Sunday, January 26, 2020

MISTERI ROLLING ACRES MALL: PETAKA MALL TERKUTUK



Zaman gue pas masih muda (sebenarnya sekarang juga masih kok) mall dianggap sebagai tempat paling “kekinian” kala itu. Anak-anak muda dianggap masih belum “g40el” kalo belum nongkrong ama sohib-sohibnya di mall. Kala itu emang mall emang nggak hanya menjadi lokasi berbelanja saja, namun juga tempat kongkow-kongkow yang ngehits. Tapi sekarang semenjak online shopping merebak, orang-orang makin mager untuk pergi ke mall. Ngapain pergi keluar (apalagi jika harus menerjang macet ama banjir jika kalian orang Jakarta) kalo kalian bisa dengan mudah klik sana klik sini di aplikasi hape sambil tiduran di rumah dan barang pesanan kalian langsung dikirim dalam hari yang sama deh ama abang Go-send yang ramah-ramah?

Yap, mall di berbagai belahan dunia (nggak hanya di Indonesia) tengah mengalami apa yang disorot publik dan media sebagai “retail apocalypse”. Di negara segede Amrik sendiri yang menjadi trend fashion dan perbelanjaan, sebanyak 25% mall yang ada sudah terpaksa gulung tikar akibat kehilangan pelanggannya.

Namun mall yang satu ini tutup nggak hanya karena perubahan selera konsumen saja dan perkembangan zaman saja, melainkan karena tragedi mengerikan yang menimpanya secara bertubi-tubi. Tercatat kematian demi kematian menggentayangi mall bereputasi kelam di Amerika Serikat ini, bahkan sempat menjadi sarang seorang pembunuh berantai. Apakah penyebabnya? Apakah semuanya kebetulan ataukah ada kutukan mengerikan yang menghantuinya?

Dark Case kali ini akan membahas sejarah kelam Rolling Acres Mall di Akron, Ohio.

Seperti inilah bagian dalam mall ini pada masa kejayaannya

Ketika selesai dibangun pada 1975, Rolling Acres Mall diharapkan mampu menggenjot roda perekonomian kota Akron di Ohio, Amerika Serikat, sekaligus menjadi destinasi perbelanjaan penduduknya. Tak main-main, sebelum dibuka saja sudah ada perusahaan retail terkemuka Amrik, yakni Sears, dan 60 toko lain yang berniat membuka usaha di mall tersebut. Pada akhir 1975, mall berbiaya 100 juta dollar itu bahkan sudah dihuni oleh 120 tenant, pertanda sukses besar. Setahun kemudian, sebuah bioskop bernama “Rolling Acres Cinema” dibuka dan langsung menjadi pusat atraksi utama yang menarik atensi para kaum muda untuk membanjiri mall tersebut.

Namun sayang, puncak kejayaan mall tersebut hanya sampai era 80-an saja. Pada tahun 90-an, pamor mall tersebut mulai menurun. Renovasi besar-besaran pun dilakukan untuk menarik minat orang-orang untuk kembali berbelanja di tempat itu. Tentu saja renovasi yang meliputi perombakan habis-habisan, baik interior maupun eksterior mall, belum lagi penataan taman, menghabiskan biaya yang luar biasa besar.

Salah satu usaha pengelola mall untuk menghemat pengeluaran adalah dengan memangkas gaji para petugas keamanan. Alih-alih menggunakan mantan polisi sebagai penjaga keamanan, mereka menyewa satpam dengan kualifikasi yang tentu lebih rendah. Menurunnya level keamanan inilah yang nanti akan menjadi “butterfly effect” yang meruntuhkan nama baik mall ini, bahkan memakan satu demi satu korban jiwa.

Pada 1991, sebuah insiden yang sebenarnya tak memakan korban jiwa, menjadi “embrio” kekacauan yang akhirnya menggerogoti reputasi mall ini. Kala itu, saat premiere sebuah film Hollywood di bioskop Rolling Acre Cinema, dua orang pengunjung terlibat perkelahian sengit. Para movie goers yang kala itu ramai memadati bioskop menjadi panik dan berhamburan keluar setelah salah satunya mendengar suara letusan tembakan. Sebenarnya kala itu yang terdengar adalah sebuah pipa besi yang jatuh akibat pertengkaran tersebut. Namun insiden “salah dengar” itu cukup untuk membuat para pelanggan bioskop itu takut untuk berkunjung kembali.


Pengelola bioskop yang resah karena animo pengunjung yang semakin menurun akhirnya mendiskon habis-habisan harga tiket menjadi sekitar 99 sen. Namun lagi-lagi langkah ini justru berdampak buruk. Tak dianya, hal ini justru menarik para gelandangan dan juga kaum urban (bahasa kerennya buat orang-orang “kismin”) untuk membanjiri mall tersebut. Bukannya bersikap rasis atau apa, namun golongan “urban” di Amrik kala itu identik dengan hal-hal berbau kriminal dan juga penggunaan narkoba. Para tenant semakin resah dengan kaum “urban” yang berkeliaran, bahkan mulai membentuk geng dan memakai narkoba di sekitar mall. Sebagai contoh, ada pengunjung yang dirampok kala ia tengah berjalan ke lapangan parkir dan ada lagi satu kasus dimana seorang gelandangan menumpang hidup di sebuah toko yang kosong, bahkan mencuri barang-barang dari toko lain.

Hal itu memicu para tenant untuk mulai keluar dan Rolling Acre Mall dan memindahkan usahanya ke tempat lain. Sebuah koran lokal bahkan mengangkat cerita tentang mall itu dan menyebutkan bahwa “banyak kejahatan terjadi di sana”. Akibat pemberitaan buruk itu, hanya tersisa 65% tenant yang masih bertahan di tempat itu pada.

Namun ini belumlah puncaknya. Kota Akron, Ohio yang awalnya cukup adem ayem suatu hari dikejutkan dengan penemuan mayat dua gadis di area belakang mall tersebut. Keduanya, mahasiswi bernama Wendy Offredo dan Dawn McCreery ditemukan tewas dengan tanda “X” diukir di daging perut mereka. Polisi kemudian menangkap dua remaja bernama Richard Wade Cooey dan Clinton Dickens, sebagai pelakunya. Pengakuan mereka benar-benar membuat bulu kuduk berdiri. Mereka mengaku memperkosa, menusuk, dan menyiksa kedua gadis itu selama tiga setengah jam, sebelum akhirnya membunuh mereka dengan cara dicekik dan dihantam kepalanya. Tak lupa, mereka menyisakan sebuah simbol “X”, mungkin sebagai signature mereka sebagai “calon” pembunuh berantai. Beruntung, aksi mereka terungkap sebelum mereka sempat mengumbar kejahatan lain.

Yang mengejutkan, mereka kala itu masih berumur 19 dan 17 tahun, namun sanggup melakukan kejahatan sekeji itu.

Tentu kita berharap kematian itu menjadi satu-satunya tragedi buruk di mall tersebut. Namun sayangnya tidak. Selang beberapa tahun, di lokasi yang sama, di belakang mall tersebut, lagi-lagi mayat lain ditemukan. Kali ini pria lokal bernama Timothy Kern ditemukan tewas tertembak dan yang mengejutkan, ia menjadi korban aksi pembunuhan berantai. Modus operandinya sama, yakni “merayu” para korbannya dengan cara menawari pekerjaan melalui iklan Craiglist. Karena menggunakan situs terkenal tersebut, sang pembunuh berantai dijuluki media sebagai “Craiglist Killer”.

Sama mengejutkannya seperti kasus pertama, identitas sang pembunuh berantai terungkap sebagai Brogan Rafferty, seorang remaja SMA yang masih berusia 17 tahun.

Siapa sangka remaja ini adalah seorang pembunuh berantai yang kejam 
dan menggunakan mall terkutuk itu sebagai lokasi kejahatannya

Entah kebetulan atau tidak, namun kematian beruntun yang luar biasa sadis tersebut cukup untuk membuat para penghuni dan pelanggan mall tersebut menjadi takut bahwa mall tersebut dikutuk. Mudah dipahami jika toko-toko yang tadinya mengais rejeki di mall tersebut akhirnya memutuskan angkat kaki. Pada 2008, tercatat hanya tertinggal 8 tenant yang akhirnya juga memutuskan minggat setelah listrik mall itu diputus karena pihak pengelola mall tak mampu lagi membayar tagihannya. Pemilik mall akhirnya mencoba langkah terakhir untuk menutup kerugian, yakni melelang mall teresebut. Namun lagi-lagi karena kematian demi kematian yang pernah terjadi di sana, tak ada satupun yang sudi membelinya.

Bahkan setelah mall itu tutup, malaikat maut seakan masih belum mau diusir dari mall tersebut. Pada 2011, memanfaatkan kondisinya yang kosong melompong ditinggal penghuninya, seorang pria berniat mencuri kabel tembaga di mall tersebut. Namun naas, ia malah tersetrum dan akhirnya tewas di tempat. Bahkan ketika para pemadam kebakaran kala itu tiba dan menemukannya, mereka melihat tubuhnya masih terbakar.


Rollin Acres Mall pada masa kejayaannya dan kini

Kapankah kutukan Rolling Acres Mall berhenti? Apakah setiap orang yang berani memang memasukinya ditakdirkan mati? Apakah mall ini menarik jiwa-jiwa tersesat dan mengubah mereka menjadi psikopat gila? Ataukah semua ini hanyalah kebetulan karena kesalahan manajemen dari mall yang dulunya makmur ini? Entah, apapun jawabannya, yang pasti mall ini menjadi salah satu tempat paling dihindari di Amerika Serikat (tapi udah kebayang gimana akibatnya kalo ada YouTubers yang cari konten dengan menjelajahi mall berhantu itu, kacau deh).

NB: setelah menyelesaikan artikel ini, gue melihat upload dari seorang YouTubers bernama Dan Bell yang memang spesialis meninjau dan merekam mall-mall yang terbengkalai. Alhasil, ia malah diamankan polisi. Ini menunjukkan betapa polisi serius menutup semua akses untuk memasuki mall tersebut. Takut kutukannya mungkin?

Sumber: Wikipedia


10 comments:

  1. Bang, di bandung katanya ada mall yg tutupnya jam 6 sore ya...?
    Boleh direview lah bang

    ReplyDelete
  2. Horee bang dave update lagi setelah sekian lama :D

    ReplyDelete
  3. Replies
    1. wkwkwk sabar ya. gue nemu blog yg isinya riddle yg bermutu, nanti gw share

      Delete
  4. Memang lebih baik ditutup sih mungkin fengshuinya tidak bagus setelah direnovasi dan ketinggalan zaman 🤔

    ReplyDelete
  5. Sayang bgt ya tempat sebagus itu, lahannya juga sayang :((

    ReplyDelete
  6. Desain dalemnya ngingetin sama mall grand galaxy park bekasi. Jadi serm

    ReplyDelete