Zaman gue pas masih muda (sebenarnya sekarang
juga masih kok) mall dianggap sebagai tempat paling “kekinian” kala itu.
Anak-anak muda dianggap masih belum “g40el” kalo belum nongkrong ama
sohib-sohibnya di mall. Kala itu emang mall emang nggak hanya menjadi lokasi
berbelanja saja, namun juga tempat kongkow-kongkow yang ngehits. Tapi sekarang
semenjak online shopping merebak, orang-orang makin mager untuk pergi ke mall.
Ngapain pergi keluar (apalagi jika harus menerjang macet ama banjir jika kalian
orang Jakarta) kalo kalian bisa dengan mudah klik sana klik sini di aplikasi
hape sambil tiduran di rumah dan barang pesanan kalian langsung dikirim dalam
hari yang sama deh ama abang Go-send yang ramah-ramah?
Yap, mall di berbagai belahan dunia (nggak hanya
di Indonesia) tengah mengalami apa yang disorot publik dan media sebagai
“retail apocalypse”. Di negara segede Amrik sendiri yang menjadi trend fashion
dan perbelanjaan, sebanyak 25% mall yang ada sudah terpaksa gulung tikar akibat
kehilangan pelanggannya.
Namun mall yang satu ini tutup nggak hanya karena
perubahan selera konsumen saja dan perkembangan zaman saja, melainkan karena
tragedi mengerikan yang menimpanya secara bertubi-tubi. Tercatat kematian demi
kematian menggentayangi mall bereputasi kelam di Amerika Serikat ini, bahkan
sempat menjadi sarang seorang pembunuh berantai. Apakah penyebabnya? Apakah
semuanya kebetulan ataukah ada kutukan mengerikan yang menghantuinya?
Seperti inilah bagian dalam mall ini pada masa kejayaannya
Ketika selesai dibangun pada 1975, Rolling Acres
Mall diharapkan mampu menggenjot roda perekonomian kota Akron di Ohio, Amerika
Serikat, sekaligus menjadi destinasi perbelanjaan penduduknya. Tak main-main,
sebelum dibuka saja sudah ada perusahaan retail terkemuka Amrik, yakni Sears,
dan 60 toko lain yang berniat membuka usaha di mall tersebut. Pada akhir 1975,
mall berbiaya 100 juta dollar itu bahkan sudah dihuni oleh 120 tenant, pertanda
sukses besar. Setahun kemudian, sebuah bioskop bernama “Rolling Acres Cinema”
dibuka dan langsung menjadi pusat atraksi utama yang menarik atensi para kaum
muda untuk membanjiri mall tersebut.
Namun sayang, puncak kejayaan mall tersebut hanya
sampai era 80-an saja. Pada tahun 90-an, pamor mall tersebut mulai menurun.
Renovasi besar-besaran pun dilakukan untuk menarik minat orang-orang untuk
kembali berbelanja di tempat itu. Tentu saja renovasi yang meliputi perombakan
habis-habisan, baik interior maupun eksterior mall, belum lagi penataan taman,
menghabiskan biaya yang luar biasa besar.
Salah satu usaha pengelola mall untuk menghemat
pengeluaran adalah dengan memangkas gaji para petugas keamanan. Alih-alih
menggunakan mantan polisi sebagai penjaga keamanan, mereka menyewa satpam
dengan kualifikasi yang tentu lebih rendah. Menurunnya level keamanan inilah
yang nanti akan menjadi “butterfly effect” yang meruntuhkan nama baik mall ini,
bahkan memakan satu demi satu korban jiwa.
Pada 1991, sebuah insiden yang sebenarnya tak
memakan korban jiwa, menjadi “embrio” kekacauan yang akhirnya menggerogoti
reputasi mall ini. Kala itu, saat premiere sebuah film Hollywood di bioskop
Rolling Acre Cinema, dua orang pengunjung terlibat perkelahian sengit. Para
movie goers yang kala itu ramai memadati bioskop menjadi panik dan berhamburan
keluar setelah salah satunya mendengar suara letusan tembakan. Sebenarnya kala
itu yang terdengar adalah sebuah pipa besi yang jatuh akibat pertengkaran
tersebut. Namun insiden “salah dengar” itu cukup untuk membuat para pelanggan
bioskop itu takut untuk berkunjung kembali.
Pengelola bioskop yang resah karena animo
pengunjung yang semakin menurun akhirnya mendiskon habis-habisan harga tiket
menjadi sekitar 99 sen. Namun lagi-lagi langkah ini justru berdampak buruk. Tak
dianya, hal ini justru menarik para gelandangan dan juga kaum urban (bahasa
kerennya buat orang-orang “kismin”) untuk membanjiri mall tersebut. Bukannya
bersikap rasis atau apa, namun golongan “urban” di Amrik kala itu identik
dengan hal-hal berbau kriminal dan juga penggunaan narkoba. Para tenant semakin
resah dengan kaum “urban” yang berkeliaran, bahkan mulai membentuk geng dan
memakai narkoba di sekitar mall. Sebagai contoh, ada pengunjung yang dirampok
kala ia tengah berjalan ke lapangan parkir dan ada lagi satu kasus dimana
seorang gelandangan menumpang hidup di sebuah toko yang kosong, bahkan mencuri
barang-barang dari toko lain.
Hal itu memicu para tenant untuk mulai keluar dan
Rolling Acre Mall dan memindahkan usahanya ke tempat lain. Sebuah koran lokal
bahkan mengangkat cerita tentang mall itu dan menyebutkan bahwa “banyak
kejahatan terjadi di sana”. Akibat pemberitaan buruk itu, hanya tersisa 65%
tenant yang masih bertahan di tempat itu pada.
Namun ini belumlah puncaknya. Kota Akron, Ohio
yang awalnya cukup adem ayem suatu hari dikejutkan dengan penemuan mayat dua
gadis di area belakang mall tersebut. Keduanya, mahasiswi bernama Wendy Offredo
dan Dawn McCreery ditemukan tewas dengan tanda “X” diukir di daging perut
mereka. Polisi kemudian menangkap dua remaja bernama Richard Wade Cooey dan
Clinton Dickens, sebagai pelakunya. Pengakuan mereka benar-benar membuat bulu
kuduk berdiri. Mereka mengaku memperkosa, menusuk, dan menyiksa kedua gadis itu
selama tiga setengah jam, sebelum akhirnya membunuh mereka dengan cara dicekik
dan dihantam kepalanya. Tak lupa, mereka menyisakan sebuah simbol “X”, mungkin
sebagai signature mereka sebagai “calon” pembunuh berantai. Beruntung, aksi
mereka terungkap sebelum mereka sempat mengumbar kejahatan lain.
Yang mengejutkan, mereka kala itu masih berumur
19 dan 17 tahun, namun sanggup melakukan kejahatan sekeji itu.
Tentu kita berharap kematian itu menjadi satu-satunya tragedi buruk di mall tersebut. Namun sayangnya tidak. Selang beberapa tahun, di lokasi yang sama, di belakang mall tersebut, lagi-lagi mayat lain ditemukan. Kali ini pria lokal bernama Timothy Kern ditemukan tewas tertembak dan yang mengejutkan, ia menjadi korban aksi pembunuhan berantai. Modus operandinya sama, yakni “merayu” para korbannya dengan cara menawari pekerjaan melalui iklan Craiglist. Karena menggunakan situs terkenal tersebut, sang pembunuh berantai dijuluki media sebagai “Craiglist Killer”.
Sama mengejutkannya seperti kasus pertama,
identitas sang pembunuh berantai terungkap sebagai Brogan Rafferty, seorang
remaja SMA yang masih berusia 17 tahun.
Siapa sangka remaja ini adalah seorang pembunuh berantai yang kejam
dan menggunakan mall terkutuk itu sebagai lokasi kejahatannya
Entah kebetulan atau tidak, namun kematian
beruntun yang luar biasa sadis tersebut cukup untuk membuat para penghuni dan
pelanggan mall tersebut menjadi takut bahwa mall tersebut dikutuk. Mudah
dipahami jika toko-toko yang tadinya mengais rejeki di mall tersebut akhirnya
memutuskan angkat kaki. Pada 2008, tercatat hanya tertinggal 8 tenant yang
akhirnya juga memutuskan minggat setelah listrik mall itu diputus karena pihak
pengelola mall tak mampu lagi membayar tagihannya. Pemilik mall akhirnya mencoba
langkah terakhir untuk menutup kerugian, yakni melelang mall teresebut. Namun
lagi-lagi karena kematian demi kematian yang pernah terjadi di sana, tak ada
satupun yang sudi membelinya.
Bahkan setelah mall itu tutup, malaikat maut
seakan masih belum mau diusir dari mall tersebut. Pada 2011, memanfaatkan
kondisinya yang kosong melompong ditinggal penghuninya, seorang pria berniat
mencuri kabel tembaga di mall tersebut. Namun naas, ia malah tersetrum dan
akhirnya tewas di tempat. Bahkan ketika para pemadam kebakaran kala itu tiba
dan menemukannya, mereka melihat tubuhnya masih terbakar.
Rollin Acres Mall pada masa kejayaannya dan kini
Kapankah kutukan Rolling Acres Mall berhenti?
Apakah setiap orang yang berani memang memasukinya ditakdirkan mati? Apakah
mall ini menarik jiwa-jiwa tersesat dan mengubah mereka menjadi psikopat gila?
Ataukah semua ini hanyalah kebetulan karena kesalahan manajemen dari mall yang
dulunya makmur ini? Entah, apapun jawabannya, yang pasti mall ini menjadi
salah satu tempat paling dihindari di Amerika Serikat (tapi udah kebayang
gimana akibatnya kalo ada YouTubers yang cari konten dengan menjelajahi mall
berhantu itu, kacau deh).
NB: setelah menyelesaikan artikel ini, gue
melihat upload dari seorang YouTubers bernama Dan Bell yang memang spesialis meninjau dan merekam
mall-mall yang terbengkalai. Alhasil, ia malah diamankan polisi. Ini
menunjukkan betapa polisi serius menutup semua akses untuk memasuki mall
tersebut. Takut kutukannya mungkin?
Sumber: Wikipedia
males evakuasi lagi mungkin
ReplyDeleteBang, di bandung katanya ada mall yg tutupnya jam 6 sore ya...?
ReplyDeleteBoleh direview lah bang
emang kenapa kalo tutup jam 6 sore, gan?
DeleteHoree bang dave update lagi setelah sekian lama :D
ReplyDeletebang dave riddle donggg
ReplyDeletewkwkwk sabar ya. gue nemu blog yg isinya riddle yg bermutu, nanti gw share
DeleteMemang lebih baik ditutup sih mungkin fengshuinya tidak bagus setelah direnovasi dan ketinggalan zaman 🤔
ReplyDeleteMemang udah sial aja takdirnya itu
DeleteSayang bgt ya tempat sebagus itu, lahannya juga sayang :((
ReplyDeleteDesain dalemnya ngingetin sama mall grand galaxy park bekasi. Jadi serm
ReplyDelete