Cerita pertama datang dari Dhara Puspita di Samarinda. Hai Dhara! Pasti cewek yaaaa (emang luar biasa naluri detektif gue). Btw cerita kali ini berkisah tentang sosok pembunuh yang menamakan dirinya “Nightmare”. Yang bikin nilai plus dari cerita ini adalah Dhara juga menyertakan ilustrasi dalam cerita ini lhooo. Woooow!!! Sampai ada tampak depan dan tampak belakangnya! Benar-benar total ya Dhara ini dalam membuat cerita! Silakan disimak ceritanya.
THE NIGHTMARE
Pagi itu hujan mengguyur kota Samarinda dan membuat cuaca saat ini benar-benar dingin. Dan karena alasan itu juga yang membuatku tetap tidak mau beranjak dari kasurku yang empuk dan hangat ini. Tetapi aku segera beranjak dari kasurku saat melihat jam, dan aku baru ingat kalau aku harus sekolah hari ini. Selesai mengenakan baju seragamku, aku mengambil pita merah dan tas sekolahku dan segera keluar dari kamarku.
Aku mempercepat langkahku dan segera membuka pintu rumahku setelah memakai sepatu. Aku tidak ingin sarapan atau pamit dengan orang tuaku, karena saat ini aku benar-benar tidak ingin bertemu dangan mereka. Selama perjalanan menuju sekolah aku mengambil sisir kecil yang ada di tasku dan mulai merapikan rambutku. Setelah selesai aku mengepang rambutku dan mengikatnya dengan pita merah.
Jujur saja, aku benar-benar tidak ingin pergi ke neraka yang sering disebut sekolah itu. Aku tidak pernah memliki kenangan yang manis selama di sekolah, yang aku ingat selama ini hanyalah dikucilkan, dibully, ditindas, penghinaan, dan semacamnya.
Aku menghela nafas saat sadar bahwa aku sudah berada di depan gerbang neraka. Aku berjalan melewati gerbang, dan selamat datang di neraka. Aku segera menuju kelasku yang jaraknya cukup jauh dan menyiksaku karena aku harus menaiki tangga jika ingin mencapai kelasku. Selama perjalanan hingga aku mencapai kelasku tidak ada satu orang pun yang melihat kearahku maupun menyadari keberadaanku.
Oleh karena itu aku bersyukur memiliki hawa keberadaan yang tipis, karena aku tidak suka menjadi pusat perhatian atau bisa dibilang anti sosial. Aku meletakkan tasku dan mengeluarkan beberapa buku. Semuanya berjalan tenang sampai ketika... “Eh..? Dhara? Sejak kapan ada di sini?”
Yap, bahkan teman sebangku ku sendiri sulit menyadari keberadaanku. Aku menatapnya, satu-satunya teman yang kumiliki atau seorang manusia yang bernama Maulida yang masih menatapku dengan tampang bodoh yang saat ini ingin kulempar dengan kamus tebal 500 halaman.
“Ohayou...” Aku tidak menghiraukan ucapannya tadi dan menyapanya dengan wajah kesal karena ia sempat tidak menyadari keberadaanku tadi. “Oh iya, Ohayou.” Dan dengan polosnya dia menyapaku seperti itu. “Oh iya, aku baru ingat.” Maulida mulai membongkar tasnnya dan mengeluarkan beberapa komik. “Aku baru saja membeli komik.” Mataku berbinar-binar, aku mengambil satu komik dari tangannya dan mulai membacanya.
Aku dan Maulida hanyalah siswi kelas IX biasa yang tidak suka menjadi pusat perhatian, dan kami juga otaku itu alasannya kami sering dibully. Yah, walaupun yang benar-benar menjadi target mereka adalah aku. Sebenarnya, aku sudah cukup terbiasa dibully. Walaupun aku tidak menyukainya, tetapi karena sejak SD aku sering dibully aku jadi cukup terbiasa.
***
Setelah bel istirahat berbunyi aku segera menuju ke daerah tersembunyi di sekolah ini. Untuk apa? Tentu saja karena aku dipanggil oleh para pembully itu. Saat aku sampai, aku melihat para pembully itu sedang merokok.
“Akhirnya kau datang juga,” “Kau lambat,” “Dasar siput.” Baru saja aku datang dan mereka sudah menghinaku seperti ini. “Kali ini apa yang kalian mau?” cepat katakan apa yang kalian mau, aku ingin segera pergi dari tempat ini dan pergi ke kantin. “Berikan uangmu.” Ok, ini yang aku takutkan. “Tapi...” “Ah lambat.” Salah satu dari mereka mengambil paksa uangku
“Tidak kusangka uangmu cukup banyak kali ini.” Ya, uangku cukup banyak karena itu untuk membeli action figure. Baru saja aku ingin berbicara, mereka sudah mendorongku menjauh “Sekarang pergilah dan jika kau melapor, kau akan menerima akibatnya.” Tanpa kalian suruh juga aku sudah ingin pergi tapi uangku... sudahlah abaikan saja, aku tidak akan bisa melawan mereka.
Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke kantin dan memilih menghabiskan waktu di kelas. Saat aku sampai di kelas aku melihat Maulida sedang membaca komik di tempat duduknya. “Yo, hari ini jadi beli action figure?” tanyanya. Aku hanya menjawab dengan menggelengkan kepalaku. “Hee? Kenapa? Jangan bilang uangmu...” dan kali ini aku menjawabnya dengan anggukan kepala.
“Cih, lagi-lagi... Apa kau tidak ingin melakukan sesuatu pada mereka?” Aku mengerutkan dahiku “Sesuatu apa?” “Yaa, misalkan kau ingin balas dendam pada mereka, atau yang lainnya.” “Entahlah, aku sedang tidak mood untuk memkirkan hal itu.”
***
Aku merebahkan tubuhku dikasur, dan tidak melakukan apapun selain menatap langit-langit kamarku. Aku hampir saja memasuki dunia mimpi jika saja aku tidak teringat sesuatu. Aku segera bangkit dan menuju meja belajarku, mengambil buku sketsa dan buku catatanku, dan mulai menyalakan laptopku. Aku membuka suatu aplikasi dan menyambungkan laptopku dengan pulpen digital. Ya, aku akan membuat animasi.
Ini adalah pekerjaanku, aku mendapat penghasilan dengan menerima permintaan membuat animasi, iklan, logo, dan lainnya. Terkadang di saat senggang aku menyempatkan waktu untuk membuat komik. Sialnya saat baru membuat sketsa laptopku mati dengan sendirinya, ini memang sering terjadi tapi kenapa harus sekarang?
Aku segera mencabut flashdisk dari laptop dan membawa barang-barang yang kubutuhkan. Tidak ada cara lain, aku harus menggunakan komputer yang berada di ruang keluarga. Sebenarnya aku malas keluar dari kamarku, tapi mau bagaimana lagi.
Aku mulai menyalakan komputer dan menyambungkannya dengan pulpen digital. Aku membuka buku catatanku untuk melihat apa yang dipesan kali ini dan membuka buku sketsaku, kemudian menggambarnya di komputer. Aku sudah terbiasa melakukan hal ini, jadi bukan masalah bagiku untuk mengerjakannya dalam waktu singkat.
Baru saja aku mengerjakannya sekitar 15 menit, tiba-tiba saja ada yang membentakku. “Kalau kamu masih punya waktu untuk duduk didepan komputer, mending kamu gunakan buat belajar!” Ini lagi... “Dari tadi kerjaannya main aja!” “Selalu melakukan hal yang gak berguna!” “Masih mending kalau apa yang kamu kerjakan itu menghasilkan uang!” “Bisanya bikin repot orang tua aja!” “Kamu hidup di dunia ini gk ada gunanya juga!” “Bikin sial aja!”
Cukup! Aku mencabut flashdisk ku dan segera membawa barang-barangku ke kamar. Setelah mengunci pintu dan menaruh barang-barangku di meja, aku melepas kacamataku dan menghempaskan tubuhku ke kasur. Ini alasan aku tidak ingin keluar dari kamarku. Aku benar-benar memiliki orang tua yang kompak. Iya, kompak dalam hal menghina anak mereka sendiri.
Hidupku tidak hanya untuk belajar, aku memiliki hal lain yang harus kulakukan. Aku tidak sedang bermain. Hal tidak berguna? Aku membuat kalian repot? Kalau begitu kenapa kalian masih merawatku? Seharusnya kalian sudah membuangku dari dulu.
Apa yang aku kerjakan sebenarnya menghasilkan uang, hanya saja aku tidak pernah memberitahu kalian, karena jika aku melakukannya kalian pasti akan mengambil uangku dan menggunakannya untuk kepentingan kalian sendiri dan kalian tidak memperdulikan kebutuhanku.
Jika aku memang tidak berguna dan pembawa sial, lalu kenapa aku dilahirkan? Kenapa kalian tidak membunuhku saja saat aku lahir? Kenapa selalu aku? Kenapa hanya aku yang disalahkan? Kenapa hanya aku yang selalu kalian bentak?
Kenapa kalian tidak pernah lagi berbicara dengan lembut seperti saat aku kecil?Kenapa tidak ada lagi kalimat ‘selamat tidur’ dan ‘mimpi indah’ sebelum tidur seperti saat aku masih kecil? Kenapa hanya aku? Kenapa? Kenapa aku tidak bisa hidup normal seperti gadis lainnya? Kenapa aku selalu dibenci?
Aku menjauhkan wajahku dari bantal, dan saat itu juga aku baru sadar jika aku sedari tadi menangis. Sial! Kalau terus seperti ini aku tidak akan bisa menepati janjiku. Aku bangkit dan membuka laci nakas disamping tempat tidur. Aku mengambil cutter kesayanganku dan menggulung lengan bajuku.
Sekarang, dengan ini aku bisa menghentikan tangisku. Aku mulai memainkan cutter itu di atas lenganku membuat beberapa garis horizontal dan vertikal secara acak. Entah kenapa, saat darahku mulai menetes aku merasa lega, dan tangisku terhenti. Baguslah, aku benci menangis karena itu akan membuatku terlihat lemah.
Saat aku sedang sibuk dengan pikiranku, tiba-tiba saja ponselku berdering. Aku menjawabnya tanpa melihat siapa yang menelpon. “Halo?” “Yo, Maulida di sini!” Aku segera menjauhkan ponselku dan melihat nama yang tertera di situ, ‘Maulida’. Entah kenapa aku merasa aneh, karena tumben saja Maulida menelponku. Aku mendekatkan ponselku kembali.
“Serius, kau hampir membuatku jantungan.” “Hee? Kenapa?” “Kau kerasukan apa sampai mau menelponku?” “Memangnya aneh jika aku menelponmu?” “Sudahlah, ada apa? Kenapa menelponku?” “Tidak ada hal penting, hanya karena aku bosan.” Aku terdiam sejenak. “Kau sukses membuatku takut saat ini.” “Apa yang sedang kau lakukan saat ini?” “Aku sedang melakukan hal yang biasanya kulakukan tepat sebelum kau menerorku dengan tiba-tiba menelponku.” “Hal biasa? Apa kau mendapat masalah lagi?”
“Sepertinya kau sudah bisa menebak.” “Yah, aku juga memiliki sedikit masalah saat ini.” “Tapi sepertinya masalahmu tidak sebanyak masalahku.” “Yah mungkin kau benar, pertama para pembully itu dan kedua orang tuamu. Apa kau tidak ingin melakukan sesuatu?”
“Melakukan apa?” “Entah, ah sudah dulu ada yang harus kulakukan.” Tanpa menjawabnya aku memutuskan telepon tersebut. Ya sudahlah, aku tidak peduli. Aku mematikan lampu kamarku, dan membenamkan wajahku di bantal. Setidaknya dunia mimpi jauh lebih baik saat ini.
***
Aku melangkahkan kakiku memasuki kelas, dan entah kenapa suasana kelas saat ini jauh lebih berisik dari biasanya. Aku segera menuju tempat dudukku dan melihat Maulida yang lagi-lagi sibuk dengan komiknya.
“Kenapa hari ini kelas benar-benar terasa seperti neraka?” “Entah, aku juga tidak tau dan tidak peduli, mereka benar-benar menggangguku membaca komik.” “Apa kau tidak mendapatkan informasi sama sekali?” “Hmm, yang aku dengar sih kalau para pembully itu dipanggil oleh guru.” “Karena alasan apa?” “Entah, aku tidak peduli dengan alasannya, itu bukan urusanku. Lagipula itu hal yang baik kan?” Aku tidak menjawabnya dan memilih untuk membaca komik.
Baru saja aku dapat membaca dengan tenang, tiba-tiba saja Maulida mencubit pipiku. Awalnya aku hanya mengabaikannya, tapi lama-kelamaan Maulida mencubit pipiku dengan keras. “Apa yang kau lakukan?” “Aku bosan…” Sudah kuduga, Maulida hanya melakukan hal-hal bodoh saat dia sedang bosan.
Semakin lama aku semakin terganggu dengan keberadaan Maulida saat ini. Entah sudah berapa kali dia mencubit pipiku dan menarik-narik rambutku. Dia tidak akan tenang jika dia tidak memiliki sesuatu untuk dikerjakan. Dengan berat hati aku melempar komik yang sedang kubaca ke wajahnya. Sesuai dugaanku, dia fokus pada komik tersebut dan melupakan keberadaanku.
***
Aku sedang berjalan menuju perpustakaan sampai ketika ada seseorang yang menyeretku menuju suatu tempat. Setelah diseret dengan kasar tiba-tiba saja aku dibanting dengan keras. Aku berusaha melihat siapa yang baru saja membantingku, dan entah kenapa itu merupakan hal yang sulit saat ini. Aku benar-benar tidak bisa melihat dengan jelas. Entah ini karena kacamataku yang terlempar entah kemana atau ini karena efek setelah dibanting tadi.
Membutuhkan waktu sekitar 30 detik untuk menyesuaikan mataku, dan saat itu juga aku melihat 3 orang yang menyeretku tadi. Baru saja aku ingin berbicara, salah satu dari mereka menendang perutku. “Kenapa kau menatap kami seperti itu hah?!” Belum sempat aku menjawab, salah satu dari mereka kembali menendangku. “Jawab dasar bodoh!”
“A-apa yang kalian mau?” Dengan susah payah aku berusaha menjawab dan mereka kembali menendangku. “Apa yang kami mau? Pertanyaan konyol macam apa itu?” “Aku tidak mengerti apa maksud kalian.” “Haah? Tidak mengerti? Jangan berpura-pura bodoh!” Dan lagi, sebuah tendangan mendarat di wajahku. Argh! Hidungku rasanya mau patah. Aku harap ini segera berakhir.
“Aku benar-benar tidak mengerti.” Setelah aku mengatakan itu, salah satu dari mereka menjambak rambutku dan membuatku berhadapan langsung dengannya. “Dengar, aku tidak peduli apakah kau terkena amnesia atau pura-pura lupa. Tapi yang pasti aku sudah memperingatkanmu jika kau berani melapor, kau akan menerima akibatnya.”
Aku menatapnya dengan tatapan bingung. “A-apa maksudmu?” Dan kali ini rambutku dijambak semakin kuat. “Sialan, kau benar-benar membuat kami kesal.” “Aku bersumpah aku tidak mengerti apa yang kalian maksud.” Tidak ada yang menjawabku, aku terkejut saat menyadari bahwa mereka membawa cutter.
“A-apa yang kalian lakukan?” “Diam saja dan terima hukumanmu.” Rambutku kembali ditarik, dan dia mendekatkan cutter tersebut ke wajahku. “Tidak, kumohon, dimanapu selain wajahku.” Dia tidak mendengarkanku dan mulai menggoreskan cutter tersebut.
Setelah selesai bermain-main denganku, mereka meninggalkanku begitu saja. Aku mengambil kacamataku yang tergeletak cukup jauh dariku dan membersihkan kacanya, untungnya kacamataku baik-baik saja. Aku berusaha menyembunyikan luka tersebut dengan rambutku, aku tidak peduli walaupun aku akan terlihat seperti Sadako.
Dengan bersikap setenang mungkin aku kembali ke kelasku. Aku melihat Maulida yang sedang memainkan ponselnya. “Ke perpustakaan aja kok lama?” “Aku tidak jadi ke perpus.” “Hee? Kenapa?” “Ada sesuatu masalah.” “Ya sudahlah”
Aku mengambil ponselku dan memilih untuk mengabaikan seisi kelas untuk sementara. Aku baru saja mendapat ketenangan dan dengan tiba-tiba Maulida mulai mencubit pipiku. Aku meringis karena terdapat luka dari insiden yang baru saja terjadi, dan entah kenapa setelah itu Maulida menarik rambut yang menutupi wajahku.
“Woah, ada apa dengan tanda silang di wajahmu itu?” “Tanpa perlu bertanya sepertinya kau sudah bisa menebak apa yang terjadi.” “Kurasa… Kali ini, apa yang terjadi?” “Entah, aku juga tidak mengerti. Tapi sepertinya mereka berpikir bahwa aku yang menyebabkan mereka dipanggil guru tadi pagi.”
“Dan kau masih berpikir untuk tidak melakukan apapun?” “Entahlah, aku berharap mereka lenyap saja.” Aku mematikan ponsel dan membenamkan wajah pada lipatan tanganku di meja.
***
Aku berjalan menuju kamarku, aku baru saja menerima uang hasil kerjaku yang sempat tertunda kemarin. Saat baru saja membuka pintu, tiba-tiba saja ada yang merampas uang tersebut dari tanganku. Tanpa melihatnya saja aku sudah tau siapa yang melakukannya.
“Uang dari mana nih? Lumayan juga.” Yap, kakakku. “Bisa kau kembalikan uangku?” “Uang dari mana ini?” “Bukan urusanmu.” “Jawab ini uang dari mana dan akan kukembalikan.” “Itu uang hasil kerjaku, selesai. Sekarang kembalikan.” Aku berusaha mengambil uang tersebut dari tangannya, tetapi ia langsung berlari mendatangi orang tuaku. Bagus, sekarang aku tidak akan mendapatkan uang itu kembali.
Saat aku sedang sibuk membaca komik, ponselku tiba-tiba berbunyi dan aku mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menelpon. “Halo?” “Yo, lagi ngapain?” Aku menjatuhkan ponselku dan segera mengambilnya lagi. “Maulida?! Serius, kau membuatku jantungan.”
“Kurasa kau terlalu berlebihan. Oh iya, apa yang sedang kau lakukan?” “Membaca komik seperti biasanya.” “Ohh…” “Ada perlu apa kali ini?” “Tidak ada… Ah sudah dulu, aku ingin membuat sebuah pesta.” Baru saja aku ingin bertanya tiba-tiba ia mematikan teleponnya. Aku terlalu sibuk melamun sampai tidak sadar bahwa jam sudah menunjukkan pukul 23.15 selama itukah aku melamun? Ya sudahlah, aku mematikan lampu dan mulai memasuki dunia mimpi.
***
Aku baru saja memasuki gerbang sekolah, dan entah kenapa suasana sekolah saat ini jauh lebih ramai dari biasanya. Sebenarnya aku tidak terlalu memperdulikannya jadi aku hanya melewatinya saja. Sampai ketika aku melihat genangan darah dan 3 mayat dengan keadaan yang mengerikan, dan aku mengenali ketiga mayat itu. Ya, itu adalah para pembully yang sering menyiksaku selama ini.
Mayat pertama ditemukan dalam kondisi kedua tangan dan kakinya patah dan bolamata yang hilang. Mayat kedua ditemukan dengan kondisi tanpa kepala, polisi akhirnya menemukan kepala tersebut di tong sampah. Dan mayat ketiga hampir tidak bisa dikenali karena hampir seluruh tubuhnya mengalami luka bakar kecuali wajahnya. Pada dinding tertulis kalimat dengan darah ‘Do You Enjoy The Nightmare?’.
Aku terdiam mematung melihat apa yang ada dihadapanku saat ini. Sampai aku melihat Maulida memasuki gerbang sekolah sembari membaca komik. Maulida mengalihkan pandangannya padaku dan menghampiriku. “Ohayou, apa yang terjadi di sini.” Aku terdiam sejenak. “Para pembully itu… Mereka dibunuh…”
“Hmm, benarkah? Yah, aku tidak peduli, dan bukankah itu bagus? Tidak akan ada lagi yang ditindas disekolah ini.” Maulida berjalan dengan santai menuju kelas. “Apa lagi yang kau tunggu? Ayo ke kelas.” AKu hanya diam dan berjalan mengikutinya.
***
Anehnya sekolah tetap berjalan seperti biasa, dan Saat ini aku dan Maulida sedang beristirahat dikantin. Maulida baru saja kembali setelah membeli beberapa makanan. “Hmm? Kenapa kau belum memesan apapun? Apa karena kejadian tadi pagi? Sudahlah, lupakan saja, kau butuh makan.” Aku menggelengkan kepalaku.
Aku sebenarnya sudah bisa mengatasi masalahku akan kejadian pagi tadi, dan aku juga kelaparan saat ini. “Tidak, aku mau menghemat pengeluaranku.” “Hmm? Bukankah kau baru saja mendapat pesanan?” “Yah, aku sudah menerima uangnya… Tapi kakakku… Ck, kenapa dia harus ada di dunia ini?” Maulida hanya diam dan menatapku kemudian memakan makanannya. Tidak ada satupun dari kami yang berbicara. Tapi aku sempat mendengar Maulida bergumam ‘Kurasa aku harus menyiapkan pesta lagi.’ dan setelah itu dia kembali memakan makanannya.
***
Aku sedang berbaring dikamarku dan melamun. Aku tidak ingat apa yang dari tadi kupikirkan. Aku bangkit dari kasurku dan mengambil kotak soflens beserta isinya yang baru kubeli tadi. Aku memakainya sambil terus mengingat apa yang kupikirkan tadi.
Sudahlah, aku tidak mau memikirkannya. Aku memakai kacamataku dan keluar dari kamarku dan berjalan menuju dapur. Baru saja aku sampai didapur dan aku melihat pemandangan yang mengerikan, di sana, di tengah ruangan kakakku terbaring bersimbah darah dan di lantai di samping tubuhnya terdapat dulisan dari darah ‘Do You Enjoy The Nightmare?’. Pemandangan itu membuatku tanpa sadar berteriak, dan itu membuat orang tuaku menghampiriku.
Ayahku terdiam mematung, sedangkan ibuku histeris melihatnya. Setelah itu entah kenapa mereka membentakku. “Apa yang terjadi?!” “Kenapa ini bisa terjadi?!” “Siapa pelakunya?!” Aku terlalu bingung karena mereka bertanya tanpa jeda dan dengan nada membentak.
Tiba-tiba semuanya menjadi gelap, aku merasakan sesuatu menghantam kepalaku dan diiringi sesuatu yang mulai menetes. Aku mengalihkan pandanganku pada cermin di samping kiriku. Disana, aku melihat sesuatu yang tidak bisa kupercaya. Aku sedang mencekik ayahku sendiri. Sesuatu yang menghantam kepalaku tadi adalah sebuah batu yang digenggam ayahku.
Sekarang aku ingat semuanya, sejak kecil aku memang seorang yang pelupa, dan aku ingat bahwa orang yang membunuh para pembully dan kakakku itu adalah diriku sendiri. Aku melihat ayahku meronta-ronta dan kemudian perlahan ia tidak bergerak lagi. Aku melepaskan ayahku dan melihat ke arah ibuku.
Ibuku melihatku dengan ngeri. Kenapa bu? Kenapa kau begitu tidak menyukaiku? Air mataku mengalir, aku mengambil pisau dapur dan mendekati ibuku. Ibuku terus berteriak menyuruhku menjauh, bahkan ia melempar pecahan kaca yang membuat pipiku terluka cukup parah.
“Pergi! Menjauh dariku dasar monster!” Air mataku kembali mengalir saat mendegar ibuku berbicara seperti itu. “Kenapa? Kenapa ibu begitu membenciku? Kenapa? Kenapa kalian selalu membenciku?” Aku menarik rambut ibuku dan mengangkat pisau yang ada di tanganku. “Sekarang, nikmatilah mimpi burukmu ibu.” dan aku mengayunkan pisau tersebut.
Aku melepas pita merah yang mengikat sedikit rambutku dan mengikat ulang rambutku. Aku mengambil jaket yang digantung dibelakang pintu dan memasukkan gunting dan cutter kesayanganku di kantongnya. Aku mengambil pisau daging dari dapur dan mencabut pisau dapur yang masih menancap di kepala ibuku.
Aku melompat keluar melalui jendela, dan entah kenapa aku saat ini berjalan menuju rumah Maulida. Di tengah perjalanan aku melihat Maulida dengan wajahnya yang penuh dengan darah dan dia membawa obeng yang juga berlumuran darah.
“Hee, ternyata kau juga seorang pembunuh.” Aku menyapanya. “Yah, biar kutebak, para pembully itu kau yang membunuhnya tetapi kau lupa kan?” “Seperti biasa, tebakanmu selalu benar.” “Apa kau menikmati mimpi buruk yang kau buat?” “Aku cukup menikmatinya, dan apa kau menikmati pestamu?” “Pestanya berjalan lancar dan aku menikmatinya.”
“Baiklah, kita berpisah disini, dan suatu saat jika kita bertemu lagi, kita akan melihat siapa yang paling kuat diantara kita.” “Yah, kuharap kau masih hidup sampai saat itu tiba.” Aku tertawa mendengar kata-katanya. “Baiklah, sayonara… Dark Blood.” “Ah, sayonara… Nightmare.”
THE END
Seru khan cerita bikinan Dhara ini. Dari segi cerita emang mirip ama tokoh-tokoh creepypasta lainnya kek Jeff The Killer, yakni masa lalunya suka dibully. Aduh, gue jadi khawatir jangan-jangan jomblo se-Indonesia bakalan berubah jadi tokoh creepypasta kali ya (termasuk gue). Gue lebih khawatir ama penduduk Bekasi, bayangin bro satu kota jadi tokoh creepypasta semua. Serem khan? Ceritanya keren dan alurnya sudah terstruktur, tapi kalo boleh saran cerita ini masih bisa kok dibikin lebih menarik lagi.
Semisal di ending diceritakan kalo si pembunuh ternyata Dhara tapi dia “lupa” kalau dia-lah pembunuh yang sesungguhnya. Mungkin bisa didalami tuh karakternya, semisal dia punya kepribadian ganda, skizofrenia, atau apalah. Terus bisa juga tagline-nya “Do You Enjoy Nightmare” diganti ke bahasa Indonesia semisal “Akulah Mimpi Burukmu” atau gimana. Sekedar saran sih. Tapi menurut gue udah keren tagline-nya.
Oya tambahan lagi mumpung asalnya dari Samarinda, mungkin si tokoh Nightmare ini bisa dikasi senjata tradisional asli Kalimantan semacam mandau (bener nggak sih). Terus kenapa pakaiannnya jas dan berdasi? Mungkin biar krasa androgyny kali ya? Mungkin biar lebih kerasa unsur Nusantara-nya dikasi batik aja? Tapi udah keren kok kostumnya. Daripada dikasi kebaya, repot kali ya?
Daaaaan ciri khas tokoh creepypasta ini adalah tanda “X” di pipinya. Hmmm mirip Batosai si Pembantai tapi keren juga. Overall, makasih ya atas entry-nya. Semoga pembaca sekalian juga bisa menikmatinya.
Ceritanya keren 👍👍
ReplyDeleteGw sempat mikir Maulida yang bunuh ketiga pembully karena semalem dia bilang mau bikin pesta
Eh ternyata malah si Dhara toh yang bunuh:'v
Setuju sih otaku sering kena bully._.
OMG keren sekaleeeh iniiih
ReplyDeleteketebak
ReplyDeleteYa walaupun ketebak....,tetep baguss kok
ReplyDeleteWow, salut kakak
Anata wa akumu o tanoshima remasu ka?
ReplyDeleteGak dijelasin ya pembulinya cowok apa cewek
ReplyDelete