Hidup
bertahan hidup di alam liar sendirian tanpa kontak manusia bukanlah
hal yang mustahil. Hal tersebut pernah dilakukan oleh survivalist
Richard Proeneke yang membangun kabin dengan tangannya sendiri serta
bertahan hidup selama 30 tahun dengan berburu, tanpa bantuan siapapun
di liarnya alam Alaska yang belum terjamah. Akan tetapi, tentu saja
prestasi semacam itu bisa diraih dengan pengalaman dan persiapan yang
matang. Hal sebaliknya terjadi pada Carl McCunn, seorang fotografer
alam liar yang pada 1981, tanpa rencana yang matang, berkelana
sendirian ke alam Alaska yang buas. Perjalanan itu terbukti menjadi
bencana dan berakhir dengan kematiannya.
Dear
readers, inilah Dark Case kali ini.
Carl
McCunn dilahirkan di Munich, kala itu masih menjadi bagian Jerman
Barat pasca Perang Dunia II tahun 1946. Keluarganya kemudian pindah
ke Amerika Serikat dan iapun dibesarkan di San Antonio, Texas. Ingin
mengikuti jejak ayahnya sebagai tentara, iapun mendaftar di Angkatan
Laut selama 4 tahun. Setelah keluar, Carl yang tertarik dengan alam
memutuskan pindah ke Anchorage, Alaska dan menjadi fotografer.
Pada
Maret 1981 ia menyewa sebuah pesawat carter untuk membawanya ke
Brooks Range, suatu wilayah terpencil di pedalaman Alaska. Ia
berencana tinggal di sana selama 5 bulan untuk memotret satwa liar di
sana. Ia membawa serta makanan yang cukup untuk bertahan hidup selama
5 bulan, yakni seberat 640 kg. Demi pekerjaannya ia membawa serta
kamera dan 500 rol film. Tak lupa, untuk menjaga diri, ia membawa dua
senapan berserta amunisinya.
Namun
ia tak menyadari, satu kesalahan kecil yang ia lakukan akan berujung
pada ajal yang menjemputnya.
Pedalaman Alaska
Segala
sesuatu berjalan lancar seperti yang ia harapkan. Selama 5 bulan ia
mendapatkan banyak foto dan menikmati hidupnya di sana. Namun ketika
ia mulai menunggu pesawat untuk datang menjemputnya, ia mulai merasa
ada yang salah. Hingga pertengahan Agustus, pesawat itu belum juga
menjemputnya.
Baru
di sinilah, Carl sadar bahwa ia mungkin melakukan kesalahan yang
fatal. Ia memang berencana untuk mencarter pesawat yang sama untuk
kembali menjemputnya pada bulan Agustus, namun ia tak pernah
mengkonfirmasinya ke sang pilot. Dengan kata lain, pesawat yang ia
tunggu takkan pernah kunjung datang.
Ia
sendirian di sana, tanpa jalan keluar untuk pulang.
Carl
mencoba tidak panik dan menggunakan kemampuan berburunya untuk
menghemat persediaan bekal yang ia bawa. Ia juga berharap bahwa
keluarganya akan menyadari bahwa ia menghilang dan akan mencarinya.
Walaupun ayahnya memang mengetahui ia akan pergi berkemah di
pedalaman Alaska, namun Car mengatakan untuk tak usah menunggunya dan
tak memberitahu waktu yang jelas kapan ia akan kembali.
Ia
hanya mengatakan pada ayahnya untuk tak usah khawatir jika ia tak
kembali.
Keajaiban
sebenarnya muncul pada akhir Agustus dimana sebuah pesawat Alaska
State Trooper (polisi) melintas tepat dimana Carl berkemah. Merasa
gembira tiada tara karena mengira ia akan diselamatkan, ia
mengepalkan tangan kanannya ke atas, ke arah pesawat itu.
Carl
sama sekali tak sadar, isyarat tangan yang ia berikan secara
universal merupakan sinyal yang menyatakan, “SAYA BAIK-BAIK SAJA.
JANGAN TUNGGU SAYA.”
Musim
dingin pun merayap datang dan bagi penghuni Alaska yang terletak di
dekat lingkar kutub utara, bekunya suhu saat musim dingin bisa
berarti kematian. Salju mulai turun dan sungai dimana Carl
menggantungkan hidupnya mulai membeku. Semakin sukar untuk menemukan
hewan untuk dimakan. Dan masalahnya tak hanya itu, serigala dan rubah
juga mulai mengintainya.
Pada
Bulan November, Carl sudah kehabisan persediaan makanan. Ia berencana
untuk berjalan kaki menuju ke Fort Yukon, sekitar 121 kilometer dari
tempatnya berada. Namun salju yang makin menebal serta kondisinya
yang amat lemah membuat perjalanan itu tampaknya mustahil. Pada akhir
November, ia mulai merasa sakit karena kelaparan dan juga hawa dingin
yang merajamnya.
Pada
bulan Januari, keluarga dan teman-teman Carl mulai khawatir karena
sama sekali tidak ada kabar darinya selama berbulan-bulan. Pada bulan
berikutnya, para anggota Alaska State Trooper akhirnya menemukan
kemahnya. Dan begitu membuka tenda, mereka tercekam akan pemandangan
di dalamnya.
Mayatnya
yang telah kurus kering kini membeku di dalam tenda dengan luka
tembak. Carl yang telah putus asa ternyata telah memutuskan untuk
bunuh diri ketimbang harus mati perlahan-lahan dan mengalami
penderitaan panjang yang menyakitkan.
Di
samping mayatnya tergeletak sebuah SIM miliknya (untuk membantu
mengidentifikasi mayatnya apabila ditemukan) dan buku diari setebal
100 halaman. Di dalam buku itu tertulis semua keputusasaannya. Diduga
pada malam saat ia memutuskan bunuh diri, ia membakar semua miliknya
yang tersisa untuk menciptakan api unggun yang hangat sebagai
kenyamanan terakhirnya. Ia lalu menulis “Tuhan, maafkan semua dosa
dan kelemahanku. Tolong jagalah keluargaku” dan juga sepucuk surat
untuk ayahnya berisi instruksi cara mencetak film-filmnya.
Ia
menuliskan kata terakhirnya di diari tersebut, “Mereka mengatakan
bahwa ini tidak akan sakit” sebelum ia akhirnya bunuh diri,
keputusan yang mungkin juga akan kita amini seandainya kita berada
dalam posisinya.
Sumber: Wikipedia
teledor parah, bersyukur di zaman ini sudah ada travel*ka
ReplyDeleteKesalahan kecil yang berbahaya... tanpa persediaan alat komunikasi... tanpa penguasaan ilmu isyarat yang baik. Pelajaran penting
ReplyDeleteDua kesalahan yang fatal, apalagi waktu ada pesawat yang lewat yang dia harap bisa nyelamatinya(malah ngasih isyarat all ok, do not wait).
ReplyDeleteGak kebayang gimana putus asanya gue kalo jadi dia :/
gimana nasib fotonya? Apa ada hasil?
ReplyDeletegimana nasib fotonya? Apa ada hasil?
ReplyDeleteHeran, padahal tentara tp hal paling dasar aja (aba2 tangan) bisa salah. Anyway RIP
ReplyDelete:((
ReplyDeleteKudunya nulis isyarat sos/help pake apapun yang ada