Wednesday, March 17, 2021

THE EMPEROR OF LIES: SKEMA CHARLES PONZI, SANG PENIPU LEGENDARIS

Ada satu kata yang wajib kita waspadai jika kita ingin berinvestasi, yakni: Skema Ponzi atau Piramida Ponzi, yakni apabila uang investasi kita dibayar dengan uang orang lain dan uang orang lain itu dibayar oleh uang orang lain lagi, dan begitu seterusnya. Skema ini biasanya dilancarkan penipu dan awalnya terlihat menguntungkan. Namun lama-kelamaan, skema ini pastinya akan runtuh dan merugi jua, hanya tinggal menunggu waktunya, karena hanya akal-akalan belaka. Namun mungkin kalian bertanya, dari mana asal nama Skema Ponzi ini?

Ternyata nama ini diwariskan dari pria pertama yang melancarkan aksi ini secara besar-besaran, bahkan berhasil menipu senatero penduduk kota Boston di Amerika Serikat pada tahun 1920-an. Nama pria itu adalah Charles Ponzi. Karena aksi penipuannya yang begitu melegenda, namanya-pun terabadikan ke dalam skema penipuan yang ia lancarkan. Seperti apakah sepak terjangnya sehingga namanya begitu tenar (namun tercemar) dan tercatat dalam sejarah?

Dear readers, inilah kisah hidup Charles Ponzi yang jelas, tak patut kita tiru.

Di universitas megah di Roma inilah Ponzi pernah menimba ilmunya

Charles Ponzi lahir di Italia pada 1882. Mungkin kalian mengira, karena statusnya sebagai raja penipu legendaris, ia lahir dari keluarga miskin yang ingin mengubah nasibnya. Namun justru sebaliknya, keluarganya justru terkenal kaya raya, bahkan keturunan bangsawan. Ibunya sendiri masih mengenakan title “Donna” yang hanya disematkan bagi wanita dari keluarga terhormat.

Ponzi muda kemudian kuliah di sebuah universitas di Roma, sebuah kesempatan bergengsi yang tentu tak bisa dirasakan semua orang. Namun nyatanya, kehidupan kuliahnya malah ia anggap sebagai “liburan empat tahun”. Alih-alih menimba ilmu, ia justru sibuk berpesta tiap hari bersama teman-temannya, menggunakan uang dari orang tuanya. Alhasil, tak hanya dikeluarkan dari kampusnya tanpa gelar sarjana, ia juga kehabisan uang.

Orang tuanya yang jelas kecewa berat pada Ponzi kemudian menyuruh anaknya itu bermigrasi ke Amerika Serikat untuk membuktikan dirinya. Kala itu, memang banyak pemuda Italia yang bermigrasi ke Amerika Serikat dan pulang dalam kondisi kaya raya. Orang tua Ponzi juga ingin anak mereka sukses dengan cara itu. Namun apa daya, tabiat buruk Ponzi sukar untuk dihapuskan. Kala itu orang tua Ponzi membekali anak mereka itu uang yang cukup banyak sebagai modal. Tapi nyatanya, dalam pelayaran dari Amerika dari Eropa, Ponzi malah menghabiskan uang itu untuk berjudi.

Ketika ia tiba di Amerika, hanya tersisa uang 2,5 dollar saja.

Namun Charles Ponzi kemudian menyatakan “Aku mendarat di negara ini hanya dengan uang 2,5 dollar tapi dengan mimpi senilai 1 juta dolar”. Keliatan inspiratif ya, tapi ternyata yang dimaksud Ponzi adalah mimpi jadi penipu kelas kakap!

Karena naturnya sebagai ekstrovert, iapun mudah bergaul dan menjadi lancar berbahasa Inggris dengan cepat. Awalnya ia bekerja serabutan, termasuk menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran, dimana saking kisminnya, iapun harus tidur di lantai. Ia kemudian naik jabatan menjadi pelayan, namun sayang ia segera dipecat karena ketahuan suka mengantongi uang kembalian untuk para pelanggan.

Dengan menawarkan investasi berbentuk prangko seperti inilah Ponzi mengibuli para kliennya

Pada 1919, Ponzi mendapat secarik surat dari sebuah perusahaan di Eropa. Di dalamnya, ia menerima sebuah kupon bernama “International Reply Coupon (IRC)”. Dari kupon itu, iapun mendapat ide untuk membangun bisnis baru. Rupanya IRC adalah kupon yang bisa digunakan untuk membeli prangko balasan dari luar negeri. Karena kupon itu berasal dari Eropa yang kala itu nilai mata uangnya jatuh pasca Perang Dunia I, maka ada perbedaan nilai antara harga prangko di Eropa dan Amerika yang cukup signifikan. Semisal, harga prangko di Eropa adalah 10 sen (1/10 dolar) sedangkan harga prangko di Amerika adalah 1 dolar (100 sen). Jadi apabila Ponzi membeli IRC dari Eropa (seharga 10 sen) dan menukarkannya dalam bentuk prangko baru di Amerika (seharga 100 sen), lalu menjual prangko itu kembali (dengan harga sama, semisal 100 sen juga), maka ia akan mendapat untung 90 sen. Apabila ia membeli 1000 IRC, maka dengan modal 100 dolar atau 1,4 juta rupiah, ia bisa meraih untung hingga 900 dolar atau setara 12 juta rupiah. Lumayan bukan?

Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Ponzi langsung berniat memanfaatkan peluang bisnis ini dengan mendirikan usaha untuk berdagang prangko. Namun tentu, untuk itu ia mesti memiliki modal yang tak sedikit. Karena itulah, ia kemudian berusaha meminjam uang dari sebuah bank. Namun sang manajer bank, mungkin karena melihat penampilan Ponzi yang seperti gembel, menjadi jyjy dan langsung mengusirnya keluar.

Namun Ponzi tak kunjung menyerah. Ia lalu menghubungi teman-temannya sesama imigran di Boston, kota dimana ia tinggal, untuk meminjaminya uang. Untuk menarik hati para investornya, iapun menggoda mereka dengan bunga yang tinggi. Ia menjanjikan keuntungan 50% dalam 45 hari. Jadi semisal kamu meminjami Ponzi uang 100 dolar (1,4 juta rupiah) maka dalam waktu 1,5 bulan kalian akan mendapatkan uang kalian kembali 150 dolar (sebanyak 2,1 juta rupiah). Jelas, siapa tak tegiur dengan potensi laba seperti itu.

Dalam waktu singkat, orang-orangpun menanamkan modal mereka ke perusahaan Ponzi. Yang mengejutkan, mereka mendapatkan laba sesuai dengan janji Ponzi tersebut. Akibatnya, tentu lebih banyak orang tergiur untuk berbisnis dengan Ponzi dan memasrahkan uang mereka kepadanya. Usaha Ponzi pun semakin berkembang. Ia berhasil menyewa sebuah kantor yang megah dan mengutus para agen-agennya untuk mencari investor baru, dimana untuk tiap keberhasilan mereka, Ponzi memberikan komisi yang tak sedikit. Tak heran, modal yang dikumpulkan Ponzi merangkak naik mulai dari ratusan ribu dolar menjadi jutaan dolar dalam waktu singkat. Tak hanya itu, pada puncak kesuksesannya, sekitar satu juta dolar masuk ke kantong Ponzi per harinya!

Kala itu, penduduk Boston rela menggadaikan rumah mereka dan menanamkan seluruh tabungan hidup mereka demi berinvestasi di perusahaan Ponzi. Bahkan, para penegak hukumpun luluh akan janji Ponzi ini. Tercatat, 75% dari petugas kepolisian di kota Boston menginvestasikan uang mereka pada Ponzi. Ponzi juga tak pernah mendiskriminasikan kliennya. Ia tak peduli apakah hanya seorang bocah penjual koran yang menanamkan uang beberapa dolar (beberapa puluh ribu) hingga seorang bankir yang menanamkan 10 ribu dolar (140 juta rupiah), ia akan menyikat semua uang mereka.

Di kota Boston yang indah inilah Ponzi mencari mangsanya

Orang-orang memang tergiur oleh laba yang ditawarkan oleh Ponzi karena Ponzi memang bisa memberikan bukti dengan membayar laba dari orang-orang yang dipinjaminya. Tak jarang, laba itu justru mereka kembalikan untuk ditanam kembali ke perusahaan Ponzi. Tapi celakanya, walaupun uangnya sudah menumpuk banyak, ia ternyata sama sekali belum membeli satupun IRC. Lho kok bisa? Ternyata skema IRC yang ada di kepalanya hanya bekerja di atas kertas saja. Apabila direalisasikan, ternyata rencana itu amatlah mustahil. Kenapa?

Bayangkan saja. Karena harga IRC amatlah murah, maka dari 1000 dolar uang yang diperolehnya, ia harus membeli sampai puluhan ribu kupon IRC. Untuk semua investor yang ia miliki, ia harus mengisi sebuah kapal laut seukuran Titanic dengan kupon IRC untuk membawanya ke Amerika untuk dijual, bolak-balik. Pertanyaannya kini, siapa yang akan membeli prangko sebanyak itu?

Pada saat Ponzi beraksi, teknologi telepon memang belum ditemukan sehingga kebanyakan orang memilih berkomunikasi menggunakan surat. Jadi benar, prangko memang kebutuhan yang cukup vital bagi masyarakat kala itu. Namun tentu, tak semua orang mengirim surat setiap hari, sebab waktu yang diperlukan untuk menerima balasan cukuplah lama. Semisal jika gue menulis surat ke kota lain, perlu waktu seminggu sampai surat itu tiba ke tujuan. Kemudian untuk menerima balasannya, gue memerlukan waktu seminggu pula agar suratnya bisa nyampe ke gue. Jadi total dalam sebulan gue hanya memerlukan dua perangko saja untuk digunakan jika mau berbalas-balasan berkirim surat.

Nah, kalau begitu jika Ponzi sama sekali tak membeli, apalagi menjual prangko hasil IRC, darimana ia mendapat uang untuk mengembalikan bunga para investornya?

Jawabannya adalah: dia membayar bunga para investor lama dengan uang dari investor baru yang baru saja diterimanya. Inilah yang kemudian melegenda menjadi apa yang dinamakan “Skema Ponzi” atau “Piramida Ponzi”. Jika kalian sudah membaca tentang kisah Bernie Madoff, maka kalian juga akan mengerti bahwa ia juga menerapkan taktik yang sama [haramnya].

Berkat uang jutaan dolar yang diterimanya, Ponzi langsung memuaskan dirinya dengan berbagai kemewahan. Ia membeli rumah megah dan mobil termewah kala itu. Namun ia tak sepenuhnya menghabiskan uang [orang] untuk berfoya-foya. Ia juga membeli sebuah perusahaan pembuat makaroni dan juga anggur dengan harapan ia nantinya akan bisa mengembalikan uang para investor beserta bunganya. Namun tentu saja itu hal yang mustahil, karena ia telanjur menawarkan bunga fantastis sebesar 50% sementara usaha [halal] apa yang keuntungannya bisa sebesar itu?

Tentu saja sebaik-baiknya bangkai pada akhirnya baunya akan tercium juga (seperti kasus ... ah, sudahlah). Kala itu sudah banyak yang mencurigai aksi Ponzi. Pasalnya bank saja (yang jelas tajirnya minta ampun) hanya bisa memberikan bunga maksimal 5%, sedangkan Ponzi dengan angkuhnya menawarkan bunga hingga 50%. Termasuk di antara mereka yang curiga adalah para wartawan The Boston Post, salah satu surat kabar paling terkemuka di kota tersebut, yang mulai mencium adanya ketidakberesan di bisnis Ponzi yang “menguntungkan” tersebut.

Media kala itu berhasil membongkar kebohongan Ponzi karena kualitas media kala itu yang jelas berbeda dengan sekarang, dimana media hanya digunakan sebagai kendaraan politik

Pada 26 Juli 1920, surat kabar The Boston Post menitahkan seorang jurnalis bernama Clarence Barron untuk mengerahkan investigasi berskala besar untuk menyelidiki keabsahan skema bisnis yang dilancarkan Ponzi. Hasil temuan sang wartawan cukup mengejutkan. Pertama, ia mengamati bahwa walaupun Ponzi menggoda semua orang untuk berinvestasi ke dalam perusahaannya, Ponzi sendiri sama sekali tak menanamkan uang miliknya di perusahaannya sendiri. Tak hanya itu, ia menghitung bahwa jika rencana Ponzi untuk membeli IRC lalu menjualnya lagi demi mendapat profit memang benar bisa berjalan, maka seharusnya ada sekitar 160 juta prangko yang beredar di kota Boston kala itu. Tapi kenyataannya, hanya ada 27 ribu prangko yang bersirkulasi saat itu. Karena alasan itu, skema Ponzi sama sekali tak masuk akal, sebab hanya ada kurang dari 740 ribu penduduk Boston kala itu. Jadi jelas, takkan ada yang akan membeli jutaan perangko tersebut (jika benar prangko-prangko itu dibeli dan dijual lagi).

Artikel yang diangkat di surat kabar inipun membuat gempar dan banyak dari para investornya yang ingin uang mereka kembali. Namun walaupun banyak kerumunan di depan kantor Ponzi menuntut uang mereka, Ponzi malah dengan santai meyakinkan mereka sembari menraktir mereka donut dan kopi. Karena mulut manis Ponzi, banyak dari investor itu akhirnya pulang, tak jadi menuntut uang mereka. Namun kehebohan ini sempat membuat Ponzi cemas sehingga menyewa seorang agen publisitas (PR istilahnya) bernama William McMasters untuk membersihkan nama baiknya.

Namun celaka dua belas, William, pria yang disewanya itu ternyata orang jujur. Begitu mengetahui tentang skema yang dilancarkan Ponzi, ia malah marah besar dan “spill the tea” pada harian surat kabar The Boston Post. Tak hanya itu, kali ini dia membawa dokumen-dokumen yang jelas membuktikan “kenakalan” Ponzi. Di artikel yang dimuat di surat kabar tersebut, dokumen tersebut menyatakan bahwa Ponzi, yang mengaku memiliki kekayaan 7 juta dolar dari hasil pengumpulan dananya, sesungguhnya tengah dililit hutang 2 juta dolar. Hal ini tak hanya membuat rakyat Boston, yang sudah memasrahkan harta mereka untuk diinvestasikan pada Ponzi menjadi panik, namun juga membuat otoritas perbankan dari pemerintah menjadi curiga. Mereka segera melakukan audit resmi dan hasilnya ternyata jauh lebih mencengangkan: alih-alih untung, perusahaan Ponzi justru kini memiliki hutang 7 juta dolar!

Akhirnya kebohongan Ponzi terbongkar sudah. Skema piramidanya akhirnya runtuh karena memang hanya dilandasi dusta. Ketika kejahatannya terkuak, iapun menjual semua asetnya untuk membayar hutang-hutangnya pada para investor yang marah besar. Namun ia hanya bisa mengumpulkan uang senilai 4 juta dolar, padahal para investornya total kehilangan hingga 20 juta dolar. Tiap satu dolar yang diinvestasikan para penduduk Boston kala itu (ingat, ada yang sampai menggadaikan rumah mereka dan menyerahkan seluruh tabungan masa depan mereka pada Ponzi), mereka hanya menerima kembali sekitar 30 sen atau sepertiganya saja.

Mugshot dari Charles Ponzi saat tertangkap

Ponzi akhirnya ditangkap polisi dan menghadapi tuntutan dengan hukuman seumur hidup. Namun di tengah persidangan terkuak bahwa Ponzi ternyata belum menjadi warga negara Amerika Serikat yang resmi, walaupun ia telah tinggal cukup lama di sana. Akhirnya pihak pengadilan mengeluarkannya dari penjara untuk dideportasi kembali ke Italia. Tapi bukannya bertobat dan berikhtiar, Ponzi malah kabur ke negara bagian Florida dan parahnya, melancarkan aksi penipuan kembali. Ia diam-diam mendirikan perusahaan baru bernama Charpon Land Syndicate (Charpon adalah singkatan dari namanya: Charles Ponzi), yakni sebuah agen properti yang menjanjikan laba hingga 200% dalam 60 hari (ampun dah!). Yang lebih parah, tanah yang ia jual hanyalah rawa-rawa belaka.

Lagi-lagi aksi penipuannya ini ketahuan dan iapun tertangkap. Namun, sepertinya identitasnya sebagai Charles Ponzi, sang penipu termashyur, sepertinya belum terkuak di sana. Buktinya ia berhasil lolos dari penjara setelah memberikan uang tebusan, kemudian kabur kembali. Kali ini mungkin Ponzi benar-benar kapok lalu menyamar dan mencoba kabur ke Italia. Tapi, salah satu kru kapal mengetahui identitas aslinya dan melaporkannya, sehingga iapun dikembalikan ke pihak berwajib di Amerika.

Kini, pengadilan Amerika yang awalnya ingin mendeportasi Ponzi, memutuskan untuk menghukumnya di balik jeruji dulu supaya ia kapok. Ia akhirnya dibui selama 7 tahun sebelum akhirya dideportasi ke Italia. Pada 1934, Ponzi akhirnya dikembalikan ke negara asalnya dan sempat tinggal di sana beberapa lama (tentu, dengan menipu lagi). Karena aksi-aksi penipuannya tak membuahnya banyak hasil (mungkin karena reputasinya yang melegenda hingga membuat orang-orang was-was), Ponzi akhirnya memutuskan hijrah ke Brazil dan bekerja (kali ini halal) di sebuah perusahaan penerbangan. Di sana ia masih mencoba mengais sedikit rejeki dengan menuliskan buku autobiografinya.

Pada akhir hidupnya, Ponzi hidup sendiriandan kesepian, terlunta-lunta dalam kemiskinan. Tak ada yang mau berteman dengannya mengingat reputasinya sebagai penipu kelas kakap. Bahkan keluarganya sendiri tak ada yang mau mengakuinya karena malu, termasuk istrinya sendiri (yang meninggalkannya di Amerika). Kesehatannya mulai menurun hingga ia akhirnya buta, lumpuh, dan akhirnya meninggal pada usia tua pada 1949. Kala itu, satu-satunya teman yang ia miliki adalah seorang tukang cukur yang juga sesama imigran Italia.

Kini sepeninggalannya, yang tersisa adalah namanya yang kini terpatri sebagai istilah bagi skema penipuan ternama: Skema Ponzi, sebuah nama yang hingga harus kita waspadai supaya tak lengah jatuh ke dalamnya.

SUMBER: WIKIPEDIA


6 comments:

  1. Apa bisnis MLM (Multi Level Marketing) bisa dianggap sebagai Ponzi scheme?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tergantung sih, mereka memang pake skema piramida tapi nggak serta merta masuk skema ponzi juga kalo memang ada produk yang dijual dan tujuannya jg nggak nipu

      Delete
    2. oiya bang, skema piramida itu cara mainnya gimana? sama kayak ponzi atau beda dikit?

      Delete
  2. Cmiiw, ga semua MLM itu disebut Ponzi. Coba gugling perbedaan skema Piramida dan Ponzi.
    Dari yg ane tau (Cmiiw.Ane yakin Readers disini pinter pinter dan bisa koreksi ane kalo ada salah kata) Ponzi itu skema Money Game yg mengandalkan perputaran uang diantara para membernya untuk menguntungkan segelintir orang. Produk yg dijual ga ada dan itu murni perputaran uang diantara para membernya. Yg kena zonk yg masuk belakangan dan upline atau leader mereka untung. Beberapa skema Ponzi itu mengaku MLM dan menggunakan produk abal abal untuk menutupi kebusukan mereka (Di Indonesia marak. Ane ga sebut nama langsung).
    Kalo mau tau perbedaan jelasnya bisa gugling nanti. Tapi ada kok MLM yg pake skema piramida dan produknya jelas (Ibu ane member Tupp*rware. Produk mereka keren dan ga mengharuskan buat cari downline atau member baru).
    Sorry kalo kepanjangan dan sekali lagi cmiiw.

    ReplyDelete
  3. Ini kalo masuk cerita sinetron indoikanterbang bakal kek mana judulnya ya? 😂😂😂

    ReplyDelete