Kisah
Chris McCandless adalah salah satu cerita yang sempat membuat gue
shock ketika membacanya. Berbeda dengan kisah kekejaman pembunuh
berantai atau hal-hal lain yang biasa gue angkat di sini, yang
membunuhnya adalah idealisme sendiri, kecintaan terhadap alam yang
terlalu ekstrim, hingga kejamnya sang “mother nature” sendiri.
Chris memulai perjalanannya ke pedalaman Alaska, Amerika Utara, pada
1992 pada usia 24 tahun. Saat itu ia tak menyadari bahwa ia takkan
pernah pulang dalam keadaan hidup-hidup. Kisahnya cukup menarik untuk
diikuti karena seakan bisa menjadi pengingat, betapa idealisme anak
muda yang indah kadang berbenturan dengan kejamnya kenyataan.
Dear
readers, inilah Dark Case kali ini.
Foto keluaga Chris McCandless
Pemuda
bernama lengkap Christopher Johnson McCandless ini lahir pada 12
Februari 1968 (jika masih hidup mungkin sekarang ia berusia 51 tahun
dan sudah berkeluarga). Ia lahir dari pasangan Wilhelmina dan Walter
McCandless dan memiliki seorang adik perempuan bernama Carine. Pada
1976, keluarga mereka pindah dari California ke Virginia setelah
ayahnya mendapat pekerjaan di NASA . Pada 1986 ia lulus SMA dimana di
sana ia dikenal sebagai kapten dari tim “cross country”, sebuah
klub lari dan pecinta alam.
Chris
lulus dari kampusnya dari Enory University pada 1990 dan mendapatkan
gelar sarjana di bidang sejarah dan antropologi. Namun setelah lulus,
ia lebih memilih mengejar gaya hidup “back to nature” karena
memang dikenal sangat menggemari kegiatan outdoor. Ia sempat
menghabiskan waktunya untuk menjejalahi Colorado River dengan
trekking dan menaiki kano, hingga akhirnya ia memutuskan untuk
mencari petualangan yang lebih liar ke Alaska. Perlu diketahui bahwa
Alaska, negara bagian termuda di Amerika Serikat, masih memiliki alam
yang masih belum terjamah karena letaknya yang jauh di utara.
Pada
tahun April 1992, ia memutuskan untuk hitch-hike ke kota Fairbanks,
Alaska. Kala itu seorang penduduk lokal bernama Jim Gallien
memberinya tumpangan menuju Stampede Trail dimana Chris akan memulai
perjalanannya. Saat itu, Chris menyembunyikan identitas aslinya dan
mengaku bernama Alexander Supertramp. Mendengar rencana “gila”
Chris untuk hidup di pedalaman Alaska yang masih liar, terutama
setelah melihat tasnya yang terlihat ringan dengan perbekalan yang
tak memadai, Jim menjadi cemas. Kala itu Chris hanya membawa 4,5
kilogram beras dan sebuah senapan berburu. Ia juga membawa serta
beberapa buku, sebuah kamera, dan peralatan kemping. Ia merasa tak
yakin Chris, terutama dengan usia muda dan pengalamannya yang kurang,
akan mampu bertahan hidup di kerasnya alam Alaska.
Jim
berulang kali meminta Chris untuk membatalkan rencananya, namun
pemuda itu tetap saja ngotot. Bahkan pria itu sampai menawarinya
kembali ke Anchorage, ibu kota Alaska, untuk membeli perlengkapan dan
persediaan makanan yang lebih lengkap, namun Chris tetap menolak. Jim
akhirnya menyerah dan hanya bisa memberikan dua sandwich sebagai
bekal, yang kemudian diterima dengan senang hati oleh Chris. Jim
kemudian meninggalkannya karena yakin, setelah beberapa hari anak
muda itu akhirnya menyerah lalu kembali ke peradaban.
Jim
sama sekali tidak tahu, bahwa ia akan menjadi orang terakhir yang
melihat Chris dalam keadaan hidup.
Setelah
hiking melintasi Stampede Rail dan menyeberangi sebuah sungai, Chris
melihat sebuah bus yang terbengkalai di dekat Denali National Park.
Ia kemudian menggunakannya sebagai tempat tinggalnya. Ia kemudian
menghabiskan hari-harinya membaca dan berburu dengan senapannya.
Makanannya sehari-hari adalah buah-buahan dan tanaman yang ia peroleh
dari hutan, serta hewan-hewan yang berhasil ia tangkap seperti
kelinci, tupai, dan burung. Pada suatu saat ia berhasil menembak
seekor moose (rusa kutub), namun karena kurangnya pengetahuan dalam
mengawetkan daging buruan, akhirnya sumber makanannya itupun
membusuk.
Chris
mencatat dengan rinci hari-hari yang dilaluinya dalam sebuah diari
dan terkadang mengabadikan dirinya menggunakan kamera. Dalam tiap
fotonya, Chris yang tubuhnya mulai kurus, selalu tersenyum, karena
gaya hidupnya yang bebas di alam inilah yang selalu ia
damba-dambakan.
Akhirnya
setelah tinggal di bus tersebut selama dua bulan, pada bulan Juni ia
memutuskan kembali ke peradaban. Sayangnya, Sungai Teklanika yang
awalnya ia lewati dengan mudah, kini mengalami banjir musiman
sehingga tak bisa lagi dilalui, sesuatu yang sama sekali tak ia
persiapkan. Celakanya lagi, Chris tak memegang peta wilayah itu
sehingga ia tak sadar bahwa kurang dari 1 mil dari tempatnya berada,
sebenarnya ada jalur yang bisa ia gunakan untuk menyeberang.
Chris
yang putus asa akhirnya memutuskan kembali ke bus dan memasang tanda
SOS, berharap seseorang menemukan dan menyelamatkannya.
Hari
demi hari terus berlalu, namun Chris tetaplah sendirian di tempat
itu. Tak ada seorangpun datang menolongnya. Diarinya masih terisi
hingga hari ke 107, dimana ia hanya menulis “buah beri biru yang
amat indah”. Pada halaman hari 108 hingga 112 hanya terlihat
coret-coretan tanpa kata-kata bermakna. Akhirnya, pada hari ke-113,
diari itu berakhir, kosong.
Pada
6 September 1992, ketika petang mulai merayap, sekelompok pemburu
berusaha mencari tempat berlindung sebelum malam menyergap. Mereka
menemukan sebuah bus terbengkalai dan ketika mereka masuk, mereka
terkesiap. Tercium bau tak sedap dari arah sebuah sebuah sleeping
bag. Mereka menemukan tubuh Chris McCandless, kini telah membusuk.
Dipercaya bahwa ia telah meninggal dua minggu sebelumnya karena
kelaparan.
Apakah
yang terjadi dengan pemuda pecinta alam yang idealis? Apa yang
menyebabkannya akhirnya menemui ajal?
Ada
beberapa teori mengapa Chris, seorang pemuda yang masih berusia 24
tahun, akhirnya meninggal kelaparan setelah memutuskan tinggal di
dalam hutan. Alasan utamanya tentu kurangnya pengalaman untuk hidup
sendirian dengan hanya mengandalkan alam. Sebagian besar makanannya
adalah kelinci, dimana celakanya, dagingnya sesungguhnya kurang
bergizi. Sebuah fenomena bernama “rabbit starvation” menjelaskan
bahwa apabila seseorang hanya mengandalkan daging kelinci
terus-menerus untuk bertahan hidup, maka secara ironis, akhirnya ia
akan mati kelaparan. Penyebabnya adalah rasio protein dan lemak pada
daging kelinci yang amat tak seimbang. Daging kelinci memang tinggi
protein, namun hanya 8% yang mengandung lemak. Sangat kontras bila
dibandingkan 30% lemak pada daging sapi dan 20% pada daging ayam.
Kekurangan lemak itulah yang bisa berakibat fatal.
Namun
petunjuk lain tentang kematiannya terletak pada diarinya. Tertulis
makanan terakhir yang ia santap dan banyak yang curiga bahwa biji
dari buah yang ia makan sesungguhnya beracun dan mengakibatkan
kelumpuhan. Racun tersebut sebenarnya tidaklah berakibat fatal
apabila dikonsumsi oleh orang bertubuh sehat. Namun kondisi Chris
kala itu sudah terlalu lemah karena kekurangan gizi, sehingga racun
yang ia telan pun berdampak lebih mengerikan. Akibat kelumpuhan itu,
ia akhirnya tak mampu bergerak, apalagi berburu atau mencari makan.
Selama
berhari-hari, akhirnya ia menderita secara perlahan-lahan hingga
akhirnya maut berbaik hati menjemputnya.
Nama
Chris McCandless menjelma menjadi dewa ketika setelah kematiannya,
seorang wartawan bernama Jon Krakauer (yang juga selamat dari bencana
Gunung Everest tahun 1996) menulis dua buku untuk mengenang kisah
hidupnya yang teramat tragis, yakni “Death of an Innocent"
pada 1993 dan “Into the Wild” pada 1996. Teranyar, kisahnya
diangkat ke dalam film “Into The Wild” pada tahun 2007 dan
dibintangi oleh Emile Hirsch. Buku-buku dan film itu sukses
“meromantiskan” gaya hidupnya yang mendamba kebebasan dan
mencintai alam hingga iapun menjadi pujaan kaum muda di Amerika kala
itu. Hingga kini, banyak anak muda yang rela mengikuti trek yang sama
ke Alaska untuk berziarah ke bus dimana sosok inspiratif mereka itu
meninggal, yang kini disebut dengan “Magic Bus”.
Namun
tak semua orang simpatik pada nasib malang Chris. Penduduk asli
Alaska, diwakili ranger bernama Peter Christian mengatakan bahwa pada
dasarnya, “Chris melakukan bunuh diri.”, sesuatu yang diamini
oleh orang-orang yang kontra dengan pandangan hidup Chris.
Namun
satu pertanyaan tertinggal, apa sebenarnya yang menyebabkan Chris
menjadi seorang pemuda yang ingin melepaskan diri dari keramaian dan
tinggal menyatu dengan alam, walaupun mimpinya itu akhirnya
membunuhnya? Apakah karena kepolosannya, kenaifannya, atau hasratnya
yang tak terbendung untuk mencintai alam? Ataukah ada alasan lain?
Pertanyaan
itu dijawab dengan amat mengejutkan oleh adik kandung Chris. Mungkin
kalian masih ingat di awal artikel ini, Chris memiliki seorang adik
bernama Carine. Pada tahun 2014 yang ia menerbitkan sebuah memoir
berjudul “The Wild Truth” dimana ia membuat pengakuan penuh plot
twist. Ia menceritakan pengalaman kelam masa kecilnya dimana ia dan
kakaknya, Chris, kerap mengalami siksaan, baik secara verbal, fisik,
hingga seksual dari kedua orang tuanya yang merupakan pecandu
alkohol. Siksaan demi siksaan yang ia terima dalam keluarga yang
seharusnya mengayomi dan melindunginya itulah yang menyebabkannya tak
pernah lagi mempercayai manusia dan akhirnya membuatnya ingin
“lenyap” ke alam yang tak tersentuh siapapun.
Permintaan
yang akhirnya terwujud hingga akhir hayatnya.
Sumber: Wikipedia
Horee bang dave update lagi, dan dengan konten yang saya suka soal kasus2 mengerikan
ReplyDeleteBtw bang dave boleh request bedah kasus yang ada di buku "into the void" gak? Lupa soal apa tapi soal pendakian juga sih
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBang Dave, kalo gk salah ceritanya pernah dibahas di On The Spot Trans7 deh (Gk tahu tahun berapaan)
ReplyDeleteplot twist in real life
ReplyDeleteIbarat liat cameo di film, gak nyangka Jon Krakauer bakal nongol lagi di artikel ini... :D
ReplyDeleteMagic bus nya sekarang sudah dipindah
ReplyDeleteIni ada filmnya. Judulnya Into the Wild.
ReplyDelete