Hallo
guys, lagi-lagi gue akan kasih review film yang telat seperti biasa
hehehe. “Perempuan Tanah Jahanam” ama “Ratu Ilmu Hitam” emang
udah dirilis agak lama, tapi gara-gara kesibukan kerjaan gue,
ditambah lagi gue sempet sakit selama 2 minggu, alhasil gue baru
sempet nonton keduanya secara maraton akhir pekan kemarin. Karena gue
juga nontonnya secara maraton, akhirnya gue putusin aja membandingkan
kedua film ini dalam satu postingan biar hemat tempat hehehe. Kalo
gue ada waktu lagi, akan gue bahas deh film-film versi jadul mereka
seperti pas gue bahas “Pengabdi Setan”.
Here we go!
Beberapa
tahun lalu, kalo ada film horor Indonesia yang dirilis, gue nggak
akan merasa se-excited, ini, tapi jatuhnya malah ilfil. Betapa tidak
guys, semenjak era horor berkualitas seperti “Kuntilanak” dan
“Jalangkung” pada awal masa-masa keemasan sinema Indonesia
berakhir, film-film horor Indo lebih condong ke film-film
“cash-grabbers” bertema erotis murahan yang “ewww” banget,
mulai dari “Pocong Ngangkang” ampe “Skandal Cinta Babi Ngepet”
(yup, it's a actual movie). Namun kini, makin banyak sutradara
berbakat Indonesia yang mulai nunjukin taring mereka. Ada tiga
sutradara yang gue percaya banget nama besarnya, yakni Joko Anwar,
Timo Tjahjanto, ama Kimo Stamboel. Udah deh, pokoknya kalo ada nama
mereka, gue nggak perlu tahu sinopsis ama trailernya, gue langsung
cabut ke bioskop buat nonton karya mereka.
Beruntung
bulan ini ada dua film horor Indo yang dirilis berurutan, yakni
“Perempuan Tanah Jahanam” dan “Ratu Ilmu Hitam” yang seolah
ingin mengulang kesuksesan “Pengabdi Setan”, memiliki tema yang
sama, yakni remake film horor jadul. Tapi pastinya walaupun remake,
tetap saja sutradara-sutradara semacam Joko Anwar dan Kimo Stamboel
lebih kreatif ketimbang Disney dong. Di sini remake nggak berarti
meniru jalan ceritanya persis, melainkan diberi bumbu modernitas dan
disesuaikan dengan selera zaman now.
Pertama
gue bahas dulu filmnya Joko Anwar. “Perempuan Tanah Jahanam”
diperanin salah satu scream queen Indonesia favorit gue, Tara Basro.
Film ini menceritakan seorang cewek (well two actually) yang kembali
ke tanah kelahirannya untuk menuntut harta warisannya. Namun di sana
ia malah mengalami teror berkat rahasia gelap yang disimpan
keluarganya dan desa terkutuk tempatnya berasal. Film ini memiliki
opening scene tergila dan terseram yang pernah gue lihat di film
horor Indonesia manapun, which is extremely gonna work bahkan jika
scene itu cuman jadi film pendek. Gue perlu acungin dua jempol juga
buat scoringnya yang bener-bener kreatif dan efektif dalam
membangkitkan kengerian.
Akan
tetapi, gue perlu mengaku kalo gue menemukan banyak banget kelemahan
di film ini. Pertama Jokan memakai terlalu banyak “cat scare” di
film ini. Buat kalian yang belum tahu, “cat scare” adalah
kebalikan dari “jump scare”. Jika “jump scare” menampilkan
sesuatu yang menakutkan di saat yang paling nggak kalian duga, “cat
scare” justru mem-build up adegan sedemikian rupa sehingga kita
percaya sesuatu yang menakutkan akan terjadi, tapi malah diakhiri
dengan anti-klimaks begitu kita menyadari hal tersebut sebenarnya
nggak berbahaya sama sekali. Semisal udah tegang-tegangnya, eh
ternyata itu bukan pembunuh tapi cuman temennya si protagonis. Itu
yang dinamakan “cat scare” dan jujur gue benci banget ama teknik
itu karena menurut gue nggak kreatif dan cuman buang-buang waktu
penontonnya aja.
Kedua,
dari temanya sendiri, gue pikir Jokan pengen mendapuk para “pribumi”
Jawa yang hidup di desa terpencil sebagai sosok
“redneck” seperti di film “Texas Chainsaw Massacre” atau "Hills Have Eyes". Tara
Basro dan temannya di film ini (yang dikisahkan berasal di Jakarta)
sedari awal dibikin nggak nyaman dengan suasana pedesaan yang “asing”
dan juga para penduduknya yang hostile dan terkesan seperti pengikut
sebuah cult sesat.
Padahal kenyataannya justru sebaliknya, jika
kalian ke pedalaman Jawa kalian justru akan menemui orang-orang
paling ramah dan baik hati, berlawanan banget dengan sikap
orang-orang kota yang udah sering gue temui selama gue menetap di
Jakarta beberapa tahun. Pengalaman aja, pas #matilampu gede di
Jakarta kapan lalu, sinyal hape gue sempat mati sehingga gue nggak
bisa sama sekali manggil Grab atau Gojek dan gue saat itu kejebak di
pedesaan terpencil di Wates, Yogya. Eh salah satu orang desa di sana
malah nganter gue ke stasiun (padahal nggak kenal) dan pas gue mau
kasi uang sebagai pengganti bensin, dia malah nolak.
Ini sih
salah satu yang bikin gue nggak terlalu demen dengan karya Jokan kali
ini. Penggambaran villagers yang sangat bertolak belakang dengan
kenyataan (penganut ilmu hitam lah, xenofobia lah, lawless lah) ini
mau nggak mau membuat gue yang dibesarin dalam tradisi Jawa sedikit
banyak tersinggung. Walaupun gue akuin, gue menghargai banget usaha
Jokan untuk mengangkat budaya Jawa seperti wayang kulit dan gamelan
di film ini. Penggunaan bahasa Jawa oleh para pemeran utamanya pun
masih terasa “kaku” di telinga gue, kedengeran banget mereka bukan
pengguna fasih bahasa tersebut (kecuali buat Christine Hakim yang
kualitas aktingnya jelas mumpuni). Contohnya, salah satu tokohnya
memanggil dirinya sebagai “Ratih” dengan vokal “i” terdengar
jelas. Padahal menurut dialek Jawa yang otentik, namanya seharusnya
dipanggil “Rateh” dengan huruf “e”. Ortu ama temen-temen gue
di Solo aja sampai sekarang kalo manggil gue “Daved” karena itu
emang kayak gitu aksennya.
Solusi
klimaksnya juga menurut gue amat “meh” dan nggak seru sama
sekali. Kalo gue disuruh ngasi skor, gue akan kasi “Perempuan Tanah
Jahanam” dengan 3 CD berdarah.
Sekarang
gue akan bandingin film ini dengan “Ratu Ilmu Hitam”. Diangkat
dari film jadulnya mendiang Suzanna, film ini menceritakan sebuah
keluarga yang berkunjung ke panti asuhan tempat sang ayah dibesarkan.
Di sana mereka berkumpul dengan anak-anak panti lain yang sudah
tumbuh dewasa. Namun di sana, mereka terpaksa menguak rahasia kelam
yang telah lama terkubur (pun intended) setelah kejadian-kejadian
mengerikan mulai menimpa mereka.
Ini
adalah film horor Kimo Stamboel kedua setelah “Dread Out” tahun
lalu. Gue nggak ngerti kenapa banyak orang kecewa dengan film
tersebut, padahal menurut gue oke-oke aja dan tone humor di film itu
cukup menghibur gue. Mungkin itu karena sosok Linda yang menurut
banyak orang nggak sesuai ama penampilannya di game ya (if u know
what I mean). Dan kali ini pula aksi Kimboel sama sekali nggak
membuat gue kecewa. Adegan horor di sini amatlah gore dan memuaskan
(maklum, admin punya hasrat psikopat terpendam hehehe). Gue malah
agak kaget melihat adegan-adegannya yang begitu sadis seperti ini
dipebolehkan tayang di Indonesia, bukannya biasanya disensor KPI
habis-habisan ya?
Nggak
cuma sadis, adegan-adegan penyiksaan di sini juga bikin jijik abis.
Salah satu favorit gue pas adegan dimana punggung Imelda Therine
(pemeran salah satu istri di film ini) mengeluarkan .... ah, tonton
aja deh hehehe. Penampakan hantu hingga ratu ilmu hitamnya sendiri
benar-benar membuat gue bergidik ngeri di kursi gue.
Tapi
sekali lagi, gue harus bahas kelemahannya. Pertama, sama seperti
“Dread Out” gue agak kecewa dengan keputusan Kimboel untuk
memajang banyak sosok artis Indo alias blasteran bule di sini. Bukan
apa-apa sih, tapi aneh aja kalo ampe go-international dan dilihat
orang luar negeri. Itu bakalan membuat impresi nggak realistis bahwa
orang Indonesia seperti itu semua kali ya? Gue lebih menghargai Jokan
sih yang lebih suka memajang cast asli Indonesia dengan wajah dan
warna kulit mereka.
Kedua,
gue lebih mengharapkan film ini bergenre slasher, tapi kenyataannya
nggak. Ada banyak karakter di sini, tapi kerjaannya cuma lari ke sana
kemari dan nggak punya kontribusi riil di jalan cerita (I'm talking about you, Ari Irham! Is he supposed to be a gay or something karena ada cewe sebening Shenina Cinnamon malah dianggurin, padahal karakternya Zarra JKT48 aja dibikin gatel). Paling nggak
dibunuh kek. But I think I would blame that on Joko Anwar because
he's the scriptwriter. Walaupun kali ini gue juga harus memuji Jokan
karena plot twist yang dihadirkan di sini cukup bagus,.
So there
it is. gue kasi “Ratu Ilmu Hitam” dengan 4 CD berdarah.
Jadi
udah tau semua kan siapa yang lebih jahanam?
Sumber gambar: IMDB
Menurut opini gw bang, jokwar ini terinspirasi dari film2 horror luar negeri kaya 'us' tapi salah tempat, coba aja klo latar tempatnya di daerah sumatra atau sulawesi, mungkin lebih cocok
ReplyDeleteKangen banget gua bang ama postingan elu :"
ReplyDeletegue dari wates bang wkwkwk
ReplyDeleteLaaah baru bilang. Gw dulu kesasar di sana 😂😂😂
Deleteaku di bioskop kemaren nyari PTJ tapi telat dong..dah abis pemutarannya..dan penggantinya RIH...but yeah it's actually good :") paling gore pas yg istri motong perut sendiri :")
ReplyDeleteOpening scene PTJ itu homage buat film korea February 29 bukan sih bang? Mirip banget soalnya.
ReplyDeleteOya? Gue dah lama banget nonton film itu jadi udah lupa. Wah berarti nggak original dong?
Delete