Wednesday, November 20, 2019

DEATH OF AN INNOCENT: KISAH TRAGIS CHRIS MC CANDLESS, SANG PECINTA ALAM IDEALIS



Kisah Chris McCandless adalah salah satu cerita yang sempat membuat gue shock ketika membacanya. Berbeda dengan kisah kekejaman pembunuh berantai atau hal-hal lain yang biasa gue angkat di sini, yang membunuhnya adalah idealisme sendiri, kecintaan terhadap alam yang terlalu ekstrim, hingga kejamnya sang “mother nature” sendiri. Chris memulai perjalanannya ke pedalaman Alaska, Amerika Utara, pada 1992 pada usia 24 tahun. Saat itu ia tak menyadari bahwa ia takkan pernah pulang dalam keadaan hidup-hidup. Kisahnya cukup menarik untuk diikuti karena seakan bisa menjadi pengingat, betapa idealisme anak muda yang indah kadang berbenturan dengan kejamnya kenyataan.

Dear readers, inilah Dark Case kali ini.


Foto keluaga Chris McCandless


Pemuda bernama lengkap Christopher Johnson McCandless ini lahir pada 12 Februari 1968 (jika masih hidup mungkin sekarang ia berusia 51 tahun dan sudah berkeluarga). Ia lahir dari pasangan Wilhelmina dan Walter McCandless dan memiliki seorang adik perempuan bernama Carine. Pada 1976, keluarga mereka pindah dari California ke Virginia setelah ayahnya mendapat pekerjaan di NASA . Pada 1986 ia lulus SMA dimana di sana ia dikenal sebagai kapten dari tim “cross country”, sebuah klub lari dan pecinta alam.

Chris lulus dari kampusnya dari Enory University pada 1990 dan mendapatkan gelar sarjana di bidang sejarah dan antropologi. Namun setelah lulus, ia lebih memilih mengejar gaya hidup “back to nature” karena memang dikenal sangat menggemari kegiatan outdoor. Ia sempat menghabiskan waktunya untuk menjejalahi Colorado River dengan trekking dan menaiki kano, hingga akhirnya ia memutuskan untuk mencari petualangan yang lebih liar ke Alaska. Perlu diketahui bahwa Alaska, negara bagian termuda di Amerika Serikat, masih memiliki alam yang masih belum terjamah karena letaknya yang jauh di utara.


Pada tahun April 1992, ia memutuskan untuk hitch-hike ke kota Fairbanks, Alaska. Kala itu seorang penduduk lokal bernama Jim Gallien memberinya tumpangan menuju Stampede Trail dimana Chris akan memulai perjalanannya. Saat itu, Chris menyembunyikan identitas aslinya dan mengaku bernama Alexander Supertramp. Mendengar rencana “gila” Chris untuk hidup di pedalaman Alaska yang masih liar, terutama setelah melihat tasnya yang terlihat ringan dengan perbekalan yang tak memadai, Jim menjadi cemas. Kala itu Chris hanya membawa 4,5 kilogram beras dan sebuah senapan berburu. Ia juga membawa serta beberapa buku, sebuah kamera, dan peralatan kemping. Ia merasa tak yakin Chris, terutama dengan usia muda dan pengalamannya yang kurang, akan mampu bertahan hidup di kerasnya alam Alaska.

Jim berulang kali meminta Chris untuk membatalkan rencananya, namun pemuda itu tetap saja ngotot. Bahkan pria itu sampai menawarinya kembali ke Anchorage, ibu kota Alaska, untuk membeli perlengkapan dan persediaan makanan yang lebih lengkap, namun Chris tetap menolak. Jim akhirnya menyerah dan hanya bisa memberikan dua sandwich sebagai bekal, yang kemudian diterima dengan senang hati oleh Chris. Jim kemudian meninggalkannya karena yakin, setelah beberapa hari anak muda itu akhirnya menyerah lalu kembali ke peradaban.

Jim sama sekali tidak tahu, bahwa ia akan menjadi orang terakhir yang melihat Chris dalam keadaan hidup.


Setelah hiking melintasi Stampede Rail dan menyeberangi sebuah sungai, Chris melihat sebuah bus yang terbengkalai di dekat Denali National Park. Ia kemudian menggunakannya sebagai tempat tinggalnya. Ia kemudian menghabiskan hari-harinya membaca dan berburu dengan senapannya. Makanannya sehari-hari adalah buah-buahan dan tanaman yang ia peroleh dari hutan, serta hewan-hewan yang berhasil ia tangkap seperti kelinci, tupai, dan burung. Pada suatu saat ia berhasil menembak seekor moose (rusa kutub), namun karena kurangnya pengetahuan dalam mengawetkan daging buruan, akhirnya sumber makanannya itupun membusuk.

Chris mencatat dengan rinci hari-hari yang dilaluinya dalam sebuah diari dan terkadang mengabadikan dirinya menggunakan kamera. Dalam tiap fotonya, Chris yang tubuhnya mulai kurus, selalu tersenyum, karena gaya hidupnya yang bebas di alam inilah yang selalu ia damba-dambakan.

Akhirnya setelah tinggal di bus tersebut selama dua bulan, pada bulan Juni ia memutuskan kembali ke peradaban. Sayangnya, Sungai Teklanika yang awalnya ia lewati dengan mudah, kini mengalami banjir musiman sehingga tak bisa lagi dilalui, sesuatu yang sama sekali tak ia persiapkan. Celakanya lagi, Chris tak memegang peta wilayah itu sehingga ia tak sadar bahwa kurang dari 1 mil dari tempatnya berada, sebenarnya ada jalur yang bisa ia gunakan untuk menyeberang.

Chris yang putus asa akhirnya memutuskan kembali ke bus dan memasang tanda SOS, berharap seseorang menemukan dan menyelamatkannya.

Hari demi hari terus berlalu, namun Chris tetaplah sendirian di tempat itu. Tak ada seorangpun datang menolongnya. Diarinya masih terisi hingga hari ke 107, dimana ia hanya menulis “buah beri biru yang amat indah”. Pada halaman hari 108 hingga 112 hanya terlihat coret-coretan tanpa kata-kata bermakna. Akhirnya, pada hari ke-113, diari itu berakhir, kosong.

Pada 6 September 1992, ketika petang mulai merayap, sekelompok pemburu berusaha mencari tempat berlindung sebelum malam menyergap. Mereka menemukan sebuah bus terbengkalai dan ketika mereka masuk, mereka terkesiap. Tercium bau tak sedap dari arah sebuah sebuah sleeping bag. Mereka menemukan tubuh Chris McCandless, kini telah membusuk. Dipercaya bahwa ia telah meninggal dua minggu sebelumnya karena kelaparan.

Apakah yang terjadi dengan pemuda pecinta alam yang idealis? Apa yang menyebabkannya akhirnya menemui ajal?

Ada beberapa teori mengapa Chris, seorang pemuda yang masih berusia 24 tahun, akhirnya meninggal kelaparan setelah memutuskan tinggal di dalam hutan. Alasan utamanya tentu kurangnya pengalaman untuk hidup sendirian dengan hanya mengandalkan alam. Sebagian besar makanannya adalah kelinci, dimana celakanya, dagingnya sesungguhnya kurang bergizi. Sebuah fenomena bernama “rabbit starvation” menjelaskan bahwa apabila seseorang hanya mengandalkan daging kelinci terus-menerus untuk bertahan hidup, maka secara ironis, akhirnya ia akan mati kelaparan. Penyebabnya adalah rasio protein dan lemak pada daging kelinci yang amat tak seimbang. Daging kelinci memang tinggi protein, namun hanya 8% yang mengandung lemak. Sangat kontras bila dibandingkan 30% lemak pada daging sapi dan 20% pada daging ayam. Kekurangan lemak itulah yang bisa berakibat fatal.

Namun petunjuk lain tentang kematiannya terletak pada diarinya. Tertulis makanan terakhir yang ia santap dan banyak yang curiga bahwa biji dari buah yang ia makan sesungguhnya beracun dan mengakibatkan kelumpuhan. Racun tersebut sebenarnya tidaklah berakibat fatal apabila dikonsumsi oleh orang bertubuh sehat. Namun kondisi Chris kala itu sudah terlalu lemah karena kekurangan gizi, sehingga racun yang ia telan pun berdampak lebih mengerikan. Akibat kelumpuhan itu, ia akhirnya tak mampu bergerak, apalagi berburu atau mencari makan.

Selama berhari-hari, akhirnya ia menderita secara perlahan-lahan hingga akhirnya maut berbaik hati menjemputnya.

Nama Chris McCandless menjelma menjadi dewa ketika setelah kematiannya, seorang wartawan bernama Jon Krakauer (yang juga selamat dari bencana Gunung Everest tahun 1996) menulis dua buku untuk mengenang kisah hidupnya yang teramat tragis, yakni “Death of an Innocent" pada 1993 dan “Into the Wild” pada 1996. Teranyar, kisahnya diangkat ke dalam film “Into The Wild” pada tahun 2007 dan dibintangi oleh Emile Hirsch. Buku-buku dan film itu sukses “meromantiskan” gaya hidupnya yang mendamba kebebasan dan mencintai alam hingga iapun menjadi pujaan kaum muda di Amerika kala itu. Hingga kini, banyak anak muda yang rela mengikuti trek yang sama ke Alaska untuk berziarah ke bus dimana sosok inspiratif mereka itu meninggal, yang kini disebut dengan “Magic Bus”.


Namun tak semua orang simpatik pada nasib malang Chris. Penduduk asli Alaska, diwakili ranger bernama Peter Christian mengatakan bahwa pada dasarnya, “Chris melakukan bunuh diri.”, sesuatu yang diamini oleh orang-orang yang kontra dengan pandangan hidup Chris.

Namun satu pertanyaan tertinggal, apa sebenarnya yang menyebabkan Chris menjadi seorang pemuda yang ingin melepaskan diri dari keramaian dan tinggal menyatu dengan alam, walaupun mimpinya itu akhirnya membunuhnya? Apakah karena kepolosannya, kenaifannya, atau hasratnya yang tak terbendung untuk mencintai alam? Ataukah ada alasan lain?

Pertanyaan itu dijawab dengan amat mengejutkan oleh adik kandung Chris. Mungkin kalian masih ingat di awal artikel ini, Chris memiliki seorang adik bernama Carine. Pada tahun 2014 yang ia menerbitkan sebuah memoir berjudul “The Wild Truth” dimana ia membuat pengakuan penuh plot twist. Ia menceritakan pengalaman kelam masa kecilnya dimana ia dan kakaknya, Chris, kerap mengalami siksaan, baik secara verbal, fisik, hingga seksual dari kedua orang tuanya yang merupakan pecandu alkohol. Siksaan demi siksaan yang ia terima dalam keluarga yang seharusnya mengayomi dan melindunginya itulah yang menyebabkannya tak pernah lagi mempercayai manusia dan akhirnya membuatnya ingin “lenyap” ke alam yang tak tersentuh siapapun.

Permintaan yang akhirnya terwujud hingga akhir hayatnya.

Sumber: Wikipedia




7 comments:

  1. Horee bang dave update lagi, dan dengan konten yang saya suka soal kasus2 mengerikan

    Btw bang dave boleh request bedah kasus yang ada di buku "into the void" gak? Lupa soal apa tapi soal pendakian juga sih

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Bang Dave, kalo gk salah ceritanya pernah dibahas di On The Spot Trans7 deh (Gk tahu tahun berapaan)

    ReplyDelete
  4. Ibarat liat cameo di film, gak nyangka Jon Krakauer bakal nongol lagi di artikel ini... :D

    ReplyDelete
  5. Magic bus nya sekarang sudah dipindah

    ReplyDelete
  6. Ini ada filmnya. Judulnya Into the Wild.

    ReplyDelete