Pada
July 1999, seorang ranger dari Taman Nasional Carlsbad Caverns,
Amerika Serikat tengah melakukan patroli rutinnya. Banyak hikers dan
pecinta alam datang ke teriknya gurun Chihuahua di Nex Mexico itu
untuk berkemah. Ia kemudian melihat salah satunya meringkuk di sebuah
tenda. Namun kali ini ia merasa ada sesuatu yang aneh.
Sang
ranger mendekatinya. Pemuda di depannya itu terlihat letih dan
mengalami dehidrasi parah. Sang ranger mengenalinya sebagai salah
satu dari dua pecinta alam yang pernah dilihatnya empat hari lalu.
Kala itu mereka menanyakan dimana mereka bisa berkemah dan ranger itu
menjawab sebuah lokasi bernama Rattlesnake Canyon. Namun tempat itu
amat jauh dengan dimana ia menemukannya.
Mengira
mereka berdua tersesat, ranger itupun kemudian bertanya, “Dimana
temanmu?”
Pemuda
itu hanya menunjuk ke arah tumpukan batu, tak jauh dari kemahnya,
masih dengan kondisi lemah.
Di
sana,” jawabnya, “Aku membunuhnya.”
***
Kasus
yang menimpa David Coughlin dan Raffi Kodikian adalah salah satu
kasus paling aneh sekaligus menggenaskan di list ini. Keduanya memutuskan
untuk menghabiskan waktu mereka hiking di sebuah gurun di New Mexico,
namun naasnya, hanya satu yang kembali hidup-hidup.
Dear
readers, inilah Dark Case kali ini.
David
Coughlin dan Raffi Kodikian merupakan sahabat dekat yang berasal dari
Boston. Berusia baru 20-an, kedua sahabat berjiwa muda dan petualang
itu memutuskan untuk berkelana hingga California dengan berkendara
selama 6 hari. Di sana pulalah David berencana untuk meneruskan kuliahnya. Di tengah perjalanan, mereka mampir ke sebuah taman
nasional di negara bagian New Mexico. Tinggal di negara bagian
Massachusetts yang dingin dan bersalju, mereka masih asing dengan
iklim gurun di sana.
Gurun tempat mereka tersesat
Karena
mereka berniat backpacker-an, begitu tiba merekapun bertanya pada
seorang ranger dimana mereka bisa berkemah secara gratis. Ranger itu
mengusulkan Rattlesnake Canyon, sebuah lokasi yang cukup populer
bagi pecinta alam. Letaknya pun tak terlalu jauh, cukup berjalan satu
mil (1,6 kilometer) dari lokasi mereka memarkirkan mobilnya.
Celakanya
mereka tersesat.
Kala
itu mereka hanya berencana untuk menginap semalam saja. Toh tujuan
asli mereka adalah negara bagian California dengan iklim yang hangat
dan banyak pantai dengan ombak untuk berselancar. Walaupun sang
ranger menyarankan agar membawa minimal 1 galon air karena suhu gurun
yang tentu teramat panas, kedua pemuda yang kurang pengalaman itu
hanya membawa sekitar 1,5 liter air bersama mereka.
Di
tengah perjalanan, mereka sadar bahwa mereka tersesat. Tak ada hikers
lain yang mereka lihat di sana untuk mereka mintai tolong. Mereka tak
punya kompas, namun mereka memiliki sebuah peta topografi taman
nasional itu. Celakanya, tak ada satupun dari mereka yang tahu cara
menggunakannya.
Mereka
terus berjalan dan berjalan, berharap bisa kembali dan menemukan
jalan keluar dari neraka itu. Suhu di sana hampir membuat kulit
mereka terbakar dan tentu saja, mereka terancam dehidrasi karena
sedikitnya bekal air yang mereka bawa.
Pada
malam berikutnya, David dan Raffi memutuskan untuk berjalan lagi
melintasi gurun di bawah teriknya suhu 40 derajat Celcius ke arah
lain, dimana sebelumnya Raffi melihat cahaya yang bergerak. Ia
mengasumsikan cahaya itu adalah lampu mobil dan di sana terdapat
sebuah jalan raya.
Naasnya,
ketika mereka sampai di sana, sama sekali tak ada jalan raya. Yang ia
lihat sebelumnya hanyalah halusinasi.
Fatamorgana
Lelah,
kehausan, dan panik, keduanya mulai panik. Burung-burung pemakan
bangkai mulai berputar-putar di atas mereka, sehingga mereka berdua
mulai yakin bahwa ajal akan segera menjemput mereka.
Mereka
berusaha untuk bertahan hidup sekeras mungkin. Satu-satunya yang
mereka temukan di gurun kering itu hanyalah pohon kaktus, dimana
mereka berdua memetik buahnya dan memakannya. Kehabisan air sama
sekali, mereka berduapun berusaha meminum air kencing mereka sendiri.
Namun Raffi hampir muntah setelah mencobanya, sehingga ia mengabaikan
ide itu.
Pada
malam ketiga, David merasa amat sakit dan mulai muntah tak
terkendali. Ketika fajar menjelang, hampir semua harapannya telah
pupus. Ia merasa tubuhnya takkan pernah lagi bisa bertahan dan mulai
meminta sesuatu yang tak terbayangkan kepada sahabatnya.
Ia
memohon kepada Raffi supaya membunuhnya.
Percaya
bahwa takkan ada yang akan menolong mereka dan pada akhirnya mereka
juga akan mati di sana, Raffi dengan berat hati mengabulkan
permintaan temannya. Paling tidak ia takkan membiarkan temannya mati
menderita dengan perlahan-lahan di gurun ini.
Raffi
menulis di jurnalnya:
Aku membunuh dan mengubur sahabatku hari ini. Dave amat kesakitan sepanjang malam. Pada jam 5 atau 6, ia menoleh kepadaku dan memohon agar aku menusukkan pisau ke dada. Aku melakukannya, dan menusuknya lagi untuk kedua kalinya ketika ia masih belum mati.
Naasnya,
hanya beberapa jam setelah ia membunuh sahabatnya, Raffi diselamatkan
oleh sang ranger yang kebetulan menemukannya.
Raffi selama proses pengadilan
Begitu
tiba kembali di peradaban, Raffi-pun menemukan dirinya sebagai
tersangka atas tuduhan kasus pembunuhan sahabatnya sendiri. Polisi
yang menyelidiki kematian David di gurun memiliki teori lain, bahwa
Raffi membujuk David untuk pergi ke padang gurun, kemudian sengaja
tersesat agar mereka berada di lokasi antah berantah tanpa seorangpun
saksi, dimana di sana ia sudah berencana untuk menghabisinya.
Motifnya? David diduga bermesraan dengan kekasih Raffi sehingga
membuat dirinya murka.
Selama
proses pengadilan, fakta yang tak kalah tragis terkuak. Dari hasil
otopsi diketahui bahwa David menjadi sakit dan muntah-muntah bukan
karena ia tengah sekarat, namun hanya gara-gara ia memakan buah
kaktus yang masih mentah. Memang mereka berdua mengalami dehidrasi,
namun banyak orang yang tersesat di gurun dalam kondisi yang lebih
parah dengan durasi lebih lama dan tanpa air minum, akan tetapi masih
bisa selamat. Contohnya adalah kasus Aron Ralston yang terjebak
selama 5 hari di tengah padang gurun di Utah. Bahkan saat itu dirinya
tak bisa bergerak karena tangannya tertindih batu besar. Ia terpaksa
mengamputasi tangannya sendiri agar bisa bebas. Tak hanya itu, ia
masih harus berjalan kaki sepanjang 11 kilometer sebelum akhirnya
diselamatkan.
Akan
tetapi hakim ternyata masih berbaik hati. Dari hukuman 20 tahun yang
bisa diterimanya atas tuduhan pembunuhan, ia hanya diganjar 2 tahun
penjara, bahkan boleh bebas setelah hanya menjalani 16 bulan hukuman.
Hakim berpendapat apa yang dilakukannya adalah “mercy killing”
dan tak menutup kemungkinan, bila kita berada dalam kondisi yang sama
seperti mereka berdua, mungkin kita akan melakukan hal yang sama.
Kisah
hidup mereka berdua kemudian diangkat oleh wartawan bernama Jason
Kersten ke dalam bukunya yang berjudul “Journal of the Dead: A
Story of Friendship and Murder”. Judulnya mengacu pada jurnal yang
ditulis oleh Raffi selama mereka terjebak di padang gurun. Tak hanya
itu, aktor Matt Damon menulis sebuah naskah film berjudul “Gerry”,
terinspirasi oleh kisah kelam mereka berdua, bahkan membintangi film
itu sendiri.
Lagi-lagi,
kisah ini menjadi bukti ketidaksiapan anak-anak muda yang naif dalam
menaklukkan alam. Mereka berdua berasal dari negara bagian
Massachusetts dimana perlu kondisi alamnya amat berbeda dengan New
Mexico. Bahkan mungkin itu pertama kalinya mereka melihat gurun.
Kurangnya pengetahuan mereka, seperti bagaimana beradaptasi di
lingkungan gurun atau bahkan ketrampilan sederhana seperti cara
membaca peta, juga berkontribusi atas kasus tragis itu.
Ketidaksabaran
juga menjadi pemicu lain. Seandainya saja mereka cukup sabar menunggu
beberapa jam saja hingga pertolongan datang (dan memang terbukti
pertolongan memang datang beberapa jam setelah tragedi itu terjadi)
mungkin akhir kisah ini akan sangat berbeda. Namun takdir sudah
berkehendak dan tak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya.
Kasus David Coughlin dan Rafii Kodikian kini menjadi pengingat bahwa
alam terkadang amat kejam bila kita tak siap menghadapinya.
Sumber: New York Times
pelajaran yang sangat mahal harganya
ReplyDeleteMerinding banget bacanya... Hal ini membuktikan kalau manusia amat terbatas dan sebaiknya jangan main-main dengan alam.
ReplyDeleteTalking about bad timing. Kayak endingnya film the mist
ReplyDeleteBener bener kaya The Mist.
ReplyDelete