Sunday, September 26, 2021

SINETRON KUMENANGIS (1): PEMBALASAN BAGI SUAMI YANG SUKA MENYIKSA ISTRINYA

Imagine sinetron “Ku Menangis” digabungkan dengan “Black Mirror” dan “American Horror Story”. Selamat datang di “Sinetron Kumenangis” series yakni sebuah cerita berjilid empat yang bergenre horor dengan balutan dark comedy bergaya satire. Dalam kisah pertama ini, seorang suami yang tega berselingkuh menganiaya istrinya dan akhirnya mendapat karma. Apakah balasan bagi suami yang suka menyiksa istrinya? Silakan simak cerita berikut ini untuk tahu jawabannya.


“APA?!!!” Catrin  menjatuhkan piring yang dipegangnya begitu mendengar perkataan suaminya pagi itu.

“Apa aku tak salah dengar?” jerit Catrin dengan terkejut, “Mas ... Mas ingin menikah lagi?”

“Ya, benar Cat!” ucap Batara, suaminya, “Aku ingin punya dua istri. Aku bisa kok menafkahi satu istri lagi.”

“Astaga, Mas! Ba ... bagaimana dengan janji pernikahan kita Mas? Mas kan sudah berjanji akan selalu setia?”

“Kok aku? Ini semua kan salahmu, Cat!” tuding Batara.

“Apa ... salahku?” tanya Catrin tak percaya, “Bagaimana bisa ini salahku?”

“Ya, karena selama 5 tahun menikah, kau belum mampu memberikanku keturunan. Dasar kau perempuan mandul!”

“Astaga, Mas! Tega sekali kau menyebutku perempuan mandul? Kalau kita sampai sekarang belum dikaruniai rejeki berupa momongan, itu sudah rencana Yang Mahakuasa.” tangis Catrin.

“Alah, nggak usah banyak alasan!” tiba-tiba Citra, mertua Catrin muncul dari dalam kamar, “Kau memang istri yang tidak berguna! Sejak awal aku memang tak setuju anakku ini menikahimu. Kamu hanya ingin merebut harta warisan keluargaku, iya kan?”

“Astaga, kejam sekali suami dan mertuaku, ya Tuhan.” ratap Catrin dalam hati, “Tega sekali suamiku menduakan aku, bahkan menyebutku mandul. Tabahkanlah hatiku, ya Tuhan.”

“Bagaimana, Cat? Aku akan mengajak calon istri baruku untuk menemuimu.”

“Tidak, Mas!” Catrin menggeleng, “Aku takkan sudi kau madu! Jika kau mau, kau bisa menceraikanku dulu!”

Catrin langsung masuk kembali ke dalam kamarnya sambil menangis.

“Sial! Bagaimana ini?” monolog Batara dalam hati, “Jika aku harus bercerai dengan Catrin, aku harus memberinya harta gono-gini. Aku tak mau! Aku harus menyusun rencana!”


*** 


“Aku sedih banget, Yul.” Catrin curhat kepada sahabatnya, Yuli. “Tega sekali suami dan mertuaku menjelek-jelekkanku hanya karena sampai sekarang aku belum bisa memberi mereka anak.”

“Sabar, Cat. Supaya kamu nggak sedih nih coba minum teh yang lagi viral ini.”

“Teh yang lagi viral apaan, Yul?”

Yuli langsung menunjukkan kemasan teh tersebut, “Nih, teh rasa buah ini nggak hanya enak, namun juga bergizi karena mengandung banyak zat antioksidan yang bisa menyehatkan tubuh.”

“Wah, apa benar? Pantesan teh ini jadi viral, khasiatnya pasti banyak?”

“Iya dong, kandungan antioksidan dalam teh ini bisa memperkuat jantung, memperlancar peredaran darah, bahkan bisa mencegah kanker.”

“Kita coba yuk satu.”

“Ini sudah aku buatkan satu cangkir untukmu, Cat. Silakan dicoba.”

Catrin pun menyeruputnya, “Wah, rasanya enak dan segar sekali, Yul.”

“Teh kaya antioksidan, emang bagus untuk kesehatan! Tunggu apa lagi?” Catrin dan Yuli sama-sama berseru.

“Makasih ya, Yul, kamu mau dengerin curhatanku. Aku sudah bingung mau apa lagi.”

“Apa tidak sebaiknya kau bercerai saja dengan suamimu aja, Cat? Aku khawatir melihatmu tertekan seperti ini. Dari ceritamu, sepertinya dia suami yang jahat.”

“Tidak, Yul!”Catrin menggeleng, “Walaupun Batara seperti itu, tapi aku sangat mencintainya. Aku yakin, sebentar lagi dia akan melupakan wanita selingkuhannya itu.”

“Semoga aja ya, Cat.” balas sahabatnya itu.


*** 


Catrin sedang mencuci di belakang ketika ia mendengar suara ketukan di pintu. Saat itu hanya ia yang ada di rumah, sementara ibu mertuanya tengah berbelanja dan suaminya pergi bekerja.

“Ya, sebentar.” ujarnya. Siapa ya yang bertamu, pikirnya.

Namun begitu ia sampai di ruang tamu, ia terhenyak. Pasalnya, ia melihat sesuatu tengah berdiri di balik tirai jendela kamar tamu. Tirai putih itu berenda sehingga bayangan di baliknya hanya terlihat hitam seperti siluet. Namun Catrin tahu, bayangan itu tidak berada di luar jendela.

Ia berada di dalam rumah.

Bayangan itu tak bergerak, begitu pula Catrin. Ia ketakutan, hendak menelepon suaminya. Namun tiba-tiba saja, suara dering telepon terdengar.

“Kriiiiiing!” perhatian Catrin terpecah dengan suara itu. Ketika ia menoleh kembali, bayangan itu sudah lenyap.

“Mungkin itu hanya halusinasi karena aku lelah mencuci.” pikirnya. Ia lalu menghampiri telepon yang masih berdering itu.

“Halo?” angkatnya.

“Hhhhhhh ...”

“Halo?” tanya Catrin lagi. Namun hanya ada suara hembusan napas terdengar di seberang telepon.

“Tut tut tut ...”

Tiba-tiba telepon itu putus.

“Aneh sekali,” bisik Catrin heran sembari menaruh kembali gagang telepon itu. Namun tiba-tiba saja, kali ini terdengar suara berderu dari arah mesin cuci.

“Lho, tadi kan sudah kumatikan?” Catrin kembali ke belakang dan keheranan melihat mesin cucinya menyala. 

“Kok aneh, aku kan sudah mengeluarkan semua cuciannya?” Catrin mematikan mesin cuci itu lalu membuka penutupnya.

“AAAAAAA!” Catrin berteriak ketika ada seutas tangan mencengkeram tangannya dari dalam mesin cuci itu.


*** 


“Aku bersumpah, Mas! Sepertinya rumah ini berhantu!”

“Kamu tuh ngomong apa sih? Jangan aneh-aneh deh!”

“Aku suka melihat bayangan aneh, Mas berkeliaran di rumah ini!”

“Catrin ....” tiba-tiba terdengar suara bisikan yang menakutkan, “...Catrin...”

“A ... apa Mas mendengar suara itu? Suara itu memanggilku, Mas!” 

“Kamu itu apa-apaan sih? Aku nggak mendengar suara apapun!”

“A ... aku takut Mas tinggal di sini! Aku ingin pindah!”

“Apa?!” tiba-tiba Citra muncul, “Dasar menantu nggak tahu diri! Sudah menumpang hidup di sini, sekarang kamu sebut rumahku ini berhantu!”

“Iya, Ibu benar! Jangan suka sembarangan mengatai rumah keluargaku ini berhantu! Jangan-jangan kamu yang sudah tak waras!” Batara langsung mendorong istrinya tersebut hingga jatuh. Citra-pun langsung tersenyum puas melihat penderitaan menantunya itu.

“Ya Tuhan, kenapa suamiku begitu kejam?” tangis Catrin. Namun suara bisikan-bisikan itu masih tak berhenti.


*** 


“...Catrin ... Bangun, Catrin ...”

Suara itu membuat Catrin terjaga dari tidurnya. Namun begitu terkejutnya dia begitu melihat perutnya kini menggembung.

“A ... aku hamil?” tanya Catrin tak percaya dalam hati, “Namun itu mustahi, masa dalam waktu semalam saja perutku sudah sebesar ini?”

“AAAAARGH! ARRRRRRRGH!” Catrin tiba-tiba menjerit kesakitan. Perutnya terasa nyeri, seolah-olah ia akan segera melahirkan. Tiba-tiba saja perutnya robek dan dari dalamnya muncul tangan hitam berkuku panjang yang meronta hendak keluar. Kemudian tertarik keluar tubuh dengan kepala bertanduk dan mata menyala bak iblis.

“Tidak!” jeritnya, “TIDAAAAAAAAK!!!”


*** 


“ADA IBLIS DI RUMAH, MAS! MAS HARUS PERCAYA!” dua pria berseragam putih menarik Catrin keluar dari rumah itu.

“Maaf, Cat. Aku tak tega melihatmu seperti ini. Ini adalah yang terbaik. Mereka akan membawamu ke rumah sakit jiwa dan merawatmu.” ujar Batara dengan wajah murung.

“Tidak, Mas! Aku bukan orang gila! Aku ... aku ...” Catrin mendongak dan melihat bayangan hitam di lantai dua, di balik tirai kamarnya.

“Lihat, Mas! Dia ada di kamar atas! Lihat Mas!” Catrin masih menjerit ketika dia dimasukkan ke dalam mobil. “Aku tidak gila, hahahaha! Aku tidak gila!!!”

Catrin masih menjerit dan tertawa-tawa ketika mobil itu akhirnya melaju membawanya ke rumah sakit jiwa. 

Wajah sedih Batara pudar ketika mobil iut tak terlihat lagi, digantikan dengan senyuman.

“Ternyata rencana kita berhasil semudah itu, Mas. Kini tanpa gangguan istrimu itu, kita bisa menikah.” sesosok wanita keluar dari balik bayangan pohon di depan rumah itu.

“Benar sekali, Yul. Rencana kita ternyata berjalan dengan lancar.” Batara lalu memeluknya, “Semua berkat teh viralmu itu.”

Yuli tertawa, “Ia begitu naif meminum teh itu, padahal aku sudah memasukkan obat halusinogen ke dalamnya sehingga ia mulai melihat hal-hal yang aneh.”

“Sebentar ya?” Batara melepas pelukannya, “Aku mau menyingkirkan speaker-speaker yang kusebar di seluruh rumah.”

“Tapi aku jadi heran, bukankah ibumu juga akan mendengar suara-suara aneh itu?”

“Ibuku mendukung rencana kita. Semenjak dulu ia juga ingin menyingkirkan Catrin.”

“Bagus.” Yuli tersenyum, “Sekarang, kapan kita akan menikah?”


*** 


SETAHUN KEMUDIAN


“Apa? Kell positif? Apa itu?”

“Kata dokter itu adalah sejenis golongan darah, Yul. Aku memiliki golongan darah Kell positif. Sedangkan kau memiliki Kell negatif sehingga tidak cocok.”

“Apa karena itu aku keguguran terus? Tunggu dulu ...” Yuli mendelik, “Apa itu juga golongan darah Catrin, istrimu itu? Apa karena itu kalian tak pernah bisa punya anak selama 5 tahun?”

“Aku tak tahu, Yul. Tapi kata dokter, antigen dari darahku akan dianggap penganggu oleh sistem imun dari golongan darah Kell negatif sehingga akan menyebabkan kematian janin. Karena itulah ...”

“Astaga, seharusnya aku bisa menebak. Semua ini bukan salah istri-istrimu, tapi karena kami! Kamu-lah yang selama ini mandul!”

“Yul, jangan ngomomg seperti itu! Aku juga nggak ingin seperti ini!”

“Jelaskan saja pada istrimu itu secara langsung!”

“A ... apa maksudmu?”

“Apa kau belum dengar beritanya hah? Istrimu itu kabur dari rumah sakit jiwa. Besar kemungkinannya ia akan pulang ke rumah ini. Kau tahu kan, istrimu itu sudah gila sungguhan? Pokoknya aku nggak mau ada di rumah ini kalau dia beneran datang!” Yuli pun mengemasi pakaiannya dan pergi.

“Yul, tunggu! Yul!”


*** 


Batara tak bisa tidur malam itu. Hatinya dipenuhi kecemasan. Bukan saja Yuli yang sudah dinikahinya setahun ini memutuskan minggat, ia juga resah dengan kabar kaburnya sang istri dari rumah sakit jiwa. Benarkah berita itu? Apa ia akan pulang ke rumah ini?

Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Batara segera mengangkatnya. Malam-malam begini, pastilah telepon penting.

“Bat! Tolong aku, Bat!”

Batara langsung terbangun dari ranjangnya, “Yul! Ada apa, Yul!”

“Catrin! Dia di sini! Tolong aku, Bat ... AAAAAAAAAA!!!”

Suara jeritan membuatnya membanting telepon itu karena kaget. Kemudian dengan panik ia memungutnya kembali.

“Halo, Yul! Halo!”

Namun tak ada jawaban. Telepon itu sudah terputus. Batara kemudian berusaha menghubungi kembali istri mudanya itu, namun tidak berhasil.

Tiba-tiba ia melihat sekelebatan bayangan lewat di luar jendela. Iapun terperangah karena bayangan itu mirip dengan istri pertamanya.

“Ca .. Catrin ...” ujarnya gemetar, “Apa kau ada di situ?”

Ia kemudian berjalan menuju ke jendela dan membukanya. Namun tak ada siapapun di sana. Sementara itu, hujan rintik-rintik mulai turun di luar.

Iapun menutupnya kembali. Kenapa sih dia jadi paranoid seperti ini. Tiba-tiba terdengar suara pintu membuka.

“Astaga! Pintu depan!” Batara baru teringat bahwa ia tadi sengaja tak mengunci pintu depannya supaya Yuli bisa masuk apabila ia memutuskan kembali. Ia segera bergegas ke ruang tamu, namun di sana, ia sudah menemukan pintu depannya terbuka lebar. Sedangkan di lantai, terlihat jejak kaki berlumpur dari luar.

“Si ... siapa di sini?” teriak Batara ketakutan begitu menyadari seseorang telah masuk ke dalam rumahnya.  “Yuli, apa itu kau?”

Tiba-tiba saja terdengar suara petir menyambar. Dari kilatan cahayanya, terlihat sosok berdiri di dapur, memegang sebilah pisau.

“Ca .. Catrin ...” ucap Batara terkejut. Kini di hadapannya, pria itu melihat sosok istri pertamanya berdiri dengan seragam putih ala rumah sakit jiwa. Tak hanya itu, sebuah karung putih menutupi wajahnya, sementara bagian mulut karung itu diikat di lehernya. Walaupun wajahnya tertutup karung itu, namun Batara tak mungkin salah mengenali istrinya itu.

“Ca ...Catrin ... apa yang kau lakukan di sini?” ucapnya gemetar, “Se ... sebaiknya kau segera kembali ke rumah sakit jiwa ... i ... itu demi kebaikanmu ...”

“Apa kau tidak dengar, Sayang?” jawabnya dari balik karung yang menutupi kepalanya itu, “Apa kau tak mendengar suara itu?”

“Su ... suara apa, Catrin?”

“Suara itu menyuruhku untuk membunuhmu!” tiba-tiba ia mengangkat pisaunya dan segera menyerang Batara.

“Tidak! Tidaaaaak!” teriak Batara. Ia mencoba mempertahankan diri dan berhaisl merebut pisau itu dari tangan wanita di hadapannya itu.

“AKU AKAN MEMBUNUHMU, BATARA! AKU AKAN MEMBUNUHMU!” teriaknya.

“Cukup, Catrin! Cukup!” Batara langsung menusukkan pisau itu ke perut wanita itu.

“Argh!” terdengar suara rintihan seorang perempuan. Namun Batara mengenali dengan baik suara itu. Itu bukanlah suara Catrin.

“Ibu?” Batara tersentak. 

Pisau itupun terjatuh dari tangan Batara, berlumuran darah.

“IBU! TIDAAAAAAK!!!


*** 


“Ada apa ini, Pak? Ada apa?” dengan panik Yuli turun dari gojek dan panik melihat keramaian di depan rumah suaminya. Kini para tetangga yang berkumpul di depan rumah Batara yang kini dikelilingi garis kuning, sementara suara sirine mobil polisi meraung-raung. Mereka ramai bergosip, walaupun kala itu masihlah hujan rintik-rintik.

“Ibu tidak boleh masuk!” cegah seorang polisi, “Rumah ini sekarang menjadi TKP.”

“Apa yang terjadi, Pak? Dimana suami saya?”

Kemudian terlihat para polisi menyeret seorang pria yang bajunya berlumuran darah.

“I ... ini bukan salah saya, Pak!” tangisnya, “Saya tidak bermaksud membunuh ibu saya!”

“Apa itu suami Ibu?' tanya sang polisi.

“Benar, Pak! Itu Batara, suami saya. Astaga, apa yang terjadi dengan mertua saya?”

“Kami menemukan jenazah Ibu Citra di dalam. Pak Batara mengaku bahwa dia sudah membunuhnya.”

“Apa? Itu mustahil! Suami saya bukan pembunuh!”

“Bukti berkata lain. Pak Batara menusuk Bu Citra, ibunya sendiiri hingga tewas. Kami kini akan membawanya ke kantor.

Yuli hanya bisa pasrah melihat suaminya diborgol dan dimasukkan ke dalam mobil polisi sebagai tersangka pembunuhan.

“Apa Ibu tahu alasan Pak Batara tega membunuh ibu kandungnya sendiri?” polisi itu mengeluarkan buku catatan dan mulai menginterogasi Yuli.

“Sa ... saya tidak tahu, Pak. Setahu saya Batara sangat menyayangi ibunya. Tapi ...”

“Tapi apa, Bu?”

“Ta ... tapi saya mendengar jika Bu Citra meninggal, maka suami saya akan mewarisi  uang sejumlah 10 miliar dari ibunya yang menjanda tersebut.”

Begitu mendengarnya, polisi itu manggut-manggut dan menyimpan kembali buku catatannya.

Begitu polisi itu pergi, Yuli pun tersenyum.

“Huh, dasar suami bodoh! Rencanaku berjalan sempurna.” Yuli tertawa dalam hati, “Sesungguhnya aku memberikan teh berisi zat halusinogen kepada suamiku diam-diam supaya ia gila dan membunuh ibunya sendiri. Kini, dengan kematian mertuaku dan suamiku kini mendekam di penjara, maka seluruh harta warisan keluarganya akan jatuh ke tanganku. Hahahaha!”

“Kamu pikir aku menikahimu demi cinta, hah?” Yuli melanjutkan monolognya, “Mana mau aku sudi menikahi pria beristri kalau bukan karena hartanya. Apalagi ternyata kamu mandul, ih jyjy punya suami semacam kamu. Lebih baik aku dikenal sebagai janda kaya raya ketimbang punya suami yang mandul!”

Yuli kemudian menarik alisnya ketika melihat para polisi membuka garis kuning yang tadi meliputi pekarangan rumah.“Lho, Pak? Apa saya sudah boleh masuk?”

“Silakan, Bu! Kami sudah mengevakuasi jenazah dan juga mengumpulkan seluruh barang bukti. Apalagi sudah jelas siapa pelaku pembunuhan ini, jadi kami akan mengakhiri investigasi kami.”

“Ta ... tapi bagaimana dengan bercak darah mertua saya di rumah itu, Pak? Bagaimana saya membersihkannya?”

“Jangan khawatir, Bu! Ada ini!” polisi itu lalu memamerkan sebotol klorin bermerek bunga matahari. “Dengan klorin ini, dijamin semua noda akan mudah dibersihkan, terutama noda darah, akan langsung hilang tak bersisa.”

“Apakah aman digunakan di lantai keramik?”

“Tentu saja, keramik akan kembali putih sediakala. Tak hanya itu, produk ini juga aman digunakan dan juga wangi karena ada ekstrak jeruknya.”

“Wah benar,” Yuli membuka tutup botolnya, “Aroma jeruknya begitu segar. Pasti juga cocok digunakan di dapur dan kamar mandi.”

“Betul sekali Bu, harganya juga ekonomis, cocok buat semua keluarga.”

“Klorin bunga matahari, aman dan nyaman digunakan!” seru Yuli dan polisi itu bersama-sama.


*** 


Yuli menjatuhkan dirinya ke atas kasur yang empuk itu, “Hahahaha ... siapa sangka dalam waktu setahun saja rumah ini dan harta warisan keluarga Mas Batara jadi milikku, hahaha!”

“Oya!” Yuli tiba-tiba bangun dan menyalakan televisi, “Apa berita tentang Mas Batara sudah ada ya? Jangan-jangan sudah viral? Apakah aku akan ikut terkenal?”

“Kami laporkan ...” suara wartawati acara khusus kriminal itu terdengar dari layar televisi, “Hingga kini pasien perempuan yang kabur dari rumah sakit jiwa belumlah tertangkap. Para warga diharap berhati-hati dan mengunci pintu serta jendela sebab pasien berinisial C ini dikenal amat labil dan berbahaya ...”

“Hah, kok aneh sekali?” Yuli heran, “Berinisial C? Apa mungkin ...”

Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki.

“Hah, siapa itu? Apa masih ada polisi di sini?” Yuli bangkit dari kasur dan keluar dari kamarnya.

“Hah, apa ini?” ia terkejut melihat jejak kaki berlumpur yang ada di atas tangga. “Si ... siapa yang barusan masuk?”

Suara petir menggelegar dan terlihat bayangan siluet seorang perempuan di dinding di depannya.

“AAAAAAA!” teriak Yuli. Namun suara guntur yang kembali menggelegar membenamkan suara teriakan perempuan itu.


*** 


Para tetangga masih sibuk bergosip di rumah keluarga Batara.

“Ya ampun setahun lalu istri Pak Batara masuk rumah sakit jiwa, sekarang dia membunuh ibunya sendiri. Apa sebabnya ya?”

“Alah, pasti keluarga mereka kena azab. Tahu sendiri Bu Citra seperti apa kelakuannya.”

“Dengar-dengar istri barunya Pak Batara juga mandul lho. Ih ngeri ya?”

“Pokoknya kita jangan dekat-dekat sama keluarga mereka. Pasti mereka bawa sial!”

Seorang anak yang ikut dengan ibunya kala itu memandang ke atas dan melihat sesosok bayangan di kamar lantai dua rumah itu. Anak itu melambaikan tangannya dan wanita di balik tirai itu mengangkat tangannya, membalas lambaian itu. Pakaiannya serba putih dan  ada sebuah karung putih menutupi kepalanya.

“Ma ... Ma ... ada wanita berbaju putih di sana!” tunjuk sang anak.

“Aduh hujannya makin deras! Sebaiknya kita pulang, Ibu-Ibu!”

Para ibu-ibupun membubarkan diri begitu hujan rintik-rintik itu bertambah deras.

“Ma ... lihat Ma! Dia bawa sesuatu!” tunjuk anak itu ke jendela kamar lantai dua.

“Sudah, Nak! Kita harus segera pulang sebelum hujan bertambah deras!” tanpa memperhatikannya, sang ibu segera menarik anaknya untuk pulang ke rumah.

Anak itu melambaikan tangan kembali dan sosok itu kembali membalasnya. Namun kali ini, sosok wanita berpakaian putih itu memegang sesuatu di tangan satunya.

Sebutir kepala yang terpenggal.


TAMAT


11 comments:

  1. Sinetron kumenangis dengan horror twist

    ReplyDelete
  2. Kalimat terakhirnya tersilap baca. Gegara pake 'butir', gw kira kelapa, eh taunya kepala...😂😂

    Btw, ini apa, Bang?

    ReplyDelete
  3. Hapal banget nih bang Dave ama klise2 di shitnetronnya wkwkwkwk

    ReplyDelete
  4. Cat, catrin, kirain tokoh utamanya kucing 😂😂😂😂😂 makin dibaca makin tegang,tapi udah ketebak sih si Yuli ini mencurigakan dari awal

    ReplyDelete
  5. Detail banget ya. Dari bagian iklannya, monolognya, sampe gosipnya 😂 Mantep lahh

    ReplyDelete
  6. kita bikin petisi biar lord dave diangkat jadi penulis script indoziar😂

    ReplyDelete
  7. Ngakak tiap baca iklannya 🤣

    ReplyDelete