
bagi kehidupan di Bumi? Adanya gaya gravitasi Bulan membantu
kestabilan perputaran Bumi pada porosnya. Gaya gravitasinya juga
membantu pergerakan lempeng Bumi sehingga memacu siklus mineral yang
amat dibutuhkan makhluk hidup. Tak hanya itu, adanya pasang laut saat
purnama juga bermanfaat sekali bagi kehidupan biota laut.
6. Memiliki atmosfer
Walaupun terlihat ringkih, namun atmosfer kita bak perisai yang melindungi kehidupan kita |
Komposisi atmosfer Bumi-pun seakan
begitu sempurna untuk mendukung kehidupan Bumi. Planet kita memiliki
lapisan ozon untuk melindungi kehidupan dari ancaman sinar
ultraviolet. Rasio nitrogen dan karbon dioksida dalam atmosfer juga
dalam takaran tepat agar kehidupan bisa berkembang. Karbon dioksida
hanya dibutuhkan dalam level yang sedikit, yakni sekitar 400 ppm
(part per million). Kadar CO2 yang lebih tinggi dari itu
akan meracuni kehidupan, belum lagi akan menciptakan efek rumah kaca
dan global warming.
Sama halnya dengan kadar oksigen. Jika
terlalu sedikit, tentu kita mesti rebutan oksigen dengan makhluk
lain. Bagaimana jika oksigennya terlalu banyak? Jangan lupa, oksigen
adalah gas yang amat mudah terbakar. Bila konsentrasi oksigen terlalu
tinggi, udara kita akan mudah sekali terbakar. Berkecamuknya petir di
atmosfer Bumi juga berperan penting sebab dapat memfiksasi (mengikat)
nitrogen dari udara sehingga bisa diserap oleh tumbuhan.
***
Tentu gue bisa dianggap “meracuni”
pikiran kalian jika gue hanya mendoktrinkan pendapat dari satu sisi
saja. Di episode berikutnya gue akan menyodorkan pada kalian pendapat
dari sisi yang berseberangan. Barulah kalian bisa menjawab sendiri,
apa benar semua yang gue gelontorkan di atas benar-benar membuktikan
keberadaan Tuhan ataukah tidak.
Suara "kemresek" biasa di sebut suara statis... CMIIW
ReplyDeleteNice article bang, jadi sider sejak lama wkwk.... Semangat
Sebagai orang yang percaya tentang penciptaan, sebenarnya aku juga percaya ada lebih banyak alasan kalau Tuhan memang ada. Contohnya aja hal2 kecil kaya warna dan rasa. Ya aku bersyukur bisa liat indahnya langit sore ataupun bisa rasain manisnya semangka. Karena sebenarnya kita juga masih bisa hidup tanpa hal2 tsb, tapi nyatanya kita diberkahi kemampuan untuk menikmati semua "delights" di dunia ini.
ReplyDeleteYang percaya kehidupan ciptaan The Engineer angkat jempol (efek nonton promotheus di Bioskop Tr*ns t*
ReplyDeleteEtapi the engginer g dijelaskan mrk menciptakan jagad raya