Wednesday, November 20, 2019

THE TRAGIC AMBITIONS: BENCANA GUNUNG EVEREST TAHUN 1996



Hallo guys, kali ini beda dengan yang sebelum-sebelumnya, gue akan mengangkat tema yang sama sekali berbeda di Bedah Kasus, eh Dark Case kali ini. Karena ini masih fresh dengan tema Halloween Oktober lalu dan bulan depan juga udah Christmas, makanya gue mau mengangkat tema tentang kebrutalan alam (lah kok nggak ada hubungannya). Kalo biasanya gue mengangkat tema pembunuh berantai, bagaimana jika kali ini “alam”-lah sang pembunuhnya? Yap, alam memang nggak hanya bisa mengayomi dan memberi kehidupan, namun juga mampu mencabutnya kapan saja.

Terjebak di badai salju, terperangkap di tengah musim dingin yang buas di antah berantah, tersesat di gurun, ditinggalkan untuk mati di dalam rimba, dimangsa beruang, semua ini adalah kisah-kisah horor yang bisa saja terjadi di dunia nyata.

Gue menyebut postingan ini “The Chronicle of Mother Nature” yang mencakup 7 kisah tragis: “Kasus Gunung Everest 1996”, “Kasus Timothy Treadwell”, “Kasus Chris McCandless”, “Kasus Carl McCunn”, “Kasus David Coughlin dan Raffi Kodikian”, “Kasus Yossi Ghinsberg”, serta “Kasus Lisa Theris”. Nggak menutup kemungkinan di masa depan gue akan mengangkat kisah-kisah lain dengan tema serupa.

Untuk kisah pertama, gue akan menceritakan bencana yang melanda Gunung Everest ketika sebuah badai salju melanda di tengah pendakian empat tim yang tidak saling mengenal untuk mencapai puncak tertinggi di dunia kala itu. Delapan orang tewas pada 10-11 Mei 1996, meninggalkan kisah tragis dan luka mendalam bagi para korban selamat maupun keluarga korban tewas. Siapakah yang bersalah? Benarkan ini semua perbuatan alam ataukah ada human error yang menyelimutinya?

Dear readers, inilah Dark Case kali ini.


Pendaki di puncak Everest 


Egotourisme – inilah sebutan yang diberikan Yonden Lhatoo, cucu dari Tenzing Norgay bagi industri turisme di Himalaya bagi para pendaki yang ingin menaklukkan Mount Everest, titik tertinggi di planet ini. Seakan tak ada tujuan lain untuk melakukan perjalanan berbahaya itu selain demi memuaskan ego sendiri. Perjalanan menaklukkan puncak setinggi 8 kilometer itu memang berbahaya, mulai dari kandungan oksigen yang tak mencukupi, temperatur yang teramat rendah, hingga iklim yang tak bersahabat. Hal itu dibuktikan dengan bencana massal tahun 1996 yang menyebabkan 8 pendaki tewas dan tercatat sebagai salah satu tragedi paling naas yang pernah terjadi dalam sejarah pendakian Everest.

Pada 10 Mei 1996, tercatat empat grup pendakian tengah dalam perjalanan menuju Puncak Everest, yakni dua tim dari Amerika Serikat, satu tim dari Taiwan, dan satu tim dari India. Dua tim dari Amerika Serikat adalah tim ekspedisi “Adventure Consultants” yang dipimpin oleh Rob Hall dan tim “Mountain Madness” yang dikepalai Scott Fischer. Karena keduanya merupakan tim guide komersial, Rob Hall dan Scott Fischer saling bersaing satu sama lain demi bisnis. Seorang wartawan dari majalah “Outside”, Jon Krakauer berencana ikut ke dalam tim Mountain Madness untuk meliput perjalanan tersebut. Melihat ini sebagai oportuniti untuk publisitas gratis, Rob Hall berhasil membujuk Jon Krakauer untuk masuk ke dalam tim “Adventure Consultant”-nya, yang kemudian diiyakan oleh wartawan itu.

Scott Fischer yang kesal kemudian berniat memenangkan persaingan antara kedua tim tersebut dengan tiba duluan di Puncak Everest untuk membuktikan pada Jon Hall bahwa tim-nyalah yang terbaik. Tangan kanan Scott adalah seorang pendaki profesional bernama Anatoli Boukreev. Ingatlah keempat nama ini sebab merekalah tokoh utama penting dalam kisah tragis. Keputusan-keputusan merekalah nanti yang akan berakibat kematian naas hingga tragedi memilukan yang akan tertoreh dalam sejarah.



Jon Krakauer
(sumbergambar)

Tim “Adventure Consultant” terdiri atas sang pemimpin Rob Hall, dua guide kepercayaannya yakni Mike Groom dan Andy Harris. Para tamunya adalah Frank Fischbeck, Doug Hansen, Stuart Hutchison, Lou Kasischke, John Taske, sang wartawan Jon Krakauer, seorang dokter bernama Beck Weathers, dan seorang wanita Jepang bernama Yasuko Namba. Mereka juga ditemani tim sherpa (penduduk asli Nepal) yang dipimpin oleh Sardar Ang Dorje .

Sementara itu tim “Mountain Madness” dipimpin Scott Fischer dan dua guide kepercayaannya Neal Beidleman dan Anatoli Boukreev. Tamu mereka adalah Martin Adams, Dale Kruse, Tim Madsen, Pete Schoening dan keponakannya Klev Schoening, serta tiga orang wanita: Charlotte Fox, Lene Gammelgaard, dan Sandy Hill Pittman. Mereka juga ditemani tim sherpa yang dipimpin Sardar Lopsang Jangbu.

Selain dua tim Amerika itu, masih ada dua tim lain yakni tim ekspedisi Taiwan yang dipimpin oleh Gau Ming-Ho serta tim dari kepolisian India yang beranggotakan 6 orang.

Ketika berada pada base camp dengan ketinggian 5 km, salah satu anggota tim Mountain Madness” bernama Pete Schoening memutuskan tidak meneruskan perjalanan karena tidak kuat. Tim pun meneruskan perjalanan, namun Dale Kruse, tamu lain dari tim yang sama juga ikut sakit hingga kembali ke base camp untuk dirawat.

Mereka tak pernah menduga, sakitnya mereka justru “blessing in disguise” karena mereka tak perlu merasakan “neraka beku” seperti yang dialami teman-teman mereka nanti.

Pada tengah malam 10 Mei 1996, tiga tim, yakni kedua tim Amerika dan tim Taiwan telah tiba di Camp IV dengan ketinggian 7.900 meter. Akan tetapi celakanya, ternyata tali yang seharusnya digunakan untuk mengangkat mereka ke ketinggian di atas 8.000 meter ternyata belum disiapkan. Ini menyebabkan terjadinya “bottleneck effect” yang menyebabkan ketiga tim yang totalnya beranggotakan 33 orang menumpuk dan terpaksa “mengantre” naik satu demi satu. Peristiwa ini terbukti berakibat fatal, sebab berada dalam kondisi seberat Himalaya dengan kurangnya oksigen dan suhu ekstrim berdampak amat buruk bagi tubuh.

Tiga tamu dari tim “Adventure Consultant” yakni Lou Kasischke, Stuart Hutchison, dan John Taske akhirnya menyerah sebelum mencapai puncak karena takut kehabisan oksigen. Keputusan itu nantinya juga akan menyelamatkan nyawa mereka.

Jam 2 siang keesokan harinya, sebagian besar pendaki dari dua tim Amerika telah mencapai puncak. Anatoli Boukreev, guide dari tim “Mountain Madness” kemudian menuntun semuanya yang telah mencapai puncak untuk turun kembali. Pada saat itu, Jon Krakauer, sang wartawan yang dikirim ke ekspedisi itu melihat bahwa cuaca telah memburuk dan salju mulai turun dengan deras.

Mulai saat itulah, bak sebuah film slasher, satu demi satu para pendaki itu mulai terbunuh.

Gambaran sebuah badai salju

Para sherpa yang mulai turun untuk menemani para tamu mereka berjumpa dengan Doug Hansen, seorang tamu dari “Adventure Consultant” yang ternyata belum mencapai puncak. Merasa bertanggung jawab, Rob Hall, pemimpin ekspedisi itu, akhirnya menawarkan diri untuk menemani Doug di tengah badai salju. Doug sendiri bersikeras untuk sampai di puncak karena di pendakian sebelumnya ia gagal dan ia tahu, dengan umurnya yang sekarang, ia takkan mampu melakukan pendakian ketiga. Di puncak, mereka bertemu dengan Scott Fischer, pemimpin tim “Mountain Madness” dan Gau, pemimpin tim Taiwan. Mereka kala itu tidak mengetahui bahwa Scott Fischer mulai sakit karena mengalami penumpukan cairan di paru-paru dan otaknya akibat penyakit ketinggian.

Dari keempat pria yang tertinggal di belakang ini, nantinya hanya satu orang yang berhasil selamat.

Sementara itu, di Camp IV, Anatoli Boukreev, sang guide yang kini bertanggung jawab penuh atas keselamatan para tamunya dari “Mountain Madness” karena pemimpinnya, Scott Fischer, masih berada di atas, mengambil keputusan kontroversial. Ia meninggalkan para tamunya dan turun duluan dengan alasan untuk mengambil oksigen cadangan.

Badai salju mulai turun dan bencana pun mulai menyelinap.

Sembilan pendaki dari kedua tim tersesat karena badai tersebut. Mike Groom (guide dari “Adventure Consultant”) dan Neal Beidleman (guide dari “Mountain Madness”) berhasil membawa dua tamu turun (termasuk satu anggota wanita dari tim “Mountain Madness”) dan menyelamatkan mereka. Mengetahui para tamunya tersesat, Anatoli Boukreev kembali naik dan berhasil menyelamatkan tiga lainnya, termasuk Sandy dan Charlotte, dua pendaki wanita lain dari timnya. Namun sayang, ia terpaksa meninggalkan Yasuko Namba, satu-satunya pendaki wanita dari tim saingannya, karena ia sudah sekarat. Ia menjadi korban pertama kala itu. Sementara itu, Anatoli Boukreev tak menemukan tamu terakhir, yakni Beck Weathers, dokter dari tim ““Adventure Consultant” karena ia terpisah dari rombongannya di tengah badai salju.
 
Sementara itu, kondisi di puncak lebih celaka lagi. Scott Fischer (pemimpin tim “Mountain Madness” dan Gau (pemimpin tim Taiwan) tak mampu meneruskan perjalanan turun. Scott Fischer, yang sadar ia sedang sakit dan takkan selamat, meminta kepada yang lain supaya ditinggalkan. Rob Hall (pemimpin “Adventure Consultant”) pun menuntun tamunya, Doug Hansen turun. Namun celakanya, Doug Hansen tiba-tiba pingsan dan Rob Hall harus meminta bantuan melalui radio pada rekannya, guide dari “Adventure Consultant” yakni Andy Harris untuk membawakan oksigen kepada mereka.

Andy Harris tak pernah sampai dan lenyap di badai salju itu.

Bak sebuah pengalaman mistis (atau mungkin kurangnya konsentrasi hingga halusinasi karena hipothermia), Rob Hall mengatakan bahwa Doug Hansen yang selama ini berada di sampingnya tiba-tiba menghilang dan lenyap ke dalam salju.

Merasa bahwa ia juga akan mengikuti nasib teman-temannya, Rob Hall dengan berbekal radio di tangannya kemudian menelepon istrinya yang tengah hamil. Mereka mendiskusikan nama bagi anak mereka dan kata-kata terakhirnya mengatakan agar istrinya tidak khawatir.

Setelah telepon itu, Rob Hall akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.

Tim "Adventure Consultant" sebelum mengalami nasib naas
(sumber gambar)

Paginya, Stuart Hutchison, tamu dari tim “Adventure Consultant” memutuskan kembali dengan tim pencari untuk menyelamatkan Beck Weathers, sang dokter yang masih menghilang. Setelah pencarian, Beck Weathers ditemukan, namun dalam kondisi terkena frosbite dan sama sekali tidak responsif. Tim pencari itupun mengambil keputusan mengejutkan, yaitu untuk meninggalkannya karena ia dianggap takkan bisa selamat.

Ajaibnya, Beck Weathers justru sadar dan dengan sisa kekuatannya, merangkak di atas salju demi nyawanya, walaupun ia mengalami frosbite dan hipothermia parah. Ia bahkan berhasil mencapai teman-temannya yang sudah duluan turun. Proses evakuasi untuk menyelamatkan Beck Weathers ternyata sama sekali tak mudah, bahkan memakan waktu dua hari hingga ia berhasil dilarikan dengan helikopter ke rumah sakit (yang mungkin menjadi alasan teman-temannya semula meninggalkannya). Beck Weathers akhirnya selamat, walaupun harus kehilangan hidung, tangan kanan, dan seluruh jarinya karena frosbite.

Bagaimana dengan nasib yang lain yang masih tertinggal di puncak? Pada 11 Mei, tim penyelamat berhasil menemukan Scott Fischer dan Gau. Namun kondisi Scott Fischer terlalu buruk sehingga mereka hanya bisa memberinya obat penenang supaya ia bisa pergi dalam keadaan damai. Ajaibnya, Gau ternyata masih hidup dan dievakuasi menggunakan helikopter.

Lima orang tewas dalam pendakian massal itu, kebanyakan dari tim “Adventure Consultant” (Rob Hall, Andy Harris, Doug Hansen, dan Yasuko Namba), terkecuali Scott Fischer yang merupakan ketua Tim ““Mountain Madness”. Sementara itu, di sisi gunung yang lain, tiga orang dari ekspedisi India juga menemui ajal akibat badai salju tersebut, sehingga total korban meninggal pada tragedi itu mencapai delapan orang.

Beck Weather sebelum dan sesudah bencana tersebut
(sumber gambar)

Jon Krakauer, sang wartawan yang berhasil selamat tak mau menjadi saksi bisu. Ia menyusun sebuah buku “Into Thin Air” yang menjadi best-seller. Ia menyalahkan persaingan antara kedua tim (yang ia akui disebabkan karena keberadaan dirinya sebagai wartawan yang meliput pendakian tersebut) sebagai faktor utama mengapa pemimpin kedua tim memaksakan agar pendakian berhasil, walaupun mereka sudah melihat tanda-tanda bahwa cuaca akan memburuk.

Terjadinya “bottelneck effect” pada awal pendakian, kurangnya pasokan oksigen yang mereka bawa, serta keputusan awal Anatoli Boukreev untuk meninggalkan tamunya juga dipandang berkontribusi atas maut yang melanda Everest kala itu. Ia juga menuding Anatoli Boukreev sengaja meninggalkan Yasuko Namba hingga mati karena ia berasal dari tim lain dan hanya peduli menyelamatkan para pendaki dari timnya sendiri.

Tak terima dirinya disalahkan, Anatoli Boukreev membela diri dengan menulis buku “The Climb: Tragic Ambitions on Everest”. Sesama rekan pendaki juga mendukung Anatoli Boukreev dan mengkritik sang wartawan dengan mengatakan bahwa ketika Anatoli Boukreev naik kembali untuk menyelamatkan yang lain, Jon Krakauer sedang tidur di dalam tenda.


Seakan balik menyindir para rekannya yang saling menuding siapa yang salah, penyintas lain yakni Beck Weathers menulis buku “Left For Dead: My Journey Home from Everest” yang menceritakan pengalamannya ditinggalkan untuk mati di dalam salju dan harus menyelamatkan dirinya sendiri.

Sumber: wikipedia

4 comments:

  1. Sampai saat ini, aku gak pernah bisa bayangin terjebak di gunung salju kayak gitu 😭 bunuh diri paling menyiksa itu mah

    ReplyDelete
  2. salah satu dari sekian banyak sebab kematian yang ga mau gua alamin

    ReplyDelete
  3. Tema kali ini sungguh bikin saya merinding bolak balik kok jadinya 'pembunuhan' dari alam jauhh lebih mengerikan daripada manusia. :(

    ReplyDelete
  4. Ini ada filmnya kok, dan seinget saya rilis tahun 2016, judulnya everest..

    ReplyDelete