Sunday, September 26, 2021

CERITA HOROR GOJEK (7): JANGAN ANTAR GO-FOOD JIKA KAMU INDIGO


SUMBER GAMBAR: UNSPLASH

Di cerita selanjutnya, seorang driver Gojek akan melanggar pantangan (karangan gue sendiri sih) yang menyebutkan bahwa driver yang memiliki kemampuan indigo dilarang mengantarkan Go-Food. Apa alasannya? Pemuda yang menjadi tokoh utama cerita kita ini akan membuktikannya. 

“Jangan antar go-food jika kamu indigo!” ujar salah seorang temanku yang memberikan akun ini. Aku manggut-manggut saja kala itu. Toh selama ini kemampuanku melihat arwah dan makhluk halus cukup membebaniku. Aku jadi tak berani narik malam-malam karena yah, bisa-bisa aku malah mengangkat penumpang yang tak bisa dilihat driver lain. Aku juga selalu menolak pesanan go-food tiap kali ada yang masuk. Awalnya aku heran sih, kenapa dia memintaku berbuat seperti itu. Apa masuk akalnya larangan itu? Mana ada hubungannya kemampuanku sebagai pria indigo dengan layanan antar makanan secara online?

Sekarang aku mengerti.

Semenjak wabah Covid-19 ini, aku mulai tergoda untuk melanggar pantangan itu. Penyebabnya tentu karena pendapatanku yang menurun drastis jika hanya mengandalkan antar jemput saja. Akhirnya, karena terpaksa, akupun berani menerima pesanan go-food pertamaku. Kala itu sama sekali tak ada penumpang satupun dari pagi sampai siang, sehingga akupun mau tak mau melakukannya. Daripada tak ada pendapatan sama sekali, ya nggak?

Namun, spoiler saja, aku langsung menyesalinya.

Saat itu ada seorang penumpang yang rumahnya dekat dengan pos tempatku mangkal bersama teman-temanku rekan sesama driver Gojek.

“Soto Pak Tengkar?” tanyaku, “Kalian tahu nggak itu dimana?”

“Tumben kamu nerima pesanan go-food. Biasanya kamu ogah?” komentar salah satu temanku.

“Wah, enak banget tuh sotonya. Ada di ujung jalan itu kok. Tapi siap-siap aja antrenya bakal lama, soalnya warungnya rame banget!” sahut temanku yang lain.

Ternyata benar, warung itu ramai sekali pengunjungnya. Aneh, pikirku, padahal tempatnya biasa saja. Bahkan seperti warung kaki lima biasa. Tapi kenapa begitu populer ya? Apa sedang viral di media sosial? Ataukah soto mereka benar-benar senikmat itu?

“Pak, soto satu ya.” ujarku.

“Pakai aplikasi ya Mas?” lirik sang pria berkumis tebal yang sedang menuang kuah soto ke mangkuk. Ia pasti melihat jaket hijau yang kukenakan. “Nggak apa-apa ya nunggu bentar? Tenang Mas, kalau driver Gojek selalu saya dulukan supaya Mas ngggak terlalu lama menunggu dan bisa cari rezeki lagi.”

“Wah, makasih ya Pak!” pria ini baik dan pengertian sekali, pikirku. Pastilah dia pemilik restoran ini.

“Saya tahu kok susahnya mencari uang. Dulu warung saya sepi sekali Mas, tapi beruntung sekarang laris sekali.” ujarnya lagi.

Iapun menepati janjinya dengan mendulukan pesananku dan akupun mengantarkannya ke costumer yang sudah memesannya tanpa berlama-lama. 

“Ting!” terdengar notifikasi bahwa aku mendapat bintang lima. Akupun kembali ke pos dan belum berapa lama, aku mendapat order go-food lagi.

“Lho?” pikirku, “Ini kan costumer yang tadi?”

“Kok pesan lagi Bu? Ini pesanan yang sama kan dengan yang tadi?” chatku penasaran.

“Iya Mas, tadi saya rasakan kok sotonya beda, kurang enak. Mungkin karena sudah dingin. Coba Mas beli lagi dan bilang ke penjualnya supaya tetap hangat. Mohon diantarkan secepat mungkin ya.”

“Ok!” tapi selama perjalanan ke warung aku tak henti-hentinya berpikir. Padahal aku sudah mengantarkannya secepat mungkin, kok bisa secepat itu dingin ya? Ataukah tadi ada bumbu yang lupa dimasukkan sehingga rasanya kurang mak-nyus? Duh, aku jadi penasaran sama rasanya. Coba lain kali kubeli sendiri untuk merasakan sensasi soto yang sedang viral itu.

“Lho, Mas? Balik lagi?” tanya sang penjual. Rupanya ia masih ingat padaku.

“Iya Pak, pesanan sama seperti yang tadi ya. Tadi costumer saya bilang rasanya kurang enak karena sudah dingin begitu sampai di sana.”

“Oooooh begitu, saya tahu kok masalahnya. Saya bikinkan lagi ya.” ujarnya sembari tersenyum, “Mas duduk saja dulu.”

“Eh, Pak. Sebenarnya dari tadi saya kebelet pipis. Apa ada toilet ya di sini yang bisa saya pakai?”

“Oh, ada di belakang, Mas!” tunjuknya, “Tapi harap maklum ya Mas kalau berantakan, namanya juga warung pinggir jalan seperti ini.”

“Baik Pak, terima kasih.”

Akupun segera menuju ke sana. Benar rupanya, warungnya sangat sederhana. Kenapa ya bapak tersebut tidak memperbaikinya atau malah pindah ke tempat yang lebih bagus dan luas? Pelanggannya aja ramai begini, pasti keuntungannya juga banyak. Kenapa ya bapaknya tidak mau pindah?

Saat hendak kembali ke depan, aku tiba-tiba melihat sebuah ruangan kecil dengan pintu yang sedikit tersibak terbuka. Namun yang membuatku keheranan adalah bau busuk yang menguar dari dalam.

“Ih, bau apa ini ya?” ujarku sembari menutup hidungku. Aku kemudian memberanikan diri mengintip.

Akupun tersentak.

Di dalam, ada seorang pria kurus dengan tubuh tertutup bisul tengah duduk. Ruangan itu remang-remang, tapi aku bisa melihat borok-borok di tubuhnya mulai mengeluarkan darah dan nanah. Bahkan tak ada keraguan sedikitpun di benakku bahwa bau busuk yang tercium ini berasal dari tubuh menjijikkan pria itu.

Namun yang lebih membuatku heran, pria itu tengah merendam kakinya di sebuah panci besar. Terlihat uap dari dalam panci itu, sehingga akupun menyimpulkan isinya pasti air hangat, atau bahkan air panas. Kenapa ia melakukannya? Lalu kenapa pula ada pria berborok seperti ini di sini? Apa dia sama sekali tak memperhatikan kesehatan dan kebersihan warung ini? Apa dia sanak saudara sang pemilik warung yang harus ia jaga sementara ia berjualan?

“Nak, kuah sotonya habis. Cepat ambil lagi ya!” terdengar sang pemilik warung memanggil anaknya.

“Baik, Yah!” seorang pemuda bercelemek segera mendatangi ruang tersebut. Melihatnya, aku kembali menyusup ke kamar mandi, namun membiarkan pintunya sedikit terbuka agar aku masih bisa mengintip keluar.

Pemuda itu kemudian mengambil panci yang tadi dipakai sang pria bertubuh bisulan itu untuk merendam kakinya. Lalu, ia melakukan hal yang mengejutkan.

Ia menuang isi panci itu ke panci gerobaknya. Ia lalu menciduknya dan menyajikannya ke mangkuk-mangkuk seakan-akan itu adalah kuah sotonya.

Sebentar.

ITU adalah kuah sotonya.

Aku menutup mulutku hendak muntah.

“Nak,” pria itu terlihat mencari seseorang, “Apa kau lihat pengemudi Gojek tadi? Tolong sampaikan pesanannya sudah jadi.”

Supaya tak dicurigai, akupun segera keluar dari kamar mandi seakan tak terjadi apa-apa. Namun ketika berjalan, tanpa sengaja mataku terarah ke dalam kamar terkutuk itu. Akupun bertatapan dengan pria tua itu. Kedua bola matanya putih dan semua giginya menghitam terlihat membusuk.

Iapun tersenyum, seolah-olah senang ada yang bisa melihatnya.

Aku bergidik ngeri dan kembali ke depan.

“Oya Mas, tadi katanya begitu sampai dingin ya sotonya?”

“I ... iya Pak ...” ucapku gelagapan.

“Memang Mas, soto saya enaknya langsung dimakan di sini pas hangat-hangatnya. Tapi buat Mas biar nggak dapat komplain dan performanya menurun, ini saya kasih bumbu tambahan biar rasanya tahan lama sampai ke costumernya ya.” ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam laci gerobaknya. Seekor tikus hitam yang mencicit dan menggeliat. Ia mengambilnya dengan tangannya seolah bukan apa-apa, lalu memungut sebilah pisau dan memotong ekornya di depanku.

Aku tersentak, terutama karena ekornya terus saja menggeliat-geliat walaupun telah terpisah dari tubuhnya.

“Wah daging apa itu Pak? Sapi ya?” tanya salah seorang pelanggan yang melihatnya memotong ekor tikus tersebut, “Saya juga mau dong Pak!”

“Maaf Mas, ini khusus yang spesial hehehe.” ujarnya. Ia kemudian memasukkan ekor yang masih bergerak-gerak itu ke dalam plastik berisi kuah soto pesananku.

“Ini Mas!” ujarnya.

“I ... iya, terima kasih Pak ...” dengan agak jijik aku menerimanya.

Bahkan ketika aku menaruhnya di motor dan mulai melaju ke rumah costumerku, aku masih bisa merasakan plastik berisi kuah soto itu bergerak-gerak, seolah ekor tikus yang masih bernyawa itu ingin keluar.

“Terima kasih Mas.” ujar sang costumer ketika menerima makanan itu. Bahkan, di tangannya, plastik itu masih bergerak-gerak, tapi ia tak bisa melihatnya. 

Aku hanya terdiam di depan rumahnya ketika ia menutup gerbang. Mulutku terasa bisu.

Apakah aku harus mengatakannya kepadanya, pikirku. Apa aku harus memperingatkannya? Tapi, apakah ia akan percaya padaku?

“Ting!” suara notifikasi kembali terdengar di aplikasiku.

Aku menunduk untuk melihatnya. Bintang lima, namun lagi-lagi tanpa tip.

Huh, tanpa tip.

Akupun berbalik dan pergi.


 

7 comments:

  1. Emang menjijikkan penglaris ini..
    Rumah makan dekat tempat gue dulu, penglaris nya Kuntilanak ngayunin tangannya buat manggil orang biar mampir kesana.
    Terus kalo pengalaman temen gue yg bisa liat makhluk halus juga, ada rumah makan yg punya pocong buat ngasih ludah ke makanan yg dibuat warung itu. Kurang ajar.

    ReplyDelete
  2. Jyjy 🤮🤮🤮🤮🤮

    ReplyDelete
  3. lebih horror gak dikasih tip kayaknya ya

    ReplyDelete
  4. Agak bingung gw dengan mereka yg main penglaris ginian, apa beneran ga bisa bedain rasa?

    -BN

    ReplyDelete
  5. Kalo gw pribadi sih, setiap makan di luar selalu berdoa dulu baru makan. Kalau pas dirasa makanannya agak asam, gw langsung cabut.

    ReplyDelete
  6. sepertinya seru kalau dijadikan short movie

    ReplyDelete
  7. Ini cerita original terkeren sejauh ini, horornya kena, dan endingnya bisa diterima nalar, pokoknya Daebak, berharap yg di blog sebelah di update juga

    ReplyDelete