Hallo
guys, kali ini beda dengan yang sebelum-sebelumnya, gue akan
mengangkat tema yang sama sekali berbeda di Bedah Kasus, eh Dark Case
kali ini. Karena ini masih fresh dengan tema Halloween Oktober lalu
dan bulan depan juga udah Christmas, makanya gue mau mengangkat tema
tentang kebrutalan alam (lah kok nggak ada hubungannya). Kalo
biasanya gue mengangkat tema pembunuh berantai, bagaimana jika kali
ini “alam”-lah sang pembunuhnya? Yap, alam memang nggak hanya
bisa mengayomi dan memberi kehidupan, namun juga mampu mencabutnya
kapan saja.
Terjebak di badai salju, terperangkap di tengah musim dingin yang buas di antah berantah, tersesat di gurun, ditinggalkan untuk mati di dalam rimba, dimangsa beruang, semua ini adalah kisah-kisah horor yang bisa saja terjadi di dunia nyata.
Terjebak di badai salju, terperangkap di tengah musim dingin yang buas di antah berantah, tersesat di gurun, ditinggalkan untuk mati di dalam rimba, dimangsa beruang, semua ini adalah kisah-kisah horor yang bisa saja terjadi di dunia nyata.
Gue
menyebut postingan ini “The Chronicle of Mother Nature” yang
mencakup 7 kisah tragis: “Kasus Gunung Everest 1996”, “Kasus
Timothy Treadwell”, “Kasus Chris McCandless”, “Kasus Carl
McCunn”, “Kasus David Coughlin dan Raffi Kodikian”, “Kasus
Yossi Ghinsberg”, serta “Kasus Lisa Theris”. Nggak menutup
kemungkinan di masa depan gue akan mengangkat kisah-kisah lain dengan
tema serupa.
Untuk
kisah pertama, gue akan menceritakan bencana yang melanda Gunung
Everest ketika sebuah badai salju melanda di tengah pendakian empat
tim yang tidak saling mengenal untuk mencapai puncak tertinggi di
dunia kala itu. Delapan orang tewas pada 10-11 Mei 1996, meninggalkan
kisah tragis dan luka mendalam bagi para korban selamat maupun
keluarga korban tewas. Siapakah yang bersalah? Benarkan ini semua
perbuatan alam ataukah ada human error yang menyelimutinya?
Dear
readers, inilah Dark Case kali ini.
Pendaki di puncak Everest
Egotourisme
– inilah sebutan yang diberikan Yonden Lhatoo, cucu dari Tenzing
Norgay bagi industri turisme di Himalaya bagi para pendaki yang ingin
menaklukkan Mount Everest, titik tertinggi di planet ini. Seakan tak
ada tujuan lain untuk melakukan perjalanan berbahaya itu selain demi
memuaskan ego sendiri. Perjalanan menaklukkan puncak setinggi 8
kilometer itu memang berbahaya, mulai dari kandungan oksigen yang tak
mencukupi, temperatur yang teramat rendah, hingga iklim yang tak
bersahabat. Hal itu dibuktikan dengan bencana massal tahun 1996 yang
menyebabkan 8 pendaki tewas dan tercatat sebagai salah satu tragedi
paling naas yang pernah terjadi dalam sejarah pendakian Everest.
Pada
10 Mei 1996, tercatat empat grup pendakian tengah dalam perjalanan
menuju Puncak Everest, yakni dua tim dari Amerika Serikat, satu tim
dari Taiwan, dan satu tim dari India. Dua tim dari Amerika Serikat
adalah tim ekspedisi “Adventure Consultants” yang dipimpin oleh
Rob Hall dan tim “Mountain Madness” yang dikepalai Scott Fischer.
Karena keduanya merupakan tim guide komersial, Rob Hall dan Scott
Fischer saling bersaing satu sama lain demi bisnis. Seorang wartawan
dari majalah “Outside”, Jon Krakauer berencana ikut ke dalam tim
Mountain Madness untuk meliput perjalanan tersebut. Melihat ini
sebagai oportuniti untuk publisitas gratis, Rob Hall berhasil
membujuk Jon Krakauer untuk masuk ke dalam tim “Adventure
Consultant”-nya, yang kemudian diiyakan oleh wartawan itu.
Scott
Fischer yang kesal kemudian berniat memenangkan persaingan antara
kedua tim tersebut dengan tiba duluan di Puncak Everest untuk
membuktikan pada Jon Hall bahwa tim-nyalah yang terbaik. Tangan kanan
Scott adalah seorang pendaki profesional bernama Anatoli Boukreev.
Ingatlah keempat nama ini sebab merekalah tokoh utama penting dalam
kisah tragis. Keputusan-keputusan merekalah nanti yang akan berakibat
kematian naas hingga tragedi memilukan yang akan tertoreh dalam
sejarah.
Tim
“Adventure Consultant” terdiri atas sang pemimpin Rob Hall, dua
guide kepercayaannya yakni Mike Groom dan Andy Harris. Para tamunya
adalah Frank Fischbeck, Doug Hansen, Stuart Hutchison, Lou Kasischke,
John Taske, sang wartawan Jon Krakauer, seorang dokter bernama Beck
Weathers, dan seorang wanita Jepang bernama Yasuko Namba. Mereka juga
ditemani tim sherpa (penduduk asli Nepal) yang dipimpin oleh Sardar
Ang Dorje .
Sementara
itu tim “Mountain Madness” dipimpin Scott Fischer dan dua guide
kepercayaannya Neal Beidleman dan Anatoli Boukreev. Tamu mereka
adalah Martin
Adams, Dale Kruse, Tim Madsen, Pete Schoening dan keponakannya Klev
Schoening, serta tiga orang wanita: Charlotte Fox, Lene Gammelgaard,
dan Sandy Hill Pittman. Mereka juga ditemani tim sherpa yang dipimpin
Sardar Lopsang Jangbu.
Selain
dua tim Amerika itu, masih ada dua tim lain yakni tim ekspedisi
Taiwan yang dipimpin oleh Gau Ming-Ho serta tim dari kepolisian India
yang beranggotakan 6 orang.
Ketika
berada pada base camp dengan ketinggian 5 km, salah satu anggota tim
“Mountain
Madness” bernama Pete Schoening memutuskan tidak meneruskan
perjalanan karena tidak kuat. Tim pun meneruskan perjalanan, namun
Dale Kruse, tamu lain dari tim yang sama juga ikut sakit hingga
kembali ke base camp untuk dirawat.
Mereka
tak pernah menduga, sakitnya mereka justru “blessing in disguise”
karena mereka tak perlu merasakan “neraka beku” seperti yang
dialami teman-teman mereka nanti.
Pada
tengah malam 10 Mei 1996, tiga tim, yakni kedua tim Amerika dan tim
Taiwan telah tiba di Camp IV dengan ketinggian 7.900 meter. Akan
tetapi celakanya, ternyata tali yang seharusnya digunakan untuk
mengangkat mereka ke ketinggian di atas 8.000 meter ternyata belum
disiapkan. Ini menyebabkan terjadinya “bottleneck effect” yang
menyebabkan ketiga tim yang totalnya beranggotakan 33 orang menumpuk
dan terpaksa “mengantre” naik satu demi satu. Peristiwa ini
terbukti berakibat fatal, sebab berada dalam kondisi seberat Himalaya
dengan kurangnya oksigen dan suhu ekstrim berdampak amat buruk bagi
tubuh.
Tiga
tamu dari tim “Adventure Consultant” yakni Lou Kasischke, Stuart
Hutchison, dan John Taske akhirnya menyerah sebelum mencapai puncak
karena takut kehabisan oksigen. Keputusan itu nantinya juga akan
menyelamatkan nyawa mereka.
Jam
2 siang keesokan harinya, sebagian besar pendaki dari dua tim Amerika
telah mencapai puncak. Anatoli Boukreev, guide dari tim “Mountain
Madness” kemudian menuntun semuanya yang telah mencapai puncak
untuk turun kembali. Pada saat itu, Jon Krakauer, sang wartawan yang
dikirim ke ekspedisi itu melihat bahwa cuaca telah memburuk dan salju
mulai turun dengan deras.
Mulai
saat itulah, bak sebuah film slasher, satu demi satu para pendaki itu
mulai terbunuh.
Gambaran sebuah badai salju
Para
sherpa yang mulai turun untuk menemani para tamu mereka berjumpa
dengan Doug Hansen, seorang tamu dari “Adventure Consultant” yang
ternyata belum mencapai puncak. Merasa bertanggung jawab, Rob Hall,
pemimpin ekspedisi itu, akhirnya menawarkan diri untuk menemani Doug
di tengah badai salju. Doug sendiri bersikeras untuk sampai di puncak
karena di pendakian sebelumnya ia gagal dan ia tahu, dengan umurnya
yang sekarang, ia takkan mampu melakukan pendakian ketiga. Di puncak,
mereka bertemu dengan Scott Fischer, pemimpin tim “Mountain
Madness” dan Gau, pemimpin tim Taiwan. Mereka kala itu tidak
mengetahui bahwa Scott Fischer mulai sakit karena mengalami
penumpukan cairan di paru-paru dan otaknya akibat penyakit
ketinggian.
Dari
keempat pria yang tertinggal di belakang ini, nantinya hanya satu
orang yang berhasil selamat.
Sementara
itu, di Camp IV, Anatoli Boukreev, sang guide yang kini bertanggung
jawab penuh atas keselamatan para tamunya dari “Mountain Madness”
karena pemimpinnya, Scott Fischer, masih berada di atas, mengambil
keputusan kontroversial. Ia meninggalkan para tamunya dan turun
duluan dengan alasan untuk mengambil oksigen cadangan.
Badai
salju mulai turun dan bencana pun mulai menyelinap.
Sembilan
pendaki dari kedua tim tersesat karena badai tersebut. Mike Groom
(guide dari “Adventure Consultant”) dan Neal Beidleman (guide
dari “Mountain Madness”) berhasil membawa dua tamu turun
(termasuk satu anggota wanita dari tim “Mountain Madness”) dan
menyelamatkan mereka. Mengetahui para tamunya tersesat, Anatoli
Boukreev kembali naik dan berhasil menyelamatkan tiga lainnya,
termasuk Sandy dan Charlotte, dua pendaki wanita lain dari timnya.
Namun sayang, ia terpaksa meninggalkan Yasuko Namba, satu-satunya
pendaki wanita dari tim saingannya, karena ia sudah sekarat. Ia
menjadi korban pertama kala itu. Sementara itu, Anatoli Boukreev tak
menemukan tamu terakhir, yakni Beck Weathers, dokter dari tim
““Adventure Consultant” karena ia terpisah dari rombongannya di
tengah badai salju.
Sementara
itu, kondisi di puncak lebih celaka lagi. Scott Fischer (pemimpin tim
“Mountain Madness” dan Gau (pemimpin tim
Taiwan) tak mampu meneruskan perjalanan turun. Scott Fischer, yang
sadar ia sedang sakit dan takkan selamat, meminta kepada yang lain
supaya ditinggalkan. Rob Hall (pemimpin “Adventure Consultant”)
pun menuntun tamunya, Doug Hansen turun. Namun celakanya, Doug Hansen
tiba-tiba pingsan dan Rob Hall harus meminta bantuan melalui radio
pada rekannya, guide dari “Adventure Consultant” yakni Andy
Harris untuk membawakan oksigen kepada mereka.
Andy
Harris tak pernah sampai dan lenyap di badai salju itu.
Bak
sebuah pengalaman mistis (atau mungkin kurangnya konsentrasi hingga
halusinasi karena hipothermia), Rob Hall mengatakan bahwa Doug Hansen
yang selama ini berada di sampingnya tiba-tiba menghilang dan lenyap
ke dalam salju.
Merasa
bahwa ia juga akan mengikuti nasib teman-temannya, Rob Hall dengan
berbekal radio di tangannya kemudian menelepon istrinya yang tengah
hamil. Mereka mendiskusikan nama bagi anak mereka dan kata-kata
terakhirnya mengatakan agar istrinya tidak khawatir.
Setelah
telepon itu, Rob Hall akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.
Paginya,
Stuart Hutchison, tamu dari tim “Adventure Consultant”
memutuskan kembali dengan tim pencari untuk menyelamatkan Beck
Weathers, sang dokter yang masih menghilang. Setelah pencarian, Beck
Weathers ditemukan, namun dalam kondisi terkena frosbite dan sama
sekali tidak responsif. Tim pencari itupun mengambil keputusan
mengejutkan, yaitu untuk meninggalkannya karena ia dianggap takkan
bisa selamat.
Ajaibnya,
Beck Weathers justru sadar dan dengan sisa kekuatannya, merangkak di
atas salju demi nyawanya, walaupun ia mengalami frosbite dan
hipothermia parah. Ia bahkan berhasil mencapai teman-temannya yang
sudah duluan turun. Proses evakuasi untuk menyelamatkan Beck Weathers
ternyata sama sekali tak mudah, bahkan memakan waktu dua hari hingga
ia berhasil dilarikan dengan helikopter ke rumah sakit (yang mungkin
menjadi alasan teman-temannya semula meninggalkannya). Beck Weathers
akhirnya selamat, walaupun harus kehilangan hidung, tangan kanan, dan
seluruh jarinya karena frosbite.
Bagaimana
dengan nasib yang lain yang masih tertinggal di puncak? Pada 11 Mei,
tim penyelamat berhasil menemukan Scott Fischer dan Gau. Namun
kondisi Scott Fischer terlalu buruk sehingga mereka hanya bisa
memberinya obat penenang supaya ia bisa pergi dalam keadaan damai.
Ajaibnya, Gau ternyata masih hidup dan dievakuasi menggunakan
helikopter.
Lima
orang tewas dalam pendakian massal itu, kebanyakan dari tim
“Adventure Consultant” (Rob Hall, Andy Harris, Doug Hansen, dan
Yasuko Namba), terkecuali Scott Fischer yang merupakan ketua Tim
““Mountain Madness”. Sementara itu, di sisi gunung yang lain,
tiga orang dari ekspedisi India juga menemui ajal akibat badai salju
tersebut, sehingga total korban meninggal pada tragedi itu mencapai
delapan orang.
Jon
Krakauer, sang wartawan yang berhasil selamat tak mau menjadi saksi
bisu. Ia menyusun sebuah buku “Into Thin Air” yang menjadi
best-seller. Ia menyalahkan persaingan antara kedua tim (yang ia akui
disebabkan karena keberadaan dirinya sebagai wartawan yang meliput
pendakian tersebut) sebagai faktor utama mengapa pemimpin kedua tim
memaksakan agar pendakian berhasil, walaupun mereka sudah melihat
tanda-tanda bahwa cuaca akan memburuk.
Terjadinya
“bottelneck effect” pada awal pendakian, kurangnya pasokan
oksigen yang mereka bawa, serta keputusan awal Anatoli Boukreev
untuk meninggalkan tamunya juga dipandang berkontribusi atas maut
yang melanda Everest kala itu. Ia juga menuding Anatoli Boukreev
sengaja meninggalkan Yasuko Namba hingga mati karena ia berasal dari
tim lain dan hanya peduli menyelamatkan para pendaki dari timnya
sendiri.
Tak
terima dirinya disalahkan, Anatoli Boukreev membela diri dengan
menulis buku “The Climb: Tragic Ambitions on Everest”. Sesama
rekan pendaki juga mendukung Anatoli Boukreev dan mengkritik sang
wartawan dengan mengatakan bahwa ketika Anatoli Boukreev naik
kembali untuk menyelamatkan yang lain, Jon Krakauer sedang tidur di
dalam tenda.
Seakan
balik menyindir para rekannya yang saling menuding siapa yang salah,
penyintas lain yakni Beck Weathers menulis buku “Left For Dead: My
Journey Home from Everest” yang menceritakan pengalamannya
ditinggalkan untuk mati di dalam salju dan harus menyelamatkan
dirinya sendiri.
Sumber: wikipedia
Sampai saat ini, aku gak pernah bisa bayangin terjebak di gunung salju kayak gitu 😠bunuh diri paling menyiksa itu mah
ReplyDeletesalah satu dari sekian banyak sebab kematian yang ga mau gua alamin
ReplyDeleteTema kali ini sungguh bikin saya merinding bolak balik kok jadinya 'pembunuhan' dari alam jauhh lebih mengerikan daripada manusia. :(
ReplyDeleteIni ada filmnya kok, dan seinget saya rilis tahun 2016, judulnya everest..
ReplyDelete