Setelah membahas duo penembak sekolah Eric Harris dan Dylan Kelbold serta si bengis berpaham ekstrim-kanan Anders, kini kita akan membahas salah satu penjahat terkejam dalam sejarah modern Australia. Martin Bryant adalah pelaku salah satu kejadian penembakan massal paling tragis dalam sejarah benua kanguru tersebut. Peristiwa yang terjadi antara 28-29 April 1996 tersebut dinamakan “Pembantaian Port Arthur” sesuai dengan nama lokasinya, Port Arthur, sebuah kawasan wisata sejarah di Tasmania. Yang membuat gue bergidik ngeri selain skala pembunuhannya yang sangat mengerikan (35 orang tewas), namun juga karena sang pelaku menunjukkan perilaku psikopatik sejati dimana ia sama sekali tak menyesali kebrutalan yang ia lakukan.
Melainkan ia amat membangga-banggakannya.
Dear readers, bersiaplah mendengar kisah yang amat memilukan hati ini.
Kisah ini dimulai pada tahun 1992. Kala itu, seorang pria bernama Martin Bryant yang masih berumur 25 tahun, tiba-tiba kaya mendadak setelah mendapat limpahan harta warisan dari salah seorang temannya yang kala itu meninggal mendadak karena kecelakaan mobil. Sekitar 570 ribu dolar (sekitar 805 juta rupiah) yang diperolehnya kala itu langsung digunakannya untuk berfoya-foya, termasuk untuk mengadakan perjalanan keliling dunia.
Cerita ini berlanjut pada ayah Martin yang ingin membeli sebuah properti menguntungkan di Port Arthur, Tasmania (pulau paling selatan di Australia) bernama Seascape. Jika memilikinya, maka properti itu akan berpotensi amat menguntungkan, mengingat Port Arthur merupakan destinasi wisata yang sering dikunjungi tak hanya turis domestik, melainkan mancanegara. Sayang sekali, properti tersebut telanjur dibeli oleh pasangan David dan Noelene Martin, saingannya kala itu.
Tak lama sesudah itu, ayah Martin mengalami depresi dan akhirnya bunuh diri.
Setelah kematian ayahnya, Martin menjadi dendam bukan kepalang pada suami istri tersebut. Ia menyalahkan mereka atas kematian ayahnya yang begitu disayanginya. Martin kemudian berubah menjadi pemabuk dan menggunakan sisa harta warisan yang diterimanya untuk membeli senjata api.
Pada 1995, Martin berniat bunuh diri. Namun sebelum itu, ia berjanji akan membalaskan dendam ayahnya sekaligus melampiaskan kemarahannya yang menumpuk selama bertahun-tahun. Iapun mulai merencanakan aksinya dan pada 28 April 1996, iapun melancarkannya.
PEMBANTAIAN DI SEASCAPE RESORT
Karena kekayaan sejarah dan juga keindahan alamnya, tak heran Port Arthur senantiasa dijejali wisatawan
Pagi itu, Martin bangun pada jam 6 pagi. Hal itu amatlah mengherankan bagi keluarganya, sebab Martin, yang tak pernah mengkhawatirkan kondisi finansialnya, apalagi bekerja, biasanya selalu bangun siang dan memiliki gaya hidup seenaknya. Pagi itu, mungkin keluarga Martin menganggap perubahan itu sebagai sesuatu yang positif, namun tak aa yang menduga apa yang akan dilakukan Martin berikutnya.
Brian pergi dari rumah sekitar jam 9 siang dan segera berangkat ke Seascape, sebuah resort yang seharusnya menjadi milik ayahnya. Target pertamanya tentu saja pasangan David dan Noelene. Martin kala itu memberondong masuk dan menembakkan senjatanya. Para tamu dan staf hotel tersebut kala itu segera kabur, namun David rupanya tak bisa lolos dari amukan Martin. Seolah tak puas, Martin kemudian menikam David hingga tewas.
Kala itu, sepasang tamu yang tak tahu menahu datang ke resort tersebut, berniat untuk menginap. Namun di sana mereka disambut Martin. Ia langsung saja mengusir dua tamu tersebut. Walaupun merasa tersinggung dengan perilaku kasar Martin tersebut, mereka kemudian tahu bahwa sesungguhnya mereka amatlah beruntung. Sebab, semua yang kemudian tak beruntung untuk bertemu dengan Martin pada hari itu akan meregang nyawa.
Sekitar jam 12, Martin akhirnya meninggalkan lokasi Seascape dan menuju ke Port Arthur Bay. Di sana, ia berperilaku seolah tak terjadi apa-apa, bahkan membayar bea masuk ke lokasi wisata tersebut. Di sana, ia kemudian memarkirkan mobilnya dan berjalan menuju sebuah restoran bernama Broad Arrow Café. Kala itu, seorang petugas keamanan melihat Martin membawa sebuah tas besar, tapi tak berfirasat apapun. Ia sama sekal tak tahu apa yang tengah pria itu bawa di dalam tasnya: senapan untuk menghabisi siapapun yang ia temui.
PEMBANTAIAN DI BROAD ARROW CAFE
Di dalam kafe, Martin memesan makan siang dan begitu selesai makan dan membereskan alat-alat makannya, ia langsung mengeluarkan senjata apinya dan menembaki tamu-tamu yang berada di dekatnya. Ia menembak dua wisatawan asal Malaysia yang berada di meja sampingnya, Moh Yee Ng dan Sou Leng Chung. Ia lalu menembak Mick Sargent dan kekasihnya, Elizabeth Scott hingga tewas. Ia mengubah mengarahkan senapannya ke arah seorang staf bernama Jason Winter. Iapun tewas, namun berhasil melindungi istrinya, Joanne, dan bayinya yang baru berumur 15 bulan, Mitchell, yang kebetulan berada di sana.
Seorang tamu bernama Anthony Nightingale berdiri karena mendengar suara tembakan. Iapin menjadi sasaran empuk Martin dan ditembak hingga tewas seketika. Iapun menembak Kevin Sharp, saudaranya yang bernama Raymond Sharp, dan teman mereka bernama Welter Bennet. Mereka adalah pria-pria sepuh berusia di atas 60 tahun dan kala itu berada membelakangi Martin, sehingga tak sadar akan apa yang terjadi. Merekapun langsung terbunuh seketika akibat aksi sniper Martin.
Martin kini mengincar pasangan suami istri Tony dan Sarah Kistan. Tony-pun tewas, namun sebelum tertembak ia berhasil mendorong istrinya ke bawah meja hingga Sarah-pun selamat. Martin juga membunuh seorang tamu bernama Andrew Mills dengan menembaknya tepat di kepala.
Martin kemudian berjalan melewati meja dimana Sarah tengah bersembunyi, sama sekali tak sadar akan keberadaannya di sana. Iapun mengincar Carolyn Loughton dan putrinya, yang juga bernama Sarah. Carolyn berusaha melindungi putrinya dengan melemparkan tubuhnya ke atas Sarah untuk menamenginya dari tembakan. Namun tragis, peluru tersebut menembus tubuh Carolyn dan tepat mengenai kepala sarah. Walaupun sang ibu sudha berusaha sekuatnya untuk melindungi anaknya, Sarah kecil akhirnya tewas.
Martin kemudian menembak mati tamu lain, Mervyn Howard. Seakan tak cukup, ia juga mengeksekusi istrinya, Mary Howard. Seolah sudah puas, iapun bergerak ke pintu exit, menuju ke toko suvenir yang terletak di dekat kafe. Dalam perjalanan keluar, Martin masih sempat menembak seorang pria bernama Robert Elliott yang kala itu mencoba kabur. Beruntung, Robert selamat dan hanya menderita luka-luka.
Secara keseluruhan, Martin menembakkan 17 peluru di kafe itu, membunuh 12 orang.
Dan semua itu terjadi hanya dalam selang waktu 15 detik.
PEMBANTAIAN DI TOKO SUVENIR
Martin bergerak menuju ke toko suvenir untuk melanjutkan aksi pembantaiannya. Kala itu, banyak dari para pengunjung kios itu bersembunyi karena mendengar suara tembakan dari dalam kafe. Namun di dalam, Martin sempat menembak mati dua gadis yang bekerja di toko tersebut, yakni Nicole Burgess dan Elizabeth Howard.
Coralee Lever, seorang tamu, bersembunyi sembari memangku mayat suaminya, Dennis, yang juga ditembak mati oleh Martin. Empat tamu lain, yakni Pauline Masters, Ronald Jary, serta Peter Nash dan istrinya Carolyn Nash berusaha mencoba keluar lewat pintu lain, namun pintu tersebut terkunci. Gwen Neander, yang berusaha kabur melalui pintu utama, kemudian ditembak mati oleh Martin.
Kala itu entah apa yang terjadi, namun Martin keluar dari toko suvenir itu dan kembali ke kafe. Kemudian ketika Martin kembali ke toko suvenir, ia memergoki empat tamu yang tadi hendak kabur melalui pintu. Martin kemudian membunuh Pauline, Ronald, dan Peter. Namun kala itu Peter menggunakan tubuhnya sendiri untuk menutupi tubuh istrinya, Carolyn, sehingga Martin tak melihatnya. Namun takdir kala itu seolah memang tak berkehendak agar Carolyn tewas saat itu. Kebetulan, walaupun tidak dilindungi mendiang suaminya-pun, Carolyn pasti akan selamat karena Martin telah kehabisan peluru.
Iapun meninggalkan toko suvenir setelah membunuh 8 orang serta melukai 2 korban lainnya. Total, ia kini telah menghabisi 20 orang.
Namun Martin masih berniat melanjutkan aksinya dan sama sekali tak berniat untuk berhenti.
PEMBANTAIAN DI TEMPAT PARKIR
Bekas toko suvenir dimana pembantaian pernah terjadi
Martin, sang pembunuh, kini bergerak ke lapangan parkir untuk melanjutkan aksi kejinya. Beruntung, selama penembakan di kafe, ada beberapa staf yang berhasil kabur dan memperingatkan yang lain. Banyak dari para pengunjung tempat wisata tersebut kemudian bersembunyi di bus-bus atau gedung-gedung lain di sekitarnya. Namun naasnya, tak semua paham kegentingan situasi kala itu. Bahkan, banyak yang mendekat ke area itu karena mengira segala keramaian dan suara tembakan tersebut adalah semacam pertunjukan wisata.
Kini Martin mengincar mereka yang berada di bus di tempat parkir. Ia menembak seorang sopir bus bernama Royce Thompson yang hendak kabur bersama para penumpangnya. Ia berhasil menyeret tubuhnya untuk bersembunyi di bawah bus, namun tragisnya kemudian meninggal karena luka-lukanya. Seorang wanita bernama Brigid Cook berusaha menyelamatkan para penumpang bus dengan membimbing mereka dari bus menuju ke tempat berlindung. Naas, Martin melihat aksinya dan menembaknya. Beruntung, ia selamat.
Martin kemudian menembak bus demi bus dan berniat menghabisi siapapun yang ia lihat. Hingga saat ini, ia telah membunuh 26 orang dan melukai 18 orang.
Ia kemudian naik kembali ke mobil dan bergerak ke pintu tol.
PEMBANTAIAN DI PINTU TOL
Mungkin di sinilah ia membunuh korbannya yang paling tragis. Kala itu, seorang ibu bernama Nanette Mikac panik karena mendengar tentang penembakan itu. Kala itu, ia tengah berusaha melarikan diri bersama kedua putrinya, Madeline dan Alannah yang baru berusia 3 dan 6 tahun. Bahkan, Nanette kala itu berlari dengan menggendong Madeline dan menggandeng Alannah bersamanya. Nanette kemudian melihat sebuah mobil dan berusaha meminta pertolongan.
Namun celakanya begitu dibuka, sang pengemudi mobil itu ternyata Martin, sang pembunuh.
Martin kemudian langsung menembak mati sang ibu berserta kedua anaknya. Sang penjagal kemudian turun dan berjalan ke pintu tol yang menghalangi jalurnya. Tepat di depannya, ada sebuah mobil BMW dengan empat penumpang, dua di antaranya wanita. Tanpa banyak pikir, Martin langsung membantai mereka berempat tanpa ampun. Tak hanya itu, tanpa belas kasihan sedikitpun, ia menyingkirkan mayat mereka dari dalam mobil lalu membajak mobil itu.
Sebuah mobil lain, kali ini dikendarai seorang pria bernama Graham Sutherland, mendekat ke lokasi pintu tol berdarah itu. Martin segera menembaki mobilnya, namun beruntung tembakan-tembakan itu hanya memecahkan kaca jendela mobil dan Graham berhasil kabur, memperingatkan mobil-mobil yang lain.
Kini, Martin sudah membunuh 33 orang, kebanyakan korban tak berdosa.
PEMBANTAIAN DI POM BENSIN
Martin kini melajukan mobil BMW curiannya ke sebuah pom bensin dan mencoba menghalangi sebuah mobil Toyota Corolla yang hendak keluar. Kala itu, mobil Toyota tersebut dikendarai oleh Glenn Pears dan kekasihnya, Zoe Hall. Martin kemudian menembak ke dalam mobil itu, membunuh Zoe, kemudian membajak mobil itu dan menyandera Glenn yang masih berada di dalamnya.
Martin kini hendak kembali ke Seascape untuk merampungkan pembantaiannya, namun sepanjang perjalanan ia terus saja menebar petaka. Kala itu logikanya pasti kita mengira peristwa penembakan yang membabi buta itu sudah tersiar luas sehingga para warga ataupun wisatawan sudah kabur ataupun paling tidak waspada. Namun ingat, karena kelihaian Martin dalam menembak, semua peristiwa yang terlihat panjang di atas hanya berlangsung baru beberapa menit.
Ketika berada di jalan menuju ke Seascape, banyak pengendara melihat bahwa ia memiliki senapan. Namun kala itu, hal tersebut (menggotong senjata api di keramaian) adalah hal yang lumrah karena begitulah “gun culture” di Australia. Para penumpang lain kala itu hanya menyangka Martin hanyalah seorang pemburu kelinci. Tak ada yang mengira, yang sebenarnya diburu Martin adalah manusia.
Martin menembaki semua mobil yang ia lalui, siapapun penumpangnya, pria dan wanita. Beruntung, semua penumpang mobil sasarannya selamat dan tak jatuh korban jiwa lain dalam aksi penembakan di jalan tersebut. Beberapa bahkan berhasil menghubungi polisi.
PENANGKAPAN SANG PENJAGAL
Keesokan paginya, Martin baru bisa diringkus. Mengapa lama, mungkin kalian berpikir. Well, karena tentulah aksi Martin yang seorang “sniper” ahli takkan mudah diringkus, sehingga para polisi membutuhkan bala bantuan. Tak hanya itu, kala itu ia membawa seorang sandera (pria yang mobilnya ia curi) sehingga polisi tentu tak bisa begitu saja gegabah.
Namun polisi tak bisa menunggu lebih lama ketika resort Seascape, dimana Martin kala itu bersembunyi, tiba-tiba terbakar. Bahkan, ketika polisi mendatanginya dengan pasukan lengkap, Martin berlari keluar dari resort itu dengan tubuh terlalap si jago merah. Setelah api yang membakar tubuhnya dipadamkan, iapun ditangkap dan dibawa ke rumah sakit untuk merawat luka bakarnya.
Begitu puing-puing resort Seascape yang terbakar akhirnya padam, barulah para polisi mampu menggali penemuan yang mengerikan. Di sana, mereka menemukan jenazah Glenn Pears, sang sandera. Tak hanya itu, di sana mereka juga menemukan sisa-sisa tubuh pasangan suami istri pemilik resort tersebut, David dan Noelene Martin. David, seperti kita tahu, dibunuh sebagai korban perdana dalam pembantaian ini. Sementara istrinya, Noelle, diduga sengaja dibunuh terakhir sebagai “pamungkas”.
KONSEKUENSI
Pembantaian di Port Arthur membuat pemerintah Australia buru-buru menerapkan hukum gun control yang ketat
Aksi penjagalan massal yang dilakukan Martin tentu saja menggemparkan Australia kala itu. Memorial di bangun di lokasi Port Arthur untuk menghormati para warga dan turis yang menjadi korban kala itu. Untuk mengenang kematian tragis Nanette Mikac dan kedua putrinya yang masih amat belia, lembaga “The Alannah and Madeline Foundation” diluncurkan oleh Perdana Menteri Australia untuk membantu anak-anak korban kekerasan, mencakup juga para korban bullying.
Aksi penembakan massal tersebut juga memicu perdebatan di Australia dimana warganya menuntut pembatasan penggunaan senjata api yang lebih ketat untuk mencegah hal serupa terjadi kembali. Perdana Menteri Australia kala itu, John Howard kemudian mulai membatasi kepemilikan senjata api, terutama senjata semi-otomatis yang digunakan oleh Martin kala itu. Agar tak merugikan warganya sendiri, pemerintah Australia mengadakan program “buy back” dimana mereka akan membeli senjata api milik warganya. Total hampir 650 ribu senjata api berhasil dikembalikan ke negara berkat program itu. Walaupun menghabiskan dana 350 juta dolar kala itu, namun tentu saja angka itu setimpal dengan banyaknya nyawa warganya yang berhasil diselamatkan di masa depan.
Kesuksesan program itu membuat Inggris mengikuti langkah tersebut dengan memperketat hukum kepemilikan senjata api di negara mereka pada 1997. Kini, dengan “bertobatnya” Australia dan Inggris, tercatat hanyalah Amerika Serikat satu-satuya negara Barat dengan “gun culture” yang kuat serta hukum kepemilikan senjata api yang bebas. Tak heran, aksi penembakan massal, bahkan di sekolah, masihlah sering bergaung di Amerika Serikat.
Lalu bagaimana dengan Martin sendiri? Pada 1996, hanya dengan dua minggu persidangan (waktu yang tergolong amat instan mengingat persidangan sebuah kasus kriminal bisa memakan waktu bertahun-tahun), Martin Bryant dihukum dengan 35 kali hukuman seumur hidup (sesuai dengan jumlah korban jiwa yang dijagalnya). Itupun masih ditambah hukuman tambahan berupa 1.652 tahun penjara. Dengan hukuman yang lamanya tak bisa dinalar itu, diharapkan Martin takkan pernah bisa keluar dari penjara.
Namun apakah Martin menyesal akibat perbuatan kejinya itu? Ternyata tidak. Bahkan, ia amat membangga-banggakan kejahatan. Buktinya, semenjak tertangkap, ia selalu bertanya berapa orang yang “berhasil” ia bunuh kala itu. Ia selalu merasa “excited” alias bersemangat saat menanyakannya sebab baginya, angka tersebut merupakan prestasi, bahkan membuatnya bangga. Hingga kini,pihak penjara melarangnya melihat berita ataupun berkomunikasi dengan orang luar supaya ia takkan pernah tahu berapa jumlah orang yang ia bunuh.
SUMBER GAMBAR DAN ARTIKEL: WIKIPEDIA
Salah satu alasan lainnya kenapa Martin Bryant melakukan pembantaian ini adalah karena ia terinspirasi dari kasus pembantaian sekolah di Dunblane Skotlandia pada tanggal 13 maret 1996. Setelah membaca berita pembantaian ini, si Martin pun pengen ngelakuin aksi pembantaian yang lebih mematikan supaya bisa terkenal dan diingat orang2 diseluruh dunia.
ReplyDeleteWaduh, martin si pencabut nyawa
ReplyDeleteBisa gak sih para kriminal ini dapet hukuman berupa jadi kelinci percobaan buat bahan makeup yang layak atau gak dipasarkan? Daripada diujicobakan ke binatang gak berdosa iya kan? Misalnya nantinya mereka ngalamin alergi ya gak usah diobatin gitu lho 😂😂
ReplyDeleteIh apaan sih ngadi-ngadi ae 🤭🤭
martin keereeen .. semoga ada penerus2 amrtin di negeri wakanda
ReplyDelete