Wednesday, March 17, 2021

KISAH PENERBANGAN “PESAWAT HANTU” HELIOS AIRWAYS FLIGHT 522 DARI CYPRUS

Pada 14 Agustus 2005, sebuah pesawat melintas di langit laut Mediterania di benua biru, Eropa. Pesawat dari maskapai penerbangan Helios itu berangkat dari kota Larnaca di pulau Cyprus dan memiliki tujuan ke Praha, ibu kota Republik Ceko. Namun ada yang aneh dari penerbangan itu ketika melintasi langit Yunani. Pesawat itu tak merespon panggilan dari pihak bandara hingga membuat cemas pemerintah Yunani (apalagi pesawat itu terbang melintasi diatas wilayah negara mereka). Alhasil merekapun mengutus pesawat jet tempur untuk menyusul pesawat tersebut untuk mengetahui mengapa pesawat itu terbang tanpa sedikit informasi atau pemberitahuan dari pilot di kokpit. Namun apa yang mereka lihat di sana sungguhlah mencengangkan.

Sebab pesawat itu terbang tanpa seorangpun pilot yang mengendalikannya.

Kejadian misterius ini berujung pada tewasnya seluruh penumpang dan kru pesawat tersebut ketika akhirnya pesawat itu jatuh di wilayah Yunani. Apa sebenarnya yang terjadi kala itu? Apa yang menyebabkan pesawat tersebut melayang tanpa dikendalikan pilot? Apa yang terjadi dengan para pilot dan penumpangnya?

Dear readers, bersiaplah karena kalian akan mendengar salah satu kisah paling tragis dalam dunia penerbangan internasional, yakni legenda “pesawat hantu” dari Helios Airways.

PESAWAT ITU BERNAMA OLYMPIA

Pesawat dari jenis Boeing-737 itu bernama Olympia dan dimiliki oleh Helios Airways, sebuah maskapai “low budget” asal Cyprus. Seperti layaknya maskapai “low budget” pada umumnya, Helios membeli pesawat-pesawat tua dari maskapai penerbangan lainnya dan mengoperasikannya. Pesawat Olympia sendiri sudah berusia 7 tahun ketika dibeli oleh Helios. Pada hari yang naas itu, pesawat tersebut baru saja tiba di bandara Larnaca, Cyprus dari London, dimana para kru melaporkan kejadian aneh. Pertama pintu mereka tiba-tiba membeku dan kedua, ada suara aneh dari arah pintu. Oleh sebab itu, mereka meminta para teknisi untuk memeriksa pintu yang bermasalah tersebut. Setelah diperiksa, maka pesawat itupun dikembalikan ke maskapai untuk diterbangkan.

Pesawat itu dijadwalkan untuk meninggalkan Larnaca, Cyprus pada jam 9 pagi dan dijadwalkan tiba bandara internasional Praha, Republik Ceko pada jam 10.45, jadi itu adalah sebuah penerbangan singkat yang seharusnya tak cukup berat. Pesawat itu dipiloti oleh Hans-Jürgen Merten, seorang kapten berpengalaman asal Jerman yang sudah menapaki karirnya sebagai penerbang selama 35 tahun. Total, ia sendiri telah meraih hampir 17 ribu jam terbang, dimana 5 ribu jam terbangnya adalah untuk menerbangkan pesawat Boeing-737 seperti yang ia kendarai saat ini. Sebagai ko-pilotnya adalah Pampos Charalambous, berusia 51 tahun, warga negara Cyrpus. Walaupun tak seberpengalaman sang kapten, namun sang ko-pilot sudah meraih jam terbang yang cukup tinggi pula, yakni 7.500 jam terbang dimana separuhnya digunakan untuk menerbangkan Boeing-737.

Pesawat Olympia kala itu membawa 121 penumpang dan kru.

Pesawat itupun berangkat dan ketika merangkak naik di ketinggian 3.670 meter, ada suara alarm berbunyi. Begitu mendengarnya, maka sang kapten segera menghubungi pihak Helios lewat radio di pesawatnya. Namun belum selesai berkomunikasi dengan para teknisi, hubungan itu terputus.

Itulah kali terakhir pesawat itu berkomunikasi dengan siapapun.

Pada sekitar jam setengah 10, pesawat itu mulai terbang masuk ke wilayah Yunani. Seharusnya, menurut protokol yang berlaku, pesawat tersebut harusnya “kulo nuwun” dulu ke “air traffic control (ATC)” di Athena, Yunani. Namun, sama sekali tak ada komunikasi apapun dari pesawat itu.

Seolah-olah pesawat itu dikendalikan oleh hantu.


Peta penerbangan naas sang Helios


ATC mencoba menghubungi pesawat tersebut selama 19 kali. Merasa curiga, pihak militer Yunani segera mengutus dua pesawat tempur F-16. Mereka takut bahwa pesawat tersebut diam-diam dibajak teroris atau ada situasi genting lain yang menyebabkan sang pilot tak mampu berkomunikasi dengan ATC. Namun ketika berhasil mencapai pesawat tersebut sekitar jam 11-an siang, mereka mengamati ada sesuatu yang aneh. Pertama, masker-masker oksigen terlihat menggelantung di kabin penumpang. Tak hanya itu, sang pilot dan ko-pilot tergeletak tak sadarkan diri di kabin pilot.

Ini berarti, pesawat tersebut tengah terbang tanpa ada satupun yang mengendalikan.

Yang lebih aneh, para pilot pesawat tempur itu melihat masih ada satu orang yang ternyata masih sadar (sementara seluruh penumpang dan kru, termasuk pilot, tak sadarkan diri), yakni salah satu pramugara bernama Andreas Prodromou. Andreas bahkan terlihat memasuki kokpit dan duduk di kursi kapten, masih mengenakan topeng oksigen. Ia bahkan sempat melambai ke arah para pilot pesawat tempur tersebut. Namun tiba-tiba saja terlihat percikan api di salah satu mesin karena pesawat telah kehabisan bahan bakar. Tak pelak, pesawat itupun menghujam ke bawah dan pada pukul 12, pesawat tersebut menabrak sebuah bukit dekat kota Grammatiko, sekitar 40 kilometer dari kota Athena, Yunani.

Seluruh penumpang dan kru pesawat sejumlah 121 pun tewas seketika.

Kala itu pesawat Olympia membawa 115 penumpang dan 6 kru. Sekitar 93 di antaranya adalah orang dewasa dan yang naas 22 sisanya adalah anak-anak. Semua penumpang berkebangsaan Yunani dan Cyprus. Kejadian naas itu tentu menggemparkan Yunani sebab tercatat sebagai kecelakaan pesawat terburuk dalam sejarah negara tersebut, walaupun pesawat itu berasal dari Cyprus.

Namun apa yang menyebabkan bencana tersebut terjadi? Kesalahan manusia-kah ataukah ada misteri lain dibaliknya?


RAHASIA DI BALIK MATAHARI

Ilustrasi penerbangan maut Helios yang disusul dua jet tempur

Flight data recorder dan cockpit voice recorder pesawat itu kemudian dikirim ke Paris untuk dianalisis. Dari setiap kejadian mencurigakan yang terjadi di pesawat naas tersebut, mungkin kita mengira Andreas, sang pramugara yang bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Pasalnya, Andreas merupakan satu-satunya yang sadar di pesawat tersebut. Namun rekaman di kokpit justru membuktikan sebaliknya. Andreas malah berusaha menyelamatkan pesawat itu di detik-detik terakhir. Terbukti, ia berusaha memanggil ATC dengan menyerukan kata “Mayday!” di radio. Namun sayang, sebagai pramugara ia kurang berpengalaman menggunakan radio kokpit. Kala itu, radio itu masih di-tune ke Larcana, sehingga tak terdengar oleh ATC di Athena. Andreas kemudian berusaha untuk mengendalikan pesawat. Kebetulan, Andreas juga memiliki lisensi pilot, walaupun tak pernah menerbangkan Boeing-737. Namun ia terlambat karena pesawat sudah keburu kehabisan bahan bakar hingga akhirnya jatuh menghujam tanah.

Itulah fakta pertama yang terkuak dari rekaman kokpit tersebut, namun ada satu pertanyaan masih menyeruak. Yakni, mengapa seluruh penumpang dan kru pesawat kala itu tak sadarkan diri, hingga pesawat melayang tanpa kendali hingga membawa semua yang di dalamnya menemui ajal?

Petunjuk pertama adalah masker-masker oksigen yang menggantung di kabin penumpang. Masker tersebut secara otomatis akan dilepaskan dari tempat penyimpanannya di atas tempat duduk penumpang apabila kadar oksigen dalam pesawat turun. Biasanya, dropnya kadar oksigen tersebut disebabkan oleh turunnya tekanan atmosferik kabin. Lalu mengapa tekanan dalam pesawat bisa turun dan membuat pingsan seluruh penumpang?

Untuk menjawabnya kita harus kembali ke awal, bahkan sebelum pesawat itu diterbangkan.

Kala itu kalian mungkin ingat, bahwa setelah pesawat itu mendarat dari penerbangan dari London, pesawat tersebut diinspeksi oleh teknisi karena ada keluhan dari kru pesawat bahwa pintu pesawat tersebut bermasalah. Kala itu sang teknisi menduga bahwa ada kebocoran tekanan udara. Karena itu, ketika menginspeksi, ia memindahkan sistem pressurization (yang mengontrol pengaturan tekanan udara dalam kabin pesawat) dari “auto” menjadi “manual”.

Celakanya, setelah pemeriksaan, ia lupa mengganti kembali settingan tersebut dari “manual” menjadi “auto”. Inilah yang nantinya membawa bencana tak terperikan bagi para penumpang tak berdosa pesawat Helios tersebut.

Mungkin kalian berpikir, kecelakaan naas tersebut merupakan akibat kelalaian sang teknisi. Namun sesungguhnya, kesalahan tak sepenuhnya jatuh di pundak sang teknisi tersebut. Walaupun sang teknisi melakukan kekeliruan, namun seharusnya, menurut protokol yang berlaku, kesalahan tersebut mestilah terlihat dengan jelas dan diperbaiki oleh teknisi-teknisi lain, bahkan oleh pilot sendiri. Tercatat, sebelum pesawat berangkat, seharusnya dilakukan tiga kali pemeriksaan terhadap sistem pressurization pesawat tersebut yakni pada sebelum penerbangan, saat menyalakan mesin pesawat, dan setelah take off. Bahkan, sang pilot bisa dengan mudah memperbaiki sistem pressurization itu dari “manual” ke “auto” hanya dengan menekan satu tombol. Namun sayang, di ketiga kesempatan itu, semua pihak yang terkait gagal memperhatikan error tersebut.

Kala pesawat baru saja lepas landas, memang ada suara alarm peringatan yang didengar oleh sang pilot. Alarm tersebut menunjukkan bahwa ada kebocoran tekanan udara dalam pesawat. Sang pilot juga sudah berbuat benar dengan menghubungi pihak Helios. Bahkan saat mendengarnya, sang teknisi (yang tadi memeriksa pesawat) meminta operator untuk bertanya apakah sistem pressurization sudah disetel dari “manual” menjadi “auto”. Namun saat sang operator menanyakannya, sang pilot sudah keburu kebingungan (dampak dari hipoksia atau kekurangan oksigen) dan akhirnya pingsan. Mungkin pada waktu yang sama pula, masker-masker oksigen berjatuhan ke kursi penumpang. Namun terlambat, para penumpang sudah keburu tak sadarkan diri.

Kini, para kru, termasuk para pilot tak bisa berbuat apa-apa. Mereka kini tak sadarkan diri bersama para penumpang dan pesawat itu ajaibnya terus melaju tanpa dipiloti siapapun. Namun bagaimana bisa, mungkin itu pertanyaan kalian? Bukannya jika tidak dikendalikan, pesawat itu akan jatuh? Ternyata pesawat itu sudah berada dalam kondisi auto-pilot sehingga masih mampu melayang dan melaju sendiri tanpa campur tangan pilot. Namun tetap saja, pesawat itu takkan mampu mendarat sendiri. Pesawat itu hanya terbang tak tentu arah (ajaibnya selama 70 menit atau satu jam lebih), hingga masuk ke wilayah udara Yunani dan akhirnya terkapar jatuh ketika bahan bakarnya mulai menipis dan habis.


Kota Praha yang indah ini seharusnya menjadi destinasi terakhir para penumpang pesawat tersebut. Sayang mereka tak pernah tiba di tujuan akhir mereka

Jadi kita bisa menyimpulkan, bahwa pesawat tersebut jatuh karena kesalahan kolektif dari berbagai pihak, mulai dari teknisi hingga pilot yang tak teliti dalam mengerjakan tugas mereka, sampai menumbalkan ratusan jiwa. Namun kini pertanyaannya, apakah pihak maskapai penerbangan ikut bertanggung jawab atas kejadian itu?

Mungkin kalian sendiri bisa menjawabnya melalui fakta-fakta yang akan gue sajikan ini. Pada 16 Desember 2004, sekitar setahun sebelum kecelakaan itu, pesawat yang sama mengalami kasus serupa, yakni dropnya tekanan kabin di tengah penerbangan dari Warsawa, Polandia. Bahkan, kala itu pesawat Olympia tersebut sampai melakukan pendaratan darurat saking gentingnya situasi. Kala itu, para kru kabin juga melaporkan adanya suara keras dari arah pintu, bahkan muncul lubang di sana. Tapi walaupun sudah hampir mengalami kecelakaan seperti itu, pesawat tersebut masih dioperasikan oleh Helios Airways seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.

Salah satu ibu dari kru yang meninggal dalam kecelakaan pesawat itu juga mengaku bahwa anaknya kerap komplain kepada pihak maskapai penerbangan bahwa pesawat tersebut memang bermasalah, namun tak pernah didengarkan. Ia mengeluhkan bahwa kabin menjadi sangat dingin ketika terbang, yang menunjukkan adanya kebocoran di pesawat tersebut. Bahkan, pesawat tersebut sempat diperbaiki hingga 7 kali. Seharusnya, dengan kerusakan seperti itu, pesawat tersebut dipensiunkan karena memang tak layak terbang. Namun sayang, bukan keputusan itu yang diambil Helios kala itu.

Pasca kecelakaan itu, Helios Airways masih beroperasi. Namun mungkin karena jengah, pemerintah Cyprus akhirnya membekukan seluruh aset Helios sehingga maskapai itu terpaksa berhenti beroperasi pada 2006. Bahkan mereka tak lolos dari jeratan hukum. Empat dari petinggi Helios Airways (3 berkewarganegaraan Cyprus dan 1 warga negara Bulgaria) disidang pada tahun 2008 atas tuduhan “manslaughter” (kematian akibat kelalaian). Namun persidangan di Cyprus itu terbukti berat sebelah, sebab pada 2011 keempatnya dibebaskan dari semua tuduhan karena terbukti “tak bersalah”.

Pada 2011 pula, persidangan kembali diulang di Yunani, sebab cukup banyak dari penumpang yang tewas berkebangsaan Yunani dan peristiwa jatuhnya pesawat pun terjadi di wilayah kedaulatan negara tersebut. Pada 2012, keempatnya diputus bersalah dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Namun keempatnya mengajukan banding sehingga masih belum dijebloskan ke penjara. Pada 2013, mahkamah agung menolak banding mereka sehingga mereka berempat-pun kalah. Namun di sinilah “uniknya”; para terdakwa tersebut ternyata bisa “membeli” kebebasan mereka dengan membayar ganti rugi sebesar 79 ribu euro masing-masing orang (setara 1,3 miliar rupiah). Tak hanya itu, salah satu terdakwa yang berkebangsaan Bulgaria malah melenggang bebas setelah pemerintah Bulgaria ikut campur membela warganya. Padahal di peradilan itu terbukti, Helios Airways memotong budget yang diperuntukkan untuk safety demi profit belaka, hingga kecelakaan tersebut terjadi.

Kita bisa berkesimpulan, para korban tewas dalam kecelakaan tersebut memang tak pernah mendapat keadilan di dunia ini. Namun itu bukan berarti mereka tak bisa mendapat kedamaian di alam baka sana.

SUMBER GAMBAR DAN ARTIKEL: WIKIPEDIA



3 comments:

  1. Anjay bang, lama gak ngepost. Sekalinya post beuuh balas dendam nih bang. Gue sukaa yg begini. Terima kasih bnyaaak

    ReplyDelete
  2. Membaca blog MBP belakangan ini seperti membaca blog enigma....banyak kejadian misterius yang dijelaskan secara logis

    ReplyDelete
  3. Iya dah iya, duit busa beli hukum, tapi inget ya, duit gak bisa beli surga 😌

    ReplyDelete