Haaah???!!! RL Stine nerbitin novel Fear Street terbarunya setelah sekian lama hiatus??? Gue langsung excited alias girang nggak ketulungan pas dengernya. Jujur aja RL Stine adalah novelis favorit gue *dan gue yakin favorit banyak orang juga yang seumuran ama gue* Novel-novel pendeknya yakni “Goosebumps” mewarnai masa kanak-kanak gue dan masa remaja gue juga diperindah ama novel-novel “Fear Street” yang keren abis itu. Tekniknya membuat plot twist yang brilian emang salah satu alasan kenapa novel-novel RL Stine selalu sukses. Pokoknya kalian yang lahir tahun 80-an atau 90-an dan sempet baca novela-novela ini, you're a damn lucky bastard!!!
Tapi pas gue denger kabar bahwa RL Stine akan memulai kiprahnya kembali, gue sempet mikir, bukannya kakek yang satu ini udah uzur ya? Dulu pas gue masih SD aja fotonya dah keliatan tuwir banget, apalagi sekarang. Dan pertanyaan yang keluar di benak gue lagi, apakah “Fear Street” terbaru ini masih menganut gaya yang lama seperti puluhan tahun lalu ataukah berevolusi mengikuti perkembangan zaman? Sayangnya, setelah gue menamatkan novel ini, jawaban yang gue dapat adalah: “Novel ini masih cheesy kayak yang dulu.”
Sayang sekali bagi kalian yang tertarik membaca “Game Party”, terjemahan Indonesia-nya belum keluar. Gue aja dapat novel ini setelah download versi e-pubnya di internet (cari aja, ada kok. Tapi jangan nyuruh gue kasi link-nya soalnya gue nggak menyeponsori pembajakan). Ringkasan ceritanya: “Game Party” berkisah tentang gadis bernama Rachel yang diam-diam naksir cowok bernama Brendan. Rachel bak ketiban durian runtuh *jedot dong kepalanya* ketika ia bersama sembilan remaja lainnya diundang ke pesta ultah Brendan di sebuah pulau terpencil. Namun celaka tiga belas, Brendan adalah anggota keluarga Fear, keluarga yang mendapat nama buruk di kota Shadyside sebab banyak yang mengatakan mereka diikuti oleh kutukan yang selamanya menghantui mereka.
Surprise buat kalian, Rachel ternyata bukan good girl juga kalok dipikir-pikir, soalnya dia udah punya cowok bernama Mac *wah nakal ya loe Rach* Akhirnya ia tetap memutuskan ikut ke pesta ulang tahun Brendan *biar bisa zelingkuh* walau banyak orang memperingatkannya agar membatalkan rencananya, mengingat masa lalu keluarga Fear yang teramat kelam. Dan ternyata peringatan itu benar adanya, sebab begitu pesta dimulai, satu demi satu para tamu ditemukan tewas. Dan bukan “Fear Street” namanya kalo nggak ada plot twist yang membuat segalanya ternyata tak seperti yang kita duga.
Oke guys ... saatnya review yang kejam dari gue hahaha *nyengir* Walaupun RL Stine adalah penulis favorit gue, tapi jujur gue kecewa abis ama novel ini. Gue sebenarnya berharap Simbah Stine bakal menyesuaikan gaya menulisnya dengan perkembangan zaman sekarang, namun ternyata beliau tetap mempertahankan style-nya yang dulu dipakainya untuk novel-novelnya yang kini udah berusia puluhan tahun. Banyak dialog-dialog yang cheesy dan menurut gue nggak masuk akal, kayak:
“Someone is definitely playing games with us,” Geena said. “Only ... Murder isn’t a game.”
Yup, cheesy banget kan? Gue jadi inget salah satu dialog yang bikin gue ngakak di salah satu seri “Fear Street” zaman gue remaja dulu, “Wrong Number”.
‘Do you mean to say that this whole thing began with a prank phone call?’ and Jade replies in a whisper: ‘And it ended in murder.’
Yeah right, a bit too dramatic huh? Like person in real world gonna say that.
Dialog cheesy sih sebenarnya nggak masalah buat gue, bisa menghibur malah dan gue bisa maklum kalo itu emang ciri khas Eyang Stine. Tapi ternyata plot twist cerita “Game Party” ini juga mengecewakan. Oke, emang make sense sih plot twistnya buat gue ... tapi aaaargh, ini membuat novel ini ternyata nggak seseru yang gue duga. Padahal premisnya dah keren banget: sekumpulan remaja diundang ke sebuah pulau dan terbunuh satu demi satu, mirip “And Then There Were None”-nya Agatha Christie.
Kemunculan kembali member keluarga Fear juga bikin gue kaget. Soalnya setau gue semua anggota keluarga Fear udah metong semua. tapi ternyata masih ada generasi yang masih hidup. Dan karakter mereka juga nggak di-explore dengan dalam, malah ada yang jadi figuran doang. Padahal Fear adalah trademark yang kuat. Kalo ada sosok keluarga Fear, gue bayangin dia adalah tokoh dengan kemampuan sihir dan juga jahat banget. Tapi di sini, tokohnya ternyata malah digambarkan sebagai remaja biasa. It’s just so not “Fear” ...
Salah satu ciri khas “Fear Street” besutan Simbah Stine adalah ending tiap chapter-nya yang nggantung banget. Dan kadang pas bagian nggantung itu dijelasin dengan cara yang konyol. Kayak gue inget ada di salah satu seri “Fear Street” (bukan “Game Party” yaaa), si cewek sembunyi di dalam lemari gara-gara dikejar pembunuh dan di dalam lemari dia nemu mayat ...
Bab kelar ....
Yang baca nahan napas ...
Lanjut ke bab berikutnya ...
Ternyata yang dikira kepala dengan rambut orang adalah mop alias alat pel. Gubrak! Di sini teknik kayak gitu masih sering diterapin. Nggak apa-apa sih, soalnya itu udah jadi ciri khas Eyang Stine juga. Tapi sebenarnya gue berharap gaya menulis Eyang Stine setelah hiatus setelah lama bakal memunculkan sesuatu yang baru dan fresh untuk remaja zaman sekarang.
Namun ada sih sisi positif dengan gaya menulis kuno Eyang Stine yang masih dipertahankan. Sejak dulu RL Stine membuat “Fear Street” sebagai bacaan yang aman ditaruh di rak perpus sekolah, dengan kata lain tidak ada unsur seksual atau pornografi di sini *paling banter adegan ciuman doang* Namun gue lihat, RL Stine mulai mencoba lebih “dewasa” di sini dengan memunculkan beberapa istilah bertema dewasa pula.
Jadi apa yang bisa gue simpulkan dari “Game Party”-nya RL Stine? Penokohannya amat datar, bahkan ada beberapa tokoh yang sebenarnya berpotensi tapi “dilupakan” begitu aja dan cuman jadi figuran doang. Ceritanya sebenarnya menarik, namun sayang eksekusinya mengecewakan. Mungkin kalo kalian ingin bernostalgia dengan karya-karya RL Stine, buku ini cocok. Tapi jika kalian pembaca baru, mungkin kalian pengen skip dulu. Ada banyak seri “Fear Street” jadul yang jauh lebih bagus dan “worth it” dari segi cerita maupun plot twist ketimbang “Game Party” ini.
Inilah penilaian gue terhadap karya RL Stine ini:
Penokohan/karakterisasi
Jalan cerita
Ending
Special award: life achievement award dan keputusan buat comeback setelah hibernasi sekian lama
Total 3,5 point untuk novel “Game Party” dari maksimal 5 tisu WC berdarah
Sorry Grandpa Stine ... but I still love you like I always do ... ditunggu karya-karya lanjutannya yaaa. Terima kasih udah menghiasi masa kanak-kanak dan remaja gue dengan karya-karya brilianmu :D
cuma perasaan gw, atau novel ini plotnya mirip bgt sama 10 anak negro?
ReplyDeleteah beda koq. baca aja deh *versi inggrisnya hiks*
Deletetapi walaupun diulang-ulang terus, plot ala "and then there were none" tetep seru koq
gw malah baca goose bump baru2 ini dave...soalnya masa kecil gw bergelut dgn kemiskinan cieeee bahasanya lagi....jangankan beli novel jajan aja susah...
ReplyDeleteaku suka bgt sama R.L.stine.. hampir semua buku2nya aku baca.. ampe nyari2 di tukang loak wktu jaman smp :D :D
ReplyDeletePas iseng buka2 majalah Bobo, ternyata ada kabar kalau.... GOOSEBUMPS ADA FILMNYA! lupa kapan nongolnya di bioskop, mungkin bentar lagi :)
ReplyDeleteOh ya Bang, selamat ya atas blog barunya yg TERJEBAK FRIENDZONE. moga2 kagak tragis nasibnya kayak blog SELIMUT TETANGGA
-AF-
udah keluar kali, gue aja dah nonton
Deletewaaah koq tau sih gue punya blog baru haha padahal kan nggak gue sebar luaskan. btw SELIMUT TETANGGA tuh gue buat cuman buat ngerjain anak2 Line pas April Mop koq