Wednesday, April 4, 2018

REVIEW PERBANDINGAN SERIAL HOROR: TWIN PEAKS VS STRANGER THINGS






Hallo guys, kali ini gue akan mencoba sesuatu yang berbeda dan me-review serial horor (kalo biasanya kan review film hehehe). Kalo “Stranger Things” gue yakin udah banyak dari kalian yang tahu (dan nonton) kali ya. Tapi kalo “Twin Peaks”? Gue yakin ada yang masih asing, kecuali kalo kalian penggemar berat serial horor Amrik sana. Gue akan mencoba membandingkan kedua serial ini, mana yang lebih unggul di antara keduanya? Kita simak saja.

ORIGINALITAS CERITA



Gue kenalkan dulu ya ama garis besar cerita kedua serial ini. “Twin Peaks” dimulai dengan ditemukannya mayat seorang gadis bernama Laura Palmer yang diduga menjadi korban pembunuhan. Kasus ini kontan menggemparkan kota kecil “Twin Peaks” yang dikenal damai tersebut, apalagi korbannya adalah siswi SMA paling populer di kota itu sekaligus sang “Homecoming Queen”. Kasus ini menarik seorang agen FBI bernama Dale Cooper yang langsung bersahabat dengan sheriff kota tersebut, yakni Harry Truman, untuk memecahkan kasus pembunuhan tersebut dan mengungkap siapa pelakunya.

Sekilas kayak drama kriminal investigasi prosedural biasa yak semacam CSI, namun ternyata jalan ceritanya bergulir ke hal-hal supranatural setelah Dale Cooper mendapat berbagai visi dan petunjuk dengan cara supranatural pula. Kesimpulannya: pembunuhan tersebut dilakukan oleh sesosok makhluk mistis bernama “Bob” yang berasal dari dimensi lain dan meneror kota tersebut dengan mengambil wujud salah satu penduduknya. Namun siapakah dia?

“Twin Peaks” merupakan drama televisi yang cukup jadul dan dibikin pada tahun 1990. Pada saat penayangannya, serial ini sungguh fenomenal, hingga merintis perilisan serial-serial TV bergenre serupa, semisal “X Files” hingga “Lost”. Ada banyak adegan yang tergolong “aneh” bagi selera penikmat televisi kala itu, seperti adegan seorang kerdil menari di tengah ruangan merah di akhir episode pilotnya. Tak heran memang, sebab sutradaranya adalah David Lynch yang dikenal dengan karya-karyanya yang absur dan sureal.

Dilihat dari originalitas-nya, “Twin Peaks” memang tak tertandingi. Awalnya memang terlihat klise, namun penonton lagsung disuguhi oleh nuansa yang tak bisa mereka tebak. Sayang sekali, pada perkembangannya, kualitas “Twin Peaks” justru semakin menurun, apalagi di season keduanya. Ceritanya malah lebih-lebih mirip drama opera sabun, sebab terlalu mengeksploitasi karakter-karakter pendukungnya, walau tetap menonjolkan misteri sih. Sedangkan kasus pembunuhan Laura Palmer (yang jadi daya tarik serial ini) justru dipecahkan dengan cara yang amat “ridiculous” dan nggak banget menurut gue. Nggak heran, setelah season kedua, serial ini dihentikan penayangannya dengan ending yang amat menggantung.

Nah, uniknya, sekitar 20 tahun kedua, serial ini dilanjutkan dengan season ketiga (dimana pemain-pemainnya udah menua semua) dengan kualitas yang jauh (dan gue tekanlah lagi: JAUH) lebih baik. Konsepnya benar-benar fresh, walaupun melanjutkan kisah hidup para tokoh-tokoh di season sebelumnya. Segala keabsurd-an di season pertama kembali dilanjutkan, bahkan ke level yang lebih ekstrim.

Nah, beranjak ke serial “Stranger Things”. Kisah ini diawali dengan persahabatan empat anak: Will, Mike, Dustin, dan Lucas. Episode pilot-nya diawali dengan menghilangnya Will setelah pertemuannya dengan entitas misterius. Ketiga temannya yang berusaha mencarinya justru bertemu dan berteman dengan Eleven, gadis misterius dengan kekuatan supranatural. Bersama, mereka berempat berusaha memecahkan misteri yang menyelimuti kota mereka serta mnyelamatkan teman mereka yang menghilang.

Dilihat dari segi originalitas, season pertama serial ini SUNGGUH TIDAK orisinil. Semua aspek film ini hampir merupakan rip-off dari semua cerita yang pernah dibikin Stephen King. Pemeran-pemeran utamanya yang semuanya masih bocah mengingatkan kita pada “It”; Eleven yang diculik organisasi pemerintah karena kekuatannya merupakan jalan cerita “Firestarter”; Eleven, gadis yang memiliki kemampuan telekinesis juga mirip dengan sosok “Carrie”, juga makhluk interdimensional yang muncul akibat ulah proyek pemerintah juga tak ayal sama dengan konsep “The Mist”.  Bahkan ending season 1-nya pun serasa mirip banget sama ending “Twin Peaks” season 2 … aaaaargh!

Namun Duffer Brothers, sutradaranya, mengaku bahwa mereka memang terinspirasi menciptakan serial ini sebagai “homage” kisah-kisah horor pada 70-an dan 80-an. Well, keduanya memang sutradara bervisi tinggi nan idealistik, jika tidak, mana mungkin mereka menghasilkan karya sekeren ini. Namun tetap saja ketidak-orisinal season 1 ini cukup mengganggu gue sehingga gue hanya bisa bilang serial ini “seru” tanpa menjadi sebuah breakthrough yang bermakna (jika hanya melihat dari segi cerita dan mengesampingkan artwok-nya seperti sinematrografi dan musiknya).

Namun semua berubah setelah season 2 terbit. Di sini, “Stranger Things” mulai memiliki “identitas” yang layak didapatkannya. Ia mulai memiliki jalan cerita sendiri yang bercabang-cabang, sesuai konflik yang dihadapi tiap karakternya. Ceritanya juga jadi super-seru, padahal sejak awal ekspetasi gue cukup rendah karena biasanya sekuel kan “notoriously” nggak akan bisa sebagus versi aslinya. But boy, I was totally wrong! Gue jauh lebih suka season 2 ini ketimbang season 1-nya.

Dilihat dari sisi originalitas, “Twin Peaks” yang menampakkan sisi orisinilnya sejak season 1 dan berlanjut ke season 3 menang, dibanding “Stranger Things” yang baru menunjukkannya pada season 2.

KARAKTER



“Twin Peaks” memiliki segudang karakter dengan cerita mereka sendiri-sendiri. Namun anehnya, tokoh sebanyak itu tetap membuat para penontonnya betah. Ada Dale Cooper, sang penegak hukum dengan metode investigasi yang tak masuk nalar dan kerap dipertanyakan. Ada Donna Hayward, sahabat Laura yang berusaha memecahkan kasus pembunuhannya. Ada Bobby Briggs, pemuda bermasalah yang menjadi kekasih Laura dan menjadi tersangka pertama pembunuhan tersebut. Ada James Hurley sang “pangeran berkuda putih” yang dicintai baik Laura dan Donna. Ada Josie Packard, sosok femme fatale yang menggoda dengan masa lalu misterius. Ada Ben Horne, tokoh antagonis yang dibenci semua orang dan putrinya, Audrey Horne, seorang gadis berjiwa pemberontak. Norma Jennings, sang pemilik restoran yang cintanya pada Ed Hurley, tak kesampaian. Ada Shelly Johnson, sang primadona cantik yang memiliki watak licik. Ada Lucy dan Andy, dua bawahan sheriff yang selalu menjadi comic relief di tiap kemunculan mereka, dan masih banyak lagi.

Semua tokoh-tokoh tersebut likable, padahal kalau diresapi, akting mereka nggak bagus-bagus amat, bahkan cenderung “kaku” menurut gue. Mungkin karena semua tokohnya ganteng dan cantik kali ya (bahkan yang udah tua-pun tetap rupawan menurut gue). Gue sendiri punya banyak banget tokoh favorit, seperti Shelly yang cantiknya kebangetan, Audrey yang karakternya gue suka banget, serta tokoh antagonis Leo Johnson dan Hank Jennings yang menurut gue setiap kemunculannya selalu mengintimidasi.

Gue juga suka perkembangan karakternya, dimana di tiap episode, tokoh-tokoh yang semula dirasa nggak penting (semisal “The Log Lady” dan Deputy Sherriff “Hawk”) tiba-tiba menjadi penting di jalan ceritanya. Namun sayang, semua berubah di season kedua, dimana jalan ceritanya mulai “layu” dan banyak diperkenalkan tokoh nggak penting, semisal Windom Earle (tokoh antagonis yang diperkenalkan setelah pembunuh Laura terungkap) dan Annie Blackburn yang jadi love interest-nya sang agen FBI, Dale Cooper. Sumpah, nggak penting banget tuh tokohnya.

Di season ketiga yang dirilis 20 tahun kemudian (2017) kita diperkenalkan dengan banyak tokoh yang umur tayangnya sangat pendek (paling banter muncul beberapa adegan) bahkan beberapa nggak terlalu signifikan bagi jalan cerita. Namun mungkin itulah gaya David Lynch, sang sutradara (yang ikut berperan sebagai tokoh utama, yakni agen FBI bernama Gordon Cole). Gue merasa tiap karakter di sini lebih menjadi sarana “display” alias pamer kemampuan akting para pemerannya ketimbang memperkuat jalan cerita.

Memang akting tiap pemerannya, bahkan yang figuran-pun, sangat kuat dan memukau. Di episode-episode pertama gue sudah dibikin terpukau oleh akting Matthew Lilard sebagai William Hastings. Padahal aktor tersebut dalam karirnya hanya memerankan tokoh Shaggy di film Scooby Doo, sehingga gue sempat meragukan kemampuan aktingnya. Tokoh favorit gue sendiri di season ini adalah Janey-E (diperankan aktris peraih Oscar Naomi Watts) sebagai istri doppleganger Dale Cooper serta tokoh Candie yang kemunculannya selalu mengundang gelak tawa.

Oya, gue nggak bisa terlalu me-review jalan cerita “Twin Peaks” season 3 ya soalnya bakal jadi spoiler ending “Twin Peaks” season 2 wkwkwkw.

Oke, sekarang kita bahas “Stranger Things”. Karakter di serial ini nggak sebanyak “Twin Peaks”, namun cukup memorable. Karakter favorit gue tentu saja Joyce Byers, ibu Will yang mati-matian mencari anaknya. Akting Winona Ryder tentu saja memukau sebab ia pernah meraih piala Oscar. Akting pemeran anak-anaknya juga cukup keren menurut gue (dan nggak perlu diragukan lagi, Dustin langsung jadi karakter favorit gue hehehe). Bahkan di season kedua, Will yang nggak terlalu mendapat “jam tayang” di season pertamanya, berkesempatan memamerkan kemampuan aktingnya yang apik dan meyakinkan.

Anehnya, di sini kisah cinta segitiga antara Nancy (kakak Mike) – Jonathan (kakak Will) – Steve mirip-mirip dengan kisah cinta segitiga ala “Twin Peaks” antara Donna – James – Bobby. Bahkan karakter Steve dan Bobby bisa dikatakan sangat mirip karena sama-sama bad boy yang kemudian mendapatkan “redemption” pada season berikutnya.

Kalo gue bandingin, karakterisasi dan akting kedua serial ini bisa gue anggap seri hehehe.

ARTWORK



“Twin Peaks” season 1 dan 2 tayang pada 90-an, jadi nggak terlalu banyak yang biasa diharapkan dari segi seni, baik sinematografi dan musiknya. Musical score-nya menurut gue terlalu jadul. Sedihnya (paling nggak menurut gue), musical score ini tetap dipertahankan 20 tahun kemudian ketika season 3 tayang. Mungkin harapannya buat meng-invoke perasaan nostalgia para pemirsanya yang sudah mengikuti serial ini sejak 90-an.

Sedangkan untuk “Stranger Things”, musical score pada bagian opening-nya membuat gue terpaku. Tak pernah dalam tiap episode-pun (gue udah nonton ampe tamat), gue terpikir untuk men-skip opening-nya. Soalnya terlalu keren dan bener-bener chilling.  Opening-nya (baik visual maupun musik) memang merupakan “homage” atau penghormatan bagi film-film dan serial horor pada 70-an dan 80-an. Gue suka banget pada bagian hampir endingnya (pas muncul judul chapter-nya) soalnya gue merasa ketukannya disesuaikan dengan detak jantung (?).

Untuk sinematografinya, “Stranger Things” memang lebih maju sebab dibuat di 2016. “Twin Peaks” season 1 dan 2 kalah jauh lah. Namun bila dibandingkan dengan “Twin Peaks” season 3, ada satu hal yang jelas tak dimiliki “Stranger Things”, yakni sisi eksperimentalnya.

Ketika tayang, episode 8 dari “Twin Peaks” season 2 cukup mengguncangkan jagad pertelevisian kala itu (buset bahasanya lebay banget). Sebab cara David Lynch menggambarkan kelahiran Bob, sosok antagonis utama di universe ini, sungguh non-konvensional, bahkan terlalu radikal untuk ukuran film televisi. Alih-alih menggunakan narasi atau dialog, seluruh scene (yang total berlangsung selama 10 menit) menggabungkan media visual dan musik untuk menggambarkan sebuah ledakan bom atom (yang sekali lagi, berjalan selama 10 MENIT!) dengan iringan orkestra “Threnody of The Victims of Hiroshima” oleh komposer asal Polandia, Penderecki. Musiknya benar-benar “errie” dan menyayat telinga ketika kita dibawa masuk ke dalam jantung ledakan sebuah bom nuklir yang (ironisnya) indah dan penuh warna.

Kalo kalian penasaran, silakan cari sendiri adegannya di youtube. Namun saran gue, jika kalian ingin mengikuti serialnya dan memahaminya lebih baik, silakan ikuti dari season 1-3 dan jangan cari spoiler adegannya yah. Akan lebih memukau karena bakalan bener-bener di luar ekspetasi.

Adegan yang benar-benar berani dan gila itu jelas membuat “Twin peaks” menang dalam hal artwork, tapi dari segi musik, “Stranger Things” jelas lebih unggul.

KENGERIAN

The funny thing is, walaupun dibuat hampir 25 tahun sebelumnya “Twin Peaks” menurut gue masih jauh lebih menakutkan ketimbang “Stranger Things”. Baik season 1, 2, maupun 3 memiliki adegan scare yang cukup memorable. Hal itu cukup luar biasa, sebab di season 1 dan 2, teknik sinematografinya masih sangat sederhana dan nggak secanggih “Stranger Things”. Bahkan, nggak ada CGI atau monster-monsteran di season ini.

Ada dua adegan yang pasti masih diingat oleh pemirsa “Twin Peaks” versi 90-an yakni adegan saat Bob menakut-nakuti Maddy (sepupu Laura) dan klimaks episode terakhir season 2 dimana Dale Cooper masuk ke dimensi lain yang disebut “White Lodge” dan berhadapan dengan doppleganger-nya. Kedua adegan itu cukup creepy bagi gue dan bikin gue deg-degan. Sedangkan untuk season 3, adegan paling seram menurut gue pas opening episode pilotnya saat sosok monster bernama “Mother” beraksi dan adegan ending episode 8 yang menjadi “homage” film horor hitam putih ala tahun 40-an.

Yap, itulah review perbandingan antara “Twin Peaks” dan “Stranger Things”. Kedua-duanya merupakan serial keren yang super-recommended buat kalian. Oya, satu lagi; keduanya sama-sama bergenre horor komedi, jadi siap-siap aja terhibur dengan beberapa joke-joke yang kadang garing, tapi kadang juga bisa bikin ngakak.

Namun keunggulannya, “Stranger Things” enak dinikmati tiap episodenya dan mudah dipahami jalan ceritanya. Sedangkan jika kalian ingin mengikuti “Twin Peaks” sejak awal, kalian kudu banyak-banyak bersabar. Kalian mungkin akan merasa bosan di season pertama dan kedua, namun siap-siap saja, sebab di season ketiga semua itu akan tertebus dengan luar biasa.

Dan masalah ending, “Twin Peaks” merupakan serial yang selalu kontroversial sebab sutradaranya, David Lynch tak pernah mau menggambarkan secara gamblang apa yang terjadi dalam ceritanya. Jadi kalian terpaksa harus banyak berspekulasi dan membuka banyak forum diskusi untuk mencari tahu apa maksud tiap adegannya. Bahkan ending-nya pun amat nggak jelas dan terbuka bagi semua opini dan sudut pandang. Jadi, siap-siap saja menghadapi semua ke-absurd-an serial “Twin Peaks” jika kalian emang mau berkomitmen menyaksikannya.

sumber gambar: http://www.imdb.com

4 comments:

  1. I loveee TP. My favorite tv show all time. Pas jamannya nunggu serial itu tayang di tv bener2 full anticipate dont-know-what-to-expect. Wierd in a good way. Aah 80-90s was the best year

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya lupa2 inget dulu pernah tayang di tv lokal tapi lupa

      Delete
  2. Siap nice artikel,yang jadi pengingat tuh musik jazznya di twinpeaks sumpah klimaks banget sama lokasi dan ceritanya,

    ReplyDelete